Sebelum Islam datang ke nusantara terdapat paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang disebut

Sebelum Islam datang ke nusantara terdapat paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang disebut

Sebelum Islam datang ke nusantara terdapat paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang disebut

Penulis: Yuda Prinada
tirto.id - 19 Feb 2021 23:02 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Sebelum Islam datang ke nusantara terdapat paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang disebut
Apa pengertian serta perbedaan animisme dan dinamisme? Keduanya adalah kepercayaan yang ada sejak masa pra-sejarah.

tirto.id - Animisme dan Dinamisme merupakan sistem kepercayaan yang hidup ketika masa pra sejarah. Di zaman Mesolitikum, saat manusia menjalankan kehidupan dengan berburu tingkat lanjut, mulai bermukim, dan menanam tumbuhan, kedua sistem kepercayaan ini berkembang.

Dalam buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas X, diungkapkan terdapat bukti yang bisa memperkuat keberadaan sistem kepercayaan animisme dan dinamisme pada zaman pra-sejarah.

Advertising

Advertising

Terkait pendapat ini, ada lukisan perahu di sebuah nekara yang dikatakan sebagai kendaraan roh untuk menuju alam baka.

Baca juga: Fitnah Pemberontakan Lembu Sora dalam Sejarah Kerajaan Majapahit

Catatan lain juga menjelaskan mengenai rumitnya beberapa upacara penghormatan roh, sistem penguburan, dan pemberian sesaji kepada pohon. Hal itu menunjukkan bentuk sistem kepercayaan masyarakat pra-sejarah, yakni animisme dan dinamisme.

Mengutip penjelasan di laman Kemendikbud, animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang diyakini manusia di masa pra-sejarah, seperti zaman megalitikum. Manusia pada zaman itu menganut kepercayaan terhadap kekuatan di luar kuasa manusia yang dikategorikan dalam 2 istilah itu.

Pengertian dan Contoh Animisme

Menurut Caroline Pooney dalam African Literature, Animism and Politic (2001:10), kepercayaan animisme bermula dari bahasa latin, yakni “anima" yang diartikan sebagai “roh".

Secara lengkap, Zakiah Daradjat dalam Perbandingan Agama I (1996:28) menjelaskan, animisme merupakan kepercayaan pada makhluk halus dan roh sebelum manusia mendapatkan pengaruh dari ajaran yang sifatnya wahyu Tuhan.

Ciri animisme ditandai kepercayaan pada adanya roh dari orang yang telah meninggal. Animisme mempercayai bahwa saudara dan orang yang telah mati masih ada di sekitar kerabatnya.

Infografik SC Animisme dan Dinamisme. tirto.id/Sabit

Bukan hanya roh manusia, seperti yang dituliskan oleh A.G. Pringgididgo dalam Ensiklopedi Umum (1973:74), animisme membawa seseorang untuk bisa percaya bahwa alam yang meliputi gunung, hutan, gua, dan kuburan memiliki jiwa sekaligus harus dihormati. Jika tidak, maka roh di benda-benda tersebut akan mengganggu manusia.

Baca juga: Sejarah Kerajaan Panjalu Kediri: Letak, Pendiri, Raja, & Prasasti

Mereka yang dahulu menganut animisme juga turut memohon perlindungan kepada roh-roh untuk menjaga manusia yang masih hidup. Selain itu, penganut animisme juga meminta sesuatu kepada yang dipercayainya, misalnya kesembuhan, kesuksesan panen, keselamatan perjalanan, dan dihindari dari berbagai bencana alam.

Permintaan dan permohonan kepada roh dilakukan dengan memberi sesaji dan upacara-upacara tertentu yang biasanya dipimpin oleh seorang pemuka adat.

Lebih jelasnya, definisi animisme adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda, dan merupakan pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama. Animisme juga merupakan wawasan mengenai alam semesta dan dunia yang diyakini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi makhluk hidup saja, tetapi terdapat pula begitu banyak roh yang hidup berdampingan dengan manusia.

Banyak contoh kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat Nusantara. Adapun salah satu contohnya adalah kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang sering keluar masuk rumah adalah jelmaan dari roh wanita yang meninggal dalam keadaan melahirkan.

Pengertian dan Contoh Dinamisme

Berlainan dengan animisme, dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yakni “dunamos" yang berarti kekuatan. Maka itu, dinamisme didefinisikan sebagai kepercayaan yang meyakini benda di sekitar memiliki kekuatan gaib.

Benda tersebut bukan hanya berkekuatan, melainkan juga mengandung zat yang bisa membantu manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Di zaman pra-sejarah, banyak orang menggantungkan hidupnya pada benda-benda yang mereka yakini memiliki kekuatan seperti api, batu, air, pohon, binatang, hingga manusia.

Ketergantungan tersebut sama halnya seperti agama yang memberikan kenyamanan serta rasa aman bagi penganutnya.

Hal ini diungkapkan oleh Edward B. Tylor dalam Primitive Culture: Research into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Langguage, Art and Custom (1871:160), kekuatan dari benda yang disembah ketika masa itu, mampu menyajikan rasa nyaman bagi manusia, tepatnya ketika orang tersebut berdekatan atau bersentuhan dengan yang dipercayainya.

Seiring berjalannya waktu, kepercayaan semacam dinamisme bahkan masih hidup hingga kini. Kita dapat melihat, saat ini masih banyak orang percaya batu cincin ataupun benda jimat lainnya dapat memberi berbagai khasiat, mulai dari kekebalan, kegagahan, hingga ketampanan.

Baca juga:

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/add)

Penulis: Yuda Prinada Editor: Addi M Idhom Kontributor: Yuda Prinada

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Jakarta -

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam berada di masa jahiliah. Namun mengutip dari repository Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA), jahiliah tidak merujuk pada bodoh.

"Arti dari kata jahiliah adalah kesombongan, kemarahan, dan ketidaktahuan. Penggunaan kata ini kepada masa pra Islam menunjukkan pada era saat ketiganya sangat menonjol di masyarakat," tulis respository mengutip bukku Fajr al-Islam yang ditulis Amin Ahmad.

Jahiliah juga berkaitan dengan kepercayaan sesat, peribadatan yang salah, kekuasaan yang sewenang-wenang, dan ketidakadilan hukum. Kondisi ini menimbulkan rasa takut, khawatir, dan kekacaauan yang tidak kunjung berakhir.

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ditulis Masudul Hasan dalam History of Islam. Buku tersebut menceritakan, masyarakat Arab mengalami kemerosotan moral. Minuman keras, judi, cabul, dan seks bebas adalah hal biasa.

"Kaum wanita diperlakukan seperti barang bergerak yang dapat dijual atau dibeli. Para penyair mendendangkan
keburukan moral dengan penuh kebanggaan. Jika ada yang meninggal, maka anak mewarisi ibu tiri dan barang lainnya," tulis buku tersebut.

Anak bahkan bisa menikahi ibu tiri mereka. Yang lebih parah, anak perempuan yang baru lahir akan dicekik atau dikubur hidup-hidup. Selain itu, perbudakan adalah hal wajar dengan majikan yang berkuasa penuh hingga hidup mati.

Dengan kondisi tersebut, mereka yang kaya hidup bergelimang harta sedangkan yang miskin semakin kekurangan. Jurang pemisah antara masyarakat kaya dan miskin terasa makin dalam dan jauh. Masyarakat kaya dapat mengeksploitas yang lebih miskin.

Kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam ini berubah usai kedatangan Rasulullah SAW, yang membawa ajaran Islam dari Allah SWT. Namun Islam sejatinya tidak mengubah seluruh tatanan dan nilai yang dianut masyarakat Arab.

Repository yang mengutip The Makkan Crubicle karya Zakaria Bashier menyatakan, Islam mengarahkan nilai-nilai masyarakat Arab hingga sesuai syariat. Nilai yang baik dipertahankan meski cara dan tujuan mencapainya diubah.

Tentunya tradisi dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai ajaran Islam dihapus. Misalnya membunuh anak perempuan baru lahir, seks bebas, berjudi, dan merendahkan wanita. Perubahan dilakukan meski membutuhkan pengorbanan dan waktu yang tidak sebentar.

Dengan penjelasan ini, semoga kondisi masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam dan perubahannya dapat digambarkan dengan baik. Selamat membaca detikers.

Lihat juga Video: Arab Saudi Buka Pintu untuk Warga Indonesia, Ini Syaratnya!

(row/erd)

Bangsa Arab sebelum Islam datang disebut dengan Arab Jahiliyah.

Pixabay

Bangsa Arab sebelum Islam datang disebut dengan Arab Jahiliyah. Ilustrasi bangsa Arab pra Isla.

Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab kerap menampakkan budaya-budaya tidak baik dan dikenal dengan sebutan jahiliyah. Pertumbuhan kejahilan ini tidak diisi dengan keterisian akhlak.

Baca Juga

Dalam buku Akhlak Tasawuf karya Abuddin Nata dijelaskan, bangsa Arab di zaman jahiliyah tidak memiliki ahli filsafat yang mengajak pada aliran paham tertentu.

Hal itu sebagaimana berbeda yang dijumpai pada bangsa Yunani dan Romawi. Tidak adanya ahli filsafat pada masa itu disebabkan tidak berkembangnya kegiatan ilmiah di kalangan masyarakat Arab.

Pada masa itu, bangsa Arab hanya mempunyai ahli hikmah dan ahli syair. Di dalam kata-kata hikmah dan syair tersebut, dapat dijumpai ajaran yang memerintahkan agar berbuat baik dan menjauhi keburukan. Mendorong pada perbuatan yang utama dan menjauhi dari perbuatan yang tercela dan hina.

Hal yang dikemukakan misalnya terlihat pada kata-kata hikmah yang dikemukakan Luqmanul Hakim, Aktsam bin Shaifi, dan pada syair yang dikarang oleh Zuhair bin Abi Sulma, hingga Hakim Al-Thai. Masa jahiliyah bangsa Arab tentunya berbeda setelah Islam menyapa.

Ajaran akhlak pada masa Islam menemukan bentuknya yang sempurna. Dengan titik pangkalnya kepada Allah dan akal manusia. Agama Islam pada intinya mengajak manusia agar percaya kepada Allah SWT dan mengakui bahwa Dia-lah Pencipta, Pemilik, Pemelihara, Pelindung, Pemberi Rahmat, Pengasih, dan Penyayang terhadap segala makhluk-Nya. 

  • arab
  • arab jahiliyah
  • bangsa arab
  • sejarah bangsa arab
  • arab sebelum islam

Sebelum Islam datang ke nusantara terdapat paham yang tidak mengakui adanya tuhan yang disebut