#PENABURSmartGenSetiap tanggal 10 November, Bangsa Indonesia memperingati hari Pahlawan Nasional. Peringatan Hari Pahlawan Nasional didasari oleh pertempuran yang terjadi di Surabaya yaitu para pejuang dan rakyat Surabaya melawan sekutu, dan perang tersebut mencapai puncaknya pada tanggal 10 November 1945.
Dan kemudian pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan Sekutu, berada di Surabaya. Pasukan tersebut, tergabung dalam Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang memiliki tujuan untuk melakukan bantuan rehabilitasi tawanan perang dan adanya interniran dalam melucuti senjata tentara Jepang. Semenjak kedatangan pasukan sekutu di Surabaya, terjadi banyak gesekan antara orang-orang sekutu dan para pejuang bersama rakyat Surabaya. Sebelumnya, pada tanggal 19 September 1945, para pemuda dan pejuang di Surabaya menurunkan dan merobek warna biru dalam triwarna bendera Belanda yang dikibarkan di Hotel Yamato, sehingga menyisakan bendera berwarna merah dan putih. Banyaknya gesekan yang terjadi antara pihak sekutu dan para pejuang di Surabaya, menyebabkan pecahnya perang untuk pertama kalinya, yakni pada tanggal 27-30 Oktober 1945. Dalam peristiwa tersebut pemimpin pasukan sekutu di Jawa Timur, yakni Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby tewas dalam suatu insiden pada tanggal 30 Oktober 1945. Kedudukan Mallaby kemudian diambil alih oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh dari Komandan Divisi 5 Inggris. Â Pada tanggal 9 November 1945, Mayor Jenderal Robet Manserg mengeluarkan sebuah ultimatum kepada rakyat Surabaya. Isi dari ultimatum tersebut sebagai berikut: Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus diserahkan kepada Inggris. Para pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat. Nampaknya, ultimatum Mayor Jenderal Robet Manserg tidak disambut baik oleh para pejuang, arek-arek Surabaya, dan segenap rakyat Surabaya. Sehingga, meletuslah perang besar yang dikenal dengan Peristiwa 10 November 1945. Pertempuran tersebut, menelan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak dan menyebabkan kota Surabaya menjadi hancur. Tercatat peristiwa bersejarah tersebut menewaskan sekitar 6.000-16.000 orang dari pihak Indonesia. Sementara itu, juga menewaskan 600-2.000 pasukan dari sekutu. Sebagai upaya untuk mengingat perjuangan para pahlawan bangsa yang telah gugur, Presiden Sukarno kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional dalam Rapat Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BPKRI) di Yogyakarta pada tanggal 4 Oktober 1946.EA (disadur dari beberapa sumber) Suasana pertempuran Surabaya akibat ultimatum dari Brigjen Mallaby pada 10 November 2021. Bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan pada Rabu (10/11/2021).
TRIBUNNEWS.COM - Bangsa Indonesia akan memperingati Hari Pahlawan pada Rabu (10/11/2021) besok. Peringatan Hari Pahlawan merupakan bentuk penghormatan kepada pahlawan yang telah gugur membela Indonesia dari tangan penjajah. Para pahlawan yang gugur pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya menjadi teladan nasional yang mencerminkan semangat dan keberanian. Ribuan pahlawan dari kalangan rakyat dan tentara Indonesia gugur untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia dari ancaman Inggris. Di balik peristiwa itu, ada tokoh-tokoh nasional dari Indonesia dan Inggris yang berperan penting dalam pertempuran 10 November. Selengkapnya, berikut ini daftar tokoh yang terlibat pertempuran Surabaya. Baca juga: HARI PAHLAWAN 10 November, Simak Tema, Logo dan Kumpulan Link Twibbon-nya Berikut Ini Tokoh-tokoh yang terlibat Pertempuran Surabaya Sutomo (1920-1981) Melansir perpusnas.go.id, Sutomo atau Bung Tomo lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya dan meninggal pada 7 Oktober 1981 di Makkah. Bung Tomo adalah pahlawan yang terkenal sebagai pemimpi yang berhasil mengembalikan semangat rakyat untuk melawan pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA. Mayjen Sungkono. ©Surabayastory.com
JATENG | 10 November 2021 08:04 Reporter : Shani Rasyid Merdeka.com - Peristiwa 10 November yang terjadi di Kota Surabaya merupakan peristiwa bersejarah dalam perjalanan terbentuknya Republik Indonesia. Pada peristiwa itu, rakyat beserta para tentara bertempur habis-habisan melawan tentara sekutu dan Belanda yang berusaha kembali menjajah Indonesia. Salah satu tokoh yang terkenal dalam peristiwa ini adalah Bung Tomo. Dia membakar semangat para pejuang Surabaya dengan orasi-orasinya. Di samping Bung Tomo, sebenarnya ada satu tokoh lagi yang perannya cukup besar dalam peristiwa itu. Dia adalah Mayjen Sungkono. Dalam peristiwa 10 November, Sungkono merupakan Komandan Angkatan Perang Surabaya. Dia pun memimpin penyerbuan para prajurit Badan Keamanan Rakyat (BKR) dari Mojokerto menuju Surabaya. Lantas bagaimana pengaruh Mayjen Sungkono dalam peristiwa itu? 2 dari 4 halaman
©Surabayastory.com Dilansir dari Wikipedia.org, Mayjen Sungkono lahir pada 1 Januari 1911 di Purbalingga, Jawa Tengah, dari seorang pasangan tukang jahit, Tawireja dan Rinten. Ia menempuh pendidikan di Hollands Indische School (HIS) pada tahun 1928 dan kemudian melanjutkan ke MULO. Setelah lulus dia meneruskan pendidikan ke Zelfontelkeling hingga kelas dua dan mengantongi ijazah pendidikan militer dari sekolah teknik perkapalan di Makassar. Pada masa penjajahan Jepang, Sungkono masuk tentara PETA dan mengikuti latihan di Bogor. Pada awal tahun 1945, dia diangkat menjadi Chondancho dengan pangkat kapten dan ditempatkan di Surabaya. Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, ia mengajak mantan PETA, Heiho, KNIL, dan pemuda pejuang untuk bergabung dalam BKR. 3 dari 4 halaman ©Surabayastory.com Untuk melengkapi amunisi BKR, Sungkono dan para prajuritnya melakukan misi merebut senjata dari tangan Jepang. Dalam misinya, ia melucuti senjata para tentara Jepang dengan cara berdiplomasi dengan tentara Jepang yang dipimpin Iwabe. Pelucutan senjata itu berhasil dilakukan setelah melalui pembicaraan yang alot. Pelucutan senjata itu dilakukan dengan cara sandiwara seolah-olah PETA merampas senjata dari Jepang. Hal inilah yang nantinya Jepang katakan pada sekutu bahwa senjata mereka direbut oleh pemuda-pemuda Indonesia. Selain diplomasi, pelucutan senjata tentara Jepang juga dilakukan dengan penyerbuan. Salah satu penyerbuan Sungkono lakukan di markas Kaigun Jepang di Gubeng. Pada saat itu, tembak-menembak tak terhindarkan. Pada akhirnya komandan markas itu menyatakan pada anggota polisi bahwa ia mau menyerahkan senjata asal ada orang berkuasa di Kota Surabaya yang mau menerimanya. 4 dari 4 halaman ©2020 liputan6.com Sebagai komandan BKR Kota Surabaya, Sungkono bertanggung jawab atas pertahanan dan keamanan seluruh kota. Selain memimpin pertempuran, Sungkono juga mampu membakar semangat para pejuang dalam pidatonya pada sore hari tanggal 9 November 1945. Saat itu, dia berpidato di hadapan ribuan arek-arek Surabaya dan para anak buahnya di BKR. “Saudara-saudara, saya ingin mempertahankan Kota Surabaya... Surabaya tidak bisa kita lepaskan dari bahaya ini. Kalau saudara-saudara ingin meninggalkan kota, saya juga tidak akan menahan. Tapi saya akan mempertahankan kota sendiri,” seru Sungkono waktu itu, dilansir dari Surabayastory.com. Namun para anak buahnya menyatakan tetap tinggal dan siap untuk berperang. Tekadnya ini justru mendapat sambutan dari pemuda Surabaya untuk berjuang melawan Inggris dan Belanda. (mdk/shr) |