Kamis, 12 Mei 2022 | 21:34 WIB Show
Kamis, 12 Mei 2022 | 21:28 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 20:11 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 18:37 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 17:36 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 17:20 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 16:58 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 16:35 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 16:02 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 15:43 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 15:14 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 15:05 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 14:51 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 14:38 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 14:34 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 13:44 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 13:32 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 10:22 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 08:26 WIB
Kamis, 12 Mei 2022 | 07:29 WIB Page 2
Page 3
Page 2Page 3Page 4Page 5Page 6Page 7Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini disebabkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sebagai ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 8Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 9Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 10Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 11Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 12Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 13Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 14Page 15Page 16Page 17Page 18Page 19Page 20Page 21Foto para pendiri JSB di arsip Museum Sumpah PemudaJong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang ada tujuan untuk memperketat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan kebiasaan Sumatra. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki enam cabang, empat di Jawa dan dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi.[1] Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini diakibatkan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak. Daftar pokok
Awal MulaKelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang menyebut bahwa Sumatra belum dewasa untuk suatu politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap membangun perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap aksi modern JSB sbg ancaman untuk norma budaya Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana Jong Sumatra. Surat kabar Jong SumatraJong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang dipakai kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya. Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta ditolong beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan. Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sbg media yang menjembatani segala bangun reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kebutuhan kaum norma budaya. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas menyebut dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangung dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang kepentingan umum. Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melewati JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian beliau menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam akalnya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang sangat dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Beliau memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia dipakai sbg bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra memerankan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan argumen Yamin, tentang bahasa Melayu sbg bahasa persatuan. Tokoh utamaPustakaSumber : wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya. Page 22Page 23José Miguel Covarrubias (kelahiran di Mexico City, 22 November 1904 – meninggal 4 Februari 1957 pada umur 52 tahun) yaitu seorang pelukis, karikaturis, ilmuwan etnis (ethnologist) dan sejarawan seni berdarah Meksiko. Tak puas dengan awal kariernya di Meksiko, ia pindah ke New York City pada tahun 1924, melukis kepada beberapa majalah terkenal, menikah dengan penari Rosa Roland, dan tinggal disana sampai tahun 1932 ketika ia melakukan perjalanan ke Asia Tenggara (Pulau Jawa, Bali, India, Vietnam), Afrika dan Eropa sebagai penerima dana program Guggenheim Fellowship, dan kembali ke Mexico City dimana ia memgajar pengetahuan etnis (ethnologi) di Escuela Nacional de Antropología e Historia. Karya-karya seni dan karikatur selebritinya telah diterbitkan oleh majalah The New Yorker dan Vanity Fair. Garis-garis alami dari gaya menggambarnya sangatlah berpengaruh pada karikaturis yang lain seperti Al Hirschfeld. Covarrubias juga menggambar ilustrasi kepada penerbit The Heritage Press seperti di cetakan buku-buku Uncle Tom's Cabin, Green Mansions, dan karya Pearl Buck berjudul All Men Are Brothers. Edisi-edisi tersebut sangatlah dicari oleh para kolektor. Ia juga melakukan pekerjaan sebagai ilustrator kepada publikasi W.C. Handy's. Ia ikut ikut serta dalam pembuatan jurnal seorang artis Austria bernama Wolfgang Paalen berjudul "Dyn" dari tahun 1942 sampai 1944. Covarrubias terkenal akan analisanya pada seni Mesoamerika Pra-Columbus, terutama karya-karya dari muslihat budi Olmec, dan teorinya mengenai difusi muslihat budi Meksiko di anggota utara negara tersebut, terutama kebudayaan-kebudayaan Indian di wilayah Mississippi. Analisanya mengenai iconografi mencetuskan yang kuat bahwa muslihat budi Olmec bertambah tua daripada Era Klasik - sebuah pernyataan yang dibuat bertahun-tahun sebelum para pandai arkeologi membuktikannya. Ketertarikannya pada antropologi menjadi lebih anggota seni dan menjadi lebih benua Amerika. Covarrubias tinggal dan menulis etnografi lengkap mengenai Pulau Bali (The Island of Bali, 1937). Bibliografi
Sumber : p2k.al-quran.co, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, andrafarm.com, dan lain sebagainya. Page 24Rampokan macan, sebuah pertunjukan di Jawa di saat lampau, di mana seekor harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) dikurung dalam segiempat yang dibuat empat barisan orang bersenjatakan tombak. Sang macan tidak mempunyai pilihan selain tertusuk oleh tombak. Pertunjukan ini kebanyakan diselenggarakan oleh pembesar pribumi, terutama bupati. Litografi ini dibuat berdasarkan lukisan oleh Rappard. Lawatan petang di kalangan Belanda Josias Cornelis Rappard (lahir di Nijmegen, 24 April 1824 – meninggal di Leiden, 17 Mei 1898 pada umur 74 tahun) yaitu seorang kolonel infanteri KNIL (tentara kerajaan Hindia Belanda). Selang tahun 1882 dan 1889, selama tugasnya di Hindia Belanda, Rappard sempat menciptakan puluhan lukisan yang menggambarkan orang, kehidupan dan alam Indonesia di yang belakang sekali ratus tahun ke-19. Josias yaitu anak Anthony Rappard (1785-1851) dan Josina Cornelia Arnolda de Villeneuve (1792-1860). Dia menikah tanggal 31 Mei 1851 di Batavia (kini Jakarta) dengan Cornelia Nicolina Tromp (1831-1893). Dari pasangan ini lahir delapan anak. Sumber : p2k.al-quran.co, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, andrafarm.com, dan lain sebagainya. Page 25Wanita penghibur berpindah ke halaman ini. Untuk artikel mengenai pelacuran silakan melihat prostitusi Jugun ianfu (従軍慰安婦) yaitu istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita (bahasa Inggris comfort women) yang menjadi korban dalam perbudakan seks selama Perang Alam II di koloni Jepang dan wilayah perang. Jugun ianfu yaitu wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang yang berada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945. Menurut riset oleh Dr. Hirofumi Hayashi, seorang profesor di Universitas Kanto Gakuin, jugun ianfu termasuk orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura), Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India, Indo, orang Eropa di beberapa kawasan kolonial (Inggris, Belanda, Perancis, Portugis), dan masyarakat kepulauan Pasifik. Jumlah anggaran dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000. Pengakuan dari beberapa jugun ianfu yang sedang hidup jumlah ini sepertinya berada di batas atas dari angka di atas. Kebanyakan rumah bordilnya berada di pangkalan militer Jepang, namun dijalankan oleh masyarakat setempat, bukan militer Jepang. Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kumpulan lain. Di IndonesiaPara perempuan Indonesia kebanyakan direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan paksaan (diambil begitu saja di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau hendak menjadi pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia, Ibu Mardiyem). Sampai saat ini, para mantan jugun ianfu sedang merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi fisik dampak pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi warga yang tidak memperoleh informasi dengan sah, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa paksaan). Rumah bordil sebagai babak dari kebijakan militer JepangPenelitian sejarah ke dalam pemerintah Jepang mencatat beberapa argumen untuk pendirian rumah bordil militer. Pertama, penguasa Jepang mengharapkan dengan menyediakan akses mudah ke budak seks, moral dan keefektivan militer tentara Jepang hendak meningkat. Kedua, dengan mengadakan rumah bordil dan menaruh mereka di bawah pengawasan resmi, pemerintah rindu dapat mengatur penyebaran penyakit kelamin. Terakhir, pengadaan rumah bordil di garis depan menyingkirkan kebutuhan untuk memberikan izin istirahat untuk tentara. Pada tahap permulaan perang, penguasa Jepang mengambil pelacur melewati acara konvensional. Iklan yang menawarkan pekerjaan sebagai pelacur muncul di koran-koran yang terbit di Jepang dan koloni Jepang di Korea, Manchukuo, dan daratan Tiongkok. Banyak yang menanggapi iklan ini dahulunya yaitu pelacur dan menawarkan perbuatan yang berguna mereka sukarela. Yang lainnya dijual oleh keluarga mereka kepada militer karena kesukaran ekonomi. Namun, sumber ini dengan cepat mengering, terutama dari Jepang. Menteri Urusan Luar Negeri menolak mengeluarkan visa perjalanan untuk pelacur Jepang, karena khawatir hendak mencemari nama Kekaisaran Jepang. Militer akhir mencari wanita penghibur di luar Jepang, terutama dari Korea dan Tiongkok. Banyak wanita dibohongi dan ditipu untuk bergabung ke rumah bordil militer. Lainnya diculik. Pelacur Jepang yang tetap tinggal di rumah bordil militer sering menjadi karayukisan, atau manajer rumah bordil, menyisakan wanita penghibur non-Jepang menjadi korban pemerkosaan beruntun. Militer juga mengumpulkan wanita penghibur dari kawasan setempat. Di wilayah perkotaan, iklan konvensional melewati orang ketiga digunakan bersama dengan penculikan. Namun, di garis depan, terutama di negara di mana orang ketiga jarang tersedia, militer memohon pemimpin lokal untuk menyediakan wanita untuk rumah bordil. Situasi ini menjadi buruk ketika perang berlanjut. Di bawah tekanan usaha perang, militer menjadi tidak mampu lagi untuk menyediakan persediaan yang cukup untuk tentara Jepang; sebagai tanggapan, tentara Jepang memohon atau merampok persediaan dari kawasan setempat. Terlebih lagi, ketika orang setempat, terutama Tiongkok, dianggap berbahaya, tentara Jepang mengadakan kebijakan pembersihan (dalam bhs. Jepang:燼滅作戦, dalam bhs. Tionghoa 三光作戰), yang termasuk penculikan dan pemerkosaan masyarakat setempat. Menurut wanita penghibur yang sedang hidup menggambarkan rumah bordil Jepang tempat yang mengerikan. Wanita dibagi menjadi tiga atau empat kategori, tergantung lamanya pelayanan. Wanita yang paling baru yang lebih tidak mungkin terkena penyakit kelamin diletakkan di kategori tertinggi. Namun, dengan berlanjutnya waktu, wanita penghibur diturunkan kategorinya karena probabilitas terkena penyakit kelamin lebih tinggi. Ketika mereka dianggap terlalu berpenyakit untuk digunakan lebih lanjut, mereka diabaikan. Banyak wanita melaporkan uterus mereka membusuk dari penyakit yang diperoleh oleh ribuan lelaki dalam waktu beberapa tahun. Ketika usaha perang mengalami kemunduran dan militer mengevakuasikan posisi mereka di Asia Tenggara, wanita penghibur non-Jepang dibiarkan bebas. Banyak wanita penghibur mati kelaparan di pulau-pulau yang dibiarkan bebas ribuan mil dari rumah mereka. Beberapa dapat kembali ke tempat asalnya di Korea atau timur laut Tiongkok. Bacaan lanjutan
Pranala luarSumber : ensiklopedia.web.id, p2k.kuliah-karyawan.com, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, dan sebagainya. Page 26Julia Fiona Roberts (kelahiran di Atlanta, Georgia, 28 Oktober 1967) adalah seorang aktris Amerika Serikat pemenang Academy Award yang juga mantan fashion model, yang mulai syuting film pada awal 1990an setelah membintangi komedi romantis, Pretty Woman, dengan lawan mainnya Richard Gere. FilmografiPenghargaanPemenang
Nominasi
Pranala luar
Pustaka
Sumber : id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, p2k.kpt.co.id, wiki.edunitas.com, dan lain sebagainya. |