Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu

Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu

Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu
Lihat Foto

Wikipedia/Fretilinmedia

Logo Fretilin

KOMPAS.com - Partai Fretilin didirikan pada tanggal 20 Mei 1974 oleh Francisco Xavier do Amaral.

Sebagai partai politik Timor Timur yang tidak setuju menjadi bagian Indonesia, Fretilin memulai gerakan mereka dengan memperjuangkan kemerdekaan Timor Timur dari Portugis, kemudian Indonesia.

Fretilin merupakan partai sayap kiri yang saat ini memegang 23 dari 65 kursi di Parlemen Nasional Timor Leste.

Baca juga: Integrasi Timor Timur ke Indonesia masa Orde Baru

Sejarah berdirinya

Partai Fretilin terbentuk setelah Revolusi Anyelir, yakni runtuhnya rezim otoriter menjadi demokrasi di Portugis, yang terjadi pada 25 April 1974.

Dampak dari Revolusi Anyelir tidak hanya dirasakan oleh bangsa Portugis, tetapi juga wilayah-wilayah jajahannya, termasuk Timor Timur.

Peristiwa itu memicu lahirnya partai-partai politik di Timor Timur, salah satunya Asosiasi Sosial Demokrat Timor (ASDT), yang berdiri pada 20 Mei 1974.

Tujuan dari partai yang didirikan oleh Francisco Xavier do Amaral ini adalah untuk mencapai kemerdekaan Timor Timur dari Portugal.

Pada 11 September 1974, ASDT mengubah namanya menjadi Fretilin dan mengambil sikap yang lebih radikal dengan menyatakan partainya sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Timor Timur.

Baca juga: Timor Leste, Negara Bekas Bagian Indonesia

Mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur

Revolusi Anyelir di Portugal tidak hanya melahirkan Partai Fretilin, tetapi juga Partai APODETI dan Uni Demokrat Timur (UDT).

Ketiga partai tersebut memiliki misi yang berbeda, di mana Fretilin sangat pro-kemerdekaan, APODETI menginginkan integrasi dengan Indonesia, sedangkan UDT lebih moderat.

Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu

Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu
Lihat Foto

Wikimedia Commons

Monumen Memorial Balibo.

KOMPAS.com - Deklarasi Balibo adalah penyataan oleh perwakilan masyarakat Timor Timur untuk bergabung dengan Indonesia.

Deklarasi ini dilontarkan oleh Xavier Lopez da Cruz pada 30 November 1975 di Balibo, Timor Leste.

Latar belakang Deklarasi Balibo

Sejak abad ke-16, wilayah Timor Leste menjadi daerah koloni Portugis.

Peristiwa kudeta militer di Portugal oleh Jenderal Antonio de Spinola pada 1974 turut memengaruhi nasib Timor Timur.

Saat Presiden Spinola yang baru saja berkuasa melakukan dekolonialisasi bagi daerah-daerah jajahannya, Timor Timur mengalami kekosongan kekuasaan.

Baca juga: Sejarah Singkat Kota Jakarta

Ketika Gubernur Timor Timur memberi kebebasan politik kepada warganya, terbentuklah lima partai politik, antara lain:

  • Uniau Democratica Timorense (UDT)
  • Frente Revolutionaria de Timor Leste Independente (FRETILIN)
  • Associacao Populer Democratica Timorense (Apodeti)
  • Partai KliburOanTimor (KOTA)
  • Partidu Trabalista

Tiga partai di antaranya, yaitu UDT, FRETILIN, dan Apodeti mempunyai perbedaan prinsip tentang masa depan Timor Timur.

UDT yang dipimpin oleh Mario Viegas Carascalao menghendaki Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal.

FRETILIN yang dipimpin oleh Xavier de Amaral ingin membentuk negara merdeka, sementara Apodeti yang dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo ingin bergabung bersama Indonesia.

Akibatnya, terjadi perang saudara di Timor Timur yang dimulai di Kota Dili sejak Agustus 1975.

Timor Timur, wilayah yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia, kini telah menjadi sebuah negara yang bernama "Timor Leste". Timor Timur awalnya merupakan wilayah jajahan Portugal hingga tahun 1975. Kemudian berintegrasi dengan Indonesia sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat Timor Timur saat itu. Selama Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, rakyat Timor Timur jauh lebih sejahtera dan lebih maju dibandingkan masa penjajahan Portugis dan setelah melepaskan diri dari NKRI. Timor Timur akhirnya lepas dari NKRI setelah diadakan referendum yang penuh kecurangan pada tahun 1999. Saat ini Timor Leste menjadi negara termiskin ke-7 di dunia.

Masa Kolonial Portugis

Bangsa Portugis menjajah Timor Timur selama kurang lebih 450 tahun. Rakyat Timor Timur hidup dalam kemiskinan, sebagian besar rakyat buta huruf, dan penuh diskriminasi bahkan dalam pendiskriminasian penduduk pribumi dilarang menginjak jalan aspal. Sebuah diskriminasi yang dapat dinilai keterlaluan. Hanya ada sedikit sekali lulusan akademi yang dihasilkan bangsa Portugis selama menjajah Timor Timur. Orang-orang pada umumnya hanya tahu Ir. Mario Viegas Carrascalao. Alfred Russel Wallace, seorang naturalis dan ilmuwan, di tahun 1861 pernah mencatat kondisi kota Dili sebagai pusat administrasi Timor Portugis : "Tempat paling miskin bahkan dibandingkan kota-kota termiskin di Hindia Belanda sekalipun. Tak ada tanda-tanda orang bercocok tanam atau peradaban di sekitarnya." Bisa dikatakan nasib bangsa Indonesia ketika dijajah Belanda lebih beruntung walaupun yang namanya penjajahan selalu tidak enak.

Pemberlakuan pemberian finta (upeti) kepada pemerintah kolonial Portugis menimbulkan kebencian di antara para liurai (raja setempat) dan pernah timbul perlawanan pada tahun 1710. Pemberontakan tahun 1710 ini memaksa orang-orang Portugis memindahkan pusat administrasi kolonialnya dari Lifau ke Dili untuk seterusnya sampai orang-orang Portugis hengkang dari bumi Lorosae pada tahun 1975. Pada tahun 1859, gubernur Timor Portugis Afonso de Castro membuat kebijakan tanam paksa yakni tanaman untuk diekspor khususnya kopi. Kebijakan yang menyengsarakan rakyat ini kembali menimbulkan perlawanan terhadap penjajah Portugis yang dipimpin oleh para liurai pada tahun 1861. Sistem kerja paksa kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jose Celestino da Silva dalam bentuk pembangunan jalan. Di tahun 1908, Gubernur da Silva juga mengganti finta dengan pajak kepala.

Perlawanan liurai yang terbesar dan terakhir adalah perlawanan yang dipimpin oleh Dom Boaventura (liurai Manufahi). Dom Boaventura melanjutkan perlawanan ayahnya, Dom Duarte, yang dipaksa menyerah di tahun 1900. Ia mulai mengadakan perlawanan di tahun 1911. Pemerintah kolonial Portugis mengerahkan pasukan pribumi Timor Portugis ditambah pasukan yang didatangkan dari Afrika Timur Portugis (sekarang Mozambik). Perlawanan berhasil ditumpas pada tahun 1912. Diperkirakan 25 ribu orang tewas selama kampanye militer menumpas perlawanan Dom Boaventura. Sang liurai ditangkap dan diasingkan ke Pulau Atauro sampai akhir hidupnya. Kemudian pemerintah Timor Portugis memberikan kewenangan langsung kepada suco (desa) sebagai pemerintahan lokal. Dengan demikian, kekuasaan dan pengaruh para liurai menjadi kecil dan penjajah Portugis dapat mengontrol secara langsung hingga ke pedalaman.

Pada tahun 1974, di Portugal terjadi Revolusi Bunga (atau disebut juga Revolusi Anyelir) yang mendorong Portugal mengeluarkan kebijakan dekolonisasi dan mulai meninggalkan wilayah jajahannya termasuk Timor Timur. Partai-partai politik mulai berdiri di Timor Timur : APODETI, FRETILIN, UDT, TRABALHISTA, KOTA. UDT (Uniao Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur tetap berada di bawah kekuasaan Portugal. APODETI (Associacao Popular Democratica Timorense) menginginkan Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia. FRETILIN (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) menginginkan Timor Timur merdeka sebagai sebuah negara berdaulat. Ketiganya merupakan tiga partai terbesar. Dua partai kecil lainnya, KOTA (Klibur Oan Timor Aswain) menginginkan pemerintahan tradisional yang fokus pada kepemimpinan liurai sedangkan TRABALHISTA yang didukung oleh komunitas Tionghoa dan Arab hanya menginginkan perubahan yang terkendali. Secara garis besar, dua partai kecil ini sejalan dengan cita-cita APODETI.

Kerusuhan dan pertumpahan darah merebak ke seluruh bumi Lorosae. Dari sisi kekuatan senjata, FRETILIN merupakan fraksi yang terkuat sebab mendapat dukungan dari pasukan pribumi militer Timor Portugis. Pasukan FRETILIN memberikan perlawanan yang hebat baik terhadap pasukan UDT maupun pasukan APODETI. UDT akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tujuan utamanya memertahankan Timor Timur berada di bawah Portugal dan bersatu dengan APODETI untuk menghadapi FRETILIN. FRETILIN membantai puluhan ribu rakyat yang menginginkan Timor Timur bergabung dengan Indonesia termasuk beberapa tokoh APODETI. Gubernur Timor Portugis waktu itu (gubernur terakhir), Mario Lemos Pires, yang seharusnya bertanggung jawab memulihkan ketertiban dan keamanan justru mengevakuasi sebagian besar pasukan Portugis ke Pulau Atauro dan membiarkan koloni Portugal tersebut dalam kekacauan.

FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan memroklamirkan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 28 November 1975. APODETI, UDT, TRABALHISTA, dan KOTA segera mengadakan proklamasi tandingan di Balibo pada tanggal 30 November 1975 yang menyatakan bahwa Timor Timur menjadi bagian dari NKRI. Naskah proklamasi tersebut ditandatangani oleh Arnaldo dos Reis Araujo (ketua APODETI) dan Francisco Xavier Lopes da Cruz (ketua UDT). Pernyataan sikap politik keempat partai diiringi dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40 ribu orang. Dari perbatasan NTT, pasukan yang terdiri dari para pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan FRETILIN secara bergerilya. Tak lama kemudian, TNI datang dan membebaskan Timor Timur dari kebiadaban FRETILIN. Upaya pembebasan itu dikenal dengan nama Operasi Seroja.

Masa Integrasi dengan Indonesia

Gabungan partai yang pro integrasi membentuk PSTT (Pemerintahan Sementara Timor Timur) dan mengangkat Arnaldo dos Reis Araujo sebagai gubernur pertama serta Francisco Xavier Lopes da Cruz sebagai wakil gubernur. Timor Timur resmi menjadi provinsi ke-27 Indonesia setelah disahkannya UU no. 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Timor Timur menjadi provinsi yang paling unik karena provinsi Indonesia lainnya merupakan bekas wilayah jajahan Belanda, Timor Timur merupakan satu-satunya provinsi Indonesia bekas wilayah jajahan Portugal. Presiden Soeharto menyebut bersatunya Timor Timur sebagai "kembalinya anak yang hilang".

Berbagai infrastruktur mulai dibangun di provinsi termuda itu, mulai dari jalan beraspal hingga bandara. Bangunan sekolah mulai dari tingkat SD hingga universitas dibangun di Timor Timur. Bandara Komoro (sekarang Bandara Nicolau Lobato) dibangun di Dili sehingga berbagai pesawat dapat mendarat dan terbang ke dan dari Timor Timur. Banyak subsidi dari dana APBN dicurahkan untuk memajukan provinsi termuda ini. GNP per kapita Timor Timur sebesar $1500 semasa integrasi. Presiden Soeharto juga memerintahkan pembangunan patung Kristus Raja yang menjadi ikon pariwisata Timor Timur dan simbol toleransi terhadap umat Katolik. Patung itu menjadi patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia setelah di Rio de Janeiro. Adalah suatu hal yang unik jika salah satu negara mayoritas Muslim terbesar memiliki patung Yesus Kristus terbesar kedua di dunia. Almarhum presiden kedua kita juga memerintahkan pendirian Monumen Integrasi berbentuk liurai dengan borgol yang terputus di kedua tangan untuk memeringati perjuangan heroik rakyat Timor Timur dari penjajahan Portugis hingga bersatu dengan Indonesia.


Partai dari Timor Timur yang menginginkan tetap berada sebagai negara bagian Timur Portugis yaitu

Lihat Humaniora Selengkapnya