Kenapa cak nun tidak berani menyebut dirinya muslim

Kenapa cak nun tidak berani menyebut dirinya muslim
Budayawan Emha Ainun Nadji saat menjadi saksi ahli dalam Sidang Pengujian UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama di Gedung Mahkamah konstitusi, Jakarta. TEMPO/Subekti

TEMPO Interaktif, Jakarta -Ketegangan lazimnya meruap dalam tiap sidang uji materi Undang-undang Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Pihak pemohon, yang ingin sejumlah pasal beleid itu dicabut, berhadapan dengan pihak terkait yang berkukuh aturan tersebut masih diperlukan.

Hari ini nuansa berbeda terasa ketika budayawan Emha Ainun Nadjib hadir. Pria humoris yang akrab disapa Cak Nun itu didapuk Mahkamah Konstitusi untuk bersaksi sebagai ahli. "Saya dituduh sebagai ahli ini kesalahan serius dari MK. Tapi Pak Mahfud yang minta saya, beliau orang Madura, agak takut saya sama orang Madura," ucapnya saat memberi keterangan di Mahkamah Konstitusi, Jumat (12/3). Hadirin kontan tertawa mendengar Cak Nun melontarkan canda terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.

Guyon segar terus mewarnai keterangan Cak Nun. Misalnya, saat ia berkisah apa yang terjadi jika masyarakat begitu mempermasalahkan identitas. "Ada yang kecelakaan, sebelum ditolong ditanya dulu, Islam atau bukan? Kalau Islam, NU (Nahdlatul Ulama) apa Muhammadiyah? Lalu NU Madura atau bukan? NU PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) apa PPP (Partai Persatuan Pembangunan)? Sampai mati itu orang malah nggak ditolong," tuturnya dengan ekspresi datar meski disambut tawa pendengarnya.

Ia lantas menyebut diri tak keberatan disebut kafir. "Saya disebut kafir malah Alhamdulillah, sama seperti sekolah nggak lulus-lulus, jadi belajar terus. Saya belum berani menyebut diri muslim, apalagi bilang saya ngganteng," candanya lagi.

Cak Nun menyatakan beleid yang diuji sudah tak tepat karena menyakiti umat, namun jika dicabut pun ia khawatir masyarakat justru bakal bentrok lagi. Ia meminta para pemangku kepentingan berdialog untuk menyusun aturan yang lebih sempurna.

Dia berharap Mahfud bisa turut serta dalam dialog itu. "Pak Mahfud ini paling ahli, kalau orang Jombang pasti nggak berani, tapi karena dia orang Madura, (dia) berani," ucapnya dengan nada bercanda. Mahfud sendiri hanya geleng-geleng sembari tersenyum.

BUNGA MANGGIASIH

Kenapa cak nun tidak berani menyebut dirinya muslim

islamindonesia.id – Cak Nun Ungkap Alasannya Tak Bergamis Tak Berserban

Jika Anda belum mengenal siapa Cak Nun, coba cari nama Emha Ainun Nadjib di Google. Jika beruntung, Anda akan diarahkan ke situs Wikipedia yang memuat khusus uraian lumayan memadai tentang sosok Kiai Mbeling asal Jombang yang kini menetap di Yogyakarta itu.

Ya. Meski punggawa Kiai Kanjeng ini lebih akrab disapa Cak Nun dan bukan Kiai Nun, tapi dia lebih dari pantas disebut Kiai. Yakni Kiai tanpa gamis dan serban, karena suami Novia Kolopaking itu selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Istilah orang Jawa, “Gak onok bedane karo wong dodol akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.”

Banyak orang heran, dengan kapasitas keilmuan mumpuni dan layak menempati maqam ulama, kenapa Cak Nun lebih suka tampil biasa-biasa saja?

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan serban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim… Kalau itu tidak benar, itu kan namanya ‘penipuan’…!” kata Cak Nun.

Lalu, bukankah berpakaian ala ulama termasuk bagian dari akhlak atau etika ‘menghargai diri sendiri sebelum menghargai orang lain’? Bukankah dalam peribahasa Jawa, juga dikenal pakem ‘Ajining rogo soko busono?’

“Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi ‘penipuan’ saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya. Karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya…” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukkan kecintaannya kepada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada pada diri Rasul. Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Kata Cak Nun, baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis: yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di zaman Nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..; Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine yo koyok ngono iku (model bajunya ya sepert itu).

Jadi sebenarnya Sunah Rasul yang paling mendasar adalah akhlaknya, bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk. Rendah hati, biso rumongso, nggak rumongso biso (mawas diri, tidak merasa yang paling bisa).

Orang yang perlu diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Karena semua nabi saja mengaku dirinya zalim: “Inni Kuntu Minadzalimin”(aku termasuk orang yang zalim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya shaleh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae…ndang baliyo sriii…!

“Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkan ilmu yang lebih tinggi,” tambah Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jemaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jemaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al-Qur’an, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dan seterusnya.

“Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati.” Begitu yang kerap dipesankan Cak Nun.

“Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris.. saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa.. saya lahir dan dibesarkan di Jawa.. diperintah Tuhan jadi orang Jawa… maka saya mencintai dan mendalami budaya saya.. siapa bilang Jawa itu tidak Islam.. kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing.. kalau Anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri.. Kita memang disuruh Bhinneka (berbeda-beda) kok..!”

Mungkin justru lucu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-banggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Padahal perlu diIngat: Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.

EH / Islam Indonesia

Kenapa cak nun tidak berani menyebut dirinya muslim

IslamIndonesia.id – Cak Nun : Orang yang Mengkafir – kafirkan adalah Orang Kafir

Emha Ainun Najib menggambarkan fenomena akhir-akhir ini dimana istilah-istilah dalam Islam telah dimanipulasi sedemikian rupa. Karena itu adanya diskusi atau kajian yang elaboratif diperlukan untuk menggali kembali makna-makna seperti apa itu Islam, jihad, hingga kafir.

“Nah, sekarang Anda tahu, orang bilang ‘Allahuakbar’ untuk bunuh,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini di forum Kenduri Cinta Jakarta menyinggung kelompok Islam garis keras.

Demikian juga dengan pendangkalan makna Islam atau Muslim. Menurut pria asal Jombang ini, tidak sedikit orang yang menandakan keislaman seseorang dari sekedar membaca dua kalimat syahadat. Padahal yang perlu diketahui ialah apakah syahadat itu formal atau substansial?

“Kalau substansial, berarti tidak tergantung diucapkan atau tidak. Sebab kalau harus mengucapkan, berarti ini tidak berlaku bagi orang bisu,” kata budayawan yang juga cendekiawan Muslim Indonesia ini.

Sedemikian, Islamnya seseorang tidak bisa diukur dengan panca indra seperti dilihat menggunakan peci atau didengar mengucapkan syahadatain. Pada tingkatan tertentu, jangankan menuduh orang lain itu kafir, menilai bahwa seseorang itu Muslim, sejatinya kita tidak mempunyai hak.

“Jangankan orang lain, saya menyebut diriku Muslim saja tidak berani. Karena itu hak prerogatifnya Allah untuk menilai saya ini Muslim benar atau bukan. Ko’ saya menyebut diri saya Muslim? (Ini maksudnya) saya cuman berusaha, mudah-mudahan kelak lulus (sebagai Muslim), lah sekarang ko’ orang saling mengkafir-kafirkan,” katanya

Orang yang gemar mengkafir-kafirkan orang lain, lanjut Cak Nun, adalah orang Kafir. Karena menilai seseorang kafir atau tidak yang berhak ialah Allah. Dialah yang memiliki informasi yang sempurna hingga bisa melihat, baik yang dzahir maupun yang batin, soal Islam tidaknya seseorang.

“Maka, hanya Allah yang layak menilai seseorang itu Muslim atau bukan.”

[Baca: KAJIAN–Sesatnya Fatwa Sesat (Bagian I)]

Setelah menjelaskan secara bahasa makna kafir yang berarti ‘menutupi’, Cak Nun mengatakan jika seseorang menghakimi orang lain kafir, berarti ia ‘menutupi’ haknya Allah.  Tidak hanya menutupi, bahkan ada orang atau lembaga yang mengklaim bahwa pemberi stempel kafirnya seseorang adalah haknya.

“Apakah di sini Anda bisa punya cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur akidah? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam? Kalau Anda menjawab “bisa”, itu kan mulutmu. Lha hatimu? Kita tidak bisa menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan kecuali MUI,” kata Cak Nun disambut tawa hadirin.

[Baca – NU: Di MUI, Ada Orang yang Paham Kebangsaannya Kacau]

Begitu juga persoalan halal dan haram, yang boleh melegitimasi kedua hukum tersebut adalah Allah Swt. Seperti dilaporkan caknun.com, apabila kemudian MUI mengeluarkan fatwa halal atau haram, sebaiknya diawali dengan kalimat “berdasarkan sidang para ulama, menurut sidang itu” baru kemudian dilanjutkan kepada kalimat hukum tentang fatwa halal atau haram. Karena dalam kehidupan ini pemilik saham total adalah Allah swt.

Hal ini juga agar jelas, bahwa fatwa atau label halal yang dikeluarkan oleh MUI bersifat relatif, setidaknya tidak merepresentasikan umat Islam Indonesia seluruhnya. Sedemikian sehingga membuka ruang dialektika yang sehat dan bisa memberikan masukan serta kritik.

“Saya setuju saja dan senang ada banyak dana yang  masuk dari sertifikat halal. Cuman kan nggak masuk akal,” katanya

Penulis “Slilit Sang Kiai” ini lalu bercerita tentang sejumlah  kota di luar negeri dimana 90 persen di jalan raya adalah mobil. Dalam kondisi seperti ini, kalau ada motor, apalagi dari arah yang berlawanan,  akan berbahaya. Adalah wajar, jika motor di sana harus menyalakan lampu utama. Dengan demikian pengendara mobil bisa melihat dari jauh adanya motor.

Sebaliknya, kalau di Yogyakarta misalnya, kendaraan paling banyak adalah motor. Lalu apa perlunya dinyalakan? Apakah tidak terbalik? “Mestinya yang dinyalakan yang minoritas, karena asumsi dasarnya jika kebanyakan mobil dan ada segelintir pengendara motor maka berbahaya. Karena itu motor harus menyalakan lampu”

Jika dikatakan di Amerika itu mayoritas non-Muslim maka asumsi dasarnya makanan itu haram sehingga dibutuhkan sertifikasi halal. Tapi jika di Indonesia yang disebut sebagai mayoritas Muslim dan semua makanan relatif halal, maka yang dibutuhkan sertifikasi haram.

Bicara soal sertifikasi halal ala MUI, ulama senior KH. Mustafa ‘Gus Mus’ Bisri juga mengaku banyak mendapat ‘laporan’. Mulai dari telur hingga jilbab bersertifikasi halal.

Setelah menyinggung kaidah fikih, “Pada dasarnya segala sesuatu mubah sampai ada dalil yang mengharamkan,” Gus Mus – via akun pribadinya di media sosial – berpendapat bahwa sebelum memberikan sertifikasi halal, MUI perlu mengeluarkan sedikitnya tiga fatwa.

Pertama, fatwa tentang hukum sertifikasi halal itu sendiri.

Kedua, hukum uang dari hasil sertifikasi halal.

Ketiga, fatwa tentang siapa yang sejatinya berwenang mengeluarkan sertifikasi halal di Indonesia. []

[Baca – Gugat MUI, Gus Mus: Apa Hukum Uang Hasil Sertifikasi Halal?]

YS / Islam Indonesia