Suami lebih mengutamakan keluarga daripada istri

Assalamualaikum,
Saya (28) dan suami (31) menikah sudah1 tahun 4 bulan. Saat ini saya sedang hamil kedua. Saya pernah keguguran di kehamilan pertama. Sejak menikah sampai sekarang, saya kerap kali bertengkar dengan suami lantaran keluarga besar suami yang sangat tergantung secara materil dan moril terhadap suami. Di awal komitmen, saya menyetujui kalau suami masih harus menangung biaya kuliah adiknya sampai lulus, perbulannya sudah ditetapkan. Pada kenyataanya adik suami selalu minta lebih dari yang sudah disepakati sehingga sayapun harus lebih mengirit uang belanja agar bisa tetap menabung untuk masa depan anak kami. Belum cukup itu, saya kerap kali menemukan sms dari ponsel suami bahwa secara diam-diam suami telah mentransfer uang untuk keluarganya yang sumbernya didapat dari berhutang, namun saya diam saja menghindari pertengkaran. Pertengkaran hebat terjadi ketika adiknya membutuhkan biaya yang sangat besar dan suami pergi dari rumah lantaran saya menolak menyerahkan seluruh uang tabungan saya pada adiknya. Saya mengalah, namun uang tabungan saya belum cukup juga untuk membiayainya sehingga saya juga harus menanggung hutang yang bukan milik saya.

Pada masa-masa itu saya sangat stres dan sering menangis, padahal saya sedang hamil. Alhamdulillah kedua orang tua kandung saya mau menampung keluh kesah saya walaupun hanya berkomunikasi lewat telepon. Saya diberi support agar tetap sabar, karena orang tua saya memaklumi masa-masa perkenalan kami sangat singkat dan belum pernah mengenal keadaan keluarganya sebelum menikah. Ada sedikit rasa penyesalan di hati saya dan kedua orang tua saya karena terlalu tergesa-gesa menerima pinangan pihak suami dan keluarganya. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Apalagi suami pernah mentalak saya satu kali lantaran saya dituduh suami menjauhkan dia dari keluarganya.

Bu, bukan hanya soal materi. Saya menganggap suami saya masih kekanak-kanakan karena setiap weekend saya selalu dipaksa ikut sambang ke rumah ibunya di luar kota, padahal saya dalam keadaan hamil. Di samping itu, ibunya selalu meminta suami untuk datang tiap minggu. Terlalu sering frekuensinya, sehingga saya merasa tidak memiliki privacy dan suami tidak bisa mandiri secara moril. Apalagi suami enggan kalau saya ajak berkunjung ke rumah orangtua kandung saya.

Untuk menyenangkan hati suami, saya berusaha lebih dekat dengan mertua dan kerap kali menghabiskan waktu bersama walau sekadar memasak bersama atau mengobrol, tapi sampai saat ini saya belum pernah merasakan kasih sayang dari mertua. Mengapa sangat susah untuk didekati, apa mungkin karena latar belakang keluarga suami yang terlalu pasif dan sangat bergantung pada laki-laki. Apa mungkin ibu mertua merasa saya telah merampas anaknya sehingga tidak mau dekat dengan saya. Di satu sisi saya merasa cemburu karena suami lebih memperhatikan keluarga besarnya ketimbang saya, karena walaupun sehari-harinya suami tinggal dengan saya, tapi suami lebih banyak membicarakan dan mengeluhkan keadaan keluarganya.

Bu, mungkin karena stres dan sering perjalanan jauh akhirnya saya mengalami keguguran. Saya sangat trauma bu dan sempat tidak menerima apa yang telah terjadi pada nasib saya. Saat saya dirawatpun, tidak ada satupun dari keluarga suami yang berkunjung atau sekedar mengucapkan bela sungkawa. Saya merasa keluarganya terlalu pasif tidak memberikan dukungan moril pada saat saya kesusahan.

Saat ini saya hamil lagi, namun sempat mengalami pendarahan sehingga dokter menyarankan untuk bedrest total. Orang tua kandung saya sangat prihatin dan langsung memboyong saya ke rumahnya untuk dirawat. Sementara saya berpisah dari suami. Bersamaan dengan itu adiknya telah lulus kuliah dan sesuai komitmen saya menagih janji pada suami untuk lebih perhatian dan fokus pada istri dan calon baby yang saya kandung. Kenyataannya, suami masih mentransfer uang pada adiknya tanpa sepengetahuan saya. Saya tidak mau stres lagi dan menghibur diri sendiri demi si jabang bayi. Namun cobaan datang lagi. Tiba-tiba suami dimutasi ke kota dimana orang tuanya tinggal. Suami sangat senang sekali bisa tinggal dekat dengan keluarga besarnya. Tapi saya sangat takut bu, karena semakin banyak konflik dengan suami apabila kemauan keluarganya tidak dituruti. Tinggal di lain kota saja kami sudah sering bertengkar soal keluarganya, apalagi kalau sudah tinggal satu kota dengan keluarga besar suami. Rumah tangga saya tidak tidak bisa tenteram karena suami lebih mendulukan kepentingan keluarganya besarnya daripada kepentingan saya. Mohon sarannya bu, terima kasih.
Wassalam

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu Ibu Erni yang dirahmati Allah swt., Usia Pernikahan Anda masih sangat dini ( belum 2 tahun), wajar jika masih banyak hal yang belum Anda pahami tentang suami dan sebaliknya, suamipun nampaknya belum memahami Anda. Ini tantangan terbesar dalam pernikahan, Bu, yakni saling memahami. Banyak pasangan yang sudah lama berhubungan sebelum menikah, sehingga menganggap sudah saling mengenal, namun di antara mereka tidak terbentuk sikap saling memahami. Memang saling mengenal belum menjamin kedua pihak menjadi bisa memahami pasangannya. Ibu Erni yang dirahmati Allah swt., Selalu dalam pernikahan baik suami maupun istri harus memahami kewajibannya sehingga tidak semata-mata menginginkan hak-haknya dipenuhi. Nah…dalam usia pernikahan yang masih dalam proses adaptasi atau penyesuaian ini, mestinya masing-masing pihak harus introspeksi diri. Kadang-kadang untuk dapat menilai dirinya diperlukan pendapat orang lain, jadi forum saling curah pendapat, komunikasi dalam suasana yang nyaman, amat diperlukan. Ibu Erni yang shalihat, Pernahkah Ibu menyampaikan pendapat Ibu tapi kemudian suami menolak bahkan marah-marah? Cermati baik-baik apakah Ibu menyampaikannya juga ada emosi marah di dalamnya, biasanya nuansa emosi yang kita berikan, seperti itu pula yang kita dapatkan. Permasalahannya kadang bukan karena suami tidak sepakat dengan pendapat istrinya, tapi karena tidak senang dengan cara istri menyampaikannya. Kemarahan yang ditekan dilandasi oleh keikhlasanpun akan berbeda dengan yang dilakukan bukan dari keihlasan hati. Ibu Erni yang shalihat, Cobalah Ibu sampaikan dengan jujur, alokasi belanja keluarga selama ini pada suami, juga dengan akan datangnya bayi Anda kelak, alangkah baiknya secara tertulis agar suami dapat mencermatinya berulang-ulang dan mempertimbangkan kembali pengeluaran-pengeluaran yang di luar kemampuan. Saya yakin, suami sangat mencintai Anda dan anak-anak, sehingga akan ikhlas memenuhi hak-hak Anda dalam nafkah. Pahami pula latar belakang suami dan pola asuhnya di masa lalu, kadang-kadang pola asuh yang dia terima menjadikannya begitu kuat ikatannya dengan keluarga. Anda perlu empati, bukankah dia lebih lama hidup bersama keluarganya dibanding dengan Anda? Nah, jika sudah menikah tetapi terlalu berlebihan membantu keluarganya, coba pahami alasannya…mungkin ada masalah keuangan dalam keluarganya sehingga sebagai anak laki-laki dia perlu membantu. Apa yang suami peroleh sampai sekarang ini, bukankah ada andil dari pihak keluarga juga? Memang Bu, tidak selalu suami berada dalam pihak yang benar. Mungkin dia kurang proporsional saja membuat skala prioritas. Nah, ingatkan baik-baik, do’akan apa yang suami berikan menjadi amal sholih. Seringkali Bu, orang yang biasa berinfak akan mendapat rizki berlipat dari Allah swt, yakinlah akan hal ini. Matematika manusiawi tak dapat memprediksi hal ini, mengapa justru dengan banyak memberi harta justru bisa bertambah? Ikhlaskan apa sudah terjadi, teruslah berdo’a agar kebaikan suami pada keluarganya menjadi sarana datangnya rizki yang semakin lancar untuk keluarga Anda. Ibu Erni yang shalihat, Tentang perlakuan keluarga suami yang tidak menjenguk Anda ketika sakit, memang patut disayangkan. Saya dapat memahami perasaan Anda. Tapi cobalah berpikir secara realistis, mungkin karena keluarga suami di luar kota, maka ada hambatan secara teknis? Atau ada kerepotan yang tidak bisa ditinggalkan. Cobalah Ibu Erni kadang menjalin komunikasi via telpon atau sms, menanyakan keadaan mereka. Siapa tahu hal ini kan mendekatkan hubungan dengan keluarga suami. Jangan menunggu mereka berbuat baik baru Anda berbuat baik, sikap Anda yang perhatian pada keluarga suami, tentu akan menarik hati suami. ”Oh, ternyata istriku perhatian pada keluargaku…..aku akan perhatian juga pada keluarganya..!”, berharaplah begitu. Ibu Erni yang shalihat, Kepindahan kerja suami ke kota asal, terima dengan positif sebagai takdir Allah. Insya Allah banyak hikmah yang akan dapat Anda petik, misalnya ongkos berkunjung ke keluarganya tentu akan lebih ringan, dsb. Barangkali ini cara Allah swt. untuk memberi kesempatan Anda lebih berkesempatan memahami kondisi keluarganya. Doakan agar hati suami terbuka dan memahami kebutuhan istrinya dengan lebih baik. Saya turut mendoakan agar Ibu diberi kesabaran dan kelembutan menghadapi suami. Amin. Wallahu a’lam bisshawab,

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuhu

Bu Urba

Ikuti update terbaru di Channel Telegram Eramuslim. Klik di Sini!!!

loading...

Ilustrasi suami istri Foto: Shutter Stock

Dalam Islam, seorang suami memiliki tanggung jawab penuh untuk menafkahi istrinya secara lahir maupun batin. Ia harus memenuhi hak-hak sang istri dengan cara yang ma’ruf. Dalam surat al-Baqarah ayat 228, Allah Swt berfirman:

“Dan para perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.”

Tidak hanya nafkah, bimbingan dan kasih sayang juga harus diberikan suami kepada istrinya. Ini dilakukan agar hubungan suami-istri dapat berlangsung harmonis dan penuh kehangatan.

Namun, ada kalanya suami lebih mementingkan ibunya, meskipun sudah berumah tangga. Bagaimana hukum suami lebih mementingkan ibunya daripada istrinya? Simak artikel berikut untuk mengetahui jawabannya.

Hukum Suami Lebih Mementingkan Ibunya daripada Istrinya

Ketika sudah menikah, seorang suami tetap harus berbakti kepada ibunya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Siti Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah SAW:

"Siapa yang lebih berhak terhadap wanita?" Rasullullah SAW menjawab, "Suaminya." Kemudian Siti Aisyah bertanya lagi, "Siapa pula yang berhak terhadap lelaki!" Rasulullah saw. menjawab, "Ibunya."

Ilustrasi pasangan suami istri. Foto: Shutter Stock

Menurut Elie Mulyadi dalam Buku Pintar Membina Rumah Tangga yang Sakinah, Mawaddah, dan Warahmah, bila istri dan ibunya memiliki kebutuhan tertentu dalam waktu bersamaan, maka suami harus lebih mengutamakan ibunya. Maka, dapat disimpulkan bahwa hukum suami lebih mementingkan ibunya daripada istrinya adalah wajib.

Namun, status kewajiban ini dapat hilang jika suami dihadapkan pada situasi yang genting. Misalnya, ketika istri melahirkan, sedang sakit, kecelakaan, dan lain-lain. Jumhur ulama mengategorikan situasi ini dalam bab pengecualian.

Perintah tentang berbakti kepada ibu sebenarnya telah dijelaskan melalui sabda Rasulullah SAW. Namun, hadits ini bersifat universal, tidak terbatas pada laki-laki Muslim saja. Dari Abu Hurairah ra beliau berkata:

"Seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi menj awab, 'Ibumu! Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapalagi ?' Nabi lalu menjawab, Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibu disebut tiga kali dalam hadits tersebut. Ini menandakan bahwa kedudukan dan derajatnya tiga kali lebih tinggi dibanding ayah. Oleh karena itu, umat Muslim diwajibkan untuk berbakti kepada ibu.

Ilustrasi suami istri. Foto: Shutter Stock

Namun, amanah untuk memperlakukan ibu dan istri dapat diamalkan sekaligus, tanpa mengabaikan salah satunya. Imam an-Nawawi berpendapat bahwa seseorang tidak berdosa ketika mengutamakan istri daripada ibunya, selama ia memenuhi kewajiban nafkah.

Tetapi jika harus memilih, ia bisa mengutamakan nafkah istrinya dengan tetap menjaga perasaan ibunya. Dalam kitab Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Imam an-Nawawi berkata:

“Seseorang tidak berdosa dengan tindakan itu ketika ia mencukupi (nafkah) ibunya jika ibunya adalah salah seorang yang wajib dinafkahi dengan baik. Tetapi yang utama adalah membahagiakan (menjaga perasaan) dan mengutamakan ibunya. Jika memang harus mengutamakan nafkah istri daripada ibu, maka seseorang suami harus menyembunyikan tindakan tersebut dari ibunya.”