Ilustrasi. /Pixabay/betexion PIKIRAN RAKYAT - Selain menjadi ahli waris, seseorang juga bisa menjadi bukan ahli waris. Meskipun seseorang tersebut sebelumnya terjadi hubungan darah (nasab), baik nasab hakiki maupun nasab hukmi. Dengan kata lain, mereka terhalang untuk memperoleh hak harta waris oleh sebab-sebab tertentu (yang disebut mahrum atau mahjub). Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari buku 'Almanak Alam Islami Sumber Rujukan Keluarga Muslim Milenium Baru' terbitan Pustaka Jaya yang ditulis oleh Rachmat Taufiq Hidayat, H. endang Saiuddin Anshari, Thomas Djamaluddin, dan Nia Kurnia, berikut penjelasannya. Baca Juga: Hukum Waris dalam Islam: Syarat, Rukun, dan Penyebab Kewarisan Harta Waris berasal dari kata warāšah yang berarti hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) dari al-muwaris (orang yang mewariskan) kepada ahli waris (al-wāris) dengan menetapkan siapa ahli waris dan berapa hak (bagian)nya. Dalam Islam, terdapat 3 hal yang dapat mengakibatkan seseorang yang tadinya merupakan ahli waris bisa menjadi bukan ahli waris, yakni:
Seseorang yang semula saling mewarisi karena keturunan, pernikahan, nasab hakiki maupun nasab hukmi, kemudian membunuh sang pewaris, maka orang tersebut otomatis bukan lagi ahli waris. Baca Juga: Waspada Zihar! Ucapan yang Buat Suami Tak Bisa Berhubungan Badan dengan Istri Page 2Dengan kata lain, hak warisnya hilang oleh sebab pembunuhan yang disengaja tersebut. Penghalang kedua yang menyebabkan seseorang tidak mendapatkan hak warisnya adalah perbedaan agama. Meskipun seseorang pada awalnya memiliki kaitan secara nasab dan darah, tetapi lantaran murtad dari agama Islam dan memeluk agama lain, maka otomatis haknya sebagai ahli waris juga hilang. Dengan demikian, seorang Muslim tidak mendapat waris dari seorang kafir, dan seorang kafir juga tidak mendapat waris dari seorang Muslim. Yang dimaksud dengan perbudakan atau hamba sahaya adalah terjadinya perpindahan status yang semula merdeka menjadi budak. Misalnya seorang ahli waris dan yang mewariskan semula terjadi hubungan saling mewarisi. Kemudian, ahli waris itu dijual kepada ahli waris lainnya untuk dijadikan budak, maka budak itu otomatis tidak berhak mendapatkan harta waris.***
Kata waris berasal dari bahasa arab, warasa, yarisu, irsan yang artinya mewarisi. Warisan adalah perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan sesorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf a hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hal pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Penyebab Menerima Warisan Menurut Ali ash Shabuny, (1995:55), yang menyebabkan seseorang berhak menerima harta waris adalah sebagai berikut: 1. Kekerabatan, merupakan hubungan nasab seperti ibu, bapak, anak-anak, saudara-saudara, para paman dan lain-lain. Dijelaskan dalam surat al-anfal ayat 8 (2) yang berhak menerima warisan adalah orang tua, anak dan orang-orang yang bernasab bagi mereka. 2. Pernikahan, merupakan pernikahan yang sah antara suami dan istri. Sekalipun sesudah pernikahan belum terjadi persetubuhan atau berduaan di tempat sepi (khalwat). Dan mengenai pernikahan yang batal atau fasid tidak berhak menerima warisan. 3. Perbudakan, merupakan hubungan antara budak dan orang yang memerdekakannya, apabila budak yang dimerdekakan tidak mempunyai ahli waris berhak menghabiskan hartanya. 4. Tujuan Islam (Jihatul al-Islam), yaitu bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris maka hartanya ditaruh di Baitul Mal untuk kepentingan orang Islam. Penghalang Hak Waris Warisan akan terhalang oleh 4 hal yaitu sebagai berikut: 1. Perbudakan, seorang yang berstatus budak yang tidak mempunyai hak untuk mewarisi dari saudaranya sendiri. (Q.S An Nahl ayat 75). Sedangkan menurut Idris Ramulyo, perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status sosialnya, tetapi karena dipandang sebagai hamba sahaya yang tidak cakap menguasai harta benda. 2. Pembunuhan, pembunuhan terhadap pewaris oleh ahli waris menyebabkan tidak dapat mewarisi harta yang ditinggal oleh orang yang bunuh, meskipun yang dibunuh tidak meninggalkan ahli waris lain selain yang dibunuh. 3. Berlainan agama, keadaan berlainan agama akan menghalangi mendapatkan harta warisan, dalam hal ini yang dimaksud adalah antara ahli waris dengan muwarris yang berbeda agama. 4. Berlainan negara, dilihat dari segi agama orang yang mewariskan dan orang yang mewarisi, berlainan negara diklasifikasikan menjadi dua yaitu berlainan negara antar orang-orang non muslim dan berlainan negara antar orang Islam. Pembagian Ahli Waris Orang yang berhak menerima harta warisan terbagi menjadi 3 golongan yaitu sebagai berikut: 1. Dzul faraid yaitu ahli waris yang mendapatkan warisan tertentu dalam keadaan tertentu. 2. Dzul qarabat yaitu ahli waris yang mendapatkan warisan dengan bagian tidak tertentu. 3. Mawali yaitu ahli waris pengganti yang kedudukannya menggantikan ahli waris yang seharusnya mendapat ahli warisan. Sumber gambar : smartlegal.com Diolah oleh Tim forshei materi Sumber: Syahdan. 2016. “Pembagian Harta Warisan Dalam Tradisi Masyarakat Sasak : Studi Pada Masyarakat Jago Lombok Tengah” Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu Pendidikan Volume 4 Nomor 2 Hal. 126-128. Muhammad, ikbal. 2018. “Hijab Dalam Kewarisan Perspektif Al-Quran Dan Hadits (Analisis Terhadap Perbedaan Fiqih As-Sunnah Dan KHI)” jurnal at-takfir volume XI No. 1 Hal.134 ORANG YANG TIDAK BERHAK MENDAPAT HARTA WARIS Oleh 1. Ar-Riqqu Atau Hamba Sahaya Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. وَمَنِ ابْتَاعَ عَبْدًاوَلَهُ مَالٌ فَمَالُهُ لِلَّذِي بَاعَهُ إِلاَّ أَنْ يَشْتَرِ طَ الْمُبْتَاعُ “Dan barangsiapa membeli budak sedangkan budak itu memiliki harta, maka hartanya milik si penjual, kecuali bila pembeli membuat syarat” [Hadits Riwayat Bukhari 2/838 dan Muslim 3/1173] Selanjutnya beliau berkata : Jika dia tidak berhak memiliki, maka tidak berhak mewarisi, sebab bila dia mewarisi, maka akan beralih kepemilikannya kepada pemiliknya. [Lihat Tashilul Fara’id : 21] 2. Al-Qatil Atau Membunuh Orang Yang Akan Mewariskan Dalilnya, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. الْقَاتِلُ لاَيَرِثُ “Pembunuh tidaklah memperoleh harta waris” [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/288, Ibnu Majah 2/883, Hadits Shahih Lihat Al-Irwa’, hal. 1672] Adapun pembunuh secara tidak sengaja, maka menurut Imam Malik, dia tetap mendapat harta waris. Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Sedangkan jumhur ulama berpendapat, pembunuh tidak mendapat harta waris, baik dengan sengaja atau tidak . Lihat Sunan Tirmidzi (3/288). Jalan tengah dari dua pendapat yang berbeda ini, Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Pembunuhan yang disengaja tidak berdosa apabila pembunuhan itu seperti membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka membunuh perampok (walaupun itu ahli waris), maka tidaklah menghalangi pembunuhnya mendapatkan harta waris dari yang dibunuh., karena tujuannya untuk membela diri. Demikian juga, misalnya pembunuhan yang disebabkan karena mengobati atau semisalnya, maka tidaklah menghalangi orang itu untuk mendapatkan harta waris, selagi dia diizinkan untuk mengobati dan berhati-hati”. Lihat Tashilul Fara’id, hal. 21-22 3. Ikhtilaffud Din Atau Berlainan Agama Dan Murtad Usamah bin Zaid Radhiyallahu ‘anhu berkata sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. لاَيَرِثُ الْمُسلِمُ الْكَافِرِ وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ “Tidak boleh orang Muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang Muslim” [Hadits Riwayat Bukhari 6/2484] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mereka tidak mendapatkan harta waris karena antara keduanya putus hubungan secara syar’i. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada nabi Nuh ‘Alahis Salam menjelaskan anaknya yang kafir dengan firmanNya. قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ “Allah berfirman : “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik” [Hud : 46] Selanjutnya Syaikh menjelaskan : Ada dua perkara, bolehnya lain agama mewarisinya. Pertama : Al-Wala. Yaitu orang yang memerdekakan budak, dia mendapatkan warisan budak yang telah dimerdekakannya, walaupun lain agama. Kedua : Kerabat yang kafir lalu masuk Islam sebelum pembagian harta. Lihat Tashilul Fara’id, hal.22. Tiga macam diatas dinamakan hajib washaf. Artinya, keberadaannya seperti tidak adanya, karena mereka tidak mendapat harta waris. 4. Al-Muthallaqah Raj’iah Atau Talak Raj’i Yang Telah Habis Masa Iddahnya وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ “Dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar, kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. [At-Thalaq : 1] Yang dapat diambil pelajaran dari ayat ini, jika isteri dalam masa iddah, maka statusnya masih isteri sampai keluar masa iddah. Karena itu si isteri harus tinggal di rumah suami, tidak boleh diusir atau keluar dari rumah suami, selama masa iddah. 5. Al-Muthallaqah Al-Bainah Atau Talak Tiga Apa yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijiri bagian akhir ini benar, karena termasuk hailah atau rekayasa untuk menghalangi hak orang lain. Seperti halnya lima orang yang berserikat memiliki kambing dan jumlah kambingnya telah mencapai 40 ekor. Tiba waktu mengeluarkan zakat, mereka membaginya agar terlepas dari kewajiban mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan hailah (rekayasa) seperti ini, maka mereka tetap diwajibkan mengeluarkan zakat. Baca Juga Perincian Pembagian Harta Waris 6. Al-Laqit Atau Anak Angkat إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ “ … Jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan” [An-Nisa :176] 7. Ibu Tiri Atau Bapak Tiri وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ “Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak” [An-Nisa : 11] 8. Auladul Li’an Atau Anak Li’an 9. Auladuz Zina Atau Anak Yang Lahir Hasil Zina Selain keterangan di atas, ada pula ahli waris yang mahjub isqath terhalang karena ada orang yang lebih kuat dan dekat dengan si mayit. Misalnya kakek mahjub (tidak mendapatkan harta waris), karena ayah si mayit masih hidup, atau cucu mahjub karena anak masih hidup, saudara mahjub dengan anak, bapak dari seterusnya. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi khusus (7-8)/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
|