Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat

Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat

Dec 24, 2018 | Zaimul Haq Elfan Habib

TUMBUHAN indigo di tanah Kecamatan Muara, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, menyimpan kisah unik terkait lika-liku dunia wastra. Indigo kerap diekstraksi menjadi pewarna biru, dan sering digunakan orang Muara masa lalu untuk mewarnai benang tenun.

Kini, tradisi itu tak lagi berlangsung. Orang-orang Muara, termasuk Dameria Sianturi, sudah tak menggunakan indigo sebagai pewarna benang tenun. Sejak berumur 13 tahun, Dameria telah menekuni tenun sebagaimana banyak dilakukan perempuan Muara.

Meski telah berumur 68 tahun, tangan Dameria masih cekatan memilin dan mengikat benang untuk membuat ulos. Tradisi menenun tetap dilakoni, namun sudah tak lagi mengekstrasi tumbuhan Indigo untuk pewarna benang tenun.

Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat
Penenun sedang melakukan pewarnaan alami di Festival Tenun Nusantara, Muara, Tapanuli Selatan. (Festival Tenun Nusantara)

Di Muara, ulos kebanyakan berwarna biru tua, hitam, dan abu-abu karena warna-warna itu paling mudah dibuat dengan menggunakan bahan-bahan di lingkungan sekitar.

Tak seperti tenun kecamatan tetangganya, Tarutung, tenun Muara dibuat dengan mengikat benang dan kemudian mencelupkannya ke pewarna, serupa dengan teknik tenun masyarakat Sumba.

"Kalau di Tarutung mereka membeli benang berwarna kemudian ditenun, kalau di Muara kami mengerjakannya dari mewarnai benang," katanya seperti dilansir Antara.

Dameria menceritakaan romantisme dirinya di masa muda bersama para perempuan Muara lainnya mengekstrasi indigo untuk dijadikan pewarna benang. "Dulu sekali itu, saya pakai daun Salo untuk membuat warna hitam, tetapi sekarang kami tidak pakai lagi," katanya.

Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat
Daun Salo sebagai pewarna benang. (Screenshoot/YouTube)

Romatisme Dameria lantas gugur ketika unsur kepraktisan dan tuntutan ekonomi merangsek. Tradisi itu sirna.

Memang bukan perkara mudan mewarnai benang tenun. Dameria mengaku butuh proses berbulan-bulan menggunakan pewarna alami, sedangkan pewarna sintetis hanya dalam tempo seminggu saja.

"Kalau pakai pewarna alami itu lama, dicelup kemudian dijemur, terus dicelup lagi, berulang-ulang hingga warnanya keluar. Tetapi kalau pakai pewarna sintetis satu jam saja dicelup udah keluar warna birunya," kata ibu dari tujuh anak tersebut.

Meski pewarna sintetis unggul dalam waktu, Dameria mengakui pewarna alami memberikan kualitas jauh lebih baik dibandingkan pewarna sintetis.

Kain menggunakan pewarna alami akan lebih awet, warnanya tidak mudah luntur, namun harganya akan lebih mahal.

Tuntutan ekonomi memaksanya menghasilkan banyak ulos dalam tempo singkat untuk di jual ke pengepul.

Selain menenun, Dameria juga bertani. Dia menanam padi, jagung, dan lainnya. Namun cuaca tak menentu membuat penghasilan dari bertani juga tak tentu, sehingga Dameria mengandalkan tenun sebagai sumber pendapatan utama.

"Kalau sekarang ini, memang pendapatan lebih banyak dari menjual ulos dibandingkan dari bertani," katanya.

Dameria dapat menghasilkan empat sarung dan empat selendang tenun dalam sebulan dan menjualnya ke pengepul dengan harga Rp 1,5 juta.

Meski tidak lagi menggunakan pewarnaan alami, teknik pembuatan dan motif tenun Muara belum banyak bergeser dari tenun tradisionalnya. Menurut Dameria, ulos asal Muara masih memiliki nilai ritus, tidak seperti ulos masa kini.

"Di sini orang bikin ulos biasanya ada tujuannya, misalnya membuat ulos Bintang Maratur, dibuat seorang nenek untuk cucunya supaya sehat selalu dan dipermudah segalanya," kata dia.

Tren Eko-fesyen

Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat
Salah satu contoh bentuk ulos warna biru. (Instagram/@medan_uisnipes)

Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya hidup selaras dengan alam, produk-produk dengan bahan natural semakin banyak menjadi pilihan konsumen.

Dalam produk fesyen pun konsumen tak hanya menuntut penggunaan bahan organik dan dapat didaurulang. Mereka juga ingin produk pembeliannya memiliki dampak langsung kepada masyarakat pembuatnya dan lingkungan sekitar mereka.

Kondisi itu membuat produk dengan pewarna alami ramah lingkungan makin banyak menjadi pilihan kosumen masa kini.

Ketua Wastra Indonesia Bhimanto Suwastoyo berpendapat tenun bisa memasuki pasar global lewat penggunaan pewarna alami.

"Saat ini orang-orang sedang kembali ke alam, di Eropa banyak desainer kembali menggunakan pewarna alam. Tenun harusnya juga kembali menggunakan pewarna alam," katanya. Kain ulos, lanjutnya, saat ini banyak menggunakan pewarna industri karena lebih mudah dan cepat didapat.

Pada acara Festival Tenun Nusantara yang berlangsung pada 13-14 Oktober 2018, Wastra Indonesia sempat mengajarkan kembali cara mewarnai menggunakan pewarna alami kepada para penenun Tapanuli Utara.

"Sebenarnya mereka masih mau menggunakan pewarna alami, bahan-bahannya pun banyak, tetapi mereka sudah lupa caranya bagaimana mewarnai dengan pewarna alami," katanya.

Menurutnya alasan sebagian masyarakat Batak sekarang enggan menggunakan pewarna alami salah satunya tuntutan ekonomi, yang juga melemahkan hubungan mereka dengan tenun yang mereka buat.

"Orang dulu membuat kain tenun disertai nilai dan doa, oleh sebab itu mereka membuat tenun dengan sepenuh hati dan tidak mau sembarangan. Maka kalau kita lihat kualitas tenun jaman dulu sangat baik sekali," kata Bhimanto.

Alasan ekonomi yang membuat orang-orang meninggalkan pewarna alami sebenarnya kini bisa menjadi jalan untuk mengembalikan para penenun ke teknik pewarnaan tradisional, kalau konsumen bersedia membeli tenun berpewarna alami dengan harga sesuai dengan jerih payah pembuatannya. (*)

Baca Juga: Kain Ulos Terpanjang Meriahkan Festival Danau Toba 2015

Baca Original Artikel

Apa pewarna yang digunakan untuk mewarnai kain tenun ikat

Tenun Ikat Dayak Iban merupakan salah satu identitas seni budaya Suku Dayak Iban yang masih tetap dipertahankan yang sebagian besar ditenun oleh kaum perempuan Dayak Iban. Penenun Perempuan Dayak Iban percaya bahwa tenun memiliki nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan juga bernilai ekonomi tinggi. Hal ini terwujud melalui motif unik yang mereka tenun yang menggambarkan kepercayaan dan penghormatan kepada kehidupan.

Tenun ikat Suku Dayak ada yang bermotif dasar naga, buaya, tanaman, manusia, sungai, atau perpaduan beberapa motif tersebut yang proses menenunnya membutuhkan dua minggu sampai satu buah lebih untuk menenun selembar kain tenun yang mana tergantung dengan panjang dan lebar kain tenunnya. Tenun ikat Suku Dayak menggunakan pewarna alami. Mereka melanjutkan warisan dari nenek moyang mereka yang mewarnai benang, kain, dan produk kerajinan lainnya dengan menggunakan tanaman pewarna alami dari lingkungan rumah dan hutan.

Namun saat ini ketersediaan tanaman penghasil warna alami bagi penenun perempuan Dayak Iban semakin berkurang akibat ahli fungsi lahan dan masuknya industri benang sintetis yang membuat penenun perempuan Dayak Iban berahli dari praktek menenun dengan pewarna alami yang lebih ramah lingkungan menjadi menggunakan bahan pewarna sintetis yang berpotensial merusak kesehatan dan lingkungan.

Oleh sebab itu, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) bersama  Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan Yayasan Kehati melalui Kegiatan Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di kawasan Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat yang berada di lima desa yaitu Desa Mensiau, Lanjak Deras, Labian, Sungai Abau, dan Manua Sadap bertujuan agar kelompok perempuan penenun dapat melakukan konservasi  tanaman HHBK sebagai bahan pewarna alami tenun ikat Dayak Iban untuk melestarikan dan menjamin keberlanjutan produksi tenun dengan bahan pewarna alami.

Adapun Tanaman pewarna alami yang termasuk HHBK yang mulai terancam punah yang telah dimanfaatkan oleh Penenun Perempuan Dayak Iban menjadi pewarna alami tenun yang berhasil teridentifikasi oleh ASPPUK adalah tarum padi (Indigofera arrecta), tarum daun lebar (Indigofera Marsdeniatinctoria), Marek/Jangau (Symplocos Cerasifolia), Engkerebai (Psychotria Viridiflora), Mengkudu Kayu (Morinda Citrifolia) dan Jerenang (Daemonorops draco). Tanaman ini menghasilkan warna alami seperti warna merah, biru, coklat, dan kuning.

Selain melakukan gerakan konservasi tanaman HHBK sebagai bahan pewarna alami tenun ikat Dayak Iban, ASPPUK dan TFCA Kalimantan Yayasan Kehati juga membantu mempromosikan hasil karya tenun ikat kelompok penenun perempuan Dayak Iban dengan mendukung melalui kegiatan pameran, workshop, dan fashion show.

Melalui acara Perhutanan Sosial Nusantara (PESONA) pada 27 November 2019 di Gedung Manggala Wanabakti digelar fashion show Yurita Puji yang berbahan kain tenun ikat pewarna alami hasil karya Perempuan Dayak Iban. Fashion show ini selain bertujuan menampilkan hasil karya penenun perempuan Dayak Iban juga harapannya dapat membuka peluang pasar baik lokal, nasional maupun  internasional yang dipromosikan oleh ASPPUK dan TFCA Kalimantan Yayasan Kehati. Pasar menyambut sangat baik Tenun ikat yang ramah lingkungan hasil karya perempuan Dayak Iban. Perempuan Dayak Iban berharap terjadi perubahan yakni peningkatan ekonomi bagi keluarga mereka.

Sebelumnya ASPPUK juga pernah bekerjasama dengan desainer Yurita Puji dalam New York Fashion Week  (NYFW) 2017 dan Jakarta Fashion Week (JFW) 2017 Senayan City. Fashion show pada acara PESONA ini merupakan kerja sama yang kelima kalinya dengan desainer Yurita Puji. ASPPUK dan Desainer Yurita Puji memiliki fokus tujuan yang sama yaitu mempromosikan hasil tenun tangan karya penenun lokal agar dapat meningkatkan ekonomi keluarga para penenun dengan meningkatnya penjualan tenun hasil karya penenun lokal yang ada di Indonesia.