Apa maksud tugas rasul sebagai penunjuk jalan yang lurus

 PETUNJUK JALAN YANG LURUS

Oleh : Deddy Juniawan

Apa maksud tugas rasul sebagai penunjuk jalan yang lurus

Surat Al-Fatihah (Pembukaan) yang diturunkan di Makkah, terdiri dari 7 ayat adalah surat yang pertama-tama diturunkan dengan lengkap di antara surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an dan termasuk golongan Surat Makiyah.

Disebut Al-Fatihah (Pembukaan), karena dengan surat inilah dibuka dan di mulainya Al-Qur’an. Al-Fatihah dinamakan pula sebgai Ummul Qur’an yang berarti induk Al-Qur’an atau Ummul Kitaab (induk Al-Kitaab) karena Al-Fatihah merupakan induk bagi semua isi Al-Qur’an serta menjadi intisari dari kandungan Al-Qur’an, dan karena itu diwajibkan membacanya pada tiap-tiap sholat.

Apa maksud tugas rasul sebagai penunjuk jalan yang lurus

1.    Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang;

2.    Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam;

3.    Maha Pengasih lagi Maha Penyayang;

4.    Yang menguasai hari pembalasan;

5.    Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan;

6.    Tunjukilah kami jalan yang lurus;

7.    (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Disebutkan Surat Al-Fatihah ini termasuk dalam kategori sebagai ayat tujuh dan terbagi menjadi dua bagian. Ayat-ayat awal menjadi bagian milik Rasulullah Muhammad SAW dan ayat-ayat terakhir menjadi milik Allah.

Pada ayat-ayat awal kita melakukan pujian kepada Allah, hingga pada ayat kelima. Kemudian pada ayat-ayat terakhir barulah kita wujudkan dengan pamrih dari pujian yang kita lakukan pada ayat-ayat awal.

Kenapa demikian? Kita melakukan puja dan puji kepada Allah, karena kita berharap dan akan memohon ke jalan yang lurus.

Kata ‘ihdina’ berasal dari kata hidayah yang berarti petunjuk. Memohon hidayah merupakan bagian terpenting dalam kehidupan seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Karena hanya Allah yang dapat memberikan hidayah. Manusia seperti Guru, ustadz, mubaligh, para ulama, kyai, bahkan nabi dan rasul itu hanyalah perantara belaka. Semua itu tidak akan dapat memberikan petunjuk atau hidayah kepada orang yang dikehendaki olehnya. Hanya atas ijin Allah SWT semata yang dapat memberikan petunjuk kepada yang DIA kehendaki.

Kita bisa lihat sejarah, saat paman Nabi yaitu Abi Tholib. Beliau begitu menyayangi keponakannya, ia menjadi pelindung Rasulullah dari pihak kafir Quraisy yang selalu dan akan berbuat dzolim pada Nabi Muhammad bin Abdullah, apalagi setelah kakeknya Abdul Mutholib wafat.

Pada waktu paman yang sangat dekat dengan Nabi akan wafat, Nabi Muhammad SAW merasa sedih akan kehilangan paman yang sangat menyayanginya, karena Nabi-pun sangat mencintainya. Nabi mengajarkan syahadatain kepada pamannya tersebut.

Paling tidak naluri kemanusiaannya atau sifat manusiawinya mengharapkan sebagai paman yang begitu baik dan sayang terhadap beliau, Abi Tholib mengakhiri hidupnya dengan mengucapkan syahadatain.

Diriiwayatkan oleh Ibn Hiban, Muslim dan lainnya yang berujung kepada Sahabat Abu Hurairah menyebutkan: bahwa Rasulullah SAW berkata kepada pamannya Abu Thalib, “Ucapkanlah, Tiada Tuhan kecuali Allah! (Laa ilaaha illallaah), niscaya dengan itu kelak aku akan menjadi saksi pada hari kiamat bahwa engkau telah beriman.” Abu Thalib (pamannya) menimpali, “Wahai putra saudaraku, andaisaja Kaum Quraisy tak mencelaku dan mencelaku dengan menyatakan bahwa aku beriman karena terpaksa, pasti aku menyejukkan hatimu dengan itu (mengucapkan kalimat tauhid)”.

Allah menghendaki lain. Hidayah bukan datang dari manusia bahkan seorang Nabi sekalipun. Hidayah bukan wewenang Muhammad Rasulullaah SAW, tetapi merupakan hak preogratif Allah.

Karena Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maka turunlah ayat ini (al-Qashash: 56) yang menegaskan bahwa hanya Allah yang bisa memberikan hidayah :

Apa maksud tugas rasul sebagai penunjuk jalan yang lurus

“Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepadasiapapun yang dikehendaki oleh-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.”

Hidayah bukanlah sesuatu yang dapat diberikan begitu saja secara cuma-cuma oleh Allah SWT. Akan tetapi hidayah merupakan sesuatu yang harus diusahakan dan diperjuangkan secara maksimal dengan berbagai upaya.

Untuk memperoleh hidayah dari Allah SWT selain beribadah sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah SAW,  kita pun sebagai hamba Allah sudah selayaknya meminta dan bermohon agar memperoleh hidayah-Nya.

Dalam hal hidayah, Allah SWT tidak akan memberikan kepada hamba yang hanya meminta tanpa usaha dan kita juga harus mempunyai niat yang tulus.

Karena Allah memberikan petunjuk (hidayah) kepada siapa yang Dia kehendaki, melalui penilaian Allah. Terhadap siapa Allah memberikan hidayah dapat kita pelajari dari Al-Qur’an dan Al-Hadist.

Dalam ayat ke enam pada surat Al-Fatehah tersebut, hidayah, bimbingan, atau petunjuk yang kita minta adalah (khusus) menuju jalan yang lurus. Bukan sekedar hidayah tanpa makna. Tetapi sudah kita pilih hidayah/petunjuk ke jalan yang lurus. Karena tidak semua orang beriman memperoleh hidayah ke jalan yang lurus.

Banyak orang yang sudah memperoleh hidayah berupa Iman-Islam, namun tidak memperoleh tuntunan ke jalan yang lurus. Akibatnya, jalan yang ditempuhnya beragam jalan, yang terkadang (mungkin) menyesatkan.

Terkadang seseorang diliputi perasaan sombong. Merasa sudah beriman Islam, bershodaqoh, berpuasa, umroh, bahkan haji berkali-kali.

Namun apa yang sudah diusahakannya itu menjadi nyaris tak membekas dalam perilaku sehari-harinya. Masih saja apa yang dilakukannya dalam hidup di dunia penuh dengan katagori maksiat..Na’uudzubillahi min dzaalik.

Jadi, pada ayat tersebut dalam Surat Al-Fatihah bahwa hidayah bukan saja berharap mendapat petunjuk ke suatu jalan yang benar, tetapi juga taufiq.

Oleh karenanya dalam meyakini Allah SWT sebagai Penguasa Alam, Maha Pengasih dan Penyayang, dan Raja di hari kemudian, kita minta dan mohon kepada Allah agar selalu diberikan petunjuk ke jalan yang lurus.

Rep: Syahruddin el-Fikri Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap Muslim menginginkan dirinya senantiasa berada di jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridhai Allah SWT. Dan, balasan bagi mereka yang dari awal hingga akhirnya berada di jalan lurus itu adalah surga yang dijanjikan Allah.

Namun, untuk menggapai itu tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang setiap saat menghadang. Tak jarang, tantangan dan rintangan itu benar-benar menjadi batu sandungan dan menyebabkan pelakunya jatuh atau berada di jalan yang salah. Jika tidak segera memperbaiki diri, dia akan tersesat dan balasannya adalah neraka.

Berkenaan dengan hal ini, ulama asal Malabar, India, yang bernama Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin al-Malibari menyusun sebuah kitab dalam menuju jalan yang lurus tersebut, yaitu Irsyadul Ibad Ila Sabili al-Rasyad (Petunjuk Bagi Seorang Hamba Menuju Jalan yang Lurus).

Syekh Zainuddin mengawali kitabnya ini dengan mengajak setiap Muslim untuk memulai segala perbuatan itu disertai dengan niat. Mengutip hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, tiap amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan, seseorang akan mendapatkan bagiannya seperti yang diniatkannya. Bila dirinya niat hijrah karena taat pada Allah dan Rasul-Nya, hijrah itu benar-benar kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, siapa yang niat hijrah untuk keuntungan dunia atau wanita yang akan dikawininya, hijrahnya terhenti pada apa yang ia hijrah karenanya.'' (HR Bukahri dan Muslim).

Hampir sama dengan kitab-kitab fikih yang disusun para ulama, kitab yang disusun oleh Zainuddin Al-Malibari ini juga menitikberatkan pada masalah fikih. Namun, bila ulama lainnya memulai pembahasan dari cara bersuci (taharah), Zainuddin Al-Malibari mengawalinya dengan pembahasan tentang iman (beriman kepada Allah SWT). Tujuannya agar setiap Muslim bisa mengingatkan dirinya sendiri tentang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat, dijelaskan bahwa ketika Rasulullah SAW sedang mengajarkan ilmu dan ayat-ayat Alquran pada para sahabatnya, tiba-tiba datanglah seseorang yang langsung bertanya kepada beliau. Orang tersebut, yang kemudian dijelaskan oleh Rasulullah sebagai Malaikat Jibril AS, menanyakan makna iman, Islam, dan ihsan. Nabi menjelaskan, iman itu adalah percaya kepada Allah yang tertanam dalam hati, kemudian diungkapkan dengan perkataan (lisan), dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.

Sedangkan, makna Islam, jelas Rasul, adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan melaksanakan haji bila mampu. Adapun makna ihsan adalah menyembah Allah SWT dengan sebenar-benarnya seolah-olah kita sedang melihat-Nya dan apabila kita tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah SWT melihat dan mengetahui setiap gerak-gerik makhluk-Nya.

  • kitab kuning
  • irsyadul ibad

Apa maksud tugas rasul sebagai penunjuk jalan yang lurus

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...