Apa kata katolik tentang pernikahan

Oleh Al. Andang L. Binawan, SJ

Pernikahan, atau perkawinan, adalah persatuan keseluruhan hidup sepasang laki-laki dan perempuan. Dengan titik-tolak ini, dapatlah dikatakan bahwa pernikahan pada dasarnya adalah sebuah kata kerja, bukan kata benda.

Pernikahan adalah sebuah proses, bahkan proses yang sangat panjang, dengan segala jatuh bangunnya, karena masing-masing pribadi mempunyai keunikan. Dalam banyak pernikahan, keunikan-keunikan itu tidak bisa sepenuhnya bisa dipadukan atau dikompromikan.

Supaya bisa menolong pasangan untuk bisa mengelola perbedaan itu pulalah Gereja Katolik merumuskan hukumnya tentang perkawinan (sebagai salah satu bagian kecil dari Kitab Hukum Kanonik 1983), yang secara tidak langsung didasarkan pada Alkitab yang sudah ’ditafsirkan’ secara lebih modern dalam Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965. Karena itu, dalam tulisan singkat ini acuan alkitabiah-nya sudah diandaikan. 

Salah satu perbedaan yang sering terjadi dan menyulitkan pasangan dalam membina kebersamaan seluruh hidup adalah perbedaan keyakinan, yang sering tidak terhindarkan karena pluralitas sosiologis masyarakat.

Dalam paparan singkat ini  akan diuraikan pandangan dasar (yuridis) tentang pernikahan dalam pandangan Katolik, dan dengan dasar itu pernikahan campur beda agama akan disikapi, khususnya dalam konteks Indonesia dan kaitannya dengan undang-undang nomor 1/1974 tentang perkawinan.

Pandangan Dasar tentang Pernikahan

Kanon (pasal) dalam KHK (Kitab Hukum Kanonik) 1983 tentang pernikahan atau perkawinan, dimulai dengan kanon 1055 § 1 yang berbunyi:

Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen

KHK 1983, berbeda dengan KHK 1917, memakai kata ’perjanjian’ bukan kontrak. Dengan kata itu mau digarisbawahi aspek dinamis dari sebuah pernikahan.  Secara implisit dikatakan bahwa pernikahan adalah kata kerja, karena pernikahan adalah sebuah proyek berdua antara laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk saling mencintai dan saling memberikan diri.


Page 2

Pernikahan bukan sekedar hidup bersama berdua. Karena itu lalu bisa diibaratkan sebagai naik sepeda tandem berdua. Dalam kerangka inilah ada beberapa catatan penting.

Dalam klausul ’seorang laki-laki dan seorang perempuan’ bisa termaktub tiga catatan penting.

  • Pertama, yang bisa menikah hanyalah seorang laki-laki dan seorang perempuan. Secara tidak langsung pun dikatakan bahwa dalam keyakinan Katolik hanya ada dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Hal ini akan sangat berkaitan dengan keterbukaan pada kelahiran anak sebagai salah satu tujuan perkawinan. Karena itu, tidak dimungkinkan pernikahan orang yang berjenis kelamin sama.
  • Kedua, yang menikah adalah dua orang dewasa, masingmasing sebagai pribadi yang utuh dan sehat secara jasmani dan rohani. Yang satu berjanji menerima pribadi yang lain, juga secara utuh. Dengan kata lain, janji perkawinan itu diucapkan yang satu terhadap yang lain, dari pribadi yang satu ke pribadi yang lin, person to person, yang diandaikan diucapkan dengan bebas. 
  • Terkait erat dengan hal ini, catatan penting yang ketiga adalah bahwa kedua pribadi itu dipandang setara. Laki-laki tidak lebih tinggi daripada perempuan, dan karena itu tidak mempunyai hak dan kewajiban yang lebih banyak. Bahkan, sangat jelas bahwa dalam KHK 1983 tidak dikatakan bahwa laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga. Dalam kanon 1135 dikatakan bahwa ” Kedua suami-istri memiliki kewajiban dan hak sama mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup perkawinan.”

Catatan ke empat pada klausul ’membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup’ menggarisbawahi dimensi kesalingan antara laki-laki dan perempuan yang menjanjikan cinta itu. Kesalingan itu sangat terkait dengan pernikahan sebagai ’proyek berdua’ yang telah disebut diatas, dan masing-masing menyerahkan seluruh hidupnya. Keutuhan hidup yang dimaksud adalah keutuhan dalam dimensi ruang maupun waktu. Dalam dimensi ruang, masing-masing memberikan seluruh dimensi hidupnya, baik itu tubuhnya, jiwanya, maupun rohnya. Dengan kata lain, pernikahan tidak hanya menjadi sebuah hubungan fisik (seksual), melainkan juga ada keselarasan psikis dan juga spiritual. Lalu, dalam dimensi waktu, keutuhannya diwujudkan dalam pemberian diri seumur hidup. Itulah sebabnya, dalam pandangan Gereja Katolik, pernikahan itu bersifat monogam eksklusif dan tak terceraikan seumur hidup, yang ditekankan dalam kanon 1056 , ”Ciriciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat tak-dapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.”

Catatan selanjutnya terkait dengan klausul selanjutnya, yaitu ”yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak.”

Klausul ini didahului dengan frase ’yang menurut ciri kodratinya’, yang berarti – sebagai catatan kelima- bahwa tujuan perkawinan itu sudah ada sejak semula, sejak manusia diciptakan Tuhan. Tujuan pernikahan itu tentang kesejahteraan pasangan dan kelahiran serta pendidikan anak tidak ditetapkan oleh Gereja.

Catatan keenam, kedua tujuan tadi adalah tujuan ganda. Artinya, keduanya terkait erat, tidak bisa dipisahkan, dan juga tidak ada hirarkhinya, atau tidak ada yang lebih utama dari yang lain.

Dengan menempatkan tujuan ’kesejahteraan pasangan’ lebih dahulu daripada tujuan ’kelahiran dan pendidikan anak’ Gereja tidak mengatakan bahwa yang pertama lebih tinggi daripada yang kedua, meski –perlu dicatat- mengubah pandangan lama yang menempatkan kelahiran anak sebagai tujuan pertama pernikahan.

Catatan ketujuh, kesejahteraan pasangan yang dimaksud, selaras dengan pandangan keutuhan hidup yang disebut di atas, berarti kesejahteraan dalam seluruh dimensi, baik itu kesejahteraan material dan fisik, kesejahteraan psikis maupun kesejahteraan rohani/spiritual.

Demikian halnya dengan makna pendidikan anak yang juga menjadi tujuan perkawinan. Pendidikan disini bukan hanya pendidikan dalam arti formal, melainkan juga pendidikan rohani. Dengan kata lain pun, alam bahasa Katolik, pernikahan sebagai sakramen adalah sebuah sarana keselamatan jiwa pula.

Dari pandangan-pandangan itu, tampak jelas bahwa pernikahan idealnya adalah sungguh saling pemberian diri supaya pasangannya sungguh berkembang sebagai pribadi.


Page 3

Pandangan Gereja Katolik yang mengatakan bahwa pernikahan adalah sakramen, seperti ditegaskan dalam frase berikutnya (’oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen’) didasari pandangan ini. Yang semakin ditegaskan dalam kanon 1055 § 2 yang mengatakan,

”Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.” Hal ini berarti bahwa perkawinan antara seorang yang dibaptis secara Katolik atau diterima di dalamnya dengan seorang dari Gereja Kristen juga menjadi sakramen.

Bahwa yang disebut sakramen hanya antara dua orang dibaptis tentu terkait dengan pendasaran teologis bahwa Kristus adalah sakramen keselamatan dunia dan murid-murid Kristus dipanggil untuk mewartakan kasih Allah yang ’menjelma’ dalam diri Kristus.

Karena itu pula, rumusannya adalah ’kedua pasangan saling menerimakan sakramen perkawinan.’ Yang memberi sakramen adalah pasangan itu sendiri, bukan pastor yang memberkatinya. Dalam tata peneguhan pernikahan Katolik, pastor hanyalah ’saksi resmi’ (sebagai pejabat) Gereja yang menanyakan kesepakatan, disamping ada dua saksi lain adalah sah.

Meski begitu, pemahaman makna sakramental (tidak dalam pengertian sempit yuridis-teologis) bisa dipahami dalam arti yang lebih luas. Mengacu bahwa makna dasar sakramen adalah tanda dan sarana cinta Tuhan, pernikahan berarti bahwa suami menjadi tanda cinta Tuhan bagi isteri dan isteri menjadi tanda cinta Tuhan bagi suami.

Karena cinta itu menghidupkan, harapannya adalah bahwa kehadiran suami menghidupkan isteri dan begitu sebaliknya. Makna (quasi) sakramental ini tentunya bisa diberlakukan juga pada pasangan beda agama.

Dengan kata lain, dalam pandangan Katolik pernikahan mengandung makna teologis yang sangat dalam. Pernikahan bukanlah sekedar kontrak sementara, yang jika disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan kontrak bisa diputus.

Pernikahan juga bukan main-main atau usaha coba-coba. Karena itulah Gereja Katolik menuntut persiapan yang matang dan juga persyaratan yang cukup banyak sebagai salah satu bentuk menguji kesungguhan itu, meski kadang dipandang terlalu berbelit dan merepotkan.

Ada makna yang mendalam dalam persyaratan yang tidak sedikit itu. Pun, persyaratan ini masih harus dilengkapi dengan sebuah penyelidikan kanonik, yaitu pertemuan seorang pastor sebagai pejabat Gereja dengan masing-masing calon untuk ditanyai berbagai hal yang menyangkut persyaratan-persyaratan itu.

Pernikahan Campur


Page 4

Dari pandangan di atas, cukup jelas bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang bersifat sakramen, yang –seperti tadi dikatakan- berarti di antara dua orang yang dibaptis, terlebih yang dibaptis atau diterima dalam Gereja Katolik.

Yang ideal ini tidak serta-merta satu-satunya kemungkinan. Meski tidak ideal, Gereja memberi kemungkinan adanya pernikahan campur, dengan segala persyaratannya. Meski dispensasi untuk pernikahan campur beda agama ini sudah cukup lama dipraktekkan, kemungkinan itu makin bisa dipertanggungjawabkan secara teologis terutama sejak Konsili Vatikan II dan juga mengingat situasi sosiologis masyarakat.

Dalam pandangan teologis, Gereja Katolik tidak lagi mau memonopoli kebenaran iman dan keselamatan seperti terungkap dalam jargon lama yang berbunyi ”Extra ecclesiam nulla salus” yang berarti di luar Gereja (Katolik) tidak ada keselamatan.

Sejak Konsili Vatikan II ada pandangan yang berubah dari Gereja Katolik terhadap gereja-gereja Kristen lain. Mereka dipandang sebagai saudara, eukomenisme. Sementara itu, Gereja Katolik juga mengakui bahwa ada juga keselamatan dalam agama lain. Kemudian, secara sosiologis, Gereja Katolik juga makin realistis bahwa dalam masyarakat ada pluralitas agama.

Artinya, kemungkinan seorang Katolik jatuh cinta dan mau menikah dengan orang yang tidak Katolik tidak bisa dihindari seratus persen. Hal ini makin sulit dicegah ketika sarana komunikasi modern makin mempermudah perjumpaan manusia yang berbeda jenis kelamin.

Dalam khasanah Gereja Katolik, yang dimaksud pernikahan campur adalah pernikahan beda gereja dan beda agama.

Pernikahan campur beda gereja, dengan mendasarkan pada kanon 1124, adalah pernikahan antara dua orang dibaptis, yang diantaranya satu dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima didalamnya setelah baptis, dengan seorang anggota Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik.

Yang dimaksud dengan ’Gereja atau persekutuan gerejawi yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik’ adalah gereja-gereja Kristen atau juga gereja ortodoks yang tidak mengakui kepemimpinan Paus di Roma.

Untuk konteks Indonesia, itu adalah gereja-gereja Kristen, baik yang tergabung dalam PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia) maupun yang tidak tergabung, serta beberapa komunitas Katolik Ortodoks.

Dalam hal ini, Gereja Katolik mengakui sah-nya baptis mereka, asal bersifat trinitarian (dibaptis dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus) dan dibaptis dengan air. Untuk pernikahan dengan mereka, diperlukan ijin dari otoritas Gereja yang berwenang. Dalam hal ini adalah Uskup atau yang ditunjuk olehnya.


Page 5

Pernikahan campur yang kedua adalah pernikahan campur beda agama. Merujuk ke kanon 1086 § 1, yang dimaksud adalah pernikahan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja katolik atau diterima di dalamnya dan yang lain tidak dibaptis.

Yang dimaksud orang yang tidak dibaptis berarti orang yang beragama selain Kristen/Katolik, termasuk mereka yang mengikuti aliran kepercayaan dan juga yang menyatakan diri tidak beragama. Pada dasarnya, pernikahan ini dilarang, meski, sesuai kanon 1086 §2,dimungkinkan adanya dispensasi, setelah memenuhi beberapa persyaratan.

Sebenarnya, bobot ’larangan’ antara pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama berbeda. Hal itu tampak dari perbedaan istilah yang dipakai. Untuk pernikahan campur beda gereja ’hanya’ dibutuhkan ijin dari otoritas gerejawi, sedang untuk pernikahan beda agama dibutuhkan dispensasi.

Dalam pengertian yuridis, dispensasi berarti pembebasan dari hukum, dan secara implisit mengandaikan bahwa larangannya lebih berat. Meski begitu, seperti disebut dalam kanon 1086 § 2 tadi, secara umum persyaratannya tidak jauh berbeda. Dua kanon secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat didapatkannya baik ijin maupun dispensasi itu.

 Kanon 1125 - Izin semacam itu dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal; izin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. pihak katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik;
  2. mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dan kewajiban pihak katolik; 
  3. kedua pihak hendaknya diajar mengenai tujuan-tujuan dan ciri-ciri hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya

Kanon 1126 - Adalah tugas Konferensi para Uskup untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu harus dibuat, maupun menetapkan cara hal-hal itu menjadi jelas, juga dalam tata-lahir, dan cara pihak tidak katolik diberitahu.

Sehubungan dengan syarat yang diminta, yang perlu digaris-bawahi adalah jaminan bahwa pihak Katolik tidak akan meninggalkan Gereja atau berpindah agama. Hal ini tentu saja wajar karena Gereja ingin menjamin agar umatnya menjaga, dan bahkan memupuk imannya sebaik-baiknya.

Perlu diingat bahwa pernikahan sebagai persatuan dua pribadi yang unik memerlukan kemampuan untuk saling berkompromi, sementara banyak ajaran agama tidak bisa dikompromikan karena truth claim masing-masing. 

Syarat kedua ini dijanjikan oleh pihak yang Katolik dengan menandatangani formulir yang telah disiapkan dan akan dilampirkan dalam permohonan ijin/dispensasi. Dalam hal ini, pihak yang tidak Katolik memang diminta ikut menandatangani, tetapi dalam status mengetahui. Artinya, dia mengetahui janji pihak Katolik kepada Gereja. Pihak yang tidak Katolik tidak perlu ikut berjanji.

Selain itu, ada beberapa syarat yang terkait dengan kondisi khusus dari pihak yang Katolik, baik kondisi yang lebih bersifat personal maupun yang bersifat sosial. Dalam lembar permohonan dispensasi yang diajukan pihak Katolik bersama pastor paroki kepada otoritas gerejawi yang berwenang, ditulis beberapa contoh.

Beberapa alasan yang bisa menyertai pengajuan itu antara lain: sulit menemukan jodoh lain, bahaya menikah di luar Gereja, mengesahkan nikah yang telah diteguhkan di luar Gereja, pergaulan terlalu erat atau telah tinggal serumah, pihak wanita telah mengandung, wanita sudah superadulta (atau bahasa umumnya ’perawan tua’), menghindari percekcokan dalam keluarga, calon mempelai miskin, menghindari sandungan, dan telah berjasa besar bagi masyarakat/Gereja.

Jika persyaratan ini sudah dipenuhi dan kemudian ijin atau dispensasi diberikan, pasangan yang berbeda gereja/agama itu bisa menikah di depan pastor Katolik dan dua saksi. Itu syarat yang paling pokok, dan itulah yang disebut dengan tata peneguhan kanonik seperti yang telah disebut dalam kanon 1108 di atas.

Hal yang lain, lebih bersifat sekunder, meski untuk tempat, Gereja Katolik mengaturnya dengan mengatakan dalam kanon 1115 bahwa


Page 6

Perkawinan hendaknya dirayakan di paroki tempat salah satu pihak dari mempelai memiliki domisili atau kuasidomisili atau kediaman sebulan, atau, jika mengenai pengembara, di paroki tempat mereka sedang berada; dengan izin Ordinaris atau pastor parokinya sendiri perkawinan itu dapat dirayakan di lain tempat.

Hal yang sama juga berlaku untuk pernikahan campur, seperti dikatakan dalam kanon 1118 bahwa 

§ 1. Perkawinan antara orang-orang Katolik atau antara pihak Katolik dan pihak yang dibaptis bukan Katolik hendaknya dirayakan di gereja paroki; dapat dilangsungkan di gereja atau ruang doa lain dengan izin Ordinaris wilayah atau pastor paroki.

§ 2. Ordinaris wilayah dapat mengizinkan perkawinan  dirayakan di tempat lain yang layak.

§ 3. Perkawinan antara pihak Katolik dan pihak yang tidak dibaptis dapat dirayakan di gereja atau di tempat lain yang layak. 

Kanon ini memberi kemungkinan untuk meminta ijin diberkatinya suatu pernikahan di tempat lain yang bukan Gereja Katolik, misalnya di suatu gereja Kristen lain, dengan diberkati bersama pendeta dan kesepakatan nikah ditanyakan oleh seorang pastor Katolik. Tentang kemungkinan ini, ijin bisa dimintakan pada pastor paroki saja.

Dalam situasi yang lebih berat, otoritas gerejawi (ordinaris wilayah) bisa juga memberikan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, asal prosedur dan pencatatannya tetap dilakukan juga di Gereja Katolik. Hal ini dikatakan dalam kanon 1121 § 3

Mengenai perkawinan yang dilangsungkan dengan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah yang memberikan dispensasi hendaknya mengusahakan agar dispensasi dan perayaan dicatat dalam buku perkawinan baik kuria maupun paroki pihak Katolik, yang pastor parokinya melaksanakan penyelidikan mengenai status bebasnya; mempelai yang Katolik diwajibkan secepat mungkin memberitahukan perkawinan yang telah dirayakan kepada Ordinaris itu atau pastor paroki, juga dengan menyebutkan tempat perkawinan dirayakan serta tata peneguhan publik yang telah diikuti.

Hal ini dipertegas dalam kanon 1127 § 2 yang menyebutkan bahwa

Jika terdapat kesulitan-kesulitan besar untuk menaati tata peneguhan Kanonik, Ordinaris wilayah dari pihak Katolik berhak untuk memberikan dispensasi dari tata peneguhan Kanonik itu dalam tiap-tiap kasus, tetapi setelah minta pendapat Ordinaris wilayah tempat perkawinan dirayakan, dan demi sahnya harus ada suatu bentuk publik perayaan; Konferensi para Uskup berhak menetapkan norma-norma, agar dispensasi tersebut diberikan dengan alasan yang disepakati bersama.


Page 7

Kemungkinan dispensasi ini disebutkan disini juga supaya pasangan itu tidak perlu dua kali mengucapkan janji, sekali dalam upacara Katolik dan sekali dalam upacara agama lain. Sehubungan dengan hal ini Gereja Katolik memang menegaskan dalam kanon 1127 § 3 bahwa

Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbarui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, dimana peneguh katolik dan pelayan tidak katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.

Patut dicatat disini bahwa yang dilarang adalah perayaan keagamaan yang menyatakan atau memperbaharui kesepakatan. Jika ada perayaan keagamaan lain untuk berdoa bersama atau mendoakan, tanpa ada janji ulang, tentunya tidaklah dilarang.

Pun, dalam perayaan ekumenis (dipimpin bersama pendeta dari Gereja Kristen lain), tidak melanggar larangan ini jika sahabat dekat pihak non-Katolik yang kebetulan bukan orang Katolik; pelayan Katolik tidak mungkin datang untuk memberikan pelayanan; Gereja terdekat dan mungkin dihubungi hanyalah Gereja non-Katolik; bila pihak Katolik ‘KTP’ menikah dengan seorang non-Katolik yang sangat taat pada agamanya. Lihat Robertus Rubiyatmoko, Pr, Perkawinan Kristiani menurut Kitab Hukum Kanonik, diktat kuliah Fakultas Teologi Wedabhakti Yogyakarta, hal. 124.

 Efek Yuridis Pernikahan

Setelah semua dilakukan, terjadilah ikatan pernikahan atau perkawinan seperti disebut dalam kanon 1134 bahwa “Dari perkawinan sah timbul ikatan antara pasangan, yang dari kodratnya tetap dan eksklusif; selain itu dalam perkawinan kristiani pasangan, dengan sakramen khusus ini, diperkuat dan bagaikan dibaktikan (consecrare) untuk tugas-tugas dan martabat statusnya.” Ikatan dan juga kewajiban-hak yang sama terjadi untuk pernikahan campur beda agama.

Dalam hal ini, perlindungan hukum atas pernikahan yang telah dilakukan dijamin Gereja, seperti ditegaskan dalam kanon 1060 “Perkawinan mendapat perlindungan hukum (favor iuris); karena itu dalam keragu-raguan haruslah dipertahankan sahnya perkawinan, sampai dibuktikan kebalikannya.”

Efek yuridis juga diberlakukan untuk anak yang dikandung dan dilahirkan, seperti ditegaskan dalam kanon 1137 bahwa “Adalah legitim anak yang dikandung atau dilahirkan dari perkawinan yang sah atau putatif.” Kanon ini menegaskan bahwa anak yang dilahirkan adalah anak pasangan itu, termasuk ayah anak yang dikandung jika tidak ada bukti sebaliknya, terutama jika dilahirkan enam bulan setelah pernikahan.

Itu pun berarti bahwa dalam pandangan Gereja Katolik, pernikahan yang dilakukan dengan tata peneguhan Katolik sudah sah dan memberi jaminan hukum bagi anak-anak yang akan dilahirkan. Karena itu, Gereja Katolik tidak mengharuskan atau mewajibkan pasangan yang telah menikah secara Katolik mencatatkan pernikahan ini dalam hukum sipil (atau catatan sipil dalam hukum Indonesia menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).

Hanya saja, mengingat bahwa dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan pencatatan perkawinan secara sipil ini sangat penting, Gereja Katolik sangat menganjurkan agar pencatatan sipil dilakukan, karena, menurut kanon 1059  “Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang Katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum Kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.”


Page 8

Mengingat itu, untuk konteks Indonesia, para uskup Regio Jawa menetapkan agar “Mereka yang telah melangsungkan perkawinan secara gerejawi hendaknya didorong untuk selekas mungkin mengurus pencatatan sipilnya.”

 Problem Pastoral

Dalam kenyataan sosial di tengah masyarakat, apalagi dalam dunia yang bergerak begitu cepat, banyak hal terjadi yang tidak persis sesuai dengan hukum Gereja.

Pada bagian ini, berdasarkan prinsip-prinsip di atas, dikomentari beberapa kasus yang kadang muncul, terutama terkait dengan pernikahan campur beda gereja dan campur beda agama.

Kasus pertama: tidak jarang terjadi pernikahan campur beda gereja atau beda agama dilakukan tidak secara Katolik atau dilakukan di luar negeri.

Dalam hal ini, Gereja Katolik tidak mengakui sahnya pernikahan itu, meski juga sudah sah secara sipil. Jika pasangan ini tidak membereskannya secara Kanonik, pihak yang Katolik tidak diperkenankan menerima atau menyambut komuni suci dalam perayaan ekaristi (kanon915).

Kasus kedua: tidak jarang pasangan melakukan upacara pernikahan ganda. Artinya, selain meneguhkan pernikahan itu secara Katolik, mereka juga meneguhkannya melalui agama pihak yang non-Katolik. Hal ini tentu tidak sesuai dengan kanon 1127 § 3 yang telah disebut di atas.

Meski sebenarnya Gereja Katolik sudah memberikan beberapa celah kemungkinan untuk menghindarkannya, seperti telah disebut di atas, baik dengan kemungkinan memohon ijin menikah tidak di gereja Katolik atau bahkan juga dispensasi dari tata peneguhan Kanonik, masih tidak sedikit yang melakukannya.

Dalam hal ini Gereja memang hanya bisa melarang, tetapi upacara ganda seperti itu tidak menggagalkan pernikahan Katolik yang sudah atau akan dilakukan. Jadi, pernikahan itu tetap sah, dan pasangan itu tidak mendapat sanksi.

Kasus ketiga: ada pasangan berbeda campur beda agama yang ’membagi’ pendidikan agama anak-anaknya, separuh ikut pihak yang Katolik dan separuh pihak yang tidak Katolik. Tentu saja ini tidak sesuai dengan janji yang diberikan pihak yang Katolik sesuai dengan kanon 1125 nomor 1.


Page 9

Dalam hal ini, Gereja akan melihatnya kasus demi kasus, dan tidak begitu saja menjatuhkan sanksi, karena pada dasarnya yang dijanjikan pihak yang Katolik adalah usahanya, bukan hasilnya. Pun, karena ini lebih pada syarat sebelum pernikahan, kenyataan itu tidak menggagalkan pernikahan yang sudah ada.

Kasus keempat: ada pasangan campur beda gereja atau beda agama, karena berbagai kesulitan yang tak tertahankan, akhirnya mereka bercerai secara sipil. Dalam hal ini, Gereja hanya memandangnya sebagai ’pisah ranjang’ seperti diatur dalam kanon 1151-1155.

Artinya, pihak Katolik tidak bisa menikah lagi secara Katolik, meski secara sipil dimungkinkan, kecuali kalau dia sudah mendapatkan pembatalan pernikahannya itu dari lembaga tribunal gerejawi. Terkait dengan pembagian harta dan anak, Gereja Katolik menyerahkannya pada hukum sipil/negara.

Melalui kanon 1154 Gereja Katolik hanya mengingatkan “Bila terjadi perpisahan suami-istri, haruslah selalu diperhatikan dengan baik sustentasi dan pendidikan yang semestinya bagi anak-anak.”

Kasus kelima: ada seorang laki-laki Katolik yang menikah dengan perempuan non-Katolik dan kemudian meninggal. Ada pertanyaan sehubungan dengan harta warisan. Dalam hal ini, Gereja Katolik tidak mempunyai hukum waris sendiri. Gereja Katolik menyerahkan sepenuhnya pada hukum sipil yang berlaku bagi pasangan itu (hukum sipil yang diakui gereja). 

Penutup

Dari paparan di atas, dalam kaitannya dengan hukum sipil, atau untuk konteks Indonesia berarti undang-undang nomor 1/1974 tentang perkawinan, sehubungan dengan pernikahan pada umumnya dan khususnya pernikahan campur, bisa disimpulkan beberapa hal:

  1. Gereja Katolik, sesuai prinsip pemisahan antara agama dengan negara, memisahkan urusan pernikahan secara Katolik dengan pernikahan sipil. Karena itu, Gereja tidak mewajibkan pasangan yang menikah secara Katolik untuk mencatatkannya dalam catatan sipil, meski sangat menganjurkannya.
  2. Meski tidak ideal, mengingat situasi sosiologis masyarakat dan juga dengan pertimbangan teologis, Gereja Katolik memberi kemungkinan adanya pernikahan campur, baik beda gereja maupun beda agama, dengan beberapa persyaratan khusus. Dalam hal ini, pihak nonKatolik tetap berhak memeluk imannya sendiri, tidak harus menjadi Katolik.
  3. Untuk kasus-kasus yang tidak bisa ’dikerangkai’ dengan hukum, terutama karena perkembangan sosiologis yang begitu cepat, Gereja Katolik juga menempuh jalan pastoral kasus per kasus (case by case) terutama dengan pertimbangan bahwa di satu sisi ada kesulitan sosiologis yang tidak memungkinkan suatu aturan hukum (kanon) dilaksanakan dengan penuh dan di sisi lain Gereja Katolik sangat menghormati kedewasaan masingmasing pribadi, terutama dalam memakai hatinuraninya.
  4. Akhirnya, salah satu prinsip penting dalam menyikapi kasus demi kasus itu adalah pembedaan Kanonik antara hukum illahi yang memang bersifat mutlak dengan hukum gerejawi yang memberi kemungkinan dispensasi. Yang penting diingat adalah bahwa tidak semua pasal/kanon dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 bersifat illahi sehingga harus dimutlakkan; sehingga bisa memberi kemungkinan jalan pastoral yang lebih kontekstual. Pun, hukum sebagai sarana bantu manusia perlu terus diingat. Bukan manusia untuk hukum, tapi hukum untuk manusia, yang dalam bahasa Kitab Hukum Gereja 1983 dinyatakan dengan menyatakan bahwa dalam hidup Gereja, keselamatan jiwa-jiwa menjadi hukum yang tertinggi (kanon 1752). Salus animarum, suprema lex. Begitu istilah Latin-nya.

Tulisan diambil dari st-sterfanus.or.id