Sebutkan 3 permusyawaratan yang hanya di lakukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah


Oleh: Fajar Riza Ul Haq

JAKARTA, KOMPAS - Din Syamsuddin akan mengakhiri periode kedua kepemimpinannya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Ke-47 Muhammadiyah yang diselenggarakan 3-7 Agustus di Makassar. Din kali pertama terpilih sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah pada muktamar ke-45 di Malang tahun 2005 dengan perolehan suara terbanyak di formatur 13.

Organisasi ini tidak mengenal pemilihan ketua umum, tetapi pemilihan 13 formatur dan pimpinan puncaknya ditentukan berdasarkan musyawarah para formatur terpilih. Muktamar Ke-46 Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta menjadi saksi tokoh kelahiran Sumbawa ini terpilih untuk kedua kalinya menakhodai organisasi Muslim modernis ini.

Kosmopolitan

Pasca Reformasi, Din merupakan satu-satunya ketua umum yang memimpin Muhammadiyah selama 10 tahun. Sebagai perbandingan, almarhum AR Fachruddin tercatat sebagai sosok yang paling lama memimpin Muhammadiyah selama 22 tahun sejak 1968 hingga 1990. Amien Rais yang terpilih pada 1995 di muktamar Aceh tidak sempat menyelesaikan masa baktinya mengingat pilihan ijtihad politiknya mendirikan Partai Amanat Nasional pada 1998.

Teman karibnya, Ahmad Syafii Maarif, melanjutkan periode yang tersisa hingga pelaksanaan Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta. Syafii Maarif pun terpilih menjadi ketua umum di tengah transisi demokratisasi dan gejolak sosial-politik yang menguji konsistensi peran kebangsaan dan netralitas Muhammadiyah. Masa-masa sulit itu berhasil dilalui tanpa terperosok pada godaan pragmatisme politik.

Organisasi Muhammadiyah akan sangat beruntung karena perjalanannya pasca muktamar Makassar akan disaksikan oleh tiga mantan ketua umumnya. Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din Syamsuddin merupakan aset persyarikatan yang sangat berharga dengan kekhasan masing-masing personalnya yang membuatnya dicintai, dihormati, dibanggakan oleh semua warga Muhammadiyah.

Ketiga tokoh tersebut akan berbicara bersama pada satu sesi khusus dalam agenda muktamar. Ini akan menjadi momen penting, semua warga Muhammadiyah bahkan masyarakat umum akan mendengar lontaran pemikiran dari ketiga tokoh bangsa tersebut untuk kemajuan Muhammadiyah dan bangsa. Ini karena Islam berkemajuan yang menjadi proposal Muhammadiyah memperlakukan Islam dalam kerangka nilai-nilai keadaban publik, bertaut erat dengan kepentingan masyarakat. Gagasan Islam berkemajuan sebagai formula jawaban organisasi ini atas kompleksitas persoalan kebangsaan dan kemanusiaan hari ini harus dilembagakan dan dibudayakan sehingga menjadi etos, tidak berhenti sebatas logos.

Periode kepemimpinan Muhammadiyah dalam kurun 17 tahun reformasi mencerminkan kepemimpinan dari generasi produk penyerbukan silang antarbudaya-meminjam istilah yang dipopulerkan Eddie Lembong-yang sebenarnya menjadi tonggak kesadaran Muhammadiyah pada awal abad ke-20. Profil dan latar belakang kesarjanaan Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din merepresentasikan generasi Muhammadiyah kosmopolitan di mana "Timur" dan "Barat" bertemu, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari biografi sosio-intelektualnya. Adanya perbedaan karakter dan langgam kepemimpinan ketiganya merupakan sisi lain dari ketidaktunggalan ekspresi kosmopolitanisme itu sendiri.

Sejarawan UGM, Bambang Purwanto (2015), menyebut Muhammadiyah sebagai contoh produk persilangan budaya di dalam keberagaman yang melibatkan Islam, Jawa, Minangkabau, dan modernitas Barat. Menurutnya, proses pembentukan kesadaran dan identitas Muhammadiyah ini berlangsung dalam proses modernisasi masyarakat Indonesia abad ke-20. Muhammadiyah generasi awal merupakan produk modernisasi Islam dengan denyut kosmopolitanisme karena tumbuh dalam spektrum keragaman "bangsa-bangsa" yang menjadi cikal bakal Indonesia yang majemuk di kemudian hari. Di sinilah kosmopolitanisme, menurut Vertovec dan Cohen, termanifestasi dalam perilaku yang terbuka dan kompetensi yang unggul dalam interaksi lintas budaya.

Pasca Din

Muhammadiyah pasca Din akan menapaki jalan yang tidak mudah dengan cuaca kebangsaan yang tidak selalu bersahabat. Meminjam bahasa Syafii Maarif yang dipetiknya dari puisi Muhamad Iqbal, karakter kepemimpinan Muhammadiyah haruslah seperti rajawali, bukan burung pipit. Percaya diri, trengginas, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Muhammadiyah dituntut berperan lebih atraktif dan kritis ketika kekuasaan dan parpol-parpol terus-menerus mencederai nilai-nilai keadaban publik.

Tak diragukan lagi, ketiga figur di atas telah membesarkan tenda bangsa Muhammadiyah dalam semangat kosmopolitanisme Islam modernis. Keberhasilan Muhammadiyah menyiasati ketegangan antara dimensi pemurnian dalam ranah tauhid dan pembaruan dalam ranah sosial-kebudayaan merupakan pembeda dirinya dengan gerakan-gerakan pemurnian lainnya. Organisasi yang kini berusia 103 tahun ini membutuhkan pelanjut kepemimpinan kolektif yang tidak hanya mampu merawat kultur keterbukaan, akan juga memiliki kepekaan inovasi dalam mentransformasikan prinsip-prinsip dakwah amar makruf nahi mungkar.

Model Muhammadiyah kosmopolitan memaknai cakupan dan ruang aktualisasi dakwah lebih kontekstual. Model kepemimpinan ini tidak akan menyeret Muhammadiyah memasuki gang-gang sempit, bahkan jalan buntu. Sejak awal, Muhammadiyah sudah menggariskan bahwa berdakwah haruslah memajukan dan menggembirakan, seperti terbaca dalam anggaran dasar tahun 1914. Inti Islam sejati menurut Ahmad Dahlan, seperti ditulis Munir Mulkhan dalam Marhaenis Muhammadiyah (2010), adalah akal dan hati suci sehingga perbedaan kelompok dan bangsa tidak menjadi tembok penghalang melakukan solidaritas memerdekakan manusia dari penderitaan.

Sebagai ikhtiar, Sidang Tanwir Muhammadiyah Tahun 2003 di Makassar menyetujui konsep dakwah kultural. Keputusan organisasi ini menandai adanya reorientasi visi dan strategi dakwah sesuai realitas kemajemukan budaya dan perbedaan identitas sosial masyarakat. Sebelum itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah mengeluarkan Tafsir Tematik Al Quran tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama tahun 2000.

Menilik kiprah dakwah Muhammadiyah sepanjang era Reformasi, kepemimpinan baru pasca muktamar Makassar dituntut memiliki mentalitas, kapasitas, dan jejaring pergaulan yang merepresentasikan Muhammadiyah sebagai tenda bangsa. Kepemimpinan Muhammadiyah yang bersifat kolektif tak bisa memungkiri peran sentral seorang ketua umum sebagai pucuk representasi dalam menentukan arah dan langgam organisasi. Kepemimpinan Muhammadiyah pasca Din lebih tepat diisi figur yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang kosmopolitan sehingga tidak terjadi keterputusan visi dan orientasi yang bisa mengakibatkan kemacetan akselerasi gerakan.

Gerbong Muhammadiyah sudah bergerak menuju proses internasionalisasi gerakan meski masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera dibereskan. Memastikan kesinambungan dan keberlanjutan visi dalam proses pergantian kepemimpinan merupakan kunci wajah Muhammadiyah untuk lima tahun mendatang. Tanggung jawab inilah yang kini berada di pundak ribuan peserta muktamar. Selamat bermuktamar! Semoga melahirkan keputusan-keputusan yang mencerahkan dan memajukan bangsa.

Fajar Riza Ul Haq
Direktur Eksekutif MAARIF Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Kepemimpinan Muhammadiyah".

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Abusyuja.com_Badan Otonom atau Banom adalah perangkat organisasi yang berfungsi melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perseorangan. Dan pada kesempatan kali ini, kami akan sedikit menjelaskan mengenai badan otonom atau Banom Nahdlatul Ulama. Selain Banom, kami juga akan sertakan 3 (Tiga) Lajnah pada Nahdlatul Ulama.

Sebutkan 3 permusyawaratan yang hanya di lakukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Abusyuja_Permusyawaratan adalah suatu pertemuan yang dapat membuat keputusan dan ketetapan organisasi yang diikuti oleh struktur organisasi si di bawahnya. Permusyawaratan di lingkungan NU meliputi Permusyawaratan tingkat nasional dan Permusyawaratan tingkat daerah.

4 Permusyawaratan Tingkat Nasional

1. Muktamar

Muktamar adalah istilah yang digunakan oleh kelompok Islam, khususnya pada ormas Nahdlatul Ulama, yaitu sebuah pertemuan yang diadakan oleh pimpinan pusat dan dihadiri oleh perwakilan-perwakilan lembaga yang memiliki kepentingan didalamnya. Tujuan muktamar sendiri adalah untuk kesepakatan dalam mengambil keputusan.

2. Muktamar Luar Biasa

Muktamar luar biasa adalah muktamar yang diadakan oleh pimpinan pusat ketika dalam keadaan darurat. Contoh : Kekosongan pemimpin.

3. Musyawarah Nasional Alim Ulama

Musyawarah Nasional Alim Ulama atau Munas Alim Ulama merupakan sebuah perkumpulan yang diadakan oleh pimpinan pusat, dan bertujuan untuk membuat sebuah keputusan hukum yang berkaitan dengan problematika umat. Munas ini biasanya dihadiri oleh beberapa kaum intelektual atau para ulama-ulama alim yang ahli dalam bidang tersebut. Contoh : Keputusan dalam hukum Bisnis MLM, Ucapan Kafir, Islam Nusantara dan lain sebagainya.

4. Konferensi Besar

Konferensi Besar merupakan forum tertinggi setelah Muktamar. Konferensi Besar biasanya diadakan oleh Pengurus Besar, dan membicarakan tentang keputusan, kajian serta peraturan-peraturan dalam organisasi. Konferensi Besar biasanya akan dihadiri oleh pengurus besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU).

6 Permusyawaratan Tingkat Daerah

1. Konferensi wilayah

Konferensi wilayah merupakan sebuah permusyawaratan tingkat tinggi dalam tingkat daerah. Konferensi ini diadakan oleh pimpinan pusat atau pengurus besar Syuriah (PBNU), dan diselenggarakan sekurang-kurangnya satu kali dalam 5 (lima) tahun.

2. Musyawarah kerja wilayah

Musyawarah kerja wilayah adalah forum yang di adakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) sekurang-kurangnya dilakukan 2 (dua) kali dalam satu tahun.

3. Konferensi cabang atau konferensi cabang istimewa

Konferensi cabang atau konferensi cabang istimewa merupakan forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat cabang. Forum ini biasanya diadakan oleh pengurus cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) yang berkedudukan di kabupaten/kota atau pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) yang berkedudukan di luar negeri.

4. Musyawarah kerja cabang atau musyawarah kerja cabang istimewa

Musyawarah kerja cabang atau musyawarah kerja cabang istimewa merupakan forum yang diadakan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali dan diselenggarakan oleh perwakilan Majelis Cabang yang berkedudukan di Kecamatan.

5. Konferensi majelis wakil cabang

Konferensi majelis wakil cabang merupakan sebuah forum yang sekurang-kurangnya diadakan 5 (lima) tahun sekali. forum ini diadakan oleh Majelis Wakil Cabang atau Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) yang berkedudukan di desa/kelurahan.

6. Musyawarah majelis wakil cabang

Musyawarah majelis wakil cabang atau yang kita kenal sebagai rapat kerja MWC (Musyawarah Wakil Cabang) merupakan forum yang diselenggarakan sewaktu-waktu bila dianggap perlu.

Itulah Tingkat Permusyawaratan dalam Nahdlatul Ulama. Semoga bermanfaat.