Sebutkan empat Kondisi kehidupan yang disaksikan oleh Pangeran Siddharta Gautama

KOMPAS.com - Agama Buddha atau Buddhisme adalah salah satu agama di dunia. Di mana sudah ada sejak ribuan tahun lalu yang berasal dari India.

Membahas mengenai Agama Buddha tidak dapat lepas dari sosok Siddharta Gautama yang merupakan pendiri dan penyebar Agama Buddha.

Tahukah Kamu Siddharta Gautama?

Siddharta Gautama adalah guru spiritual dari wilayah timur laut India yang merupakan pendiri agama Buddha. Siddharta dikenal sebagai Shakyamuni (orang bijak kaum Sakya) dan sebagai sang Tathagata.

Baca juga: Memaknai Pangkas Rambut dari Sejarah Siddharta Gautama...

Kelahiran

Buddha Gautama dilahirkan nama Siddharta Gautama yang lahir di Taman Lumbini di kaki Gunung Himalaya, India bagian Utara pada 623 masehi.

Nama Siddharta berasal dari bahasa Sansekerta yang berati orang yang mencapai segala cita-citanya. Sedangkan Gautama berasal dari leluhur yang merupakan guru terkenal.

Dalam buku Guru Agung Buddha Gautama (2012) karya Dion P. Sihotang, Siddharta merupakan putra raja dan disebut sebagai Pangeran.

Ayah Siddharta bernama Siddhodana yang berasal dari suku Sakya, anggota dari Kelas Khasatria adalah seorang raja di Kota Kapilavastu Jambuduipa. Sementara ibunya bernama Mahamaya.

Saat Siddharta lahi, dua arus kecil jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat.

Arus tersebut membasuh tubuh Siddharta. Siddharta lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, berdiri tegak dan langsung dapat melangkah ke arah utara, dan tempat yang dipijakinya ditumbuhi bunga teratai.

Sejak kecil Siddharta Gautama adalah anak yang cerdas dan sangat pandai.

Pada usia 7 tahun, Siddharta memiliki tiga kolam bunga teratai, yakni kolam bunga teratai berwarna biru (uppala), kolam bunga teratai berwarna merah (paduma), dan kolam bunga teratai berwarna putih (pundarika).

Baca juga: Lalitavistara: Kisah Kelahiran Sang Buddha

Pada usia itu, Siddharta sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan denga baik. Pada usia 16 tahun, Siddharta menikah dengan Putri Yasodhara.

Pada usia itu juga, Pangeran Siddharta memiliki tiga istana, yakni, Istana Musim Dingin (Ramma) Istana Musim Panas (Suramma), dan Istana Musim Hujan (Subha).

Sudah diramalkan

Saat Siddharta lahir, ayahnya bertanya kepada peramal bernama Asita mengenai masa depannya. Sang peramal merasa terpesona ketika melihat Siddarta.

Peramal melihat 32 tanda pada tubuh sang bayi yang merupakan pertanda tentang kehidupan yang agung di masa depan.

Peramal mengatakan kepada raja bahwa anak itu mungkin akan menjadi pemimpin yang sangat hebat.

Mungkin juga menjadi Chakrawarti (maharaja) seluruh India, kalau saja anak tersebut menguasai kearifan mengenai cara-cara duniawi.

Sedangkan anak tersebut bisa menjalani kehidupan religius, maka tanda yang sama juga memperlihatkan bahwa akan dengan mudah menjadi pertama yang mulia.

Baca juga: Ini Pesan Kemenag untuk Umat Buddha di Tengah Wabah Covid-19

Ketika hal itu dihubungkan dengan keturunannya yang mulia, maka mungkin bisa menjadi penyelamat dunia.

Peramal juga menyatakan penyesalannya bahwa anak tersebut tidak akan bisa hidup cukup lama untuk mendapatkan manfaat dari kebijaksanaan penuh yang tumbuh dalam diri anak yang agung ini.

Kata-kata peramal membuat Raja Siddhodana merasa was-was dan tidak tenang. Raja khawatir jika Sidhdharta akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa.

Raja lebih memilih anaknya untuk mewarisi kekuasaannya sebagai raja, bukannya menjadi pertapa.

Menjadi Buddha

Sebutkan empat Kondisi kehidupan yang disaksikan oleh Pangeran Siddharta Gautama

Sebutkan empat Kondisi kehidupan yang disaksikan oleh Pangeran Siddharta Gautama
Lihat Foto

KOMPAS IMAGES / FIKRIA HIDAYAT

Patung Buddha di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Ada empat hal yang tidak boleh dilihat oleh Pangeran Siddharta Gautama, yakni orang tua, orang sakit, orang mati dan seorang pertapa. Bila tidak, Siddharta akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.

Pada suatu hari, Siddharta minta ijin untuk berjalan keluar istana. Di jalanan Kapilavasta menemukan empat kondisi yang berati, yakni orang tua, orang sakit, orang mati dan seorang pertapa.

Ia merasa sedih dan bertanya pada diri sendiri. Tidak ada hal yang mempersiapkan untuk pengalaman semacam itu selama hidupnya. Ia berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban itu.

Baca juga: Kementerian Agama Imbau Umat Buddha Rayakan Waisak dari Rumah 

Pada usia 29 tahun, Siddharta memutuskan meninggalkan istana, istri dan anaknya yang baru lahir.

Ia pergi untuk menjadi seorang pertapa yang bertujuan menemukan cara buat menghilangkan penderitaan atau membebaskan manusia dari usia tua, sakit, dan mati.

Perjuangan Siddharta dalam memaknai kehidupan dan mengupayakan terciptanya bangunan spiritualitas yang paripurna merupakan perjuangan yang berangkat dari hati nurani dan akal budi.

Siddharta, kemudian bermeditasi menggunakan berbagai guru spiritual yang membimbingnya. Ia bermediasi di bawah pohon Bodhi untuk mendapatkan penerangan Agung.

Penderitaan Siddharta ketika meninggalkan untuk hidup dan belajar bersama para pertapa Hindu, merupakan suatu petualangan spiritual yang menakjubkan.

Setelah enam tahun, konon beliau mendapatkan kenyataan bahwa bertapa dengan menyiksa diri maupun hidup terlalu berfoya-foya.

Bukanlah jawaban akan sesuatu hal yang mampu melampaui penderitaan dan karma.

Baca juga: Yayasan Sosial Umat Buddha Siapkan Peti Gratis untuk Jenazah Pasien Covid-19 di Kota Bekasi 

Pemikiran seperti itu dianggap menyimpang dari aliran Hindu pada masa itu. Sehingga ia pun mengembaran ke sebelah selatan India untuk mencari prinsip-prinsip spiritual yang dapat membentuk fondasi Buddhisme.

Pada akhirnya di bawah pohon Bodhi, ia memperoleh apa yang dicita-citakannya, yakni ajaran tentang sebab akibat penderitaan dan cara-cara mendapatkan kelepasan yang tersimpul dalam pandangan filosofis.

Pertapa Siddharta telah mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha (Sammasam-Buddha), tepat pada saat bulan Purnama Siddhi di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun.

Saat mencapai pencerahan sempurna, tubuh Siddharta memancar enam sinar Buddha dengan warna biru (nila) yang berarti bhakti, kuning (pita) yang berarti kebijaksanaan dan pengetahuan.

Warna merah (lohita) yang berarti kasih sayang dan belas kasih, putih (Avadata) mengandung arti suci, jingga (mangasta) berarti semangat, dan dan campuran sinar tersebut (prabhasvara).

Penyebaran ajaran Buddha

Sebutkan empat Kondisi kehidupan yang disaksikan oleh Pangeran Siddharta Gautama

Sebutkan empat Kondisi kehidupan yang disaksikan oleh Pangeran Siddharta Gautama
Lihat Foto

ANTARA FOTO/ALOYSIUS JAROT NUGROHO

Sejumlah Umat Buddha menata bunga altar di Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (18/5/2019). Pesiapan tersebut dilakukan untuk menyambut rangkaian detik-detik hari raya Waisak 2563 BE/2019.

Buddha Gautama mendapat gelar setelah mencapai pencerahan sempurna, seperti Buddha Gautama, Sakyamuni, Tathagata (Ia Yang Telah Datang, Ia Yang Telah Pergi), Sugata (Yang Maha Tahu), Bhagava (Yang Agung).

Baca juga: Cegah Covid-19, Yayasan Tzu Chi Imbau Umat Buddha Ibadah dari Rumah

Setelah itu sang Buddha menyampaikan khotbah pertamanya di Taman Rusa, Isipatan, Sarnath kepada lima pertama yang dulu menjadi rekan saat bertapa menyiksa diri.

Selama 45 tahun, ia menyampaikan khotbahnya demi kebahagiaan umat manusia hingga memasuki Maha Pari-Nibbana di Kusinara pada usia 80 tahun.

Ia menyadari bahwa tiga bulan setelahnya akan mencapai Parinibbana atau Parinirvana yaitu meninggalkan bentuk fisik tubuhnya.

Isi khotbahnya adalah penjelasan mengenai Jalan Tengah yang ditemukannya, yaitu berupa Delapan Ruas Jalan Kemuliaan dan juga Empat Kebenaran Mulia yang menjadi pilar dari ajaran Buddha.

Dilansir Encyclopaedia Britannica (2015), Buddha adalah salah satu dari banyak julukan seorang guru yang tinggal di India utara sekitar abad ke-6 dan ke-4 sebelum era Bersama.

Para pengikutnya, yang dikenal sebagai umat Buddha, menyebarkan agama yang sekarang dikenal sebagai agama Buddha.

Gelar buddha digunakan oleh sejumlah kelompok agama di India kuno dan memiliki banyak makna.

Tetapi kemudian dikaitkan dengan sangat kuat dengan tradisi agama Buddha dan berarti makhluk yang tercerahkan, orang yang telah terbangun dari tidurnya ketidaktahuan dan mencapai kebebasan dari penderitaan. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jakarta - Pangeran Siddharta Gautama dilahirkan sebagai Buddha atau orang yang mencapai pencerahan sejati. Ia lahir dari seorang ayah bernama Sri Baginda Raja Suddhodana yang merupakan penguasa dari Suku Sakya dan ibunya bernama Sri Ratu Maha Maya Dewi.

Ibundanya meninggal dunia tujuh hari setelah melahirkan Siddharta Gautama. Ibunda ratu kemudian dilahirkan kembali di alam Tusita, yaitu alam sorga luhur. Sejak itu yang merawat Pangeran Siddharta adalah Maha Pajapati, bibinya yang juga menjadi istri Raja Suddhodana.

Kelahiran Siddharta Gautama Sang Buddha

Pangeran Siddharta Gautama dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini, ketika itu Ratu Maha Maya berdiri memegang dahan pohon sal. Kelahiran sang pangeran dibarengi kejadian jatuhnya dua arus kecil yang jatuh dari langit, yang satu dingin sedangkan yang lainnya hangat. Arus tersebut membasuh tubuh Siddharta.

Siddharta lahir dalam keadaan bersih tanpa noda, bahkan dapat langsung berdiri tegak dan dapat melangkah ke arah utara, tempat yang dipijaknya tumbuh bunga teratai. Dari kejadian itu, para pertapa di bawah pimpinan Asita Kaladewala meramalkan Pangeran Siddharta kelak akan menjadi Maharaja Diraja atau akan menjadi seorang Buddha. Pertapa Kondanna dengan pasti meramalkan Sang pangeran kelak akan menjadi Buddha.

Ramalan tersebut membuat Sri Baginda merasa cemas, karena apabila sang pangeran menjadi Buddha, tidak ada yang akan mewarisi takhta kerajaannya. Kemudian para pertapa itu berpesan agar sang pangeran jangan sampai melihat empat macam peristiwa, jika tidak, ia akan menjadi pertapa dan menjadi Buddha.

Baginda khawatir putra tunggalnya itu akan meninggalkan istana dan menjadi pertapa, mengembara tanpa tempat tinggal. Maka dari itu Baginda memilih banyak pelayan untuk merawat Pangeran Siddharta, agar putra tunggalnya menikmati hidup keduniawian.

Apa arti kehidupan ini kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua, dan kematian.

Segala bentuk penderitaan berusaha disingkirkan dari kehidupan Pangeran Siddharta, seperti sakit, umur tua, dan kematian. Sehingga Pangeran hanya mengetahui kenikmatan duniawi.

Keistimewaan Siddharta sudah terlihat sejak kecil dengan kecerdasannya yang di atas rata-rata. Kehidupannya selalu dilayani pelayan-pelayan dan dayang-dayang yang masih muda dan cantik rupawan di istana yang megah dan indah.

Dalam usia 7 tahun, Pangeran Siddharta telah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi ia merasa kurang berminat dengan pelajaran tersebut. Pangeran Siddharta mendiami tiga istana, yaitu istana musim semi, musim hujan, dan pancaroba.

Pada usia 16 tahun Pangeran Siddharta menikah dengan Putri Yasodhara setelah berhasil memenangkan berbagai sayembara. Namun, akhirnya sang pangeran melihat empat peristiwa yang selalu diusahakan agar tidak berada di dalam penglihatannya.

Suatu hari Pangeran Siddharta meminta izin untuk berjalan di luar istana, di mana pada kesempatan berbeda ia melihat empat peristiwa yang sangat berarti, yaitu tua, orang sakit, orang mati, dan orang suci.

Pangeran Siddharta bersedih dan menanyakan kepada dirinya sendiri, “Apa arti kehidupan ini kalau semuanya akan menderita sakit, umur tua, dan kematian. Lebih-lebih mereka yang minta pertolongan kepada orang yang tidak mengerti, yang sama-sama tidak tahu dan terikat dengan segala sesuatu yang sifatnya sementara ini.”

Pangeran Siddharta berpikir bahwa hanya kehidupan suci yang akan memberikan semua jawaban tersebut. Akibatnya, Pangeran Siddharta menjadi tampak murung dan kecewa melihat kenyataan hidup yang penuh dengan derita.

Meninggalkan Kehidupan Duniawi

Setelah 15 tahun menikah, ketika Pangeran Sidharta berusia 29 tahun, istrinya melahirka putra pertama diberi nama Rahula. Setelah itu Pangeran Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari usia tua, sakit, dan mati.

Pada suatu malam, Pangeran Siddharta memutuskan untuk meninggalkan istana dengan ditemani kusirnya, Canna. Tekadnya telah bulat untuk melakukan Pelepasan Agung dengan menjalani hidup sebagai pertapa.

Dalam pengembaraannya, Siddharta berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Dari kedua gurunya tersebut ia belum puas karena tidak memperoleh yang diharapkannya. Kemudian Siddharta bertapa menyiksa diri dengan ditemani lima orang pertapa di hutan Uruwela, di tepi Sungai Nairanjana yang mengalir dekat Hutan Gaya.

Selama 6 tahun menjalani tapa menyiksa diri, Gautama belum juga memahami hakikat dan tujuan pertapaan yang dilakukan tersebut. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk menghentikan tapa dan pergi ke sungai untuk mandi. Badannya yang tinggal tulang hampir tidak sanggup menopang tubuhnya.

Badannya yang sudah lemah membuatnya hampir putus asa, terlebih godaan setan Mara yang dahsyat. Tetapi dengan kemauan yang keras, ia melanjutkan pertapaannya. Hal ini terjadi ketika bintang pagi memperlihatkan dirinya di ufuk timur.

Mencapai Pencerahan Sempurna

Pertapa Gautama mencapai Pencerahan Sempurna dan menjadi Samyaksam-Buddha, tepat pada saat bulan Purnama Raya di bulan Waisak ketika ia berusia 35 tahun (menurut versi Buddhisme Mahayana, 531 SM pada hari ke-8 bulan ke-12).

Tubuh Sang Siddharta memancar enam sinar Buddha (Buddharasmi) ketika telah mencapai Pencerahan Sempurna. Pertapa Gautama mendapat gelar kesempurnaan yaitu Buddha Gautama, Buddha Shakyamuni, Tathagata, Sugata, Bhagava dan sebagainya.

Lima pertapa yang mendampingi Gautama di hutan Uruwela merupakan murid pertama Sang Buddha yang mendengarkan khotbah pertama Dhammacakka Pavattana. Khotbah tersebut menjelaskan tentang Jalan Tengah yang ditemukannya, yaitu Delapan Ruas Jalan Kemuliaan termasuk awal khotbahnya yang menjelaskan “Empat Kebenaran Mulia”.

Menyebarkan Ajaran Buddha

Buddha Gautama kemudian kembali berkelana menyebarkan Dharma selama empat puluh lima tahun kepada umat manusia dengan penuh cinta kasih dan kasih sayang. Pada usinya 80 tahun, ia menyadari bahwa tiga bulan lagi akan mencapai Parinibbana.

Sang Buddha dalam keadaan sakit terbaring di antara dua pohon sala di Kusinagara, memberikan khotbah Dharma terakhir kepada murid-murid-Nya, lalu Parinibbana. Dalam versi Buddhisme Mahayana, 486 SM pada hari ke-15 bulan ke-2 kalender Lunar. Sementara versi WFB pada bulan Mei, 543 SM.

Berikut isi khotbah Buddha Gautama terakhir yang mengandung arti prinsip-prinsip beragama,

  1. Percaya pada diri sendiri dalam mengembangkan Ajaran Sang Buddha
  2. Jadikanlah Ajaran Sang Buddha (Dharma) sebagai pencerahan hidup
  3. Segala sesuatu tidak ada yang kekal abadi
  4. Tujuan dari Ajaran Sang Buddha (Dharma) ialah untuk mengendalikan pikiran
  5. Pikiran dapat menjadikan seseorang menjadi Buddha, namun pikiran dapat pula menjadikan seseorang menjadi binatang
  6. Hendaknya saling menghormati satu dengan yang lain dan dapat menghindarkan diri dari segala macam perselisihan
  7. Bilamana melalaikan Ajaran Sang Buddha, dapat berarti belum pernah berjumpa dengan Sang Buddha
  8. Mara (setan) dan keinginan nafsu duniawi senantiasa mencari kesempatan untuk menipu umat manusia
  9. Kematian hanyalah musnahnya badan jasmani
  10. Buddha yang sejati bukan badan jasmani manusia, tetapi Pencerahan Sempurna;
  11. Kebijaksanaan Sempurna yang lahir dari Pencerahan Sempurna akan hidup selamanya di dalam Kebenaran
  12. Hanya mereka yang mengerti, yang menghayati dan mengamalkan Dharma yang akan melihat Sang Buddha
  13. Ajaran yang diberikan oleh Sang Buddha tidak ada yang dirahasiakan, ditutup-tutupi ataupun diselubungi.

Sang Buddha bersabda, “Dengarkan baik baik, wahai para bhikkhu, Aku sampaikan padamu: Akan membusuklah semua benda benda yang terbentuk, berjuanglah dengan penuh kesadaran!” (Digha Nikaya II, 156)

Seorang Buddha memiliki sifat Cinta Kasih (maitri atau metta) dan Kasih Sayang (karuna) yang diwujudkan oleh sabda Buddha Gautama, “Penderitaanmu adalah penderitaanku, dan kegembiraanmu adalah kegembiraanku.” Manusia adalah pancaran dari semangat Cinta Kasih dan Kasih Sayang yang dapat menuntunnya kepada Pencerahan Sempurna. []

Baca juga: