Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan

Silvia Galikano | CNN Indonesia

Jumat, 19 Feb 2016 18:25 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Filosofi batik peranakan adalah doa dan harapan kepada keturunan, yang dilambangkan melalui motif-motifnya. Sehelai seprai batik tua dan langka, misalnya, memiliki motif hewan mitologi “fighting spirit” dan qilin.Qilin menggambarkan bakal munculnya orang penting di dalam keluarga, sedangkan fighting spirit adalah ikan yang akan berubah menjadi naga jika dia berhasil berenang melawan arus.“Sprei seperti ini hanya milik kapiten-kapiten China yang mengerti falsafah hidup,” ujar kolektor batik langka Hartono Sumarsono saat pembukaan Pameran “The Beauty of Chinese Art Influence on Batik” di Museum Tekstil, Jakarta, Kamis (18/2). Pameran untuk menyemarakkan Imlek dan Cap Go Meh ini digelar pada 18 Februari – 20 Maret 2016 dan menampilkan batik-batik pesisir koleksi Galeri Batik Yayasan Batik Indonesia (YBI).Hartono Sumarsono adalah juga pendiri toko Batik Kencana Ungu dan Batik Citra Lawas. Dia mulai mengoleksi batik-batik kuno Nusantara sejak 1986, berangkat dari keprihatinan ketika tahu batik-batik tersebut diboyong ke luar Indonesia oleh kolektor-kolektor asing.Kini, koleksinya sudah melebihi 300 helai batik dari yang berusia 50 tahun (batik Pekalongan) hingga 150 tahun (seprai dari Lasem bermotif naga dan burung hong). Ragam hiasnya antara lain Von Franquemont, batik dongeng dari Metzelaar (motif Roodkapje, Si Topi Merah dan Serigala), Van Zuylen, dan Padmo Soediro (bangsawan Jawa, kepala urusan rumah tangga Lies van Zuylen).Batik pesisir tak lepas dari kedatangan orang China ke Pulau Jawa, 1000 tahun lalu, pada abad ke-12 dan ke-13. Yang datang adalah para lelaki tanpa (membawa) istri.Mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, sehingga keturunannya “menjadi Jawa” dan “China peranakan”.Kaum perempuan China peranakan mengadopsi pakaian ibu mereka, yakni kain batik dan kebaya. Berikutnya, masyarakat keturunan China  mengenakan batik yang bukan betul-betul dari China, melainkan batik setempat.Awalnya kain batik yang dipakai merupakan buatan rakyat lokal. Selanjutnya mereka mengupah perajin untuk membuat batik dengan motif yang mereka tentukan, yang diambil dari motif sulaman sutera, porselin, atau furniture China.

Tokwi (kain altar) tadinya dibuat hanya dari sulaman China. Namun ketika akulturasi muncul, tokwi juga dibuat dari batik. Selain itu, batik pesisir juga dijadikan tutup nampan hantaran, gordidjn dan muili untuk pengantin, taplak meja, runner/looper, hingga hadiah ulang tahun perkawinan emas.

Pada masa ini hidup pembatik China peranakan terkenal, yakni Oey Soe Tjoen/Kwee Netie dari Pekalongan dan Lie Boen In dari Kudus, yang terkenal galak. Kalau hasil batik kurang bagus, mereka akan menyobek namanya di ujung kain agar reputasi mereka tidak rusak.Demikian hidupnya batik pesisiran, Bung Karno, pada awal 1960-an, pernah meminta budayawan Jawa Gow Thiek Swan membuat “batik Indonesia”. Caranya dengan menggabungkan dua aliran besar batik di Pulau Jawa, yakni motif batik pedalaman (kraton Solo-Yogya) dengan warna batik pesisiran.“Sebetulnya itu sudah dilakukan pembatik-pembatik terdahulu. Sekarang, apalagi, lebih banyak lagi,” ujar Hartono.

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Batik pesisir banyak mendapat pengaruh budaya China. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)

Berikut ulasan singkat dari Hartono Sumarsono tentang kota-kota di pesisir Jawa yang terkenal dengan batik pesisir/batik peranakan:

Lasem

Menurut Babad Lasem, orang-orang China datang ke Lasem sejak 1334 M. Motif batik peranakan khas Lasem antara lain porselen China, burung hong, furniture, qilin, qilin sung tze (anak-anak qilin) dan banji/swastika.Selain itu, kisah-kisah legendaris China juga dijadikan motif, seperti Hai Liong Ong, tentang kaisar dasar laut, dipercaya dapat membuat perempuan yang mengenakan kain ini mudah hamil.Cerita lain yang juga kerap dijadikan ragam hias adalah kisah Sampek Engtay dengan kekhasan gambar sepasang kupu-kupu, lambang Sampek dan Engtay, dua kekasih yang tak dapat bersatu. Ada batik langka yang bukan hanya bergambar kupu-kupu, melainkan juga tulisan “sampek engtay”.

Garut dan Tasikmalaya

Batik Tasikmalaya sebelumnya relatif sederhana, hanya warna hitam dan sogan. Namun sejak ada orang China yang pindah dari Batang, Jawa Tengah dan membawa ciri-ciri batik Pekalongan, batik Tasikmalaya jadi lebih berwarna serta mulai dikenal motif anggrek cattleya.Batik tersebut disebut “centongan”, mengacu kepada pembuatnya yang bernama Tan Chen Tong, dan terkenal pada era 1930-an.

Cirebon dan Indramayu

Batik Cirebon punya ciri khas motif cocolan yang didapat dengan cara menusukkan jarum ke kain agar muncul motif titik-titik halus. Selain itu, pengaruh China diwakili motif burung hong.

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Tokwi (kain altar) batik pesisiran. (CNN Indonesia/Silvia Galikano)

Banyumas

Pengaruh China hadir lewat motif qilin dan burung hong. Batik Banyumas dikenal juga dengan sebutan batik materos.

Pekalongan

Jans, orang Belanda pembuat motif batik di Pekalongan, menambahkan motif teratai ke dalam batik Pekalongan. Masyarakat menyebutnya batik blorong, terkenal pada 1930-an.Pada 1950-an, muncul motif buketan yang berbeda, yakni ke atas dan ke bawah, bunga seruni, dan bunga peony.Di Pekalongan, motif parang menang dikenakan saat menghadiri pernikahan, sedangkan motif kelengan (toa ha) dipakai pada saat berkabung.

Batik jawa hokokai

Masa pendudukan Jepang yang hanya tiga tahun di Indonesia (1942-1945), tapi memberi pengaruh terhadap batik di Indonesia, yang disebut batik jawa hokokai. Batik jawa hokokai berciri adanya tambahan warna kuning yang sebelumnya tidak pernah ada di batik Nusantara, dan motif bunga sakura.Batik jawa hokokai diciptakan para pengusaha China untuk menyesuaikan diri dengan pemerintahan Jepang. Nama motif ini diambil dari organisasi propaganda Jepang, Jawa Hokokai, untuk menciptakan kemakmuran di Asia.Batik Jawa Hokokai dibuat dalam bentuk batik pagi-sore sebagai akibat kelangkaan bahan batik pada Perang Dunia II dan sampai sekarang terus bertahan dalam bentuk itu.

Kudus

Batik kudus tergolong rumit, dari ujung ke ujung - depan dan belakang – diberi titik, dan hampir tak terlihat ciri khas kechinaannya. Andai pun ada yang menonjol adalah motif burung hong.

Lasem

Batik Lasem sangat kental unsur Chinanya melalui dominasi motif qilin, burung hong, dan macan. Warna hitam didapat dari warna merah yang ditumpuk dengan warna biru.Batik Lasem kuno memiliki ciri tumpal berada di tengah-tengah kain. Baru belakangan, tumpal diletakkan di tepi. 

Sidoarjo

Batik Sidoarjo tampak seperti lukisan China. Di sana ada motif burung, buketan, dan teratai.Kekhasan batik Sidoarjo, dasarnya terlihat seperti “kotor” karena terdiri dari dua warna. Setelah dicelup dengan warna tanah, dimasukkan lagi warna hitam samar.

Solo

Solo, meski bukan daerah pesisir, juga mengenal batik peranakan yang disebut “batik tiga negeri”. Asal sebutan itu adalah pewarnaan sehelai kain dilakukan di tiga daerah, yakni warna merah di Lasem, hitam di Solo, dan biru di Pekalongan.Namun dalam dua dekade ini, kualitas batik tiga negeri menurun. Pewarnaan juga hanya dilakukan di dua tempat, Lasem dan Solo.

(sil/sil)

LIVE REPORT

LIHAT SELENGKAPNYA

Teman Cerita, kalian pasti sudah sering memakai batik, kan? Dari batik sekolah, batik formal, sampai batik yang dipakai untuk main. Nah, setiap batik memiliki keunikannya sendiri tergantung wilayahnya masing-masing. Kali ini kita akan membahas batik yang mendapat pengaruh dari budaya Tionghoa. Yuk, simak ceritanya!

Sejarah Batik

Teman cerita, Batik adalah Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia yang diakui oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Sejak saat itu, setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Setiap sekolah, lembaga pemerintah, dan beberapa perusahaan bahkan mewajibkan pelajar atau pegawainya memakai batik pada hari tertentu.

Kata ‘batick’ muncul pada abad ke-17 sebagai barang yang diekspor ke Belanda, tetapi ragam hiasnya sendiri sudah ada sejak beberapa abad sebelumnya. Ragam hias seperti lereng, ceplok, sidomukti, dan kawung ditemukan pada arca-arca di Candi-candi Hindu, seperti Candi Prambanan, Candi Singosari, Candi Banon, dan lainnya.

Di bawah ini terdapat foto bagian bawah Arca Prajnaparamita dari abad ke-13 M koleksi Museum Nasional. Bisa kita lihat, ragam hias pada kain arca memiliki bentuk dasar motif ceplokan yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh India, yaitu dari kain patola.

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: Wikimedia Commons

Kapan mulai munculnya batik sampai saat ini masih belum bisa dipastikan, tapi yang pasti sejak dulu sudah ada. Pada awal abad ke-17, batik mulai menemukan bentuk formalnya pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram.

Batik kemudian mulai berkembang di luar keraton, namun ada beberapa motif yang tidak boleh dipakai oleh masyarakat biasa yang disebut pola kain larangan, antara lain lereng, parang rusak, kawung, udan liris, semen ageng dan lainnya. Motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh keluarga keraton saja.

Pada dasarnya ragam hias batik terbagi menjadi dua, yaitu geometris dan non-geometris. Ragam hias geometris terdiri dari banji, ceplok atau ceplokan, ganggong, nitik, kawung, parang, dan lereng. Ragam hias non-geometris adalah semen, yang terdiri dari kombinasi ragam hias binatang, sayap-sayap burung, tumbuhan, dan gunung (meru).

Saat ini, ragam hias dan warna pada batik sudah sangat beragam dan menyesuaikan dengan ciri daerahnya masing-masing.

Batik Vorstenlanden dan Pesisiran

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: KITLV

Teman cerita, secara garis besar batik terbagi menjadi dua jenis, yaitu batik Vorstenlanden dan batik pesisiran. Batik Vorstenlanden ini berkembang di wilayah Yogyakarta dan Solo. Disebut Vorstenlanden karena kedua daerah ini merupakan daerah kerajaan.

Ragam hias batiknya bersifat simbolis, filosofis, memiliki makna yang mendalam dan berlatarkan kebudayaan Hindu-Jawa. Warna batiknya lebih sederhana yaitu cokelat, indigo (biru), hitam dan putih.

Berlawanan dengan batik Vorstenlanden, batik pesisiran adalah batik yang pembuatannya dikerjakan di luar kedua daerah Vorstenlanden. Batik ini berkembang di wilayah pesisir utara Jawa, seperti Cirebon, Pekalongan, Lasem, Madura, dan lainnya. Sedangkan di wilayah Sumatera terdapat batik Jambi, Palembang, Bengkulu, dan lainnya.

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: KITLV

Ciri khas dari batik pesisiran adalah ragam hiasnya bersifat naturalistik dan dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan asing seperti Eropa, Tiongkok, Arab, dan lainnya. Percampuran dari motif-motif tradisional dan asing menyebabkan motif batiknya menjadi lebih beragam.

Umumnya batik pesisiran mengutamakan keindahan dalam penampilannya, tanpa mempedulikan makna lambang yang menjadi motifnya. Warna dan motif batik dibuat untuk memenuhi keinginan konsumen dan pemakainya. Hal ini sangat berbeda dengan batik kerajaan yang motifnya sarat akan makna.

Batik pesisiran memiliki warna lebih cerah dan beragam, motifnya lebih bebas, naturalis, dan realis. Pada batik yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa umumnya memiliki ragam hias burung hong (phoenix), naga, seruni, banji atau swastika, bangau, merak, ayam, burung-burung kecil, kupu-kupu, menjangan, kilin, teratai, anyelir, dan lainnya.

Nah, berikut ini ada tiga daerah penghasil batik yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa yang sampai saat ini masih sangat terkenal di Indonesia, yaitu Batik Lasem, Batik Tanah Liek, dan Batik Cirebon.

1. Batik Lasem

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: Wikimedia Commons

Salah satu wilayah penghasil batik pesisiran yang terkenal adalah Lasem. Batik di Lasem terbagi menjadi tiga yaitu Batik Klasik atau Rakyat, Batik Laseman, dan Batik Kontemporer. Batik yang mendapat pengaruh budaya Tionghoa disebut sebagai Batik Laseman.

Berdasarkan manuskrip Carita Lasem atau Babad Lasem, sejarah batik Lasem berkaitan erat dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho pada 1413 M. Diceritakan bahwa kru dari Laksamana Cheng Ho, Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni dari Campa memilih menetap di Bonang, Lasem.

Setelah melihat keindahan Jawa, Na Li Ni mulai membuat batik dengan motif burung hong (phoenix), naga, seruni, banji, dan warna darah khas ayam Tiongkok. Warna merah seperti darah ayam disebut abang getih pithik oleh orang Lasem dan menjadi ciri khas dari batik Lasem.

Motif-motif pada batik Lasem biasanya diambil dari motif sulaman Tiongkok dan porselin yang memiliki makna sendiri. Ragam hiasnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan nenek moyang dan legenda Tiongkok. Contohnya motif burung hong yang melambangkan kedamaian, kecantikan, pembawa untung, musim panen, dan kehangatan musim panas.

Sampai saat ini daerah Lasem masih terkenal dengan batiknya dan sering menerima permintaan dari luar daerah seperti Palembang, sehingga di Palembang kain batik Laseman sangat populer.

Baca Juga: Qin Shi Huang, Sang Kaisar Naga Pertama

2. Batik Tanah Liek

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: Wikimedia Commons

Batik Tanah Liek berkembang di Minangkabau, Sumatera Barat. Tanah Liek dalam bahasa Minangkabau berarti ‘tanah liat’, karena dulu diwarnai dengan tanah liat. Kain akan direndam ke dalam tanah liat selama kurang lebih satu minggu agar bisa mendapatkan warna alami tanah liat yang menjadi warna dasar batik ini.

Batik ini masuk ke Sumatera Barat pada masa Kerajaan Pagaruyung sekitar abad ke-16. Batik pengaruh budaya Tionghoa ini sempat hilang pada zaman penjajahan Jepang, tetapi berhasil dihidupkan kembali pada pertengahan tahun 1990-an atas kerjasama penduduk dan pemerintah setempat.

Pada awalnya, batik ini memiliki motif kuda laut dan burung hong. Kemudian motifnya berkembang menyesuaikan dengan daerah Minangkabau seperti sicam, pucuk rebung, kipas, tari piring, siku-siku beragi, dan kaluak paku (untuk pinggiran kain).

3. Batik Cirebon

Motif batik burung Hong merupakan motif batik yang mendapat pengaruh dari kebudayaan
Sumber: Gambar oleh Kevin Sanderson dari Pixabay

Cirebon merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang batiknya mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Tionghoa, Arab, dan Islam. Pengaruh dari budaya Tionghoa dapat terlihat dari motif dan warna yang ada pada batik.

Motif dari budaya Tionghoa yang sering ada pada batik Cirebon adalah kabut atau mega, qilin, burung hong, lung, banji, bunga plum, teratai, kura-kura, bunga dahlia, burung bangau, kelelawar, dan beberapa jenis serangga seperti lipan, kupu-kupu, dan lain sebagainya.

Ragam hias yang menjadi ciri batik Cirebon adalah mega mendung atau kabut. Dalam kebudayaan Tionghoa, kabut melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan. Gambar kabut terdiri dari lima warna yang melambangkan lima kebahagiaan, dan kabut-kabut tersebut dianggap sebagai pertanda kedamaian. Makna kabut sering dikaitkan dengan awan pembawa hujan yang dianggap sebagai simbol kesuburan dan pemberi kehidupan.

Motif mega mendung sering dibuat dengan warna merah dan biru terang. Kedua warna ini adalah warna yang sering dipakai pada kain sutera Tiongkok, baik dalam bentuk To’wi, hiasan dinding maupun pakaian Tionghoa. Warna khas batik Cirebon adalah biru putih seperti warna keramik dari masa dinasti Ming yang banyak ditemukan di Cirebon.

Teman cerita, setelah kita membaca mengenai pengaruh budaya Tionghoa pada batik Indonesia, kita jadi tahu bahwa motif-motifnya sangat beragam dan ada motif yang berasal dari hewan legenda seperti burung hong dan naga. Menarik bukan? Jadi gak sabar buat langsung berkunjung ke tiga daerah tersebut dan mencoba membatik  ya!

Referensi:

  1. Erlinawati, F. (1997). Lambang dan Makna Flora dan Fauna dalam Kebudayaan Cina pada Motif Kain Batik Cirebon. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  2. Natanegara, E.A., & Djaya D. (2019). Batik Indonesia. Yayasan Batik Indonesia.
  3. Parmono, K. (1995). Simbolisme Batik Tradisional. Jurnal Filsafat, 1(1), 28-35.
  4. Purnaeni, Y. (1990). Ragam-Ragam Hias pada Kain Arca-Arca Batu Jawa Tengah dan Jawa Timur Koleksi Museum Nasional Jakarta. Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
  5. Putri, E. H., & Midawati, M. (2020). Sejarah Batik Tanah liek dan Pekerjaan Perempuan Perajin Batik di Kabupaten Dharmasraya. HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 8(1), 13-28.
  6. Rizali, N., & Sudardi, B. CHINESE CULTURE INSPIRATION IN MAKING LASEM BATIK MOTIF. Together” Semarang, 26-27 July 2017, 371.