Pemimpin yang amanah itu seperti apa?

Amanah memiliki akar kata yang sama dengan kata iman dan aman. Orang yang beriman disebut mukmin yang dapat mendatangkan keamanan dan dapat menerima amanah. Kuatnya hubungan antara iman dan amanah tergambar pada sebuah hadits yang mengatakan tidak beriman orang yang tidak berlaku amanah. Jika demikian, berarti tidak akan bisa memberikan rasa aman orang yang tidak bisa amanah. Itulah mengapa pentingnya sifat amanah bagi seorang pemimpin.

Seorang manusia, pada dasarnya dituntut untuk berlaku amanah kepada Allah dalam hubungannya sebagai saudara dan amanah kepada diri sendiri. Amanah kepada Allah dapat dilihat pada seberapa jauh ia melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang amanah kepada Allah, ia akan melaksanakan perintah-Nya semaksimal mungkin, menggunakan semua potensi yang dimilki untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan sungguh-sungguh.

Adapun amanah kepada sesame manusia memiliki makna yang lebih luas. Amanah tidak hanya berkutat dengan janji yang harus ditepati. Orang yang tidak melakukan janjinya, tidak amanah. Tidak hanya soal itu, amanah berkaitan dengan pelaksanaan apa-apa yang dipercayakan atau dititipkan. Jadi, amanah sesama manusia bisa berkaitan dengan ulama yang berlaku adil terhadap jamaahnya, pemimpin yang berlaku adil terhadap rakyatnya, guru yang berlaku adil terhadap muridnya, termasuk suami yang berlaku adil terhadap istrinya.

Amanah terhadap diri sendiri berarti berbuat sesuatu yang terbaik dan bermanfaat bagi diri sendiri baik dalam urusan akhirat maupun urusan dunia. Demikian juga, seseorang yang berlaku amanah kepada dirinya tidak akan berbuat hal yang dapat membahayakannya baik semasa di dunia maupun di akhirat kelak. Dari beberapa pembagian amanah adalah menyampaikan ditarik benang merah bahwa amanah adalah menyampaikan sesuatu kepada orang yang berhak menerimanya, tidak mengambil atau melakukan sesuatu yang bukan haknya dan tidak menghalangi orang lain agar mendapatkan haknya.

Dalam konteks kepemimpinan, bagaimana cara mengetahui seseorang amanah atau tidak? Gampang, lihat saja pengalamannya terjun dalam berbagai aktifitas di berbagai lembaga yang pernah ia jalani. Apalagi dengan bantuan teknologi seperti saat ini, tidak terlalu sulit mencari informasi mengenai sosok calon pemimpin yang ideal. Namun perlu diingat, mencari seorang pemimpin yang amanah, bukan hanya amanah dalam tugasnya sehari-hari, namun amanah juga dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya. Itulah pemimpin sejati yang bersikap amanah. Ringkasnya, amanah berkaitan dengan akhlak seorang pemimpin.

Syarat dasar lain untuk menjadi seorang pemimpin adalah memiliki kecakapan. Kemampuan ini sangat penting bagi seorang pemimpin, terlebih seperti saat ini yang membutuhkan banyak kemampuan baik dalam hal berkomunikasi, kepemimpinan, maneerial, organisasi, dan sebagainya. Kemampuan menjadi sangat penting, sebab bisa jadi orang yang amanah tapi tidak mempunyai kemampuan yang baik pada akhirnya ia terjebak dalam kesalahan. Misalnya ia dijebloskan kedalam penjara karena tidaktahuannya. Ini sangat mungkin dan sudah banyak terjadi.

Dalam memimpin Negara, Nabi Yusuf diberikan pemahaman dan hikmah oleh Allah Swt., sebagaimana yang termaktub dalam surat Yusuf ayat 22: “Dan tatkala dia cukup dewasa, kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Yusuf [12] : 22) keteledanan lain dari kepemimpinan Nabi Yusuf adalah budi pekertinya yang baik dan mulia. Seorang pemimpin adalah tauladan bagi masyarakatnya. Bagaimana mungkin seseorang yang ingin menjadi teladan tidak mempunyai budi pekerti yang luhur. Budi pekerti ini harus menjadi acuan ketika memilih seorang pemimpin.

Nabi Yusuf juga selalu berlaku ikhlas dalam berbuat termasuk dalam menjalankan tugas kepemimpinan. Keikhlasan ini akan menjadikan seorang pemimpin benar-benar bekerja untuk rakyatnya, memberikan apa yang dimiliki tanpa memikirkan apa yang dapat diperolehnya oleh orang lain. Apakah di saat sekarang keikhlasan ini masih tetap ada pada para pemimpin kita? Wallahhua’lam semoga saja para pemimpin kita diberi kebesaran hati untuk bersikap ikhlas dalam mengemban tugasnya.

Nabi Yusuf juga dikenal sebagai pemimpin yang pandai memberi solusi. Bagi seorang pemimpin, kepandaian sangat dibutuhkan termasuk pandai memberikan solusi dari berbagaai permasalahan yang dihadapinya. Kepandaian Nabi Yusuf dalam memberikan solusi terlihat ketika ia ditanya tentang arti mimpi raja mebgenai tujuh ekor sapi yang kurus-kurus. Dikisahkan, bahwa arti mimpi tersebut adalah aka nada tujuh musim yang subur kemudian diikuti dengan tujuh musim paceklik. Tidak hanya dalam menakwilkan mimpi, ketika mimpi raja tersebut terbukti, hanya Nabi Yusuf yang dapat melaluinya dengan selamat. Ia sudah mempersiapkan jauh-jauh hari kebuutuhan yang dibutuhkan ketika masa paceklik, hingga akhirnya seluruh masyarakat Mesir mengantung. Kepada Nabi Yusuf untuk segala kebutuhan makannya.

Allah Swt., berfirman: “(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): ‘Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.’ Yusuf berkata: ‘supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa: maka apa yang kammu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk makan. Kemudian sesudah itu akan dating tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk mengahadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padatnya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur’.” (QS. Yusuf [12] : 46-49)

Nabi Yusuf juga senantiasa berbudi pekerti luhur, jujur dalam bersikap walaupun ia harus mempertahankan kejujurannya hingga penjara. Pada akhirnya, kejujuran Nabi Yusuf pun terbukti setelah Zulaikha mengakuinya jika ia lah yang bersalah. Nabi Yusuf juga dikenal sebagai pemimpin yang senantiasa berlaku adil kepada rakyatnya termasuk kepada saudara-saudaranya yang saat itu datang ke Negara Mesir. Sifat adil Nabi Yusuf tidak pandang bullu, tidak hanya kepada orang lain, tetapi kepada keluarganya sendiri ia berlaku adil. Nabi Yusuf juga dikenal sebagai pemimpin yang senantiasa berbuat baik dan takwa kepada Allah Swt.

“Dan demikian kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir: (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat kami kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyiapkan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagii orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa.” (QS. Yusuf [12] :57)

Sebelum Yusuf mendapatkan amanah sebagai bendahara Negara, ia berkata kepada raja mesir sebagaiman digambarkan Allah dalam firman-Nya. “Berkata Yusuf: ‘jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir): sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan’.”) (QS. Yusuf [12] :55)

Ayat tersebut merupakan adil bahwa seseorang yang mempunyai kemampuan dalam sebuah bidang tertentu boleh meminta jabatan atau kekuasaan terhadap urusan tersebut. Artinya, seseorang boleh mengajukan diri menjadi pemimppin jika ia yakin mampu dan ia tidak melihat orang lain yang lebih mampu dari pada dirinya. Mampu dalam hal ini bisa jadi mampu dari segi keahlian maupun dari kejujuran, adil dan amanah.

Jika tidak demikian, jangan pernah meminta jabatan karena jabatan merupakan amanah yang besar pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Mengajukan diri sebagai seorang pemimpin tidak boleh berdasarkan ambisi pribadi, karena ambisi jelas datangnya dari hawa nafsu.

“Rasulullah Saw. Bersabda kepadaku, ‘wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta sebuah jabatan. Sebab, jika diserahkan kepadamu jabatan dengan memintaknya, maka kamu akan terbebani dengan jabatan tersebut. Namun, jika kamu akan terbebani dengan jabatan tersebut. Namun jika kamu memperoleh jabatan itu tanpa memintanya, maka kamu akan dibantu dalam mengemban jabatan tersebut’.” (HR. Muslim)

Yusuf menganjurkan diri menjadi bendahara Negara karena ia mampu menjaga dan juga berpengetahuan. Ia tidak mengatakan, karena ia tampan atau berpenampilan menarik. Jadi jelas, ia mengajukan diri menjadi seorang penguasa, dalam hal ini bendahara Negara karena ia yakin dapat bersikap amanah terhadap jabatan yang diembannya. Mengajukan diri untuk memiliki jabatan bukan berdasarkan ambisinya yang ingin berkuasa.

Yusuf yang menyebutkan dirinya pandai menjaga dan berpengetahuan menjadi isyarat bahwa seseorang diperbolehkan menyebutkan kelebihan dirinya untuk kepentingan pekerjaan atau tujuan mulia lainnya. Namun jika tidak, hal itu dilarang karena perbuatan termasuk dalam kategori Nya.

Terbukti, setelah raja menyerahkan urusannya kepada Yusuf, ia banyak melakukan kemaslahatan bagi penduduknya. Ia juga mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah. Tidak sedikit yang menerima ajakanya, karena kedudukannya yang didukung oleh sikap adil dan amanah yang ditunjukkan Yusuf. Sehingga wajar saja, Yusuf yang memang disukai secara fisik, juga disukai perbuatanya baik oleh laki-laki maupun perempuan. Setiap orang menyukainya.

Ketika Yusuf memimpin, tanah-tanah di Mesir sedang subur-suburnya. Yusuf pun memerintahkan penduduknya agar menjaga dan merawat hasil pertanian yang melimpah dan memperluas lahan pertanian yang ada. Ketka musim panen tiba, Yusuf memerintahkan agar mengumpulkan semua bahan makanan hasil pertanian dan menympan di lumbung-lumbung penyimpanan yang telah dipersiapkan. Begitulah yang dilakukan oleh Yusuf setiap tahun, hingga datang masa-masa paceklik yang penuh kesulitan.

Kunci utama suksesnya kepemimpinan Nabi Yusuf adalah sikapnya yang amanah. Sejak awal nabi Yusuf mengatakan, “Saya adalah orang yang pandai menjaga”. Ungkapan tersebut bisa diartikan, “Saya adalah oraang yang amanah”. Ternyata benar, setelah ia menjadi seorang bendahara Negara, ia menjadi seorang pemimpin yang amanah. Amanah pada dasarnya adalah jujur, dapat dipercaya. Amanah merupakan tuntunan iman. Lawan dari amanah adalah khianat dimana khianat adalah salah satu ciri kekhafiran. Rasululullah Saw. Bersabda: “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah, dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Orang yang telah kehilangan sifat amanah, ia akan menjadi orang yang mudah berbohong dan berkhianat. Sedangkan bohong dan khianat merupaka ciri-ciri dari oaring yang munafik. Amanah seringkali dikaitkan dengan harta dan kedudukan. Pada kedua hal ini lah amanah dituntut untuk untuk dilaksanakan. Namun, pada dasarnya, amanah berlaku lebih luas lagi terutama dalam melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Itulah amanah Allah yang berlaku kepada setiap Muslim.

Berkaitan dengan kepemimpinan, pada saat ini kata-kata amanah banyak sekali diumbar, namun rasanya sangat sulit mencari seorang pemimpin yang benar-benar amanah. Kita harus jeli dalam memilih seorang pemimpin, tidak hanya mempercayai apa yang diucapkannya. Alangkah baiknya juga untuk tidak percaya pada satu sumber yang mengatakan tentang seorang pemimpin. Sebab sudah jelas dalam Islam, jika ada suatu berita yang datang, kita harus melakukan tabayyun (cross check) tentang kebenaran berita tersebut. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. Bersabda: “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat. Sahabat bertanya, ‘Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?’ Rasulullah Saw. Menjawab, ‘jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran’.” (HR. Bukhari)

Amanah dalam kepemimpinan dapat diartikan dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan jabatan kepada orang yang berhak, menyerahkan tugas kepada orang yang berhak, menyerahkan tugas kepada orang yang selalu berusaha meningkatkan kemampuan terhadap tugas yang diembanya. Kepemimpinan dalam Islam jelas merupakan suatu amanah yang besar, jadi tidak setiap orang bisa mengembannya. Namun jika seseorang bisa mengembannya, maka kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan diperoleh.

Dari Abu Dzar beliau berkata: “Wahai Rasulullah mengapa anda tidak memberikan saya jabatan?” beliau mengatakan, wahai Abu Dzar, engkau ini lemah dan jabatan itu adalah amanah, sesungguhnya jabatan itu akan menjadi sebuah penghinaan dan penyesalan nanti pada hari kiamat, kecuali bagi orang yang memikulnya dengan sungguh-sungguh dan menunaikannya menurut hak-hak yang terdapat di dalam jabatan tersebut.” (HR. Muslim)

Manusia sebagai makhluk social hidup dalam sebuah komunitas yang satu. Untuk itu, kehadiran seorang pemimpin mutlak dipperlukan agar araah dan keberadaan kelompok tersebut dapat berjalan baik. Dalam Islam sendiri, menunjuk seorang pemimpin sangat diperlukan bahkan jika hanya ada tiga orang terkumpul. Salah seorang di antara mereka harus ditunjuk menjadi pemimpin. Itulah ciri betapa pentingnya seorang pemimpin terutama dalam sebuah kelompok.

Dalam Islam, pemimpin merupakan khalifah Allah di muka bumi. Tanggung jawab seorang pemimpin bukan hanya kepada manusia saja tapi juga haruss dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Pertanggung jawaban di hadaapan manusia bisa direka-reka dan disesuaikan dengan keinginan. Namun pertanggung jawaban di hadapan Allah menyeluruh, tidak akan ada yang terlewat barang sedikit pun. Sebetulnya menjadi seorang pemimpin itu bukan sesuatu yang menyeangkan, tetapi tanggung jawab dan amanah yang harus  diemban sebaik-baiknya. Jika ia tidak mampu mengemban amanah, balasannya sangat pedih di akhirat kelak, begitu pula jika ia mampu mengembannya. Allah Swt. Berfirman:

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji mereka dan orang-orang yang memelihara sholatnya, mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi surge Firdaus mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Muminun [23] : 8-11)

Pada zaman Rasulullah, pernah suatu ketika ada seorang Badui datang kepada Rasulullah Saw. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, kabarkan kepadaku mengenai ajaran agama, apa yang terinngan dan apa yang terberat?” Rasulullah Saw., menjawab, “Adapun ajaran yang teringan yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat Rasulullah Saw., menambahkan, “Tidak sempurna agama seseorang, kalau dia tidak bisa menjaga daan memelihara amahah.”

Pemegang amanah yang sangat menentukan dalam kehidupan ini ada lima kelompok. Lima kelompok ini mewakili seluruh elemen kehidupan manusia. Pertama, pemimpin yang memegang amanah dalam pemimpin yang berlaku adail. Kedua, ulama atau cendekiawan yang memegang amanah yaitu yang mengamalkan ilmunya. Ketiga, hartawan yang memegang amanah yaitu orang yang dermawan dengan hartanya. Keempat, karyawan yang amanah adalah yang rajin dan disiplin dalam bekerja. Kelima, fakir miskin yang amaanah adalah mereka yang berdoa untuk kebaikan. Jika kelima kelompok ini menjalankan amanhnya masing-masing Rasulullah menjamin dunia akan damai dan sejahtera.

Landasan dari kepemimpinan adalah sikap sikap amanah. Seseorang sahabat rasul yang utama, Umar biin Khattab diangkat menjadi khalifah, ia berkataa, “wahai umat Muhammad! Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian. Seandaainya tidaklaah didorong oleh hadapan bahwa saya menjadi orang yang terbaik di antara kalian, orang yang terkuat bagi kalian, dan orang yang yang paling teguh pengurus urusan kalian, tidaklah saya menerima jabatan ini. Sungguh berarti bagi Umar menunggu datangnya saat perhitungan.” Sayyidina Umar sadar bahwa kepemimpinan bukan hanya janji untuk melayani sesuai kesepakatan bersama. Umar paham bahwa seorang pemimpin juga harus berhubungan harmonis dengan Allah, menjalankan kepemimpinan sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan-Nya.

Sejarah mencatat, bahwa Umar adalah pemimpin yang adil, bijaksana, tegas, disegani, dan selalu memperhatikaanurusan kaum muslim. Umar juga dikenal sebagi pemimpin yang menegakkan tauhid dan keimanan, menghancurkan syirik dan kekufuran, dan menghidupkan sunnah dan menghilangkan bid’ah. Suksesnya kepemimpinan Umar tidak perlu diragukan beliau adalah tokoh besar setelah Rasulullah Saw., dan Abu Bakar. Pada saat beliau memimpin, kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan beberapa daerah seperti Persia, Mesir, Syam, Irak, Azerbaijan, Basrah, Kufah, Tripoli bagian barat dan Jurjain.

Dalam Islam, selain pemimpin social, setiap orang juga merupakan pemimpinbagi dirinya sendiri. Pasalnya, setiap dari kita akan mempertanggung jawabkan apa yang dilakukan selama di dunia ini. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw., bersabda “setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinanya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tetang mereka. Lelaki adalah pemimp[in di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah memimpin di rumah suaminya dan atas anaak-anaknya dan ia diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuanya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim)

Dalam ilmu modern, seorang pemimpin adalah orang yang mampu menggunakan kemampuannya, nalurinya, sikapnya, sehingga orang lain yang dipimpin dapat bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Pemimpin juga dikatakan sebagai orang yang mampu mempengaruhi orang lain dalam situasi tertentu, melalui komunikasi, dengan tujuan mencapai satu titik tertentu. Tidak heran jika seorang pemimpin selalu menjadi titik pusat dari suatu tindakan. Keberhasilan atau kegagalan suatu kelompok selalu dikaitkan dengan siapa pemimpinannya.

Mari kita simak nasihat Imam Ghazali kepada murid-muridnya. Saat itu, Imam Ghazali sedang berkumpul dalam sebuah majlis bersama murid-muridnya. Untuk menguji kemampuan murid-muridnya dan memberikan nasihat, untuk menguji kemampuan murid-muridnya dan memberikan nasihat, beliau mengajukan beberapa pertanyaan kepada mereka. “Apakah hal yang paling berat di dunia ini?” itulah salah satu pertanyaan yang beliau ajukan.

Para murid pun menjawab, ada yang menyebut baja, ada yang menjawab besi, ada yang mengatakan gajah, dan sebagainya. Imam Ghazali menggelengkan kepala. Tidak ada seorang murid punyang dapat menjawabnya dengan tepat. Imam Ghazali kemudian mengatakan bahwa semua jawaban muridnya benar. Namun yang dimaksud oleh Imam Ghazali, yang paling berat di dunia ini adalah memegang amanah.

Amanah dapat berupa kepercayaan dari orang lain baik berupa barang ataupun bukan. Amanah merupakan segala  sesuatu yang mewajibkan seseorang yang menerimanya untuk menunaikannya dengan benar. Termasuk dalam amanah adalah perintah Allah Swt., untuk menjalankan perintah-Nya serta laragan-Nya. Bahkan hadirnya kita di dunia ini adalah amanah untuk menjadi khalifah Allah guna memakmurkan bumi ini. Allah Swt., berfirman:

“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikirkan amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab [33] : 72)

Jelas, amanah bukan sesuatu yang sederhana. Tidak hanya terkait dengan harta dan jabatan saja. Amanah berkaitan dengan akal dan jiwa untuk melaksanakan berbagai kewajiban sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan sebagaimana mestinya. Itulah amanah yang merupakan urusan besar di mana seluruh semesta menolaknya. Namun demikian, banyak di antara kita yang mengambil amanah padahal kita sadar tidak akan mampu melaksanakannya. Allah pun menyebut manusia sebagai zalim dan amat bodoh.

Dalam kepemimpinan, amanah merupakan kunci suksesnya kepemimpinan yang dilaksanakan. Pemimpin yang amanah dapat menghadirkaan keadilan. Keadilan akan membawa nada kerukunan. Sedangkan kerukunan dapat membawa suatu masyarakat pada kesejahteraan. Demikian sebaliknya, seorang pemimpin yang tidak amanah hanya akan membawa kehancuran pada rakyat yang dipimpinnya. Itulah, betapa pentingnya amanah bagi seorang pemimpin.

Pemimpin yang amanah akan melaksanakan segala kepemimpinannya untuk semua rakyat atau bawahannya, bukan untuk diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Menegakkan keadilan bagi seluruh rakyatnya atau bawahannya.

Mengapa kita harus menjadi pemimpin yang amanah?

Kesanggupan seorang pemimpin amanah terus direalisasikan dengan tanggung jawab saat menjalankan kepemimpinannya. Tanggung jawab dalam arti mampu melaksanakan tugas dengan baik, sehingga di bawah kepemimpinannya lingkungan menjadi lebih sejuk, anggota merasa dilindungi, dan organisasi menjadi lebih maju.

Pemimpin yang baik itu seperti apa?

Seorang pemimpin yang baik akan selalu memberikan feedback mengenai hasil kerja dari tim. Misalnya ketika tim menyelesaikan pekerjaan dengan baik, maka Anda harus memberikan feedback positif. Jangan lupa untuk meminta feedback dari kepemimpinan Anda sebagai bahan evaluasi diri.

Apa contoh dari amanah?

Contoh Amanah dalam Kehidupan Sehari-hari Menyampaikan titipan pesan sesuai dengan isi aslinya. Menjaga benda yang dititipkan dengan baik. Menjalankan tugas dan tanggung jawab jabatan sesuai dengan yang diberikan. Menjaga segala sesuatu yang telah diberikan oleh Allah.