Apakah perbedaan kedudukan lembaga mpr sebelum dan sesudah amandemen uud 1945

Liputan6.com, Jakarta Ratusan masyarakat Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, memenuhi Aula Serbaguna, Kantor Camat Loa Janan, pada Sabtu (9/2/2019). Mereka yang terdiri dari ibu-ibu, pelajar, pramuka, guru, dan masyarakat umum berada di sana untuk mengikuti Seminar Empat Pilar MPR.

Dalam acara tersebut, hadir Wakil Ketua MPR, Mahyudin, sebagai pembicara utama. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa MPR sebelum UUD Tahun 1945 diamandemen merupakan lembaga tertinggi negara. Sebagai lembaga tertinggi, MPR yang beranggotakan anggota DPR, utusan golongan, dan daerah, bermusyawarah untuk menentukan masa depan bangsa.

"MPR saat itu dianggap sebagai representasi rakyat Indonesia," ujar Mahyudin.

Setelah adanya gerakan reformasi yang dilalukan oleh mahasiswa pada 1998 dengan tuntutan adanya demokratisasi, membuat tatanan bernegara dan berbangsa berubah.

"Akhirnya UUD Tahun 1945 diamandemen," ucap Mahyudin.

Amandemen yang terjadi membuat MPR tak lagi menjadi lembaga tertinggi.

"Anggotanya pun juga berubah," kata Mahyudin.

Selepas reformasi, anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. Kedudukan MPR pun menjadi setara dengan DPR, DPD, MK, KY, BPK, dan lembaga negara lainnya.

Walaupun MPR tak lagi sebagai lembaga tertinggi, ujar Mahyudin, MPR tetap memiliki kewenangan tertinggi, yaitu mengamandemen Undang-Undang Dasar (UUD). Namun, ia mengakui bahwa melakukan amandemen memerlukan proses yang rumit. Misalnya, tahap awal harus diusulkan oleh sepertiga anggota MPR disertai alasan mengapa perlu amandemen. 

Perubahan lain yang terjadi setelah amandemen adalah metode pemilihan presiden.

"Dulu presiden dipilih anggota MPR, sekarang dipilih langsung oleh rakyat," ujar Mahyudin.

Selain itu, masa jabatan seseorang untuk menjadi presiden kini dibatasi dua periode.

"Berbeda pada masa sebelum era reformasi," ucap Mahyudin.

Berbicara soal Pemilu Presiden, ia berharap agar masyarakat menggunakan hak pilihnya. Menggunakan hak pilih secara elegan. Jangan mencaci maki, memfitnah, dan menyebar hoax tentang calon presiden yang ada. 

Mahyudin mengatakan, bangsa Indonesia sedang dalam proses perjalanan menuju ke titik ideal soal demokratisasi dan Pemilu Presiden. Calon presiden bisa berasal dari mana saja.

"Bisa saja nanti ada Presiden dari Kalimantan Timur. Mungkin ia dari pelajar yang hadir dalam acara ini," kata dia.

Dalam kesempatan tersebut, Mahyudin juga memaparkan tugas MPR. Tugas MPR antara lain, memasyarakat Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, melakukan kajian ketatanegaraan, dan menyerap aspirasi masyarakat.

Terkait memasyarakatkan Empat Pilar, menurutnya hal ini penting dilakukan sebab ada tantangan kebangsaan yang menghadang bangsa ini. 

"Dulu semua elemen masyarakat wajib mengikuti Penataran P4. Beberapa tahun setelah reformasi, model seperti itu tak ada lagi sehingga MPR melihat ada kekosongan dalam masalah pemantapan ideologi," ujar Mahyudin.

Ia mengakui, kekosongan pemantapan ideologi menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Hadirnya teknologi komunikasi seperti handphone membuat perilaku masyarakat berubah drastis.

"Masyarakat sekarang lebih suka main handphone. Bahkan, di kamar antara suami dan istri main handphone sendiri-sendiri. Sebelum ada handphone masyarakat suka gotong royong," ucap Mahyudin.

Tak hanya itu yang terjadi, imbuhnya, bangsa ini sekarang juga mengalami krisis ketauladanan kepemimpinan. Mahyudin mengatakan, sekarang banyak pejabat negara dan daerah ditangkap karena melakukan korupsi.

"Dari ketua lembaga negara, wakil rakyat, kepala daerah, sampai kepala desa ada yang ditangkap karena korupsi," kata Mahyudin.

Dirinya pun merasa prihatin atas fenomena di atas. Untuk itu, ujar Mahyudin, MPR melakukan sosialisasi agar masyarakat ingat nilai-nilai luhur bangsa dan mengimplementasikan dalam keseharian.

(*)

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan Lembaga Negara Tertinggi sebelum amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum perubahan bahwa, “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat mempunyai mempunyai kekuasaan yang tertinggi, dimana kekuasaan itu berpuncak pada MPR. Dengan demikian MPR mendelegasikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga negara lain dibawahnya. Setelah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR mengalami pergeseran kedudukan dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, serta tidak lagi melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen) menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang Dasar”. MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Tinggi Negara lainnya. MPR yang pada awalnya membagi-bagikan kedaulatan atau kekuasaannya secara vertikal-strukural, sekarang kedaulatan atau kekuasaan itu ada pada Lembaga Tinggi Negara secara horizontal-fungsional berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan pergeseran kedudukan MPR pasca amandemen, membawa konsekuensi pula terhadap kewenangan yang dimiliki. Kewenangan MPR dalam memilih Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai acuan kerja pemerintah sudah tidak ada lagi, karena Presiden dan Wakil Presiden sekarang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (setelah amandemen), sehingga tidak ada lagi pertanggungjawaban Presiden kepada MPR karena Presiden langsung bertanggungjawab kepada pemilihnya yaitu rakyat. Oleh karena itu pergeseran xiii kedudukan MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, membuat kewenangan yang dimiliki juga ikut berkurang. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis memandang perlu untuk mencari solusi atas permasalahan yang tengah terjadi dengan mengangkat sebuah karya tulis ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul: “Pergeseran Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: Apa akibat hukum pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta apakah alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui akibat pergeseran kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta untuk mengetahui apa alasan tetap dipertahankannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pasca amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode yuridis normatif (legal research) dengan pendekatan masalah melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach) dengan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan non hukum kemudian dilanjutkan dengan analisa bahan hukum. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah: Pertama, sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tertinggi Negara membawa konsekuensi atau akibat bahwa kekuasaan dalam negara terbagi secara vertikal yang berpuncak xiv pada MPR. Sebagai Lembaga Tertinggi Negara, hubungan MPR dengan lembaga negara lainnya berupa: (1) MPR mengatur dan menetapkan kekuasaan lembagalembaga tinggi negara lainnya (Presiden, DPR, MA, BPK, dan DPA) melalui penetapan dan perubahan UUD; (2) MPR membuat pedoman lebih rinci untuk menjadi acuan bagi Lembaga Tinggi Negara dalam menjalankan kekuasaannya, dalam bentuk Ketetapan MPR; (3) MPR mengawasi pelaksanaan kekuasaan Lembaga Tinggi Negara, apakah sudah sejalan dengan UUD dan Tap MPR, konsekuensinya adalah Lembaga Tinggi Negara wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya kepada MPR. Setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kedudukan MPR tidak lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara melainkan sebagai Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Sehingga akibat hukum pergeseran MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara menurut Bagir Manan adalah: (1) MPR tidak lagi ditafsirkan sebagai satu-satunya pelaksana kedaulatan rakyat; (2) MPR tidak lagi ditafsirkan mempunyai kekuasaan tak terbatas; (3) MPR tidak lagi disebut sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang membawahi lembaga negara lainnya; (4) MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara lima tahunan; (5) MPR tidak lagi sebagai tempat Presiden mempertangungjawabkan jalannya pemerintahan. Presiden tidak lagi ditafsirkan sebagai mandataris MPR yang bertanggungjawab kepada MPR. Presiden tidak lagi “untergeordnet” terhadap MPR, Presiden “neben” terhadap MPR; (6) MPR tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden; (7) Susunan keanggotaan MPR tidak lagi terdiri atas anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan, melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Selain itu, MPR tidak dapat lagi mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang bersifat mengatur (regeling). Kedua, MPR setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengalami perubahan kewenangan, baik karena sifat kewenangannya yang tidak tetap, serta insidentil, bahkan menurut Deny Indrayana MPR telah mengurangi sendiri kekuasaannya melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meskipun demikian, MPR tetap ada sebagai lembaga yang diatur secara eksplisit dalam xv konstitusi pasca amandemen, karena alasan yang pertama “keunikan” lembaga tersebut, bahkan menurut Jimly Asshiddiqie lembaga seperti ini tidak ada di negara manapun di dunia, yang kedua karena lembaga MPR merupakan perwujudan kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila. Saran-saran yang dapat diberikan adalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang kelima diperlukan untuk mempertegas kewenangan MPR sebagai salah satu lembaga negara yang diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengingat kewenangan MPR yang sekarang bersifat tidak tetap serta insidentil. MPR harus menunjukkan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga yang benar-benar mencerminkan perwujudan dari kata “Permusyawaratan” dalam sila keempat Pancasila yang mengutamakan prinsip musyawarah mufakat demi mencapai tujuan bersama. xvi