Prasasti kedukan Bukit peninggalan kerajaan Sriwijaya mengisahkan tentang

Jakarta -

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di tepi Sungai Talang, dekat Palembang, Sumatera Selatan. Prasasti ini merupakan salah satu bukti tersohornya Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit ditulis pada 16 Juni 682 Masehi. Dalam buku Sejarah SMA Kelas XI oleh Prof Dr M Habib Mustopa dkk, prasasti ini disebutkan berisi perjalanan suci yang dilakukan Dapunta Hyang, pendiri sekaligus Raja Sriwijaya dengan perahu.

Dia berangkat dari Minanga Tamwan dengan membawa tentara sebanyak 20.000 orang dengan perbekalan sebanyak 200 peti yang dinaikkan perahu.

Diperkirakan prasasti dikeluarkan setelah Dapunta Hyang tiba kembali di pusat pemerintahannya. Jika demikian, besar kemungkinan prasasti itu dibuat di ibu kota kadatuan Sriwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit berbentuk batu kecil berukuran 45 x 80 cm. Ditulis dalam aksara Pallawa dengan menggunakan bahasa Melayu Kuno.

Prasasti yang bercorak agama Budha ini dikenal juga dengan nama Prasasti Śrīwijaya I. Saat ini disimpan di Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor D.146.

Selain Prasasti Kedukan Bukit, peninggalan Sriwijaya lainnya yakni Prasasti Talang Tuo.

Prasasti ini berangka tahun 684 Masehi dan berisi berita tentang pembuatan taman sriksetra atas perintah Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk kemakmuran semua makhluk.

Ada juga Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 M dan ditemukan di Kota Kapur, Pulau Bangka.

Prasasti ini berisi ekspedisi Sriwijaya ke daerah seberang lautan (Pulau Jawa) untuk memperluas kekuasaannya.

Selain itu ada lagi Prasasti Telaga Batu. Prasasti tidak berangka tahun ini berisi kutukan-kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan dan tidak taat kepada raja.

Kemudian ada Prasasti Karang Berahi. Prasasti ini ditemukan di daerah Karang Berahi, Jambi Hulu pada tahun 686 M. Isi prasasti tentang permintaan kepada dewa yang menjaga Sriwijaya dan untuk menghukum setiap orang yang bermaksud jahat kepada Sriwijaya.

Terakhir, prasasti yang menunjukkan tersohornya Kerajaan Sriwijaya selain Prasasti Kedukan Bukit yakni Prasasti Ligor tahun 775 M.

Prasasti ini ditemukan di Tanah Genting Kra, Ligor, Thailand dan menceritakan persahabatan antarbangsa.

Simak Video "Isi Kuliah Subuh, Anies Cerita Upaya Bung Karno Berantas Buta Huruf"


[Gambas:Video 20detik]
(nwy/pal)

IMCNews.ID - Sampai saat ini, tiga prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya telah ditemukan di Palembang.

Salah satunya adalah prasasti Kedukan Bukit, yang oleh para ahli dianggap mengandung kunci pemecahan masalah lokasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya.

Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pertama kali oleh orang Belanda bernama C.J. Batenburg pada 29 November 1920 di Kedukan Bukit, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi.

Ukurannya tergolong kecil, yakni berupa batu berukuran 45 × 80 cm.

Prasasti ini berangka tahun 604 Saka (682 M), ditulis menggunakan huruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.

Kemudian pada 1924, prasasti ini ditranskripsikan dan diterjemahkan oleh Philippus Samuel van Ronkel, seorang ahli Bahasa Melayu kenamaan.

Isi

Prasasti Kedukan Bukit terdiri dari sepuluh baris, yang berbunyi sebagai berikut:

svasti sri sakavastitta 605 ekadasi sukla-

paksa vulan vaisakha dapunta hiyam nayik di

samvau mangalap siddhayatra di saptami suklapaksa

vulan jyestha dapunta hiyam marlapas dari minana

tamvan mamava yam vala dua laksa dangan kosa

duaratus cara di samvau danan jalan sarivu

tluratus sapulu dua vañakña datam di mata jap mukha upam

sukhacitta di pañcami suklapaksa vulan... asadha

laghu mudita datam marvuat vanua ...

srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala!

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia

Selamat! Tahun Saka telah lewat 605, pada hari ke sebelas paro-terang bulan Waisakha Dapunta Hiyang naik di sampan mengambil siddhayatra.

Pada hari ke tujuh paro-terang bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga untuk membawa bala tentara 20.000 dengan perbekalan 200 peti di sampan dengan diiringi sebanyak 1312 orang berjalan kaki datang ke hulu Upang dengan sukacita.

Pada 15 hari pertama bulan asadha dengan lega gembira datang membuat benua... 

srivijaya jaya siddhayatra subhiksa nityakala!

Tafsir

Isi prasasti Kedukan Bukit tersebut dapat ditafsirkan sebagai berikut:

Pada tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682) raja Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang naik perahu dari suatu tempat untuk menggabungkan diri dengan balatentaranya yang baru saja menaklukkan Minanga (Binanga).

Lalu pada tanggal 7 Jesta (19 Mei) Dapunta Hyang memimpin balatentaranya berangkat dari Minanga untuk kembali ke ibu kota.

Mereka bersuka cita karena pulang dengan kemenangan.

Tanggal 5 Asada (16 Juni) mereka tiba di Muka Upang, sebelah timur Palembang.

Sesampainya di ibu kota, Dapunta Hyang menitahkan pembuatan wanua (bangunan) berupa sebuah wihara, sebagai manifesti rasa syukur dan gembira.

Prasasti Kedukan Bukit peninggalan Kerajaan Sriwijaya menjadi bukti kemajuan pelayaran di Indonesia pada masa Hindu-Buddha. Prasasti tersebut mengisahkan tentang keberhasilan perjalanan penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang.

Oleh karena Dapunta Hyang disertai puluhan ribu balatentara yang lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanannya adalah sebuah ekspedisi militer untuk menaklukkan daerah.

Kendati demikian, prasasti Kedukan Bukit masih mengandung persoalan yang tidak sederhana.

Beberapa ahli memberikan penafsiran berbeda tentang isi prasasti tersebut karena sebagian kata di dalamnya mempunyai makna ganda.

Jika dalam bagian pertama kita sudah sedikit mengenal Kota Tua Binanga, Kota bersejarah yang penuh dengan kisah masa lalu yang perlu digali dan dilestarikan oleh para pewarisnya. 

Kearifan lokal (local wisdom) yang sudah mengakar ditengah masyarakat dijaga dan dirawat oleh pewarisnya, menjadi ikon kebanggaan bagi masyarakat itu sendiri. Ir. Soekarno Presiden Pertama Republik Indonesia pernah menyampaikan " Mereka yang dibutakan oleh sejarah, akan mudah disetir oleh kepentingan asing". 

Untuk itu melestarikan Adat budaya adalah kewajiban bagi segenap warga masyarakat pada umumnya warga adat pada khususnya.

Binanga menjadi salah satu nama luat (wilayah adminstratif menurut sistem adat atau kerajaaan) di Kabupaten Padang Lawas, wilayah kekuasaan adat par marga Hasibuan Pahae Barumun Pahulu Sosa (Sosa, Barumun, Binanga, Unterudang, Huristak, Simangambat) secara garis besarnya. 

Boleh dikatakan Binanga menjadi pintu gerbang menuju Kabupaten Padang Lawas, sebagai Kecamatan pertama yang akan dilalui jika hendak menuju Sibuhuan ibukota Kabupaten Padang Lawas, Atau menuju provinsi Pekanbaru. 

Jika tahun 1980an hingga 1990 Jalur yang di lalui via Sosopan, seiring perjalanan waktu jalur lintas sudah melalui kecamatan Barumun Tengah melintasi Binanga sebagai kota pertama yang dilalui.

Tahun 1985 sebagai titik awal perubahan di wilayah kecamatan Barumun tengah, dengan dimulainya pembangunan jembatan Binanga (Jambi). 

Dan pembukaan jalur Gunung Tua Sibuhuan, sebagai jalur alternatif menuju dan dari pekanbaru. 

Sudah menjadi hukum alam ketika daerah tersebut menjadi jalur altrrnatif, dengan sendirinya wilayah tersebut akan berkembang menjadi kota baru. 

Apalagi didukung oleh pemerintahan sebagai pengambil kebijakan di daerah tersebut.

Binanga sebagai salah satu desa tertua menjadi pusat pemerintahan adat di wilayah Luat Binanga, Yang membawahi beberapa Desa dan Anak Desa. 

Secara pemerintahan masuk kedalam wilayah kecamatan Barumun Tengah. 

Dalam istilah adat disebut (Bona Bulu), namun secara pemerintahan Negara memiliki kepala desa sendiri, kecuali sebagian yang menjadi anak Desa.

Pemerintahan adat masih tetap di pegang teguh oleh masyarakat dalam kehidupan seharu hari, khususnya dalam hal paradaton, kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan adat istiadat yang telah diwariskan nenek moyang mereka dahulunya.

Jika dalam pemerintahan bernegara ada kepala daerah, baik itu kepala Desa, camat dan Bupati. 

Dalam sistem adat dibagi juga dalam teritorial, Hatobangon, menjadi pimpinan adat di masing masing desa, Hatobangon tidak terlepas dari konsep "Dalihan Natolu" yakni Mora, Kahanggi, Anak Boru, mereka menjadi pucuk pimpinan dalam setiap prosesi adat yang di gelar. 

Mereka yang memutuskan dan menetapkan kegiatan yang berkenan dengan prosesi adat, tentunya dengan melalui tahan tahapan, (Lebih Jelasnya bisa anda baca dalam Buku Karangan kami berjudul " Hasibuan (Menelusuri Jejak Hasibuan Di Padang Lawas. Terbit 2019) buku yang kami tulis ini, sedikit mengulas tentang proses Adat dalam tatanan masyarakat adat Tapanuli Bagian Selatan.

Di masing masing Wilayah adat (luat) ada marga (suku) tertentu yang menjadi Harajaon, sebagian besar wilayah Padang Lawas marga yang menjadi Harajaon adalah marga Hasibuan, kecuali dibeberapa desa ada sebagian dari marga lain yang menjadi Harajaon, untuk Anak boru masing masing daerah juga tidak sama, sesuai dengan kondisi daerah itu sendiri.

Namun secara garis keturunan yang menjadi Anak Boru Marga Hasibuan adalah Marga Daulay, meski ada sebagian yang anak borunya marga Pasaribu. 

Namun untuk wilayah tertentu terjadi banyak perbedaannya.

Desa Binanga pada awalnya terletak di Siala Sibanggor, karena faktor alam maka nenek Moyang mereka pindah ke tempat saat ini, yang mana saat ini berdiri kokoh Bagas Godang di desa Binanga (lihat foto). 

Rumah papan yang masih bentuk rumah panggung. 

Saat ini tidak ada lagi yang menempatinya, hanya sebagai Bagas Godang tempat melangsukan beberapa kegiatan adat.

Meskipun garis keturunannya tidak tinggal disini, akan tetapi rumah iniasih dilestarikan oleh cucu cucunya.

Seiring perkembangan zaman, Desa binanga semakin berkembang menjadi pemukiman yang padat penduduk. 

Jika anda dari arah Gunung Tua sebelum Jembatan Binanga, atau jika dari Sibuhuan sesudah Jembatan, maka inilah desa Binanga yang sesungguhnya. 

Adapun Desa Pasar Binanga menjadi anak desa dalam istilah adatnya bona bulu parhutaon nadi pahuta.. 

Meskipun secara pemerintahan Pasar Binanga menjadi pusat Pemerintahan, pusat Ekonomi, Pusat pendidikan, pusat kesehatan. Atau dalam istilah adatnya nadi pahuta, anak keturunan Raja Hasihuaan di Binanga.

Pada awalnya pasar Binanga, berada di dekat sungai Barumun, di jembatan Binanga yang saat ini menjadi ikon kebanggaan masyarakat Binanga. 

Jembatan yang menghubungkan dua Binanga, Jembatan yang selalu ramai setiap sore. 

Tempat altrrnatif bagi penikmat senja di jembatan Binanga. 

Akan semakin indah ketika kuliner kuliner di sajikan menyambut malam. 

Saat ini hanya Rumah makan Holat selalu tersedia 24 jam tepat di depan jembatan Binanga. 

Holat adalah makanan tradisional yang berbahan sederhana tapi bisa menggugah selera apalagi bagi kita yang sedang kurang nafsu makan.

Binanga tepat berada di tengah tengah tiga candi. 

Peninggalan bersejarah agama Budha (secara singkat bagian pertama sudah kami bahas, dan akan kita kupas lagi pada edisi selanjutnya). 

Hal ini yang terus kita kembangkan menggali nilai sejarah dalam Kota Binanga, baik itu adat istiadat, peninggalan Bersejarah, Marga, Tradisi dan peluang masa depaan Binanga, yang akan kembali menjadi pusat Peradaban. 

Sebagai mana dahulu di wariskan oleh leluhur kita. Kota Binanga menjadi Ibukota Kabupaten Barumun Tengah Raya (BATARA). (*)

Sumber : Kompas.com & taufikhasibuan.gurusiana.id