Allah subhanahu wa taala adalah maha mendengar hal tersebut dijelaskan dalam surah

(Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang) dari siapa pun juga, artinya Dia pastilah akan memberinya hukuman (kecuali dari orang yang dianiaya) sehingga apabila dia mengucapkannya secara terus terang misalnya tentang keaniayaan yang dideritanya sehingga ia mendoakan si pelakunya, maka tidaklah dia akan menerima hukuman dari Allah. (Dan Allah Maha Mendengar) apa-apa yang diucapkan (lagi Maha Mengetahui) apa-apa yang diperbuat.

Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Jika kalian melahirkan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa. Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa Allah tidak menyukai bila seseorang mendoakan kecelakaan terhadap orang lain, kecuali jika ia dianiaya olehnya. Maka saat itu Allah memberikan rukhsah kepadanya untuk mendoakan kecelakaan terhadap orang yang berbuat aniaya terhadapnya. Hal ini disebutkan melalui firman-Nya: kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148) Akan tetapi, jika si teraniaya bersikap sabar dan tidak mendoakan kecelakaan terhadap orang yang berbuat aniaya kepadanya, maka hal ini lebih baik baginya. Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Mu'az, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Habib, dari ‘Atha’, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa pernah ada yang mencuri barang miliknya, lalu ia mendoakan kecelakaan terhadap pelakunya. Maka Nabi ﷺ bersabda: Janganlah kamu mendoakan kecelakaan terhadapnya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Janganlah seseorang mendoakan kecelakaan terhadap orang yang berbuat aniaya, tetapi hendaklah ia mengucapkan dalam doanya seperti ini: 'Ya Allah, tolonglah daku terhadapnya dan kembalikanlah hak milikku darinya" Menurut riwayat yang lain yang bersumber darinya (Al-Hasan Al-Basri), Allah memberikan kemurahan (rukhsah) kepada seseorang yang mendoakan kecelakaan bagi orang yang telah berbuat aniaya kepadanya, tanpa membalasnya. Abdul Karim ibnu Malik Al-Jazari mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, "Makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang lelaki yang mencacimu, lalu kamu balas mencacinya. Tetapi jika seseorang berbuat kedustaan terhadapmu, janganlah kamu balas ia dengan berbuat kedustaan terhadapnya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: 'Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka' (Asy-Syura: 41)." Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qa'nabi, telah menceritakan kepada kami Abdid Aziz ibnu Muhammad, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Dua orang yang saling mencaci menanggung apa yang diucapkan oleh keduanya, tetapi dosanya ditanggung oleh orang yang memulai di antara keduanya, selagi pihak yang teraniaya tidak melampaui batas. Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna ibnus Sabbah, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148) Makna yang dimaksud ialah misalnya seorang lelaki bertamu kepada seseorang, lalu pemilik rumah tidak menjamunya dengan baik. Setelah keluar, si lelaki mengatakan, "Dia menyambutku dengan buruk dan tidak menjamuku dengan baik." Mujahid mengatakan bahwa sikap yang demikian itu termasuk ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya sehingga dia menjamu tamunya dengan baik. Ibnu Ishaq mengatakan, dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148) Mujahid mengatakan, bahwa makna yang dimaksud ialah seorang laki-laki turun istirahat (bertamu) kepada seseorang, lalu pemilik rumah tidak menjamunya dengan baik. Setelah keluar, si laki-laki mengatakan, "Dia menjamuku dengan buruk dan tidak menjamu dengan baik." Menurut riwayat yang lain, makna yang dimaksud berkenaan dengan seorang tamu yang memindahkan rahl (barang-barang bawaan)nya. Sesungguhnya hal tersebut sama dengan mengatakan ucapan buruk terhadap temannya. Hal yang sama diriwayatkan oleh bukan hanya seorang ulama dari Mujahid dengan makna yang semisal. Jamaah meriwayatkan selain Imam An-An-Nasai dan Imam At-Tirmidzi melalui jalur Al-Al-Laits ibnu Sa'd, sedangkan Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya melalui hadits Ibnu Luhai'ah; keduanya dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair Marsad ibnu Abdullah, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa kami (para sahabat) pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sering mengutus kami, lalu kami menginap di kalangan suatu kaum, tetapi mereka tidak menjamu kami. Bagaimanakah menurut pendapatmu dengan masalah ini?" Rasulullah ﷺ menjawab: Apabila kalian turun istirahat pada suatu kaum dan mereka menyuguhkan kepada kalian jamuan yang selayaknya bagi tamu, maka terimalah jamuan mereka itu. Dan jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah dari mereka hak tamu yang selayaknya dilakukan oleh mereka. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Abul Judi menceritakan sebuah hadits dari Sa'id ibnul Muhajir, dari Al-Miqdam ibnu Abu Karimah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Manakala seorang muslim kedatangan suatu kaum sebagai tamunya, dan pada pagi harinya tamunya itu dalam keadaan mahrum (tidak diberi jamuan apa pun), maka sudah seharusnya bagi setiap muslim membela dirinya sehingga ia dapat mengambil jamuan malamnya dari kebun dan harta milik orang muslim tersebut. Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi ini. Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Syu'bah, dari Mansur, dari Asy-Sya'bi, dari Al-Miqdam ibnu Abu Karimah yang mendengar bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Jamuan malam bagi tamu adalah wajib atas setiap orang muslim; dan jika si tamu dalam keadaan lapar di halaman rumahnya pada pagi harinya, maka hal itu merupakan utang bagi pemilik rumah. Jika si tamu menginginkan jamuan, ia boleh menagihnya, boleh pula meninggalkannya. Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Gundar, dari Syu'bah, juga dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Bukai', dari Waki' dan Abu Na'im, dari Sufyan Ats-Tsauri; ketiga-tiganya dari Mansur dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui hadits Abu Uwwanah, dari Mansur dengan lafal yang sama. Dari pengertian hadits-hadits di atas dan yang semisal dengannya, Imam Ahmad dan lain-lainnya berpendapat bahwa menjamu tamu itu hukumnya wajib. Termasuk ke dalam bab ini sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar: telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang tetangga yang selalu menyakiti diriku." Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: Keluarkanlah semua barang milikmu dan letakkanlah di tengah jalan. Kemudian lelaki itu mengambil semua barang miliknya, lalu ia lemparkan ke jalan. Maka setiap orang yang lewat bertanya, "Mengapa kamu ini?" Ia menjawab, "Tetanggaku selalu menyakitiku." Orang tersebut mengucapkan, "Ya Allah, laknatilah dia. Ya Allah, hinakanlah dia." Akhirnya tetangganya itu berkata, "Kembalilah ke rumahmu. Demi Allah, aku tidak akan menyakitimu lagi untuk selamanya." Imam Abu Dawud meriwayatkannya di dalam Kitabul Adab, dari Abu Taubah Ar-Rabi', dari Nafi', dari Sulaiman ibnu Hayyan (yaitu Abul Ahmar), dari Muhammad ibnu Ajlan dengan lafal yang sama. Kemudian Al-Bazzar mengatakan, Kami belum pernah mengetahui dia meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah kecuali dalam sanad ini." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Juhaifah dan Wahb ibnu Abdullah, dari Nabi ﷺ Dan Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, dari Nabi ﷺ Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kalian melahirkan suatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan suatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa. (An-Nisa: 149) Jika kalian, wahai manusia, menampakkan kebaikan atau menyembunyikannya atau memaafkan orang yang berbuat kesalahan terhadap diri kalian, sesungguhnya hal tersebut termasuk amal taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dan Dia akan memberi kalian pahala yang berlimpah. Karena sesungguhnya termasuk sifat Allah subhanahu wa ta’ala ialah memberi maaf kepada hamba-hamba-Nya, padahal Dia berkuasa menghukum mereka. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Mahakuasa. (An-Nisa: 149) Di dalam sebuah atsar disebutkan bahwa para malaikat penyangga Arasy selalu bertasbih menyucikan Allah subhanahu wa ta’ala Sebagian dari mereka mengatakan dalam tasbihnya, "Mahasuci Engkau, sifat Penyantun-Mu melebihi sifat Ilmu-Mu." Sebagian yang lain mengatakan, "Mahasuci Engkau, sifat Pemaaf-Mu melebihi Kekuasaan-Mu." Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan seperti berikut: Harta benda tidaklah berkurang karena sedekah, dan tidak sekali-kali Allah menambahkan kepada seorang hamba karena maafnya melainkan keagungan; dan barang siapa yang rendah diri karena Allah, niscaya Allah mengangkat tinggi kedudukannya."

Pada ayat sebelumnya Allah menerangkan orang-orang munafik dan keburukan sifat mereka. Uraian itu dapat menimbulkan kebencian dan mengundang caci maki dari kalangan kaum muslim. Maka ayat ini memberikan tuntunan kepada kaum muslim terkait dengan kata-kata yang buruk. Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan secara terus terang, kecuali diucapkan secara terpaksa oleh orang yang dizalimi; dalam keadaan itu dibenarkan baginya mengucapkannya dalam batasbatas tertentu. Dan Allah Maha Mendengar, ucapan yang baik maupun yang buruk, yang diucapkan secara rahasia maupun terang-terangan, lagi Maha Mengetahui, segala sesuatu yang diperbuat hamba-Nya. Jika kamu menyatakan suatu kebajikan sehingga diketahui orang lain, atau menyembunyikannya sehingga tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, atau memaafkan sesuatu kesalahan orang lain padahal engkau mampu membalasnya, maka sungguh Allah akan memaafkan kesalahan kamu, sebab Dia Maha Pemaaf, Mahakuasa.

Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melontarkan kata-kata buruk kepada siapa pun. Kata buruk dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara anggota masyarakat dan jika berlarut-larut dapat menjurus kepada pengingkaran hak dan pertumpahan darah, dan dapat pula mempengaruhi orang yang mendengarnya untuk meniru perbuatan itu, terutama bila perbuatan itu dilakukan oleh pemimpin. Allah tidak menyukai sesuatu, berarti Allah tidak meridainya dan tidak memberinya pahala. Dalam hal ini dikecualikan orang yang dianiaya. Jika seseorang dianiaya, dia diperbolehkan mengadukan orang yang menganiayanya kepada hakim atau kepada orang lain yang dapat memberi pertolongan dalam menghilangkan kezaliman. Jika seseorang dianiaya lalu ia menyampaikan pengaduan, tentu saja pengaduan itu dengan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. Maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, orang yang teraniaya melontarkan ucapan-ucapan buruk terhadap seseorang yang menganiayanya. Hal ini dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Kedua, bila orang yang dianiaya itu mendiamkan saja, maka kezaliman akan tambah memuncak dan keadilan akan lenyap. Karena itu Allah mengizinkan dalam ayat ini bagi orang yang teraniaya melontarkan ucapan dan tuduhan tentang keburukan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang yang menganiaya walaupun akan mengakibatkan kebencian, karena membiarkan penganiayaan adalah lebih buruk akibatnya, sesuai dengan kaidah: "Melakukan yang lebih ringan mudaratnya di antara dua kemudaratan." Orang yang dianiaya wajib menyampaikan pengaduannya kepada hakim atau lainnya. Seseorang yang zalim jika tidak diambil tindakan yang tegas terhadapnya, kezalimannya akan bertambah luas. Tetapi jika tidak ada maksud untuk menghilangkan kezaliman, seseorang dilarang keras melontarkan ucapan-ucapan yang buruk. Dalam ayat ini diperingatkan bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui setiap ucapan yang dikeluarkan oleh orang yang zalim dan orang yang dianiaya, terutama jika mereka melampaui batas sampai melontarkan pengaduan yang dusta atau bersifat menghasut dan mengadu domba.


Ayat 148

“Allah tidaklah suka penyebaran perkataan-perkataan yang buruk."

Kalau dikatakan Allah tidak suka, niscaya Allah membencinya. Maka amatlah benci me-nyiar-nyiarkan atau menjelas-jelaskan perkataan yang buruk, yang kotor, yang cabul, dan yang carut-marut. Yang disukai oleh Allah hanyalah kata-kata yang sopan yang tidak menyinggung perasaan, yang tidak merusak akhlak. Maka banyaklah perkataan yang artinya kita maklumi tetapi tidak boleh diucapkan terus terang. Sebab di sana terletak batas kesopanan manusia. Allah sendiri memilih kata di dalam Al-Qur'an yang patut menjadi contoh bagi orang yang beriman. Tidak sekali juga Allah memakai perkataan yang menyinggung perasaan, berkenaan dengan hubungan laki-laki dan perempuan, khususnya suami istri, sehingga tingkat umur berapa pun yang membaca dan mendengar Al-Qur'an itu tidak tersinggung perasaannya, walaupun anak gadis yang baru meningkat dewasa. Bahkan kata-kata yang berarti najis yang keluar dari dua pelepasan tidak ada dalam Al-Qur'an, Demikian pun kembali dari buang air; Al-Qur'an mengatakan saja kembali dari kakus (al-Ghaa-ith)

Guru kami, almarhum Zainuddin Labay el-Yunusi ketika mendirikan Sekolah Diniyah di Padang Panjang pada tahun 1916 menjadi susah hati di dalam memilih buku-buku pelajaran agama, terutama fiqih yang sesuai dibe-rikan kepada kanak-kanak. Terutama ketika menerangkan darah haid dan nifas, yang kalau diterangkan menurut yang tertulis dalam buku-buku fiqih saja, terutama kepada anak-anak perempuan yang belum patut mendengarnya, sangatlah menyinggung perasaan, demikian pun tentang syarat-syarat yang menyebabkan wajib mandi junub. Sehingga akhirnya beliau mengarang sendiri buku yang sesuai dengan metode pendidikan dan sesuai dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Dan beliau pecah Sekolah Diniyah itu menjadi dua, bagian, anak laki-laki dan bagian anak perempuan, yang masyhur dengan nama

“Diniyah Putri" yang dipimpin oleh adiknya sendiri, Rahmah el-Yunusiyah. Sebab yang utama menurut pengetahuan penulis, ialah menjaga jangan sampai kata-kata yang belum layak didengar kanak-kanak di umur mu-da, tersinggung perasaan ketika guru menerangkan pengajian fiqih pada kata-kata yang hanya boleh diberikan dalam kalangan terbatas kepada orang dewasa.

Ayat ini pun suatu teguran halus dalam hal pendidikan. Sehingga tidaklah layak seorang ibu ketika marah-marah kepada anaknya mengeluarkan kata-kata yang kotor, memaki-maki, mencarut-carut, dan sebagainya. Dan telah menjadi kebiasaan manusia seluruh dunia tidak suka menyebut nama aurat kelamin. Sehingga ahli-ahli pengarang kamus (woor-denboek) yang besar-besar pun selalu mengelak untuk menuliskan makna dari kata-kata terlarang itu.

“Kecuali orang yang teraniaya." Hanya di-bolehkan memakai kata-kata buruk bagi orang yang teraniaya untuk melepaskan dirinya dari penganiayaan, sekadar perlu. Misalnya dia dituduh orang melakukan perbuatan yang bukan salahnya, lalu dia menghadap atau dihadapkan ke muka hakim buat memberikan keterangan yang sebenarnya bahwa yang bersalah ialah si anu. Untuk menjelaskan duduknya perkara, kalau perlu-perlu dia memakai kata-kata yang kotor, di saat itulah baru, dia dibolehkan. Inilah yang disebut di dalam kaidah ahli ushul, “Irtikabu akhaffidh dhararaini." Melakukan mana yang ringan di antara dua mudharat yang harus dipilih. Atau dalam bahasa Barat dilema.

Sesuai dengan ayat ini, alam negeri-negeri yang berkesopanan, jika perkara di muka hakim yang patut dirahasiakan, selalu disidangkan dengan pintu tertutup.

Tentu termasuklah dalam ayat ini segala penyiaran atau penyebaran untuk umum yang berupa berita surah kabar, reklame, atau iklan, yang membawa kesan buruk membangkitkan

rangsangan kepada yang melihat atau membaca,

“Dan adalah Allah itu Mendengar, lagi Mengetahui."

Untuk menuntun batin dan kesopanan kita, pada penutup Allah menyatakan bahwa Dia selalu mendengar apa yang kita ucapkan, sopankah atau kotor, dan mengetahui pera-ngai-perangai dan kelakuan kita yang akan bisa menjatuhkan muru'ah (harga diri) Karena banyaknya kata kotor adalah tanda dari budi dan batin yang memulai kotor. Padahal umat yang beragama, sudah semestinya mempunyai kesopanan yang tinggi.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib dua kali melepaskan musuhnya dari tikaman pedang beliau, hanya perkara tersingkap aura saja. Sekali terhadap seorang musyrik di Perang Uhud, sekali terhadap sesama Islam, yaitu Amr bin Ash sendiri di dalam Peperangan Shiffin. Ketika lawan-lawannya itu telah dekat beliau tikam, tiba-tiba terbuka aurat mereka atau tersingkap celana. Beliau tidak mau melihatnya, lalu beliau tinggalkan tempat itu dan diberinya kesempatan musuhnya menutupi auratnya kembali.

Demikian pula salah seorang dari Imam yang besar, imam Ahmad bin Hambal, ketika beliau dipaksa untuk mengucapkan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, yaitu paham yang dipaksakan oleh Khalifah al-Ma'mun, sampai beku dipenjarakan 30 tahun lamanya.

Pada suatu hari ketika beliau dalam tahanan di zaman Khalifah al-Mu'tashim, beliau dihadapkan kepada majelis kerajaan, dipaksa mengakui pendirian itu. Namun beliau tetap tidak mau, sebab paksaan itu berlawanan dengan pendiriannya, yaitu bahwa membicarakan At-Qur'an makhluk atau qa-dim bukanlah suruhan agama. Itu adalah pengaruh filsafat yang telah masuk ke dalam paham Islam. Dalam paksaan itu, beliau pernah dipukuli dengan cemeti, sehingga ber

belit-belitlah cemeti pada badannya dan memancurlah darah, sehingga cemeti itu pun merobek-robek bajunya. Cuma satu doanya kepada Allah, yaitu janganlah sampai terbuka auratnya atau robek celananya, atau pun putus ikat pinggangnya, sehingga auratnya kelihatan, sebab tangannya terikat. Karena menurut paham beliau, memperlihatkan aurat itu pun termasuk yang dibenci Allah, Doa beliau dikabulkan Allah.

Ayat 149

“Jika kamu memperlihatkan kebaikan atau kamu menyembunyikannya, atau kamu memberi maaf dari satu keburukan."

Menyebar-nyebarkan kata-kata kotor dan buruk sudah terang tidak disukai oleh Allah. Kalau sekiranya Allah tidak suka penyebaran kata buruk, tentu yang disukai Allah ialah penyebaran kata yang baik, yang sopan, yang bermutu, yang berisi pendidikan. Tetapi menyebarkan kata yang baik dan bermanfaat amat berbeda dengan menahan diri dari menyebarkan kata yang buruk. Menyebar kata yang buruk, jangan sekali-kali! Tetapi menye-barkan kata yang baik adalah memilih tempat juga. Kadang-kadang kata yang baik, bermaksud baik, karena tempat atau waktunya tidak kena, dia pun menghasilkan yang buruk.

Ada beberapa pepatah untuk menjelaskan hal ini. Satu pepatah mengatakan, “Apalah harga mutiara bagi seekor anjing." Ini menandakan bahwa kata-kata yang baik dan bernilai pun hendaklah memilih tempat yang baik dan waktu yang baik pula. Di sini terletak kebijaksanaan manusia. Sebab itu di dalam ayat ini disebutkan, “Jika kamu memperlihatkan kebaikan atau menyembunyikannyaSebab kadang-kadang ada kalanya kebajikan itu lebih berfaedah jika disembunyikan. Atau kamu memberi maaf dari satu keburukan. Misalnya orang mencaci-maki kita dengan kata-kata yang buruk, dan menghina. Maka menurut pendapat kita, hal ini hanya kecil saja, belum perlu dibawa ke muka hakim. Kita hendak menunjukkan ketinggian mutu budi, lalu kita beri maaf dia.

“Maka sesungguhnya Allah adalah Pemaaf, lagi Kuasa."

Di ujung ayat Allah menunjukkan sifat-Nya yang mulia, yaitu Pemaaf. Maka Allah menganjurkan kepada orang Mukmin supaya meniru sifat Allah itu. Dan di ujungnya sekali, Allah pun menerangkan bahwa Dia Maha-kuasa. Artinya jika seseorang memberi maaf bukanlah karena kelemahan, tetapi karena kekuasaan. Begitulah sifat Allah. Inilah hendaknya yang dipegang oleh Mukmin, yaitu,

“Memberi maaf dalam keadaan berkuasa buat membalas."

Sayyidina Ali pernah bermain pedang dengan musuhnya orang Yahudi, sehingga akhirnya Yahudi itu terdesak dan jatuh. Sayyidina Ali telah duduk ke atas badannya, tinggal menikam atau memenggal kepalanya saja lagi dalam satu peperangan karena agama. Tetapi setelah Sayyidina Ali duduk ke atas dadanya dan hendak memenggal lehernya, diludahinya Sayyidina hingga basah. “Astaghfirullah," Beliau segera berdiri dan musuhnya itu ditinggalkannya.

Lalu orang itu dengan heran bertanya, “Mengapa tidak jadi aku engkau bunuh?"

Beliau menjawab, “Aku hendak membunuh engkau adalah karena urusan mempertahankan agama Allah. Tetapi setelah engkau ludahi mukaku, aku sangat marah, sebab itu adalah menyinggung kemuliaan diriku. Maka kalau jadi engkau aku bunuh, bukan lagi aku melepaskan dendam Allah, tetapi melepaskan dendam diriku sendiri."

Pada tiap-tiap waktu shubuh, Khalifah Umar bin Abdul Aziz selalu datang lebih dahulu ke mesjid buat berjamaah, satu kali beliau melihat seorang tidur mendengkur dalam masjid, lalu beliau bangunkan untuk meng-ambil wudhu dan berjamaah karena agay-nya tidurnya sangat enak, dia marar. Narer.a dibangunkan dan memaki orang yang membangunkannya, “Majnun (gila)".

Dengan senyum beliau tinggalkan tempat itu dan berkata, “Sudah sekian tahun usiaku baru sekali ini orang menyebut namaku yang selama ini belum pernah kudengar."

Orang itulah yang kemudiannya ketakutan setelah tahu bahwa yang dikatakannya mamut, itu ialah Khalifah sendiri. Adapun beliau te^ar. dapat memenangi diri sendiri dengan meniru sifat Allah, yaitu Pemaaf padahal dia sedang Kuasa.

Ayat yang dua ini terletak di tengah-tengah di antara ayat-ayat teguran kepada kaum munafik dan Ahlul Kitab, yang di waktu itu dengan mudah mengucapkan kata-kata yang buruk secara berterang-terang. Malahan ada Yahudi mengucapkan, “Assamu'alaikum." kepada Rasulullah, padahal Assamu'alaikum artinya ialah “Matilah kamu!" Ketika menjawabnya, Rasulullah tidak menyebut kembali kata-kata itu, misalnya, “Wa ‘alaikumus salam." Melainkan beliau sambut saja dengan ucapan. “Wa salaikum." Dan ketika istri beliau Aisyah bertanya mengapa hanya begitu menjawab ucapan yang tidak senonoh itu, beliau katakan bahwa orang yang beriman tidaklah keluar dari mulutnya kata-kata yang keji.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Abu Bakar ash-Shiddiq duduk dekat Rasulullah ﷺ dalam satu majelis. Tiba-tiba datanglah seseorang, lalu orang itu melepaskan beberapa caci-maki kepada Abu Bakar, dan Abu Bakar menjawab, kelihatan muka Rasulullah berubah jadi marah, dan beliau terus berdiri meninggalkan majelis itu. Melihat Rasulullah berdiri. Abu Bakar pun berdiri mengikuti beliau. Lalu dia bertanya “Orang itu memaki aku dan aku berdiam din sedang engkau tersenyum. Tetapi kemudian setelah makiannya itu keterlaluan dan aku menangkisnya, engkau kelihatan marah dan engkau segera berdiri meninggalkan majelis. Kenapa begitu?"

Rasulullah menjawab, “Ketika engkau berdiam diri mendengar kata-kata orang itu, malaikat ada di sana dan dialah yang membalas makian orang itu; itu sebabnya aku tersenyum. Tetapi setelah engkau mulai menjawab, setan telah masuk ke dalam majelis itu. Tentu saja aku tidak mau duduk dalam satu majelis yang dihadiri oleh setan. Wahai Abu Bakar!"

Dan kata beliau selanjutnya, “Adalah tiga macam hak yang engkau terima dari Allah. Tidaklah seorang hamba yang dianiaya orang dengan suatu penganiayaan, lalu dia memberi maaf, melainkan pastilah Allah akan memuliakan hamba itu, dan berjanji akan membelanya. Dan tidaklah seorang hamba membuka pintu pemberian kepada Allah, melainkan Allah berjanji akan menambah untuknya lebih banyak."

Dan cerita lain pula dari Abu Hurairah, “Pada suatu hari, duduklah Rasulullah ﷺ dalam satu majelis. Tiba-tiba beliau pun tersenyum, sehingga kelihatan dua gigi saing beliau. Maka di antara hadirin ada yang bertanya, “Mengapa engkau tersenyum sendirian, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, “Aku melihat dua orang laki-laki dari umatku sedang berlutut di hadapan Tuhanku. Maka berkatalah yang seorang, ‘Ya Allah! Sudikah mengambil hakku yang dianiaya oleh saudaraku!' Maka Allah pun berfirman, ‘Berikanlah barang saudaramu yang telah engkau aniaya itu, hai anu!' Orang itu menjawab, ‘Tidak ada lagi kebajikan yang tinggal pada diriku ya Allah!' Lalu yang pertama tadi berkata, ‘Biarlah dia memikul dosa-dosaku."‘

Berkata Abu Hurairah, “Ketika menceritakan perbantahan kedua orang itu di hadapan Allah, berlinanglah air mata Rasulullah, seraya beliau berkata, ‘Hari itu adalah hari yang mahabesar. Sebab di hari itu manusia menginginkan dosanya yang berat itu dapat dipikul oleh orang lain.' Setelah itu beliau pun

berkata pula, ‘Maka Allah berfirman kepada orang pertama yang dahulu dianiaya oleh saudaranya itu dan sekarang meminta haknya, ‘Cobalah angkat mukamu, lihatlah surga yang di atasmu itu!'

Orang itu pun mengangkat muka. Maka kelihatan olehnya berbagai kebajikan dan beraneka warna nikmat Ilahi. Lalu dia bertanya, ‘Ya Allah, untuk siapa semuanya ini?'

Allah menjawab, ‘Untuk orang yang sanggup membayar harganya. Maka hamba itu pun bertanya pula kepada Allah, ‘Siapakah yang sanggup membayar harganya itu, ya Allah?'

Allah menjawab, ‘Engkau sendiri!'

Orang itu pun bertanya, ‘Bagaimana caranya?'

Allah menjawab, ‘Dengan memberi maaf kepada saudaramu itu!"

Orang itu berkata, ‘Sekarang dia telah aku beri maaf, ya Allah!'

Maka Allah berfirman kepadanya, ‘Ambillah tangan saudaramu itu, bimbinglah dia supaya bersama-sama masuk surga.'

Kemudian itu berkata Rasulullah ﷺ, ‘Oleh sebab itu, takutlah kamu sekaliannya kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara kamu satu dengan yang lain.'“

Dengan menilik segala riwayat dan hadits ini, dapatlah kita memahamkan ayat dua se-rangkai ini. Yaitu bahwa pada pokoknya janganlah keluar dari mulut kita kata yang kotor. Hanya boleh apabila karena terpaksa, sebab kita teraniaya.

Dan pada ayat 149 kita diberi kebebasan memilih, karena melihat masa dan ketika apakah kebaikan itu akan kita perlihatkan atau akan kita sembunyikan, atau kita akan memberi maaf. Kadang-kadang kita terpaksa membuka satu rahasia kejelekan orang lain, karena yang dituduh ialah diri kita, padahal kita tidak bersalah. Kalau misalnya telah mengancam hidup kita, niscaya di waktu itu kita wajib membuka kebusukan orang yang memfitnah itu. Tetapi ada pula suatu masa, tidak perlu kita membalas keji dengan keji, kotor dengan kotor. Sebab bagaimanapun seorang yang curang menyembunyikan kecurangannya, namun akhir kelaknya yang curang itu akan ketahuan juga. Itu berkehendak akan kesabaran kita sendiri.

Sebab itu ayat 149 ini Allah menyerahkan kepada diri kita sendiri apakah kita akan menyatakan kebaikan kita atau akan menyembunyikan, lalu kita memberi maaf atas keburukan yang telah dilakukan kepada diri kita? Tetapi sungguh pun terserah kepada kita memilihnya, di ujung ayat Allah menunjukkan sifat-Nya. Yaitu bahwa Allah adalah Maha Pemaaf dan Allah pun Mahakuasa.

Dia Pemaaf, tetapi Pemaaf-Nya itu bukanlah karena lemah, melainkan karena Kuasa-Nya. Sekarang terserahlah kepada diri kita sendiri, akan membalaskah kita, karena itu memang hak kita? Apatah lagi kita sanggup membalas? Atau kita akan meniru sifat Allah, yaitu memberi maaf di samping kita mempunyai kesanggupan? Niscaya orang yang ingin mempertinggi nilai jiwanya, meniru sifat Allah akan memilih memberi maaf.

Sebab itu buah dari ayat ini ialah meng-hasungkita supaya lebih banyak memberi maaf dan jangan suka menimbulkan kata-kata yang membawa kotor. Artinya jangan mengotori diri sendiri dengan mulut yang gatal.

Maka dapatlah disimpulkan rangkai kedua ayat ini, yaitu, “Allah tidak suka orang menyatakan dan membicarakan hal-hal yang kotor, kecuali dia sedang teraniaya." Tetapi kalau seorang yang teraniaya itu memberi maaf, dan tidak dia mengeluh karena penganiayaan, serta menyerahkan saja segala urusan itu kepada Allah Yang Mahabijaksana, maka sesungguhnya Allah Pemaaf atas yang bersalah dan Mahakuasa memberikan ganjaran yang setimpal kepada orang yang suka menganiaya.

Berkata ar-Razi dalam tafsirnya, “Ketahuilah bahwa tali pengikat kebaikan itu, betapa pun banyak cabang-cabangnya, namun dia hanya tersimpul dalam dua hal. Pertama, bersikap ikhlas kepada Allah, dan berbudi baik terhadap sesama makhluk. Maka yang berhubungan dengan sesama makhluk itu terbagi dua pula. Pertama menyampaikan manfaat kepada mereka dan menghambat mu-dharat dari mereka. Pangkal ayat “memperlihatkan kebajikan atau menyembunyikannya," maksudnya ialah untuk menyampaikan yang manfaat kepada mereka. Dan maksud ayat “dan kamu memberi maaf atas suatu keburukan “ialah menolak kemudharatan dari mereka. Dalam kedua kalimat inilah tersimpul segala macam kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat ini, dan segala amal yang berfaedah.

Berkata pula Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Tersebut di dalam satu pesan Rasul, bahwasanya malaikat-malaikat yang memikul Arasy Ilahi itu selalu mengucapkan tasbih kepada Allah. Setengah mereka bertasbih sambil berseru, “Amat suci Engkau ya Allah, karena kelapangan ampun-Mu." Dan setengah malaikat lagi berseru, “Amat suci Engkau ya Allah! Atas luasnya ampun-Mu sesudah begitu besar ke-kuasaan-Mu."

Tersebut dalam satu hadits yang shahih,

“Sedekah tidaklah akan mengurangi harta benda yang ada. Dan hamba Allah yang sudi memberi maaf, tidaklah akan ditambahkan Allah untuk dia, melainkan kemuliaan juga. Dan seorang yang rendah hati (tawadhu) karena Allah, tidaklah akan hina, melainkan akan diangkat Allah jua martabatnya jadi tinggi."