Jakarta: Merebaknya coronavirus disease 2019 (covid-19) di Indonesia sejak Maret silam membuat sendi-sendi perekonomian di seluruh wilayah Tanah Air melemah. Pasalnya, banyak kegiatan masyarakat yang terdampak kehadiran pandemi global itu. Enggan terjerembab lebih dalam akibat pandemi, PT Pertamina Gas (Pertagas) turun tangan memperbaiki ekonomi masyarakat, terutama yang berada di wilayah operasinya. Berbalut program tanggung jawab sosial (CSR) yang tahun ini dialokasikan sebesar Rp2 miliar, Pertagas mencoba mengembangkan potensi ekonomi berbasis kearifan lokal (local wisdom). Pemetaan sosial dilakukan perusahaan di masing-masing wilayah operasi untuk mengetahui potensi daerah yang bisa digali dan menciptakan nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar. Setidaknya, di masa pandemi ini, pemetaan yang dilakukan membuahkan hasil berupa terbentuknya empat kelompok masyarakat baru. Manager Communication, Relation dan CSR Pertagas Zainal Abidin mengatakan empat kelompok tersebut yaitu Kelompok Wanita Tani Kenanga di Karawang, Kelompok Tani Saluyu di Cilamaya, Kelompok Pengolah Sampah Budidaya Maggot Black Soldier Fly di Sidoarjo, dan Kelompok Masyarakat OMaGat di Banyuasin.Kandang Budidaya Maggot Black Soldier Fly (BSF). FOTO: Pertagas Bergabungnya empat kelompok baru tersebut menambah daftar kelompok penerima manfaat yang didampingi PGN dalam mengembangkan potensi daerahnya menjadi 24 kelompok. "Jadi kita menentukan berdasarkan social mapping sesuai dengan local wisdom, dengan potensi masyarakat yang ada di sana," kata Zainal, pada Medcom.id, Selasa, 20 Oktober 2020. Setelah kelompok terbentuk, Pertagas memberikan pelatihan dan pendampingan hingga akhirnya diarahkan bisa berproduksi mandiri dan mengakses permodalan. Sebab, CSR yang dilakukan Pertagas pada dasarnya tidak memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman modal, tetapi lebih diarahkan pada membangun kapasitas diri agar menuju kemandirian. Salah satu kelompok yang baru bergabung dalam program pendampingan ini yaitu Kelompok Pengolah Sampah Budidaya Maggot Black Soldier Fly di Sidoarjo. Dilatarbelakangi adanya Kampung Ikan Asap di wilayah itu yang sisa limbah perut ikannya belum dioptimalkan. Limbah tersebut akan dibudidayakan menjadi maggot yang bisa digunakan sebagai alternatif pakan ikan. Selain itu kelompok ini juga menggandeng Resto Apung Seba yang merupakan kelompok binaan Pertagas dalam usaha kuliner untuk memanfaatkan sisa sampah organik resto.Zainal mengatakan ketika nantinya kelompok telah establish dan memiliki akses permodalan maka dianggap sudah mandiri. Dalam mendapatkan akses permodalan, Pertagas juga membantu kelompok dengan mendorong mengajukan bantuan permodalan melalui jalur Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang dimiliki Pertamina selaku holding migas. "Salah satu parameter kita ingin teman-teman kelompok ini mandiri, punya akses terhadap layanan modal, itu sudah kami fasilitasi dan sudah diberikan bantuan pada kelompok pengasap ikan di Sidoarjo di akhir 2019. Kita bantu untuk dapat akses program kemitraan Pertamina. Ada 21 anggota kelompok yang akhirnya punya akses modal pakai pinjam Pertamina," ujar Zainal.Diversifikasi usaha Di masa pandemi, dengan adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berdampak pada mobilitas dan juga usaha yang dijalankan kelompok, Pertagas pun mengaktifkan radar mitigasi untuk memonitor perkembangan para mitranya tersebut. Seperti yang dilakukan di Kelompok Resto Apung Seba.Resto yang berada di Desa Penatarsewu, Sidoarjo ini sempat menutup operasional untuk pelanggan yang makan di tempat (dine in). Namun, dibantu tim pendamping dari Pertagas, kelompok ini mencari cara agar tetap bisa mendapat penghasilan di masa pandemi yakni dengan membuat resto menjadi dapur umum siaga covid-19. Dapur ini menyediakan makanan sehat bagi satuan tugas (satgas) covid di wilayah tersebut termasuk memasok makanan untuk tenaga medis di RSUD Sidoarjo. Selain itu juga dibukakan akses pada teknologi layanan pesan antar melalui platform ojek daring."Kami sempat khawatir, namun alhamdulillah selalu ada jalan di tengah kesulitan. Kami tetap terima pesanan katering dan antar makanan ke pelanggan," kata salah satu anggota Kelompok Resto Apung Seba, Erni. Diversifikasi usaha juga dilakukan oleh Komunitas Tuli Gresik (Kotugres) yang selama ini memproduksi pakaian, serta aneka produk konveksi seperti mukena dan kerajinan tangan. Sebelum pandemi, rata-rata produksi kelompok ini 20-30 potong pakaian jadi. Namun selama pandemi karena produksi tersebut menurun, Kotugres akhirnya memanfaatkan sisa-sisa kain perca menjadi masker. Masker tersebut dibagikan ke masyarakat. "Teman-teman ingin ikut berkontribusi dalam penanggulangan wabah. Akhirnya ada inisiatif buat masker," kata Ketua Unit Pelayanan Teknis (UPT) Resource Center Gresik, Innik Hikmatin Innik menambahkan berkat diversifikasi ini membuat usaha Kotugres tetap berjalan di masa pandemi. Bahkan beberapa perusahaan juga memesan produk masker Kotugres.Editor : Angga Bratadharma
Masyarakat adat Pattallassang memasang spanduk pencegahan COVID-19 di kawasan masyarakat adat Pattalassang, Gowa, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO- dok pri. Sabtu, 2020-06-06 - 15:53:44 WIB Berbagai program pemberian bantuan dan pengamanan sosial yang dilakukan pemerintah sudah dilakukan dalam penanganan Covid-19. Namun demikian bantuan tersebut dirasa masih belum cukup. Setiap warga masyarakat harus dapat hidup mandiri tanpa menggantungkan bantuan dari pemerintah atau pun orang lain. Harus menjadi pertimbangan setiap orang agar lebih bijak dalam mengambil keputusan dalam pengelolaan perekonomian keluarga di masa merebaknya virus korona ini. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Widya Mataram (UWM), Nany Noor Kurniyati, SE., MM., M.Sc mengungkapkan ada hal yang dapat menyelamatkan masyarakat untuk tetap bertahan di tengah pandemi yakni dengan menerapkan ekonomi tolong-menolong. “Hal ini diperoleh berdasarkan observasi langsung di beberapa wilayah DIY, baik di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Dinamakan ekonomi tolong-menolong karena dalam interaksi ekonomi yang dilakukan tidak sekadar untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga didasarkan atas keinginan menjalin silaturahmi dan saling membantu kepada sesama yang membutuhkan,” papar Nany pada Jum’at (5/6/2020). Konsep ekonomi tolong-menolong, menurut Nany, berbeda dengan prinsip ekonomi yang pada saat permintaan terhadap suatu produk sedang tinggi maka penjual dapat mencari keuntungan yang maksimal. Ekonomi tolong-menolong dibangun dari budaya tolong-menolong sebagai kearifan lokal. “Pada masa-masa sulit selama pandemi Covid-19 ini setidaknya menyadarkan kita untuk menghidupkan kembali budaya tolong-menolong sesama tetangga, teman maupun orang lain yang tidak kita kenal sekalipun,” kata Nany. Fakta lain juga dapat dilihat dari pengalaman masa-masa sebelumnya terkait dengan penurunan ekonomi yang disebabkan terjadinya bencana alam atau krisis ekonomi. Aspek sosial ekonomi masyarakat segera kembali bangkit dengan adanya kekuatan tolong-menolong, bahu-membahu menggalang dana bantuan dari berbagai pihak. Nany berharap supaya Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM) dapat bangkit di tengah pandemi Covid-19. Selaras dengan ekonomi tolong-menolong, maka langkah yang harus dilakukan dari sisi konsumen adalah dengan membudayakan belanja ke tetangga atau teman dekat yang berjualan. Masyarakat juga harus mendorong program mencintai produk dalam negeri terutama bagi brand-brand lokal. Sementara dari sisi pelaku usaha, harus memanfaatkan lingkungan sosial sebagai channel utama pemasaran. pelaku usaha juga harus memperhatikan perputaran modal atau cashflow terjaga dengan sehat. ©HumasWidyaMataram Oleh : Usman Manor, Analis Sumber Sejarah Kemenko PMK BRAFOPMK - Kini, zaman telah berganti. Namun pola perkembangan budaya dan literasi relatif sama. Pandemi Covid-19 seakan menjadi katalisator penggerak perkembangan budaya melalui daring dan digital. Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19 secara masif dan sistematis. Covid-19 bukan hanya virus mematikan, namun memiliki efek domino yang juga mengerikan. Salah satu kebijakan yang digunakan pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran Covid-19 adalah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penerapan kebijakan ini memicu menurunnya interaksi dan konektivitas. Namun, situasi dan kondisi pandemi tetap tidak menyurutkan budaya untuk terus berkembang. Harmonisasi dan literasi budaya menghasilkan inovasi sehingga menjadi semacam oase di tengah pandemi yang sedang mewabah. Jika ditelisik lebih jauh, budaya yang merupakan hasil olah rasa, cipta, dan karsa manusia terus beradaptasi, meskipun pandemi berusaha menggerogoti. Sekira satu abad yang lalu kala wabah kolera mewabah di Batavia, budaya tetap berkembang meskipun tidak signifikan. Penduduk Eropa yang mendiami wilayah Batavia mempercayai budaya mencuci tangan sebagai upaya mencegah tertular wabah. Begitu pula dengan penduduk etnis Cina yang membudayakan minum teh hangat guna menghindari tertular penyakit perut dan memainkan pertunjukan Barongsai sebagai upaya “menakuti” penyakit menular. Penduduk pribumi, terutama yang berasal dari etnis Betawi, Jawa, dan Sunda mempercayai budaya meminum air yang sudah didoakan terlebih dahulu oleh pemuka Agama. Sejalan dengan budaya yang berkembang di masyarakat, Pemerintah Hindia Belanda kala itu berupaya melakukan berbagai propaganda kesehatan, salah satunya dengan menerbitkan jurnal dan buku mengenai penyakit menular guna meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan dan masyarakat terkait penyakit. Kini, zaman telah berganti. Namun pola perkembangan budaya dan literasi relatif sama. Pandemi Covid-19 seakan menjadi katalisator penggerak perkembangan budaya melalui daring dan digital. Untuk itu, perlu untuk dipahami bahwa kebudayaan merupakan investasi yang tetap berkembang kala perekonomian tengah meradang sebagai akibat dari pandemi yang bergelombang. Sebagai sebuah investasi, kebudayaan memerlukan visi, misi, dan strategi serta enabler yang tepat dalam upaya mencapai target dan mengoptimalkan potensi bangsa dan negara yang kaya akan produk budaya. Visi kebudayaan Indonesia pada dasarnya adalah Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur sesuai Pembukaan UUD 1945. Secara ringkas, visi kebudayaan tersebut tergambar secara eksplisit pada stanza kedua lagu kebangsaan Indonesia Raya, yaitu Indonesia Bahagia. Sementara misi kebudayaan Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta turut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sesuai dengan Alinea keempat UUD 1945. Sebagai sebuah investasi, kebudayaan juga memerlukan strategi dan enabler sehingga mampu mencapai target berupa kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Strategi tersebut diimplementasikan melalui penyediaan bagi keragaman ekspresi budaya, pengembangan praktik kebudayaan, pemanfaatan objek pemajuan kebudayaan, percepatan reformasi kelembagaan, dan peningkatan peran pemerintah sebagai fasilitator. Implementasi strategi tersebut memerlukan enabler utama yakni peran serta masyarakat dan enabler pendukung, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Visi, misi, dan strategi serta enabler tersebut telah dimiliki oleh Indonesia, hanya saja pada tataran implementasinya memerlukan sinkronisasi dan simultanitas. Pada akhirnya, harmonisasi kebudayaan, baik pada masa pandemi maupun pada masa normal memerlukan dirijen berupa kerangka pikir yang terinduksi dalam substansi revolusi mental, pemajuan kebudayaan, dan prestasi olahraga. Kebudayaan akan menjadi investasi yang mampu membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia apabila revolusi mental semakin membumi dan mengakar di kalangan masyarakat yang kemudian dengan sendirinya mampu meningkatkan literasi, inovasi dan kreativitas masyarakat. Peningkatan literasi, inovasi dan kreativitas akan membawa kemajuan pada kebudayaan secara keseluruhan. Kemajuan ini secara otomatis akan berperan besar dalam hadirnya prestasi, baik bagi olahraga, olahrasa, dan olahkarsa sebagai hasil dari keberhasilan investasi budaya yang secara utuh berwujud kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. (*) |