Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

Bahan dasar ekspresi artistik teater adalah cerita yang dalam khasanah teater disebut sebagai lakon (plays). Lakon diciptakan oleh pengarang atau penulis. Semua wujud ekspresi di atas panggung didasari pada isi cerita dalam lakon. Sebagai sebuah karya tulis, lakon memiliki struktur khsusus yang membedakan dengan jenis karya sastra lain yang disebut sebagai struktur dramatik. Struktur ini merupakan acuan aksi atau peristiwa yang tersaji di atas pentas dalam menyampaikan pesan utama lakon.

Struktur dramatik lakon bisa dikatakan sebagai bagian dari plot karena di dalamnya merupakan satu kesatuan peristiwa yang terdiri dari bagian-bagian yang memuat unsur-unsur plot. Rangkaian ini memiliki atau membentuk struktur dan saling berkaitan dari awal sampai akhir cerita. Teori dramatik Aristotelian memiliki elemenelemen pembentuk struktur yang terdiri dari eksposisi (Introduction), komplikasi, klimaks, resolusi (falling action), dan kesimpulan (denouement).

Penyusunan struktur dramatik antara lakon atau pengarang satu dengan yang lainnya bisa sangat berbeda. Hal ini sangat tergantung dari tujuan atau misi pengarang ketika menuliskan lakon. Di bawah ini akan dijabarkan beberapa struktur dramatik.

Gustav Freytag (1863), menggambarkan struktur dramatiknya mengikuti elemen-elemen tersebut dan menempatkannya dalam adegan-adegan lakon sesuai laku dramatik yang dikandungnya. Struktur Freytag ini dikenal dengan sebutan piramida Freytag atau Freytag’s pyramid (Lethbridge, Steffanie dan Jarmila Mildorf, tanpa tahun).

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

Dalam gambar di atas dijelaskan alur lakon dari awal sampai akhir melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

(a) Exposition

Eksposisi adalah penggambaran awal dari sebuah lakon. Berisi tentang perkenalan karakter dan masalah yang akan digulirkan.

(b) Complication (rising action)

Complication merupakan tahapan mulai terjadinya kerumitan atau komplikasi yang diwujudkan ke dalam jalinan peristiwa. Di sini sudah mulai dijelaskan laku karakter untuk mengatasi konflik dan tidak mudah untuk mengatasinya sehingga timbul frustasi, amukan, ketakutan, atau kemarahan. Konflik ini semakin rumit dan membuat karakter-karakter yang memiliki konflik semakin tertekan serta berusaha untuk keluar dari konflik tersebut.

(c) Climax

Klimaks adalah puncak dari laku lakon dan titik kulminasi. Pada titik ini semua permasalahan akan terurai dan mendapatkan penjelasan melalui laku karakter maupun lewat dialog yang disampaikan oleh peran.

(d) Reversal (falling action)

Tahapan penurunan emosi lakon. Penurunan ini tidak saja berlaku bagi emosi lakon tapi juga untuk menurunkan emosi penonton. Falling action ini juga berfungsi untuk memberi persiapan waktu pada penonton untuk merenungkan jalinan peristiwa yang telah terjadi. Titik ini biasanya ditandai oleh semakin menurunnya emosi permainan, dan volume suara pemeran lebih bersifat menenangkan.

(e) Denouement

Tahap penyelesaian dari lakon tersebut, baik berakhir dengan bahagia maupun menderita.

Menurut Hudson (Wiliiam Henry Hudson) seperti yang dikutip oleh Yapi Tambayong dalam buku Dasar-dasar Dramaturgi (1981), plot dramatik tersusun menurut apa yang dinamakan dengan garis laku. Garis laku ini dapat pula disebut sebagai garis waktu atau lamanya cerita berlangsung. Masing-masing elemen sturktur atau bagian-bagian plot yang menggambarkan adegan disusun sedemikian rupa sehingga laku lakon dapat dibaca dengan jelas. Garis laku tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

Garis laku lakon dalam skema ini juga melalui bagian-bagian tertentu yang dapat dijabarkan sebagai berikut.

(a) 1 = Eksposisi

Tahap awal lakon atau saat memperkenalkan dan membeberkan materi-materi yang relevan dalam lakon tersebut. Materi-materi ini termasuk karakter-karakter yang ada, di mana terjadinya peristiwa, dan persoalan apa yang sedang dihadapi.

(b) 2 = Insiden Permulaan

Tahapan mulai teridentifikasinya insiden-insiden yang memicu konflik, baik yang dimunculkan oleh tokoh utama maupun tokoh pembantu. Insiden-insiden ini akan menggerakkan plot dalam lakon.

(c) 3 = Pertumbuhan Laku

Tahapan ini merupakan tindak lanjut dari insiden-insiden yang telah terjadi. Konflik-konflik yang terjadi antara karakter-karakter semakin menanjak, dan semakin mengalami komplikasi yang ruwet. Jalan keluar dari konflik tersebut terasa samar-samar dan tak menentu.

(d) 4 = Krisis atau Titik Balik

Krisis adalah keadaan dimana lakon berhenti pada satu titik yang sangat menegangkan atau menggelikan. Bagi Hudson, klimaks adalah tangga yang menunjukkan laku yang menanjak ke titik balik, dan bukan titik balik itu sendiri. Sedangkan titik balik sudah menunjukkan suatu peleraian dimana emosi lakon maupun emosi penonton sudah mulai menurun.

(e) 5 = Penyelesaian atau Penurunan Laku

Penyelesaian atau denouement yaitu bagian lakon yang merupakan tingkat penurunan emosi dan jalan keluar dari konflik tersebut.

(f) 6 = Keputusan

Semua konflik yang terjadi dalam sebuah lakon bisa diakhiri.

Skema Hudson di atas bisa dikembangkan ke dalam beragam variasi atau kemungkinan, tergantung penempatan elemen konflik dan penyelesaiannya (Wiyanto, 2004: 26-27). Jika tahapan krisis, penyelesaian dan keputusan mengambil garis laku atau waktu yang lama, maka bisa digambarkan seperti di bawah ini.

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

Dari keseluruhan waktu kejadian yang terdapat di dalam lakon, proses penanjakan konflik menuju krisis terjadi sangat cepat sementara penyelesaian dan keputusan sangat lama.

Sementara itu jika proses terjadinya konflik berjalan sangat lambat dan titik krisis bersamaan dengan penyelesaian dan keputusan dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

Gambar di atas menjelaskan bahwa titik krisis, penyelesaian, dan keputusan berada dalam waktu bersamaan. Dapat dipahami bahwa struktur dramatik lakon model ini menempatkan puncak konflik adalah segalanya termasuk sebagai akhir dari cerita.

Brander Mathews, seperti dikutip oleh Adhy Asmara dalam Santosa (2008: 101), menekankan pentingnya tensi dramatik. Perjalanan cerita satu lakon memiliki penekanan atau tegangan (tensi) sendiri dalam masing-masing bagiannya. Tegangan ini mengacu pada persoalan yang sedang dibicarakan atau dihadapi. Dengan mengatur nilai tegangan pada bagian-bagian lakon secara tepat maka efek dramatika yang dihasilkan akan semakin baik.

Pengaturan tensi dramatik yang baik akan menghindarkan lakon dari situasi yang monoton dan menjemukan. Titik berat penekanan tegangan pada masing-masing bagian akan memberikan petunjuk laku yang jelas bagi aktor sehingga mereka tidak kehilangan intensitas dalam bermain dan dapat mengatur irama aksi.

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

(a) Eksposisi

Bagian awal atau pembukaan dari sebuah cerita yang memberikan gambaran, penjelasan dan keteranganketerangan mengenai tokoh, masalah, waktu, dan tempat. Hal ini harus dijelaskan atau digambarkan kepada penonton agar penonton mengerti. Nilai tegangan dramatik pada bagian ini masih berjalan wajar-wajar saja. Tegangan menandakan kenaikan tetapi dalam batas wajar karena tujuannya adalah pengenalan seluruh tokoh dalam cerita dan kunci pembuka awalan persoalan.

(b) Penanjakan

Sebuah peristiwa atau aksi tokoh yang membangun penanjakan menuju konflik. Pada bagian ini, penekanan tegangan dramatik mulai dilakukan. Cerita sudah mau mengarah pada konflik sehingga emosi para tokoh pun harus mulai menyesuaikan. Penekanan tegangan ini terus berlanjut sampai menjelang komplikasi.

(c) Komplikasi

Penggawatan yang merupakan kelanjutan dari penanjakan. Pada bagian ini salah seorang tokoh mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu atau melawan keadaan yang menimpanya. Pada tahap komplikasi ini kesadaran akan adanya persoalan dan kehendak untuk bangkit melawan mulai dibangun. Penekanan tegangan dramatik mulai terasa karena seluruh tokoh berada dalam situasi yang tegang.

(d) Klimaks

Nilai tertinggi dalam perhitungan tensi dramatik dimana penanjakan yang dibangun sejak awal mengalami puncaknya. Semua tokoh yang berlawanan bertemu di sini.

(e) Resolusi

Mempertemukan masalah-masalah yang diusung oleh para tokoh dengan tujuan untuk mendapatkan solusi atau pemecahan. Tensi dramatik mulai diturunkan. Semua pemain mulai mendapatkan titik terang dari segenap persoalan yang dihadapi.

(f) Konklusi

Tahap akhir dari peristiwa lakon biasanya para tokoh mendapatkan jawaban atas masalahnya. Pada tahap ini peristiwa lakon diakhiri. Meskipun begitu nilai tensi tidak kemudian nol tetapi paling tidak berada lebih tinggi dari bagian eksposisi karena pengaruh emosi atau tensi yang diperagakan pada bagian komplikasi dan klimaks.

Model struktur dramatik dari Marsh Cassady menekankan pentingnya turning atau changing point (titik balik perubahan) yang mengarahkan konflik menuju klimaks. Titik balik ini menjadi bidang kajian yang sangat penting bagi sutradara berkaitan dengan laku karakter tokohnya sehingga puncak konflik menjadi jelas, tajam, dan memikat (Cassady, 1995: 105).

Gambar di bawah memperlihatkan posisi titik balik perubahan yang menuntun kepada klimaks. Titik ini menjadi bagian yang paling krusial dari keseluruhan laku karena menggambarkan kejelasan konflik dari lakon. Inti pesan atau premis yang terkandung dalam permasalahan akan menampakkan dramatikanya dengan menggarap bagian ini sebaik mungkin.

Tiga titik penting yang merupakan nafas dari lakon menurut struktur ini adalah konflik awal saat persoalan dimulai, titik balik perubahan saat perlawanan terhadap konflik dimulai, dan klimaks saat konflik antar pihak yang berseteru memuncak hingga menghasilkan sebuah penyelesaian atau resolusi.

Susunan lakon yang diperagakan dalam suatu pementasan teater disebut

(a) Titik A adalah permulaan konflik atau awal cerita saat persoalan mulai diungkapkan. Selanjutnya konflik mulai memanas dan cerita berada dalam ketegangan atau penanjakan yang digambarkan sebagai garis B.

(b) Garis B ini menuntun pada satu keadaan yang dapat dijadikan patokan sebagai titik balik perubahan yang digambarkan sebagai titik C.

(c) Pada titik C ini terjadi perubahan arah laku lakon saat pihak yang sebelumnya dikalahkan atau pihak yang lemah mulai mengambil sikap atau sadar untuk melawan. Dengan demikian, tegangan menjadi berubah sama sekali. Ketika pada titik A dan garis B pihak yang dimenangkan tidak mendapatkan saingan maka pada titik C kondisi ini berubah.

(d) Hal ini terus berlanjut hingga sampai pada titik D yang menggambarkan klimaks persoalan.

(e) Tegangan semakin menurun karena persoalan mulai mendapatkan titik terang dan pihak yang akhirnya menang telah ditentukan. Keadaan ini digambarkan sebagai garis E yang disebut dengan bagian resolusi.