Apa tang dimaksud dengan hadis nabi tentang sab'ah ahruf

Diskursus ulumul Quran merupakan suatu pegangan bagi para pengkaji al-Quran dari masa ke masa. Ibaratkan sebuah rambu dan penunjuk jalan bagi para pengkaji al-Quran untuk masuk kedalam tahap pendalaman, atau tahap yang lebih rumit yakni manfasirkan al-Quran. Ketika seseorang sudah melewati tahap ulumul Quran, maka ia sudah memiliki pengetahuan dan dasar yang setidaknya tidak asal dalam menafsirkan al-Quran. Dalam tulisan ini penulis ingin menjabarkan mengenai perbedaan Sab’ah al-Ahruf Dan Qira’ah Sab’ah, yang sering membuah para pengkaji ulumul Quran keliru bahkan fatalnya menganggap itu sama.

Pengertian Sab’ah Ahruf

Kata al-Ahruf pada kalimat sab’ah al-Ahruf adalah jamak dari kata harf dalam bahasa arab. Kata al-ahruf mempunyai berbagai makna. Kadang-kadang bermakna qira’at (bacaan), adakalanya juga kata harf berarti makna atau arah. Dalam kerangka etimologi, para ulama secara umum cenderung berpendapat bahwa kata “tujuh” dalam hadis tentang sab’atu ahruf adalah arti tujuh yang sebenarnya, dan bukan arti kiasan. Artinya tujuh adalah angka yang terletak diantara enam dan delapan. Sedangkan kata ahruf secara lughawi adalah jamak dari harf yang antara lain berarti pinggir dari sesuatu, salah satu huruf hijaiyah, dan lain-lain.

Kemunculan istilah sab’atu ahruf tidak terlepas dari riwayat-riwayat yang terekam dalam Hadis Nabi Saw. Salah satunya adalah dari hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: “Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ia berkata: “Berkata Rasulullah SAW: “Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus-menerus minta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf”.

Dari berbagai macam pendapat, penulis hanya mengambil beberapa pendapat yang paling mendekati kebenaran, yaitu: Sab’atu aḥruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar ulama. Dengan catatan, jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan suatu makna, maka al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafadz sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan apabila tidak terdapat perbedaan, maka al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafadz atau lebih saja. Akan tetapi mereka juga berbeda pendapat dalam menentukan ketujuh bahasa tersebut. Dijelaskan bahwa ketujuh bahasa-bahasa tersebut yaitu bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.

Baca Juga:  Bahaya Menggunjing dan Adu Domba

Pengertian Qiraat Sab’ah

Istilah qiraat berasal dari bahasa Arab yaitu قراءات yang merupakan jamak dari قراءة. Secara etimologis, qiraat merupakan akar kata dari قراء yang bermakna bacaan. Lafaz قراءات secara luqhawi berkonotasi “beberapa pembacaan”. Secara terminologis, berbagai ungkapan atau redaksi dikemukakan oleh para ulama dalam hubungannya dengan qiraat. Al-Zarqani mengatakan bahwa qiraat adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalurjalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk. Sedangkan menurut al-Zarkasyi, qiraat adalah perbedaan lafadz-lafadz al-Qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara-cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfit, tasydid dan lain-lain.

Pendapat di atas menunjukkan bahwa al-Zarkasyi hanya membatasi pada lafaz-lafaz al-Qur’an yang memiliki perbedaan qiraat. Sementara, al-Zarqani lebih condong kepada suatu mazhab atau aliran dalam melafazkan al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam.

Perbedaan Ahruf Sab’ah dan Qiraat Sab’ah

Ahruf sab’ah dan qiraat sab’ah merupakan suatu hal yang terdapat dalam pembahasan ilmu ulumul Qur’an. Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan tersendiri. Namun keduanya sangat berkaitan. Istilah ahruf sab’ah telah ada sejak Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, hal tersebut sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam sabda Nabi Muhammad saw yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam Tujuh Huruf. Sementara makna dari tujuh huruf tersebut para ulama berbeda pendapat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Adapun qiraat sab’ah adalah istilah yang muncul berkaitan dengan bacaan para imam Qurra dalam melafadzkan bacaan-bacaan Al-Qur’an. istilah qiraat sab’ah tersebut muncul ketika banyak bermunculan macam-macam bacaan Al-Qur’an. kemudian oleh para imam-imam Qurra tersebut melakukan penelitian dengan beberapa ketentuan yaitu kesesuaian qiraat tesebut dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan mushaf Usmani, dan shahih sanadnya. Berdasarkan syarat-syarat tersebut maka pada akhirnya ditetapkantujuh orang imam dan bacaannya yang sesuai dengan syarat qiraat yang mutawatir.

Baca Juga:  Jangan Menjadi Munafik dengan Menunda Shalat Asharmu

Hikmah Turunnya Al-Qur’an dengan Sab’ah Ahruf

Pertama, Agar Mudah Di baca Dan Di hafal Oleh Kaum Ummi (Buta Huruf)

Sebab masing-masing kabilah di antara mereka memiliki bahasa tersendiri, Di mana mereka ini sebelumnya tidak pernah menghafal syariat-syariat, apalagi membuatnya. Hikmah ini disebutkan dalam hadits berikut ini: “Diriwayatkan dari Ubay, ia berkata, “Rasulullah SAW bertemu Jibril di Ahjarul Mira’, lalu beliau berkata “Aku diutus kepada umat yang Ummi, di antara mereka dan hamba sahaya, pelayan, orang tua, lemah, dan orang yang sudah tua renta.       Lalu Jibril berkata, “Maka dari itu, hendaklah mereka membaca Al-Qur’an dengan 7 huruf”

Kedua, Kemukjizatan Al-Quran bagi Fitrah Bahasa Bangsa Arab

Keragaman susunan suara Al-Qur’an menyesuaikan jenis-jenis bahasa di mana fitrah bahasa Arab diciptakan di atas jenis-jenis tersebut, hingga setiap orang Arab bisa membaca huruf dan kata-kata Al-Quran sesuai dialek Fitrah dan bahasa kaumnya. Namun sisi kemukjizatan Al-Quran tetap bertahan, dimana dengan kemukjizatan itu Rasulullah SAW menantang bangsa Arab meski mereka berputus asa untuk bisa menentangnya. Dengan demikian, Al-Quran bukan hanya mukjizat bagi satu dialek bahasa saja, tapi Al-Quran juga adalah mukjizat untuk fitrah bahasa Arab itu sendiri.

Ketiga, Kemukjizatan Al-Quran Dari Segi Makna Dan Hukum-Hukumnya

Karena perbedaan bentuk-bentuk lafal pada beberapa huruf dan kata mempermudah untuk menyimpulkan hukum-hukum yang membuat Alquran selaras untuk setiap masa. Itulah mengapa para ahli fiqih berhujjahdengan kira-kira 7 huruf (7 bahasa) dalam beristinbath dan berijtihad.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkap satu makna, maka al-Qur’an diturunkan dalam beragam lafaz tentang makna yang satu. Paraulama juga berpendapat bahwa tujuh bahasa tersebut adalah bahasa: Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Qiraat sab’ah hanya membahas Al-Qur’an versi bahasa Quraisy saja, sedangkan sab’ah ahruf membahas tujuh macam bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Tujuh macam bahsa itu adalah bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazim, Qinanah, Tamim, dan Yaman.

Subhi al-Shalih dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa rasm yang digunakan dalam mushaf Usmani telah mencakup sab’atu ahruf. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Thayyib al-Baqilani menuturkan bahwa sab’atu ahruf ini muncul dan tersiar dari Rasulullah saw dan dikukuhkan oleh para imam, lalu dipraktikkan oleh Usman bin Affan dan para sahabat dalam mushaf, mereka menegaskan keshahihannya dan tidak mau menggunakan harf yang tidak diriwayatkan secara mutawatir.

Mungkin kita bertanya-tanya, lantas apa perbedaan sab’atu ahruf dan qiraat sab’ah? Secara general, kedua istilah tersebut merupakan suatu hal yang termaktub dalam pembahasan ulumul Quran. Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Istilah sab’atu ahruf telah ada sejak Al-Quran diturunkan kepada Rasul saw sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam artikel sebelumnya. Adapun maknanya, para ulama menafsirkannya berbeda-beda, ada yang berpendapat tujuh huru, tujuh ragam pembacaan, tujuh wajah dan sebagainya.

Sementara, Qiraat Sab’ah adalah istilah yang mencuat berkaitan kemunculan para Imam Qurra dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran, yang kemudian diteliti oleh para imam dengan kaidah-kaidah yang mereka sepakati termasuk syarat mutawatir sehingga kemudian menghasilkan apa yang kita kenal dengan Qiraat Sab’ah bahkan ‘Asyrah.

Pengertian Sab’atu Ahruf

Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran menerangkan pengertian Sab’atu Ahruf dengan didukung pendapat Jumhur Ulama adalah pendapatnya Abu Fadil al-Razi. Menurutnya “Sab’atu Ahruf” tidak terlepas dari perbedaan yang berkutat pada tujuh wajah. Dalam artian, pembacaan terhadap Al-Quran dari awal sampai akhir tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan, yaitu

  1. Perbedaan bentuk Isim mufrad, mutsanna, jama’ muzakkar maupun muannas sebagaimana tertulis Q.S. al-Mu’minun ayat 8.
  2. Perbedaan bentuk fi‘il madli, mudlari’ dan ‘amr seperti dalam Q.S. Saba’ ayat 19.
  3. Perbedaan dalam bentuk i’rab seperti termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282.
  4. Perbedaan mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir) seperti dalam Q.S. Qaf ayat 19.
  5. Perbedaan dalam menambah (ziyadah) dan mengurangi (naqash) sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Lail ayat 3.
  6. Perbedaan dalam masalah ibdal (pergantian) sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 259.
  7. Perbedaan dalam hal lahjah seperti al-Imalah, al-Fath, tarqiq, tafkhim, idzhar, idhgam dan lainnya. Contoh dalam bacaan al-Imalah dan al-Fath pada Q.S. Thaha ayat 15.

Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Menurut Manna Khalil Al-Qattan dalam Mabahits-nya menjelaskan bahwa pendapat ini disepakati oleh para ulama dan dipilih dengan beberapa alasan;  pertama, pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Nabi saw; kedua, pendapat tersebut berangkat dari hasil riset mendalam terhadap semua perbedaan qiraat yang ternyata tidak terlepas atau keluar dari tujuh wajah.

Empat Ragam Pendapat

Setidaknya ada empat ragam pendapat yang dapat disimpulkan terkait pengertian pendapat terkait sab’atu ahruf,

Pertama, Tujuh bahasa. Pendapat ini diambil dari Abu Ubadi yang mengatakan bahwa sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa. Pendapat ini tidak dapat diterima. Sebab jika yang dimaksudkan tujuh bahasa, maka tidak mungkin terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, sebab bahasa yang dipergunakan adalah bahasa mereka sendiri. Demikian pula Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim, keduanya berasal dari Quraisy, namun mengapa masih juga terjadi perbedaan bacaan antara kedua sahabat itu.

Kedua, Tujuh qiraat. Pendapat ini pun juga tidak dapat diterima, sebab istilah tujuh qiraat atau qiraat sab’ah muncul belakangan yang dihubungkan dengan imam tujuh, yaitu Imam Nafi’, Ashim, Hamzah, Ibnu ‘Amir, Ibnu Katsir, Al-A’la, dan al-Kisa’i. Sedang ketujuh imam itu belum lahir.

Ketiga, Tujuh wajah (segi). Yang dimaksud tujuh wajah adalah dari segi i’rab, perbedaan huruf, isim, penggantian suatu kata, segi taqdim atau ta’khir, dan penambahan atau pengurangan huruf dan segi lahjah. Pendapat ini banyak kelemahannya, sebab beberapa segi di antaranya menimbulkan perubahan makna, yang seharusnya dihilangkan, untuk tetap menjaga kemurnian Al-Quran. Karena perubahan segi juga berimplikasi pada perubahan makna dan penafsiran.

Keempat, Tujuh lahjah (dialek). Barangkali pendapat yang terkahir ini lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pada yang terakhir ini tampak sekali hikmah diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf, juga memudahkan umat Islam membaca sesuai dialeknya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw ketika masa sahabat yang terdiri dari berbagai macam etnis dan budaya.

Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?

Terkait lahjah bahasa, lahjah Quraisy lah yang dapat mewakili lahjah bahasa suku-suku bangsa Arab secara keseluruhan sebagaimana yang Allah swt kehendaki. Sebab menurut pakar bahasa Arab, Bahasa Quraisy itu lebih kaya, lebih mampu mengungkapkan keindahan seni dan gaya bahasa yang berbeda-beda, lebih lembut dan lebih sempurna uslubnya.

Meski demikian, kesempurnaan bacaan itu tidak semerta-merta menegasikan keanekaragaman lahjah yang ada pada bangsa Arab, sebab mereka tidak dapat dipaksa untuk menanggalkan lahjahnya. Perlu digarisbawahi bahwa maksud diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf atau sab’atu ahruf itu bukan berarti tiap-tiap kata, tiap ayat dapat dibaca dengan tujuh macam lahjah.

Kadang-kadang satu redaksi atau satu kalimat hanya dapat dibaca dengan satu lahjah, ada juga tiga lahjah, dan seterusnya. Dalam artian, tujuh lahjah tersebut diterapkan secara terpisah. Hal ini sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Quran, yaitu memberikan hidayah dan rahmat kepada seluruh manusia, agar mereka mudah membaca dan memahaminya. Wallahu A’lam.