Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo menjelaskan isi beberapa prasasti bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Penjelasan tersebut sebagai bantahan tentang apa yang dikatakan Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengenai Sriwijaya fiktif.

Sebelumnya, Ridwan Saidi yang biasa disapa Babe Ridwan kepada Tempo, 29 Agustus 2019 lalu, menyatakan bahwa para arkeolog tidak mengerti bahasa-bahasa kuno, hal itu yang menyebabkan sejarah Indonesia fatal dan perlu direkontruksi.

Babe Ridwan menyebutkan Sriwijaya fiktif dalam video di kanal Youtube Macan Idealis. Kerajaan Sriwijaya dianggapnya sebagai gabungan bajak laut.

Tomi sapaan Bambang menjelaskan secara singkat melalui akun media sosial pribadinya di Facebook Bambang Budi Utomo mengenai isi dari prasasti-prasasti Sriwijaya. Berikut penjelasan Tomi yang diunggah pada Senin, 9 September 2019:

1. Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di sebuah rumah warga di Lorong Kedukan, Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang. Dituliskan pada sebuah batu andesit yang tidak dibentuk, masih dalam keadaan alami.

Dalam prasasti ini ada tiga pertanggalan penting sampai terbentuknya sebuah wanua (kampung), yaitu pertama pada 23 April 682 Dapunta Hiyan melakukan perjalanan suci, untuk merayakan Hari Trisuci Waisak.

"Kedua 19 Mei 682 Dapunta Hiyan dengan membawa lebih dari dua laksa tentara dengan 200 peti perbekalan naik perahu dan 1312 orang berjalan kaki berangkat dari Minana. Dan 16 Juni 682 rombongan Dapunta Hiyan tiba di Mukha Upan, kemudian membuat wanua, dan Sriwijaya menang," tulis Tomi

2. Prasasti Talang Tuwo

Prasasti Talang Tuwo ditemukan di Desa Talang Kelapa, Kecamatan Talang Kelapa, Palembang pada 1920. Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno terdiri dari 14 baris.

"Dipahatkan pada sebuah batu yang sudah dibentuk empat persegi jajaran genjang. Isinya tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Sri Jayanasa pada 23 Maret 684 dengan tujuan untuk kesejahteraan semua mahluk," tutur Tomi.

Tomi juga menuliskan empat poin sebagian isi prasasti tersebut. Pertama, pada 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Sriksetra dibuat. Kedua, di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat baginda: semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu.

Kemudian ketiga, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya.

"Dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan," demikian isi poin keempat Prasasti Talang Tuwo yang dijelaskan Tomi.

3. Prasasti-prasasti Persumpahan

Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti
1. Prasasti Talang Tuwo isinya tentang pembangunan Taman Srksetra oleh r Jayana bertanggal 23 Maret 684. 2. Prasasti Telaga Batu berisi persumpahan Datu Sriwijaya. 3. Prasasti Jayasiddhayatra (Prasasti D-156) (Facebook/Bambang Budi Utomo)

Prasasti-prasasti ini berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada datu Sriwijaya. Istilah "Persumpahan" berasal dari datu Sriwijaya sendiri, sebagaimana tercantum dalam prasasti-prasasti itu.

"vanak mmu ura vinunu sumpa dari mama kamu. kadci kmu tda bhakti," Tomi menuliskan salah satu kalimat dari Persumpahan. Yang artinya: "Apabila kalian tidak setia kepadaku, kalian akan mati oleh kutukan ini."

Prasasti persumpahan atau prasasti kutukan ditemukan sejak 1892 hingga yang terakhir ditemukan 1985 seluruhnya berjumlah enam buah prasasti, lima buah di antaranya dalam keadaan utuh. Dari enam prasasti tersebut yang paling lengkap isi persumpahannya hanya Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Palembang pada 1935 di Kelurahan 2 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II.

"Berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, prasasti ini bagian atasnya dihias dengan kepala tujuh ekor naga. Bagian yang ditulis terletak di bawah hiasan kepala naga, dan bagian bawah bidang yang ditulis terdapat saluran air yang membentuk semacam corong ke tengah," ujar Tomi.

Mungkin, Tomi melanjutkan, tempat air pembasuh tulisan yang kemudian ditampung dalam wadah dan diminum oleh pejabat yang diambil sumpah. Sayangnya, pada prasasti ini tidak tercantum pertanggalannya. Namun berdasarkan paleografinya berasal dari abad ke-7 Masehi.

Prasasti Telaga Batu ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno, terdiri dari 28 baris tulisan. Secara garis besar isinya kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan, pengkhianatan, dan tidak taat kepada perintah datu.

4. Prasasti Siddhayatra

Prasasti ini paling banyak ditemukan di daerah bekas kota Sriwijaya di Palembang. "Siddhayatra" berarti "perjalanan suci" atau lengkapnya "Jayasiddhayatra". Ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno pada sekeping batu yang tidak utuh.

Maksudnya ditemukan dalam keadaan fragmentaris, sebagian besar ditemukan di Situs Telaga Batu, dekat dengan temuan Prasasti Telaga Batu. Menurut laporan Belanda, dari situs tersebut ditemukan 30 buah prasasti siddhaytra.

Jayasiddhayatra (Prasasti D-156); Siddhayatra (Prasasti D-157); Jayasiddhayatrasarwwasatwah (Prasasti D-158) yang berarti "perjalanan suci yang menang dan sukses bagi semua mahluk"; Jayasiddhayatra (Prasasti D-159); Siddhayatra sarwasatwa (Prasasti D-160), yang berarti "perjalanan suci yang menang dan sukses bagi semua mahluk."

Selain di kota Palembang, prasasti Siddhayatra ditemukan juga di Situs Kota Kapur, Prasasti Siddhayatra D. 126 (Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka), dan di Situs Candi Agung (Amuntai, Kalimantan Barat).

5. Prasasti Hujun Lanit

Pada 1912/1913 di Kampung Harakuning, Desa Hanakau, Kec. Sukau, Lampung Barat, ditemukan sebuah prasasti batu terdiri dari 18 baris tulisan yang ditulis dalam aksara mirip Jawa Kuno (Pasca Pallawa) dan bahasa Melayu Kuno yang kadang bercampur dengan Jawa Kuno.

"Setelah lama ditemukan, barulah pada 2004 prasasti ini berhasil dibaca dan diinterpretasi oleh Binsar Tobing sebagai kajian skripsi. Secara garis besar prasasti ini berisi tentang penetapan hutan di Hujun Lanit sebagai sima oleh Pungku Haji Yuwarajya Sri Haridewa, supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci vihara," tutur Tomi.

Peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak pejabat yang hadir, dan ditetapkan pada 12 November 997 Masehi. Meskipun ini bukan prasasti yang dikeluarkan oleh Sriwijaya, tapi masih dalam kurun keberadaan Sriwijaya.

Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti

Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti
Lihat Foto

DOK.KOMPAKS

Alat pencetak koin pada masa Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan di Sungai Musi, Palembang Sumatera Selatan.

KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar yang bercorak Buddha di Nusantara.

Kerajaan Sriwijaya diperkirakan berdiri pada abad ke-7 oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga dan menjadi raja pertama.

Pada masanya Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat agama Buddha di Asia Tenggara dan Asia Timur.

Bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya

Ada beberapa bukti mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya di Nusantara.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (2019) karya Edi Hernadi, sumber sejarah Kerajaan Sriwijaya yang penting adalah prasasti.

Prasasti-prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai adalah Melayu Kuno.

Baca juga: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Maritim Terbesar di Nusantara

Berikut bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya:

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang. Prasasti tersebut tertulis 604 saka (683 M).

Dalam prasasti tersebut isinya menerangkan bahwa seorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra) dengan menggunakan perahu.

Ia berangkat dari Minangatamwan dengan membawa tentara 20.00 orang hingga di Upang (Palembang). Di sana ia mendirikan vihara.

Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti

Prasasti yang berisi keterangan tentang penguasaan Sriwijaya atas daerah Jambi berasal dari prasasti
Lihat Foto

Wikimedia/Gunawan Kartapranata

Prasasti Kedukan Bukit

KOMPAS.com - Kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan bercorak Buddha yang terletak di tepi Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan.

Pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa.

Pada masanya, kerajaan yang didirikan pada abad ke-7 ini banyak memberi pengaruh di nusantara.

Selain mengontrol perdagangan di jalur utama Selat Malaka, kebesarannya juga dapat dilihat dari keberhasilannya di bidang maritim, politik, dan ekonomi.

Berikut ini beberapa peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dapat membuktikan keberadaan dan kebesarannya.

Baca juga: Mengapa Kerajaan Sriwijaya Disebut Kerajaan Maritim?

Prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit

Prasasti Kedukan Bukit peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti kemajuan pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha. prasasti tersebut mengisahkan tentang keberhasilan perjalanan penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang.

Prasasti Kedukan Bukit berisi tentang berdirinya Kerajaan Sriwijaya dan raja pertamanya yang bernama Sri Jayanegara, melakukan perjalanan suci menggunakan perahu bersama 20.000 tentaranya.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Batang, Kedukan Bukit, Palembang, pada 29 November 1920.

Prasasti berangka tahun 683 Masehi ini ditulis dengan huruf Pallawa dan Bahasa Sanskerta.