Prinsip umum pemerintahan yang baik disebut sebagai dasar perbandingan atau pemeriksaan di Belanda (pasal 8 ayat (1) AROB Basah). Secara bertahap diterima sebagai hukum bahwa AUPB di Belanda yang dikenal sebagai algemene beginelen van behoorlijk bestuur (ABBB) harus dipandang sebagai norma hukum tidak tertulis, yang harus selalu dipatuhi oleh pemerintah meskipun AUPB harus diterjemahkan dan ditafsirkan secara kontekstual. Selain itu, dapat dikatakan bahwa prinsip umum pemerintahan yang baik adalah prinsip hukum tidak tertulis yang dapat diterapkan secara kontekstual. Dalam praktik hukum di Belanda, Prinsip Umum Pemerintahan yang Baik telah mendapat tempat yang jelas, yang terdiri dari prinsip persamaan, prinsip kepercayaan, prinsip kepastian hukum, prinsip presisi, prinsip penalaran, larangan detournement de povoir (penyalahgunaan wewenang), dan larangan bertindak sewenang-wenang. Di Belanda, prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik dalam praktiknya digunakan oleh badan-badan banding, meskipun prinsip ini tidak secara tegas disebutkan dalam undang-undang. Prinsip-prinsip umum ini dapat dikategorikan dalam 13 prinsip. Antara lain prinsip keamanan hukum, prinsip proporsionalitas, prinsip kesetaraan, prinsip kehati-hatian, prinsip motivasim prinsip penyalahgunaan kompetensi, prinsip fairplay, prinsip kewajaran atau larangan kesewenang-wenangan, prinsip pertemuan mengangkat harapan, prinsip membatalkan konsekuensi dari keputusan yang dibatalkan, prinsip-prinsip perlindungan cara hidup pribadi, prinsip kebijaksanaan (sapientia), dan prinsip layanan publik. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam UU No. 28/1999 dimaksudkan untuk administrasi negara secara keseluruhan, sedangkan prinsip-prinsip dalam prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik pada dasarnya diarahkan hanya kepada pemerintah dalam arti yang sempit, dari pada naik kembali atau terlalu panas, yang berarti pemerintah dalam arti luas. Prinsip Negara dan Pemerintahan Berdasarkan Fiqh Siyasah Pembentukan negara adalah suatu keharusan, karena umat Islam diharuskan untuk menunjuk pemimpin di antara mereka. Oeh karena itu, mendirikan negara adalah kondisi yang harus ada dalam kehidupan Islam. Ini karena tidak adanya otoritas politik, beberapa ajaran Islam (seperti kebebasan beribadah) tidak dapat dilindungi dan diwujudkan secara optimal. Oleh karena itu, untuk menyadari bahwa perlu memiliki kekuatan, serta pemahaman bahwa kodrat manusia memiliki kebutuhan fisik selain adanya kebutuhan spiritual, maka Islam tidak akan pernah menjadi konten hanya dengan menggambarkan cita-citanya. Tetapi harus disertai dengan upaya untuk menemukan sarana yang tepat untuk menerapkan cita-cita. Dalam hal ini, kekuasaan dan negara adalah sarana dasar untuk mewujudkan cita-cita tersebut, terlepas dari bentuk negara selama ini tidak bertentangan dengan aturan umum hukum yang sejalan dengan hukum Islam. Prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, melalui kepatuhan terhadap prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik diharapkan bahwa pelaksanaan negara dan pemerintah dapat mengakomodasi kepentingan sambil melindungi hak-hak setiap warga negara. Seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya, konsep fiqh siyasah tergantung pada waktu, tempat, situasi dan kondisi di mana fiqh akan diterapkan. Konsep kenegaraan dalam Islam tidak secara khusus ditentukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam hal ini Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tidak memberikan instruksi khusus tentang pembentukan negara Islam. Allah SWT melalui kata-katanya telah memerintahkan untuk melakukan amal makruf dan nahi mungkar, yaitu melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat. Serta, Nabi Muhammad SAW yang tidak memberikan panduan khusus untuk mendirikan negara Islam. Tetapi secara umum Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW telah menentukan pedoman yang harus ditaati ketika akan melakukan semua tindakan yang termasuk pembentukan dan regulasi negara. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan yang pasti tentang konsep negara Islam. Sehingga apapun bentuk negara, asalkan menjamin hak dan kewajiban umat Islam untuk beribadah kepada Allah SWT, maka negara tersebut telah sesuai dengan syariat Islam. (*) Penulis: Prawitra Thalib, Bagus Oktafian Abrianto Informasi terperinci dari penelitian ini dapat dilihat dalam tulisan Anda di:https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena/article/view/708/90844
Komisioner Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIB), Prof. Mahfud MD., mengatakan Indonesia bukanlah negara agama dan juga bukan negara sekuler, tetapi religious nation state atau negara kebangsaan yang berketuhanan. “Salah satu sebutan yang tepat bagi Indonesia berdasar Pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan, bukan negara agama,” tegasnya Kamis (23/8) di Balai Senat UGM. Menjadi salah satu pembicara dalam Kongres Pancasila X yang diselenggarakan oleh UGM tersebut Mahfud menyebutkan Indonesia bukan negara agama sebab negara agama hanya memberlakukan hukum satu agama dalam hukum negara. Bukan pula negara sekuler karena karena negara sekuler memisahkan sepenuhnya urusan negara dengan urusan agama. “Indonesia bukan negara agama bukan pula negara sekuler, tetapi bangsa berketuhanan,” jelasnya. Mahfud mengatakan keimanan pada Tuhan dilembagakan dalam bentuk agama-agama. Agama disini mengatur tata kehidupan manusia yang juga dapat berbentuk hukum-hukum. Indonesia sebagai religious nation state tidak memberlakukan hukum agama tertentu, bukan juga hukum Islam sebagai agama mayoritas yang dianut masyarakatnya. Dijelaskan Mahfud, Indonesia tidak mendasarkan diri pada satu agama, tetapi melindungi pemeluk agama-agama untuk melaksanakan ajaran agama sebagai hak asasi manusia. “Jadi, negara bukan memberlakukan hukum agama melainkan memproteksi ketaatan warga negara yang ingin menjalankan ajaran agamanya,”katanya. Dalam sesi kedua Kongres Pancasila X tersebut turut mengundang sejarawan, Dr. Anhar Gonggong, dan Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Purwo Santoso sebagai pembicara. Anhar Gonggong banyak menyoroti tentang posisi Pancasila sebagai alat kritik yang semakin terlupakan. Menurutnya, selama ini masyarakat memahami Pancasila hanya sebagai dasar negara dan alat pemersatu bangsa. “Pancasila sebagai dasar negara dan alat pemersatu itu memang seharusnya. Namun, dalam menghadapi arus internal dan eksternal kita melupakan salah satu fungsi utama Pancasila yakni sebagai alat kritik,” tandasnya. Padahal, Pancasila dapat menjadi alat kritik dalam menghadapi beragam persoalan internal bangsa. Bahkan, tantangan arus globalisasi yang berlangsung begitu deras. “Persoalannya apakah Indonesia dengan Pancasilanya hanya akan mengikuti arus untuk kemudian terhempas. Tidakkah Pancasila bisa menjadi alat kritik untuk menghadapi itu?,”ujarnya. Sementara itu, Purwo Santoso menyampaikan materi tentang keselarasan agama dengan nilai Pancasila. Menurutnya, dengan membuka peluang bagi masing-masing agama akan mewujdkan inklusivitas agama. Hal ini menjadi solusi tepat terhadap keragaman agama di Indonesia. (Humas UGM/Ika: foto:Firsto)
Auditorium SPs, BERITA UIN Online – Sampai kini, negara-negara Muslim masih memperdebatkan tentang hubungan antara agama dan negara. Perdebatan tersebut terjadi dalam hal adopsi negara terhadap ajaran-ajaran Islam, terutama hukum Islam (syari’ah), termasuk di Indonesia dan Tunisia, yang kini menjadi negara Muslim yang paling demokratis. “Bahkan hal ini juga terjadi di Turki, yang secara konstitusional adalah negara sekuler,” kata Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Jakarta Masykuri Abdillah pada Seminar Nasional “Islam dan Konstitusi: Implementasi Ajaran Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia” di Auditorium SPs UIN Jakarta, Kamis (22/11/2018). Selain Masykuri, narasumber lain adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008) Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) Mohammad Mahfud MD, Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Wahiduddin Adams, Ahli Hukum Tata Negara Saldi Isra, dan mantan Hakim Agung Abdul Gani Abdullah. Masykuri mengatakan, meskipun Islam membenarkan adanya konstitusi sebagai hukum dasar dalam kehidupan negara, namun dalam kenyataannya hampir semua negara Muslim mengesahkan konstitusi mereka setelah mereka mencapai kemerdekaan pada akhir Perang Dunia II, dan bahkan tidak semua dari mereka pada saat ini memberlakukan konstitusi. Arab Saudi, misalnya, tidak memiliki konstitusi yang dikenal dalam konsep modern hingga awal 1990-an. Pada tahun 1993 ada reformasi hukum di negara ini dengan diberlakukannya Sistem Dasar Peraturan (Nizâm Asasi), pembentukan Dewan Konsultatif (Majlis Shura) dan Sistem Administrasi Daerah (Nizam al-Muqata`at al-Idariyyah). Dalam paparannya, Masykuri juga menyebutkan bahwa semua konstitusi di negara-negara Muslim menetapkan badan-badan negara serta otoritas dan tanggung jawab mereka. Dalam hal ini kebanyakan dari mereka menetapkan tiga lembaga kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Independensi kekuasaan ini, lanjutnya, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, delegasi kekuasaan, diimplementasikan terutama di negara-negara Teluk, karena raja atau sultan adalah kekuatan tunggal, tetapi mereka mendelegasikan kekuasaan mereka kepada badan-badan yudikatif dan legislatif. Kedua, distribusi kekuasaan, diimplementasikan, antara lain, di Mesir, Suriah dan Pakistan. “Lalu ketiga, pemisahan kekuasaan, diimplementasikan, antara lain, di Turki, Indonesia dan Malaysia,” jelasnya. Selain itu, kata dia, dominasi kekuasan eksekutif juga terjadi dalam hubungannya dengan hak warga Negara. Hak tersebut ditetapkan dalam semua konstitusi, sehingga warga di beberapa negara tidak sepenuhnya menikmati kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, sebagian besar negara Muslim dianggap sebagai negara yang kurang demokratis. Masykuri juga mengatakan, bahwa hampir semua konstitusi menetapkan hak yang sama dari warga negara, meskipun beberapa pengamat menganggap hukum status pribadi sebagai diskriminatif antara pria dan wanita serta hukum tertentu antara Muslim dan non-Muslim, terutama dalam bentuk hak bagi warga negara Muslim untuk menjadi kepala negara. Menyinggung soal kedudukan Islam dalam konstitusi di negara-negara Muslim, Guru Besar Hukum Islam bidang Fikih Siyasah pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta itu menyebutkan beberapa contoh kasus, misalnya Arab Saudi, Iran, Pakistan, dan Afghanistan. Di negara-negara ini, Islam disebut sebagai agama negara, kepala negara harus Muslim, dan syariat adalah hukum negara. Dalam konstitusi di Mesir dan Sutriah, Islam adalah agama negara, kepala negara harus Muslim, dan syariah adalah sumber utama perundang-undangan. Negara lain seperti Tunisia dan Aljazair, juga disebut bahwa Islam adalah agama negara dan kepala negara harus Muslim. Hal yang sama juga terjadi dalam konstitusi di Yordania dan Malaysia, “Sementara negara-negara Muslim seperti Turki dan Indonesia, Islam tidak disebutkan dalam konstitusi. Namun, konstitusi Indonesia menetapkan bahwa negara didasarkan pada Ketuhananan Yang Maha Esa, sedangkan Turki didasarkan pada sekularisme,” jelasnya. Menurut Masykuri, klasifikasi di atas menunjukkan bahwa mayoritas negara-negara Muslim tidak sepenuhnya memberlakukan syariah. Kebanyakan dari mereka mengembangkan hukum nasional mereka seperti sistem Barat. Hanya kelompok pertama yang bisa disebut “negara Islam”, seperti Arab Saudi dan Iran, sementara yang lain disebut “negara Muslim”. Sebagian besar negara Muslim juga memberlakukan hukum keluarga Islam dan banyak dari mereka yang memberlakukan hukum privat lainnya, seperti hukum bisnis Islam. Bahkan di beberapa negara, Syari’ah diterapkan di provinsi-provinsi tertentu, seperti di Aceh (Indonesia) dan Kelantan (Malaysia). (ns) |