Siapa saja yang menyebarkan Islam di Nusantara?

Di Indonesia terkenal dengan  penduduknya yang mayoritas memeluk agama islam, budaya nya, alamnya yang luas dan hasil bumi yang cukup banyak.

Sejarah masuknya islam awalnya di bawa oleh pedagang Gujarat lalu di ikuti oleh pedagang arab dan Persia.  Sambil berdagang mereka menyebarkan agama islam ke tempat mereka berlabuh di seluruh indonesia.

Banyak yang berspekulasi jika islam masuk ke indonesia di abad ke 7 atau 8, karena pada abad tersebut terdapat perkampungan islam di sekitar selat Malaka.

Selain pedagang ada juga dengan cara mendakwah, seperti penyebaran di tanah jawa yang di lakukan oleh para walisongo.  Mereka lah sang pendakwah dan sang ulama yang menyebarkan islam dengan cara pendekatan sosial budaya.

Di jawa islam masuk melalui pesisir utara pulau jawa dengan  di temukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah. Di Mojokerto juga telah di temukannya ratusan makam islam kuno.  Di perkikan makam ini adalah makam para keluarga istana Majapahit.

Di kalimantan, islam masuk melalui pontianak pada abad 18.  Di hulu sungai Pawan, kalimantan barat di temukan pemakaman islam kuno.  Di kalimantan timur islam masuk melalui kerajaan Kutai, di kalimantan selatan melalui kerajaan banjar, dan dari kalimantan tengah di temukannya masjid gede di kota Waringin yang di bangun pada tahun 1434 M. Di sulawesi islam masuk melalui raja dan masyarakat Gowa-Tallo.

Demikian sedikit penjelasan tentang sejarah islam masuk ke indonesia.  Kita harus bangga dengan para ulama yang telah menyebarkan agama islam di indonesia tanpa adanya perang.  Dengan peran para ulama yang bijaksana, agama islam dengan mudah di terima di seluruh nusantara.

Islam adalah agama terbesar dan menjadi mayoritas di Indonesia. Perkembangan agama Islam pun tidak terjadi secara spontan, melainkan melalui beberapa proses. Berikut adalah “Lima Cara Penyebaran Agama Islam di Nusantara”

Perdagangan

Media perdagangan adalah tahap paling awal dalam penyebaran agama islam yang diperkirakan terjadi pada abad ke 7 dari para pedagang Arab, Pesia dan India. Menurut Thome Pires, sekitar Abad ke-7 sampai Abad ke-16 lalu lintas perdagangan yang melalui Indonesia sangatlah ramai. Dalam agama Islam siapapun bisa sebagai penyebar agama Islam, sehingga hal ini menguntungkan karena para pedagang tersebut dapat menyebarkan agama Islam sambil berdagang Proses penyebaran ini melibatkan semua kelompok masyarakat dan proses ini dipercepat dengan rutuhnya kerajaan Hindu_Budha di nusantara.

Perkawinan

Media perkawinan adalah tahapan lanjutan dari media perdagangan. Para pedagang yang datang ke nusantara kelamaan akan menetap dan membentuk perkampungan. Tahap selanjutnya, para pedagang yang menetap ada yang membentuk keluarga dengan penduduk setempat dengan cara menikah, misalnya Raden Rahmat (Sunan Ampel) dengan Nyai Manila. Adapun syarat memeluk islam yang mudah hanya dengan mengucap syadat saja mempermudah media ini. Media perkawainan berjalan lancar mengingat akan ada keluarga muslim yang menghasilkan keturunan muslim serta mengundang ketertarikan penduduk lainnya untuk memeluk islam.

Pendidikan

Media yang ketiga adalah pendidikan. Dalam penyebaran agama Islam tidak bisa lepas dari perang penting para ulama, kiai dan guru agama. Para tokoh agama inilah yang menyelenggarakan pendidikan Islam melalui pondok pesantren untuk para santri. Dari para santri inilah nantinya Islam akan disosialisasikan di tengah masyarakat. Contoh pesantren yang berdiri pada masa pertumbuhan agama Islam di Jawa adalah Pesantren Sunan Ampel di Surabaya dan Pesantren Sunan Giri di Giri. Lalu terdapat pula para kiai dan ulama yang dijadikan sebagai penasihat serta guru agama di kerajaan kerajaan. Kyai Dukuh adalah guru Maulana Yusuf di Kerajaan Banten dan Syekh Yusuf merupakan penasihat agama Sultan Ageng Tirtayasa di Kerajaan Banten

Kesenian

Penyebaran agama Islam melalui media kesenian dapat dilakukan melalui seni bangunan, seni pahat atau ukir, tari, musik, dan sastra. Seni yang paling terkenal adalah seni wayang dan musik. Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang aktif menyebarkan Islam dengan menggunakan sarana wayang. Untuk seni musik adalah sunan bonang yang menciptakan lagu “Tombo Ati”. Lalu ada ganding (lagu-lagu) yang berisikan syair nasihat dan dasar dasar agama islam. Pesan-pesan islamisasi juga dilakukan melalui sastra, misalnya kitab primbon pada abad ke-16 M yang disusun oleh Sunan Bonang. Namun kesenian yang telah berkembang sebelumnya tidak musnah tetapi diperkaya oleh seni Islam yang membentuk sebuah akulturasi.

Politik

Dalam media politik, kekuasaan raja menjadi peranan utama dalam penyebaran agama islam. Jika raja memeluk islam maka otomatis rakyatnya akan mengikuti. Dengan demikian, setelah agama Islam mulai tumbuh di masyarakat, kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan yang diikuti dengan penyebaran agama. Contohnya, Sultan Demak yang mengirimkan pasukannya dibawah Fatahilah untuk menduduki wilayah Jawa Barat dan memerintahkan untuk menyebarkan agama Islam

Itu dia nih “Lima Cara Penyebaran Agama Islam di Nusantara” gimana sudah menambah informasi kamu belum?

Ilustrasi pengajaran Islam di tengah masyarakat. (Troppenmuseum).

Pada abad ke-15, keberadaan agama Islam mulai kuat di Pulau Jawa. Kehadirannya sedikit demi sedikit menggerus eksistensi Hindu-Budha yang telah hadir berabad-abad lamanya. Dianggap lebih mudah diikuti ketimbang ajaran-ajaran sebelumnya, masyarakat pun berbondong-bondong mengikrarkan diri sebagai seorang muslim.

Kemunculan Wali Songo (Sembilan Wali) juga turut menguatkan proses islamisasi kala itu. Para alim –seorang berilmu dalam agama Islam– itu menjadi ujung tombak dalam penyebaran ajaran Islam. Sunan Gersik, Sunan Bonang, hingga Sunan Gunung Jati, membangun daerah penyebarannya masing-masing. Mereka menjadi salah satu pembuka jalan era kerajaan Islam di Pulau Jawa.

Namun sebelum masa Sembilan Wali, masyarakat di Pulau Jawa telah mengenal tokoh-tokoh penyebar Islam. Syekh Jumadil Qubro misalnya, menjadi leluhur sebagian besar Wali Songo. Di antara ulama-ulama tersebut, berikut empat tokoh yang berhasil dirangkum Historia.

Advertising

Advertising

Syekh Datuk Kahfi –nama lainnya Syekh Nurjati atau Syekh Idhofi– dikenal sebagai perintis penyebaran Islam di barat Pulau Jawa, khususnya wilayah Cirebon dan sekitarnya. Lahir di Semenanjung Malaka sekitar abad ke-14, Syekh Datuk Kahfi merupakan putra seorang ulama besar Malaka yakni Syekh Datuk Ahmad. Disebutkan di dalam beberapa naskah, salah satunya Naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Datuk Kahfi adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari jalur Zaenal Abidin.

Syekh Datuk Kahfi pernah menuntut ilmu di Makkah sekitar pertengahan abad ke-14. Dari Tanah Suci, dia pergi ke Baghdad, Irak. Di wilayah kekuasaan Persia itu, Syekh Datuk Kahfi memperdalam keilmuannya. Banyak pemikir-pemikir Muslim Persia yang turut mempengaruhi jalan dakwah Syekh Datuk Kahfi ketika berada di Jawa.

Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara

Di Baghdad ini juga Syekh Datuk Kahfi menikah dengan Syarifah Halimah, adik penguasa Baghdad Syarif Sulaiman. Kedunya dikaruniai empat orang anak, yang kelak mengikuti jejak ayahnya di Cirebon. Syekh Datuk Kahfi lalu diutus oleh Raja Baghdad menyiarkan Islam ke wilayah Nusantara, yang ketika itu menjalin hubungan dagang dengan Persia.

Setelah melalui perjalanan yang panjang, Syekh Datuk Kahfi akhirnya sampai di Nusantara, tepatnya Pulau Jawa. Menurut sejarawan Uka Tjandrasasmita dalam Arekologi Islam Nusantara, Syekh Datuk Kahfi dan rombongannya tiba di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada 1420. Dia diketahui membawa serta 20 laki-laki, dan dua perempuan dalam perjalanan dakwahnya ini.

Syekh Datuk Kahfi langsung diterima baik oleh Juru Labuhan Ki Gedeng Jumajanjati (sumber lain menyebut Ki Gedeng Tapa). Dia diberi tempat bermukim di Giri Amparan Jati. “Mereka diterima dengan baik, diberikan tempat, dan dimuliakan oleh Ki Gedeng Jumajanjati,” tulis Uka Tjandrasasmita.

Di Amparan Jati, Syekh Datuk Kahfi giat berdakwah. Dia mengenalkan tentang agama Islam di sekitar masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-Budha. Banyak orang dari berbagai daerah yang kemudian berdatangan untuk belajar tentang Islam. Namun jalan dakwahnya ini tidak selalu mulus. Syekh Datuk Kahfi banyak mendapat tantangan, terutama dari Kerajaan Galuh sebagai penguasa Cirebon kala itu.

Baca juga: Anak Raja Sunda Mencari Islam

Syekh Datuk Kahfi diketahui menjadi guru bagi putra-putri Raja Sunda Prabu Siliwangi, yakni Raden Walasungsang dan Nyai Rara Santang. Keduanya memilih memeluk Islam setelah memperdalam tentang ajaran tersebut di bawah asuhan Syekh Datuk Kahfi. Raden Walasungsang (bergelar Syekh Duliman) lalu mendirikan tempat dakwah lain di Caruban Larang, tempat berdirinya Kesultanan Cirebon. Walasungsang membantu Syekh Datuk Kahfi dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, dan wilayah lainnya.

Syekh Maulana Akbar

Ulama lain yang menyebarkan ajaran Islam di barat pulau Jawa adalah Syekh Maulana Akbar –nama lainnya Syekh Bayanullah. Adik Syekh Datuk Kahfi ini banyak melakukan dakwah di wilayah Kuningan, Jawa Barat. Tercatat di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta, Syekh Maulana Akbar adalah putra dari Syekh Datuk Ahmad, dan cucu Syekh Datuk Isa. Keduanya dikenal sebagai ulama besar Malaka.

Syekh Maulana Akbar datang ke Jawa setelah Syekh Datuk Kahfi membangun pusat dakwah di Amparan Jati, Cirebon. Sama seperti kakaknya, Syekh Maulana Akbar juga lahir di Malaka sekitar abad ke-14. Menurut cerita di dalam Naskah Pangeran Wangsakerta, dia menimba ilmu di Makkah sejak usia remaja. Diketahui, Syekh Maulana Akbar lebih dahulu tinggal di Makkah ketimbang Syekh Datuk Kahfi. Di sana dia mendirikan pondok, dan dikenal masyarakat sebagai guru agama sekaligus saudagar.

Menurut Bambang Irianto dan Siti Fatimah dalam Syekh Nurjati (Syekh Datul Kahfi): Perintis Dakwah dan Pendidikan, kedatangan Syekh Maulana Akbar di Kuningan bermula dari kunjungan murid Syekh Datuk Kahfi, Walasungsang dan Rara Santang ke Makkah. Dari interaksi itu, dan berbagai cerita yang disampaikan Walasungsang terkait situasi di Nusantara, Syekh Maulana Akbar mulai memiliki keinginan untuk berdakwah ke Jawa, mengikuti jejak kakaknya.

Baca juga: Muslim Pertama di Tatar Sunda

Syekh Maulana Akbar juga sempat pergi ke Persia. Sehingga banyak orang yang mengira kalau Syekh Maulana Akbar berasal dari Persia. Syekh Maulana Akabr tiba di Kuningan sekitar tahun 1450. Dia sempat tinggal di Cirebon bersama Syekh Datuk Kahfi. Kemudian memutuskan membangun lingkungan dakwahnya sendiri di Kuningan. Syekh Maulana Akbar mendirikan pondok di Desa Sidapurna, Kuningan.

Diceritakan sejarawan Edi S. Ekadjati dalam Sejarah Kuningan: Dari Masa Prasejarah hingga Terbentuknya Kabupaten, Syekh Maulana Akbar menikah dengan Nyi Wandasari, cucu Raja Sunda Prabu Dewa Niskala di Kawali. Dari pernikahan itu lahir seorang putra berama Maulana Arifin. Putranya inilah yang nantinya menggantikan peran Syekh Maulana Akbar dalam menyiarkan Islam di Kuningan setelah dirinya wafat.

“… Penduduk setempat mulai banyak masuk Islam atas upaya Syekh Maulana Akbar,” kata Ekadjati.

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro dikenal sebagai guru para Wali di Tanah Jawa. Keturunannya kelak banyak yang memangku gelar Wali Songo (sembilan wali), sebagai para pendakwah Islam di Pulau Jawa. Dalam Atlas Wali Songo disebutkan bahwa Syekh Jumadil Qubro merupakan ayah dari Sunan Gresik; kakek dari Sunan Ampel; dan kakek buyut dari Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

Syekh Jumadil Qubro lahir di sebuah desa di Samarkhand, Uzbekistan pada pertengahan abad ke-14. Syekh Jumadil Qubro terlahir dengan nama Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar. Sejak kecil, dia telah mendapat pendidikan agama Islam yang baik dari ayahnya Sayyid Zainul Khusen. Beranjak dewasa, Syekh Jumadil Qubro pergi ke India untuk belajar Tasawwuf dan ilmu agama lainnya.

Kemudian Syekh Jumadil Qubro melanjutkan pencarian ilmunya ke Makkah. Berbagai ilmu keislaman diterimanya dari sejumlah ulama besar Makkah dan Madinah. Dalam buku Sejarah Islam Nusantara, Syekh Jumadil Qubro menikah dengan seorang putri dari Uzbekistan dan dikaruniai tiga putra: Maulana Malik Ibrahim, Ibrahim Asmaraqandi, dan Maulana Ishaq.

Selain dikenal sebagai pendakwah, Syekh Jumadil Qubro juga seorang saudagar. Ketika sedang berada di Champa, dia berhasil mengislamkan penguasa di wilayah yang sangat kental dengan ajaran Hindu-Budha tersebut. Di sana, Syekh Jumadil Qubro menikahkan Ibrahim Asmaraqandi dengan putri Raja Champa Dewi Candrawulan. Perjalanan lalu berlanjut ke wilayah Samudera Pasai di Aceh. Syekh Jumadil Qubro didampingi oleh putra-putranya saat berdakwah dan berdagang di Nusantara.

Baca juga: Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

Syekh Jumadil Qubro tiba di Jawa pada 1399. Dia langsung dihadapi dengan situasi politik kerajaan Majapahit. Ajaran Hindu Budha saat itu pun masih sangat kuat di wilayah Jawa. Untuk beberapa waktu, Syekh Jumadil Qubro melakukan pengenalan ajaran Islam secara perlahan, dan sembunyi-sembunyi. Dia mengalami berbagai kesulitan dalam upaya Islamisasi tersebut, mengingat pengaruh Majapahit.

“Kegiatan dakwah secara terang-terangan tidak memungkinkan beliau lakukan, karena hal tersebut tentu akan mengundang kemurkaan kerajaan,” tulis Cholil Nasiruddin dalam Punjer Wali Songo: Sejarah Sayyid Jumadil Kubro.

Meski begitu, banyak orang, termasuk kalangan bangsawan, yang akhirnya memilih memeluk Islam dan menjadi murid Syekh Jumadil Qubro. Perlahan upaya Islamisasi di sekitar kekuasaan Majapahit semakin kuat. Banyak masyarakat yang meninggalkan ajaran Hindu-Budha, sehingga pengikut Syekh Jumadil Qubro semakin besar. Pada masa ini juga mulai bermunculan ulama-ulama lain yang melakukan dakwah ke seluruh penjuru Jawa.

Syekh Quro

Ulama lain yang memberi pengaruh besar kepada penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah Syekh Quro –nama lainnya Syekh Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Syekh Quro berasal dari Champa, putra seorang ulama besar bernama Syekh Yusuf Siddik. Dia mendapat pengetahuan Islam dari ulama-ulama besar Makkah.

Peneliti Atja dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut jika Syekh Quro pergi ke Nusantara dalam perjalanan dakwahnya. Dia ikut di dalam rombongan orang-orang Cina yang datang ke Champa. Syekh Quro sempat mengajar keislaman di Kesultanan Malaka pada permulaan abad ke-15. Dari sanalah dia melanjutkan dakwahnya ke Pulau Jawa.

Menurut Uka Tjandrasasmita, daerah pertama yang disinggahi Syekh Quro adalah Pelabuhan Cirebon, di wilayah Kerajaan Galuh-Sunda. Kedatangannya pada 1418 itu disambut Syahbandar Muara Jati Ki Gedeng Tapa. Di sana, Syekh Quro melanjutkan syiar agamanya. Banyak masyarakat di sekitar pelabuhan yang akhirnya memeluk Islam setelah menerima ajaran Syekh Quro, termasuk Ki Gedeng Tapa sendiri.

Baca juga: Empat Tokoh Islam di Indonesia

Syekh Quro tidak lama tinggal di Cirebon. Halangan dari para penguasa membuat dia terpaksa pergi dan melanjutkan dakwahnya di Karawang. Di tempat baru ini, Syekh Quro membangun sebuah pondok sebagai tempat dakwah dan penyiaran agama Islam. Diketahui, Syekh Quro memiliki suara yang merdu ketika membaca Al-Qur’an. Hal itu menjadi daya tarik yang membuat banyak orang tertarik mempelajari Islam.

Melalui penelitian Ading Kusdiana dalam Sejarah Pesantren: Jejak Penyebaran, dan Jaringannya di Wilayah Priangan, diketahui bahwa Ki Gedeng Tapa menyuruh putrinya Nyai Subang Larang pergi ke Kerawang guna menuntut ilmu agama di bawah asuhan Syekh Kuro. Di sinilah Nyai Subang Larang memeluk Islam dan mulai mengajarkan pengetahuan Islam kepada anak-anaknya: Raden Walasungsang dan Nyai Lara Santang. Keduanya kemudian menjadi murid Syekh Datuk Kahfi.

“Ada beberapa indikasi bahwa penyebaran Islam dan kegiatan pendidikan pesantren masuk ke wilayah Priangan dari Cirebon dan dari Karawang,” tulis Ading.