Moksha merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya demikianlah dijelaskan oleh


Moksha merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya demikianlah dijelaskan oleh

Kata moksa berasal dari bahasa Sanskerta, dari akar kata muc yang berarti membebaskan atau melepaskan. Moksa berarti kelepasan, kebebasan. Dari pemahaman istilah, kata moksa dapat disamakan dengan nirwana, nisreyasa atau keparamarthan. Moksa adalah alamnya brahman yang sangat gaib dan berada di luar batas pikiran umat manusia. Moksa bersifat nirguna. Tidak ada bahasa manusia yang dapat  menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam moksa itu. Dia hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya. Alam moksa bukan sesuatu yang bersifat khayal, tetapi suatu yang benar-benar ada, karena demikian dikatakan oleh ajaran kebenaran (agama).

Apa yang disabdakan oleh Tuhan yang dituliskan dalam kitab suci (Veda) adalah benar secara mutlak. Ajarannya selalu bersifat suci dan penuh kegaiban, maka dari itu ajarannya patut dipedomani sepanjang masa. Adapun yang dimaksud dengan kebebasan dalam pengertian moksa ialah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa berarti mereka telah mencapai alam Sat cit ananda. Sat cit ananda berarti kebahagiaan yang tertinggi. Setiap orang pada hakekatnya dapat mencapai moksa, asal mereka mengikuti dengan tekun jalan yang ditunjuk oleh agama. Jalan yang ditunjuk oleh ajaran agama untuk mencapai moksa adalah Catur Marga Yoga. Ajaran Catur Marga Yoga dapat ditempuh oleh semua orang dengan menyesuaikan kemampuan dirinya masing-masing.

Sesungguhnya jalan Catur Marga tersebut dalam prakteknya telah dilaksanakan dalam satu kesatuan yang utuh, namun dengan meletakkan satu penonjolan tertentu dari jalan-jalan tersebut. Seseorang yang menempuh jalan bhakti marga yoga juga telah melakukan marga yoga yang lainnya, tetapi dalam porsi yang lebih kecil, demikian pula yang lainnya. Moksa itu dapat dicapai di dunia ini artinya semasih kita hidup. Dan dapat pula dicapai setelah hidup ini berakhir. Kebebasan alam sorga dan neraka yang dicapai oleh seseorang yang ada dalam ajaran agama Hindu, bukanlah merupakan tujuan hidup yang tertinggi. Karena konsep alam sorga dan neraka hanya merupakan penomena yang dialami oleh atma seseorang bersama karma phalanya masing-masing pada waktu hidupnya di dunia. Dalam kehidupan di dunia dapat menumbuhkan adanya rasa cinta dan keinginan yang berlebihan, yang semuanya itu dapat menyebabkan seseorang menjadi terikat.

Orang yang dapat membebaskan dirinya (pikiran dan perasaannya) dari ikatan keduniawian serta pengaruh suka dan duka yang muncul dari tri guna akan dapat mencapai kelepasan itu, sebagaimana diungkap dalam Bhagavadgita sebagai berikut:

Brahmabhūtah prasannātmā, na sochati na kānkshati, samah sarveshu bhūteshu, madbhaktim labhate param (Bhagawadgita, XVIII.54).

Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada dhuka tiada nafsu-birahi, memandang semua mahluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku yang tertinggi.

Sattvam sukhe sanjayati,  rajah karmani bhārata, jnānam āvrtya tu tamah,  pramāde sanjayaty uta (Bhagavadgita XIV.9)

Sattwa mengikat seseorang dengan kebahagiaan, rajas dengan kegiatan tetapi  tamas, menutupi budi pekerti oh Barata, mengikat dengan kebingungan.

Yadā sattve pravrddhe tu,  pralayam yāti dehabhrit, tado ’ttamavidām lokan,  amalān pratipadyate (Bhagavadgita XIV. 14)

Apabila sattva berkuasa dikala penghuni-badan bertemu dengan kematian maka ia mencapai dunia suci tempat mereka, para yang mengetahui.

Bhaktyā tv ananyayā sakya, aham evamvidho ‘rjuna, jnātum drashtum cha tattvena praveshtum cha paramtapa (Bhagawadgita,  XI.54)

Tetapi dengan pengabdian jua yang hanya terpusatkan, oh Arjuna Aku dapat diketahui juga sesungguhnya dapat dilihat, Parantapa.

Tujuan utama hidup manusia adalah untuk menyadari dirinya yang sejati. Setelah orang menyadari dirinya yang sejati barulah ia dapat menyadari Tuhan yang meresap dan berada pada semua yang ada di alam semesta ini. Dalam kehidupan nyata di dunia ini masih sangatlah sedikit jumlah orang yang menginginkan mendapatkan kebahagiaan rohani ”moksa”, kebanyakan diantara mereka hanyut oleh kenikmatan duniawi yang penuh dengan gelombang suka dan duka. Kiranya setiap orang perlu menyadari bahwa tubuh ini adalah suatu alat untuk mendapatkan moksa.Moksanam sariram sadhanam yang artinya bahwa tubuh ini adalah sebagai alat untuk mencapai moksa. Dengan demikian peliharalah tubuh ini sebaik-baiknya. Demikian yang dikatakan dalam kitab  Brahma Purana (228.45).

Disebutkan ada beberapa tingkatan ”moksa” yang diajarkan dalam ajaran agama Hindu. Ajaran ini didasarkan pada keadaan ”atma” dalam hubungannya dengan Brahman. Adapun bagian-bagiannya dapat dijelaskan sebagai berikut ;

Jiwamukti adalah tingkatan moksa ataua kebahagiaan atau kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya tidak lagi terpengaruh oleh gejolak indrya dan maya. Istilah ini dapat pula disamakan maksudnya dengan samipya dan sarupya.

Widehamukti adalah tingkat kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya, dimana atmanya telah meninggalkan badan wadagnya (jasadnya), tetapi roh yang bersangkutan masih kena pengaruh maya yang tipis. Tingkat keberadaan atma pada dalam posisi ini adalah setara dengan Brahman, namun belum dapat menyatu dengan-Nya, sebagai akibat dari pengaruh maya yang masih ada. Widehamukti dapat disejajarkan dengan salokya.

Purnamukti adalah tingkat kebebasan yang paling sempurna. Pada tingkatan ini posisi atma seseorang keberadaannya telah menyatu dengan Brahman. Setiap orang akan dapat mencapai posisi ini, apabila yang bersangkutan sungguh-sungguh dengan kesadaran dan hati yang suci mau dan mampu melepaskan diri dari keterikatan maya ini. Istilah Purnamukti dapat disamakan dengan sayujya.

Secara lebih rinci sesuai uraian di atas tentang keberadaan tingkatan-tingkatan moksa dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa macam tingkatan. Moksa dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu: Samipya, Sarupya (Sadarmya), Salokya, dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian ini dapat dipaparkan  sebagai berikut ;

1)      Samipya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh seseorang semasa hidupnya di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan oleh para Maharsi. Beliau dalam melakukan Yoga Samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya, sehingga beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan yang demikian itu atman berada sangat dekat dengan Tuhan. Setelah beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan beliau kembali sebagai biasa, di mana emosi, pikiran, dan organ jasmaninya aktif kembali.

2)      Sarupya (Sadharmya) adalah suatu kebebasan yang didapat oleh seseorang di dunia ini, karena kelahirannya, di mana kedudukan Atman merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Rama dan Buddha dan Sri Kresna. Walaupun Atman telah mengambil suatu perwujudan tertentu, namun ia tidak terikat oleh segala sesuatu yang ada di dunia ini.

3)      Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh Atman, di mana Atman itu sendiri telah berada dalam posisi dan kesadaran yang sama dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti itu dapat dikatakan baliau Atman telah mencapai tingkatan Dewa yang merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.

4)      Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi di mana Atman telah dapat bersatu dengan Tuhan Yang Esa. Dalam keadaan seperti inilah sebutan Brahman Atman Aikyam yang artinya: Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal.

Dalam hubungan untuk mewujudkan suatu kebebasan dalam hidup ini sangat baik kita merenungkan dan mengamalkan sloka berikut:

Sribhagavan uvacha: Akasaram brahman paramam svabhavo dhyatmam uchyate, bhutabhavodbhavakaro visargahkarmasamjnitah (Bhagawadgita VIII. 3. 129).

Sri Bhagawan Bersabda: Brahman (Tuhan) adalah yang kekal, yang maha tinggi dan adanya di dalam tiap-tiap badan perseorangan disebut Adhyatman. Karma adalah nama yang diberikan kepada kekuatan cipta yang menjadikan makhluk hidup.

Mengenai kebahagiaan atau kebebasan abadi yang mesti diupayakan dalam hidup dan kehidupan ini, kitab suci Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut:

Mātāpitrsahasrāni putradāra çatani ca, yuge yuge wyatītāni kasya te kasya wā wayam.

Anādi ketang janma ngaranya, tan kinawruhan tembenya, luput kinalakaran, wilangning janmāntara, mewwiwut pwa bapanta, ibunta, anakta, rabinta, ring sayugasyuga, paramārthanya, ndyang enak katepetana sānu lawan ika, ndyang tuduhan anunta (Sarasamuscaya, 35.486)

Tidak diketahui hubungan penjelmaan manusia itu pada permulaannya, tidak dapat diperkirakan akan banyaknya penjelmaan yang lain, beribu-ribu bapa, ibu, anak dan istri pada tiap-tiap yuga; pada hakekatnya, siapakah yang sebenarnya dapat mengatakan dengan tepat keturunan mereka itu, dan yang mana dapat ditunjuk seketurunan dengan engkau sendiri ?.

Nāyamatyantasamwāmsah kadācit kenacit saha, api swena marīrena kimutānyena kenacit.

Tātan hana teka nitya patemunya ngaranya, ikang patemu ika, ikang tan temu ika, kapwa tan langgeng ika, patemunta lawan iking çariranta tuwi, tan langgeng ika, mapasaha mara don iking paneoadadi, haywa tinucap ikang len (Sarasamuscaya, 35. 487).

Tidak ada yang kekal yang dinamakan pertemuan itu, yang bertemu satu dengan yang lain; yang tidak bertemu satu dengan yang lain, semuanya itu tidak kekal, bahkan hubunganmu dengan badanmu sendiripun tidak kekal, pasti akan berpisah dari badan; tangan, kaki, dan lain-lain bagian tubuh itu, jangan dikatakan dengan yang lain-lainnya.

Ādarçanādāpatitāh punaçcādarçanam gatāh, na te tawa na tesām twam kā tatra paridewanā.

Keta sakeng taya marika, muwah, ta ya mulih ring taya, sangksipta tan akunta ika, ika tan sapa lawan kita, an mangkana, apa tojara, apa polaha (Sarasamuscaya, 35.488).

Katanya mereka datang dari Taya (kenyataan yang tidak nyata), dan kemudian kembalinya lagi ke Taya, singkatnya, bukan kepunyaanku itu, itu tidak ada hubungannya dengan engkau, jika demikian halnya, apa yang akan dikatakan dan apa yang akan dikerjakan.

Naste dhane wā dāresu putre pitari mātari, aho kastamiti dhyātwā duhkhasyāpacitin caret.

Hilang pwa mās, māti pwang anak, rabi, bapa, ibu, ikāna telas paratra,  atiçaya ta göng nikang lara, mwang dukkhaning hati enget pwa kitan mangkana, gawahenta tikang tambāning duhkha (Sarasamuscaya, 35. 489).

Kekayaan akan habis, anak akan mati, istri, ayah, dan ibu, mereka itu semuanya telah meninggal, maka sangat menyedihkan dan memilukan hati, bila engkau sadarkan keadaan demikian, perbuatanmu itu merupakan obat pelipur duka.

Duhkheswanudwignamanāh sukhesu wigatasprhah, wītaçokabha-yakrodhah sthiradhīrmunirucyate.

Sang kinahananing kaprajñān ngaranira, tan alara yan panemu duhkha, tan agirang yan panemu sukha, tātan kataman krodha, mwang takut, prihati, langgeng mahning juga tuturnira, apan majñāna, muni wi ngaraning majñāna (Sarasamuscaya, 35. 505).

Orang yang disebut mendapatkan kebijaksanaan, tidak bersedih hati jika mengalami kesusahan, tidak bergirang hati, jika mendapat kesenangan, tidak kerasukan nafsu marah dan rasa takut serta kemurungan hati, melainkan selalu tetap tenang juga pikiran dan tutur katanya, karena berilmu, budi mulia pula disebut orang yang bijaksana.

Mānasam çamayet tasmāt prajñāya, gnimiwābhasa, praçānte mānase hyasya çārīramupaçāmyati.

Matangnya duhkhaning manah, prihen pademen ring kaprajñān, apan niyata juga hilang dening kaprajñān, kadyangganing apuy dumilah, niyata padem nika dening wwai, padem pwa duhkhaning manah, padem ta laranikang çarīra (Sarasamuscaya, 35. 503).

Karena itu penderitaan pikiran hendaklah diusahakan untuk dimusnahkan dengan kebijaksanaan, sebab tentunya lenyap oleh kebijaksanaan, seperti misalnya api yang menyala, pasti padam oleh air, jika telah musnah pen­deritaan pikiran, maka lenyaplah pula sakitnya badan.

Wījāyagnyupadagdhāni na rohanti yathā punah, jñānadagdhaistathā kleçairnātmā sampadyate punah.

Kunang paramārthanya, hilang ikang kleçaning awak, an pinanasan ring jñāna, hilang pwang kleça, ri katemwaning samyagjñāna, hilang tang janma, mari punarbhawa, kadyangganing wīja, pinanasan sinanga, hilang tuwuh nika, mari masewö (Sarasamuscaya, 35. 510).

Adapun maknanya yang terpenting kecemaran badan akan lenyap, jika dilebur dengan latihan-latihan ilmu pengetahuan, jika hilang musnah kotoran badan itu, karena telah diperoleh pengetahuan yang sejati, maka terhapuslah kelahiran, tidak menjelma lagi sebagai misalnya biji benihan yang dipanaskan, dipanggang, hilang daya tumbuhnya, tidak tumbuh lagi.

Demikianlah dapat diuraikan mengenai tingkatan dan keberadaan orang yang dapat mencapai moksa, dan perlu diikuti dengan kesungguhan hati. Renungkanlah dalam-dalam petikan sloka tersebut di atas, sehingga tercapai apa yang menjadi tujuan hidup ini.

C.    Perbedaan Orang yang telah Mencapai Jiwa Mukti Moksa dengan Kalangan Masyarakat Biasa

Orang yang telah mencapai jiwa mukti dalam hidupnya tidak lagi terikat pada gelombang kehidupan di dunia ini. Baginya bekerja adalah sebagai pemujaan kepada Tuhan dan semua hasilnya diserahkan kepada Tuhan. Mereka memiliki pandangan yang sama terhadap keberhasilan dan kegagalan, terhadap suka dan duka, memiliki sifat cinta kasih terhadap semua yang ada di dunia ini. Dalam hubungan ini baca dan hayatilah sloka berikut:

Manmana  bhava madhakto madyayi mam namoskuru mam evai shyasi yuktvai vam atmanam matparayanah (Bhagawadgita IX. 34 & 157).

Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, sembahlah Aku sujudlah pada-Ku. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan, engkau akan datang padaku.

Bagi seseorang yang telah mencapai jiwa mukti segala perbuatannya dipandang telah berubah menjadi Yoga dan dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau kebahagiaan hidup ini, yang bersangkutan selalu berpikir, berbicara dan berbuat senafas dengan pernyataan berikut ini ;

Oh, Tuhanku terkasih, engkau adalah Atma, diriku sendiri. Akal budhi-Ku adalah istri-Mu, Badanku adalah rumahku. Segala kewajibanku sehari-hari adalah persembahan-Ku kepada-Mu. Nafasku adalah pujiku kepada-Mu. Kemanapun aku pergi aku mendekati-Mu. Apapun yang aku ucapkan adalah mantra untuk mengagungkan Engkau. Setiap perbuatan yang kulakukan sebagai puja bagiku.

Orang suci yang telah mencapai kesadaran dirinya yang sejati adalah mereka yang telah mencapai jiwa mukti. Ia telah mempersembahkan setiap pikiran, ucapan dan perbuatannya kepada Tuhan, dan dengan demikian segala perbuatannya akan menjadi ibadah.

Sedangkan bagi masyarakat kebanyakan “biasa” yang belum mencapai kesadaran jiwa mukti, maka semua yang dikerjakannya merupakan sesuatu yang masih terikat dengan hasilnya. Mereka menganggap, semua pikiran, ucapan dan pekerjaan yang dilakukan oleh dirinya diharapkan memberikan pasilitas yang diinginkan. Mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa semuanya yang ada ini diliputi dan dikuasai oleh Tuhan. Seseorang yang demikian sesungguhnya adalah orang yang masih dipenuhi oleh sifat-sifat egoisme. Pekerjaan yang dilandasi oleh rasa egoisme dapat mendatangkan malapetaka dan penderitaan.

Sehubungan dengan hal itu baca, renungkan dan amalkanlah dalam hidup ini baik-baik sloka berikut;

Aham atma gudakesa, sai-va bhutasya sthitah, aham adis cha madhyam cha bhutanam anta cva cha (Bhagawadgita X.20.164)

Arjuna, Aku adalah atma yang menetap dalam hati semua makhluk Aku adalah permulaan, pertengahan dan akhir dari semua mahluk.

Mrityuh sarvaharas cha ham udbhavas cha bhavishvatam, kirtih srir vak cha narinam smritir medhaa dhrtih ksama (Bhagawadgita X.34.168)

Aku adalah kematian, penelan segala, asal dari semua yang masih akan terjadi, di antara makhluk kewanitaan. Aku adalah kemashuran, kesuburan, ucapan, ingatan, kecerdasan, ketetapan dan kesabaran.

Dalam hubungan ini hendaklah mereka yang telah mencapai jiwa mukti dapat menuntun mereka-mereka yang belum mencapainya, sehingga hidupnya lebih berarti dan bermanfaat, serta secara pelan tetapi pasti akan menuju pada kesempurnaan.

Demikianlah perbedaan seseorang yang telah mencapai jiwa mukti dengan kalangan masyarakat biasa yang masih sangat terikat akan duniawi. Hendaklah diantara mereka dapat saling mengisi, mengasihi, sehingga kehidupan ini berlangsung dengan damai, tenteram, harmonis saling mengasihi dan menyayangi satu dengan yang lainnya.

D.    Jalan untuk mencapai Moksa

Moksa adalah tujuan terakhir dan sekaligus memiliki nilai tertinggi dari seluruh umat Hindu. Dengan menjalankan sembahyang, bathin seseorang menjadi tenang, dengan Dharana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta) dan Samadhi (mengheningkan cita), manusia berangsur-angsur dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi. Ia adalah bebas dari segala ikatan keduniawian. Untuk bersatunya Atman dengan Brahman, camkam dan amalkanlah dalam kehidupan sehari-hari sloka berikut ini ;

Bahunam janmanam ante jhanavan mam prapadyate, vasudevah sarvam iti sa mahatma sudurlabhah (Bhagavadgita VII. 19).

Pada akhir dari hanyak kelahiran orang yang bijaksana menuju kepada Aku, karena mengetahui bahwa Tuhan adalah semuanya yang ada.

Jiwa besar seperti itu adalah sukar mencarinya. Banyak makhluk akan keluar atau lahir dan mati, serta hidup kembali tanpa kemampuannya sendiri. Akan tetapi masih ada satu yang tak tampak dan kekal, tiada masa dikala semua makhluk binasa. Nah, yang tak tampak dan kekal itulah harus menjadi tujuannya yang utama, supaya tak usah mengalami penjelmaan ke dunia. Itulah tempat-Ku yang tertinggi, oleh karenanya haruslah berusaha demi Aku. Jika engkau selalu ingat kepada-Ku, tak usah disangsikan engkau akan kembali kepada-Ku.

Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan “Moksa”, dengan menghubungkan diri dan memusatkan pikiran kepada Ida Hyang Widhi Wasa. Cara-cara atau jalan yang demikian itu telah terbiasa disebut dengan nama “Catur Marga/Yoga”, yaitu:

Bhakti Marga Yoga adalah proses atau cara mempersatukan atman dengan Brahman dengan berlandaskan atas dasar cinta kasih yang mendalam kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kata “bhakti” berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih.

Bhakti Marga Yoga artinya : jalan cinta kasih, jalan persembahan. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga) dengan sujud dan cinta, me-nyambah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yajna kepada Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yang disebut maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur dalam hati sanubarinya. Sehingga seluruh dirinya penuh dengan rasa cinta kasih dan kasih sayang tanpa batas, sedikitpun tidak ada yang terselip dalam dirinya sifat-sifat negatif seperti kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan. Cinta baktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, itu juga  dipancarkan kepada semua makhluk baik manusia maupun binatang.

Dalam doanya selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Yang Widhi agar semua makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat berkah termulia dari Hyang Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa (Catur Paramita). Ia selalu berusaha membebaskan dirinya dari belenggu keakuannya (ahamkara).

Sikapnya selalu sama menghadapi suka dan duka, pujaan dan celaan. Dan selalu merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Jadi benar-benar tenang dan sabar selalu. Dengan demikian baktinya kian teguh dan kokoh kepada Hyang Widhi Wasa. Keseimbangan batinnya sempurna, tidak ada ikatan sama sekali terhadap apapun. Ia terlepas dan bebas dari hukuman serba dua(dualis) misalnya suka dan duka, susah senang dan sebagai-nya. Seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikirannya kepada Hyang Widhi dan dilandasi jiwa penyerahan total. Dengan begitu seorang Bhakti Yoga dapat mencapai moksa.

Karma yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan atau kebajikan tanpa pamrih. Hal yang paling utama dari karma yoga ialah melepaskan semua hasil dari segala perbuatan. Dalam Bhagavadgita tentang Karma yoga dinyatakan sebagai berikut:

Tasmad asaktah satatam karyam karma samacara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah.

Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama.

Bagi seorang karma, penyerahan hasil pekerjaan kepada Tuhan bukan berarti kehilangan bahkan akan datang berlipat ganda. Hal ini merupakan suatu keajaiban yang sulit dimengerti akan mendapatkan sesuatu yang diperlukan secara mengagumkan dan membahagiakan dirinya.

Pada hakekatnya seorang karma yogi dengan menyerahkan keinginan akan pahala, ia akan menerima pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan ia akan memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tepatnya hidup pun akan menjadi bahagia, sejahtera dan suci, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.

Masyarakat yang telah suci jasmani dan rohani akan menjauhkan diri dari sifat-sifat munafik dan kepalsuan dan cita-cita yang sempurna akan dapat dicapai oleh penduduk masyarakat itu. Semua ini telah terbukti dalam pengalaman dari kebebasan jiwa seorang karma yogi.

Jnana artinya kebijaksanaan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari urat kata Yuj artinya menghubungkan diri. Jadi Jnana Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.

Tiada ikatan yang lebih kuat dari pada maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh dari pada yoga untuk membasmi ikatan-ikatan maya itu. Untuk melepaskan ikatan-ikatan ini haruslah kita mengarahkan segala pikiran kita, memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci, akan tetapi bila kita ingin memberi suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya, sebaiknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya.

Jadi dalam proses pertumbuhan dalam hal ini merupakan hal yang mutlak. Sebagai jalan pertumbuhannya pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma dan sikap bathin (wikarma) sangat diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kualitas sebenarnya dari pada pikiran kita. Ada tiga hal yang penting dalam hal ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh tentram damai.

Ketiga hal tersebut di atas merupakan dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan abhyasa yaitu latihan-latihan danvairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Adapun kekuatan pikiran kita lakukan di dalam hal kita berbuat apa saja, pikiran harus kita pusatkan kepadanya. Dalam urusan-urusan keduniawian pun pemusatan pikiran ini mutlak diperlukan. Bukanlah sifat yang diperlukan hanya untuk suksesnya di dunia berlainan dengan sifat-sifat yang dibutuhkan untuk kemajuan   spiritual atau bathin. Usaha untuk menjernihkan kegiatan kita  sehari-hari ialah kehidupan rohaniah. Apapun kita laksanakan,  berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan   pikiran kita kepada-Nya.

Raja Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai kelepasan atau moksa. Melalui Raja marga yoga seseorang akan lebih cepat mencapai moksa, tetapi tantangan yang dihadapinya pun lebih berat, orang yang mencapai moksa dengan jalan ini diwajibkan mempunyai seorang guru Kerohanian yang sempurna untuk dapat menuntun dirinya ke arah tersebut.

Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para Raja Yogin yaitu melakukan tapa, brata, yoga, samadhi. Tapa dan brata mempakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita ke arah yang positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.

Seorang Raja Yoga akan dapat menghubungkan dirinya dengan kekuatan rohani melalui Astanga Yoga yaitu delapan tahapan yoga untuk mencapai moksa. Astanga yoga diajarkan oleh Maha Rsi Patanjali dalam bukunya yang disebut Yoga Sutra Patanjali. Adapun bagian-bagian dari ajaran astangga yoga yang dimaksud adalah sebagai berikut;

Yama yaitu suatu bentuk larangan yang harus dilakukan oleh seorang dari segi jasmani, misalnya, dilarang membunuh (ahimsa), dilarang berbohong (satya), pantang mengingini sesuatu yang bukan miliknya (asteya), pantang melakukan hubungan seksual (brahmacari) dan tidak menerima pemberian dari orang lain (aparigraha).

Nyama yaitu pengendalian diri yang lebih bersifat rohani, misalnya Sauca (tetap suci lahir batin), Santosa (selalu puas dengan apa yang datang), Swadhyaya (mempelajari kitab-kitab keagamaan) dan Iswara pranidhana (selalu bhakti kepada Tuhan).

Asana yaitu sikap duduk yang menyenangkan, teratur dan disiplin

Pranayama, yaitu mengatur pernafasan sehingga menjadi sempurna melalui tiga jalan yaitu puraka (menarik nafas), kumbhaka (menahan nafas) dan recaka (mengeluarkan nafas).

Pratyahara, yaitu mengontrol dan mengendalikan indriya dari ikatan obyeknya, sehingga orang dapat melihat hal-hal suci.

Dharana, yaitu usaha-usaha untuk menyatukan pikiran dengan sasaran yang diinginkan.

Dhyna, yaitu  pemusatan pikiran yang tenang, tidak tergoyahkan kepada suatu obyek. Dhyana dapat dilakukan terhadap Ista Dewata.

Samaddhi, yaitu penyatuan atman (sang diri sejati dengan Brahman) Bila seseorang melakukan latihan yoga dengan teratur dan sungguh-sungguh ia akan dapat menerima getaran-getaran suci  dan wahyu Tuhan. Kitab Bhagavadgita menyatakan sebagai  berikut:

Yogiyuhjita satatam atmanam rahasi sthitah, ekaki yata-citatma nirasir aparigrahah (Bhagavadgita, VI.10)

Seorang yogi harus tetap memusatkan pikirannya (kepada Atman yang maha besar) tinggal dalam kesunyian dan tersendiri, menguasai dirinya sendiri, bebas dari angan-angan dan keinginan untuk memiliki.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Bhagavadgita, bahwa ketenangan hanya ada pada mereka yang melakukan yoga.

“Prasanta-manasam hy enam yoginam sukham uttamam, upaiti santa-rajasam brahma-bhutam akalmasam” (Bhagavadgita. VI.27)

Karena kebahagiaan tertinggi datang pada yogin yang pikirannya tenang, yang nafsunya tidak bergolak, yang keadaannya bersih bersatu dengan Tuhan.

Keempat jalan untuk pencapaian moksa itu sesungguhnya memiliki kekuatan yang sama bila dilakukan dengan sungguh-sungguh. Setiap orang akan memiliki kecenderungan memilih jalan-jalan tersebut, maka itu setiap orang memiliki jalan mencapai moksanya berpariasi.

Moksa sebagai tujuan hidup spiritual bukanlah merupakan suatu janji yang hampa melainkan merupakan suatu keyakinan yang berakhir dengan kenyataan. Kenyataan dalam dunia batin merupakan alam super transendental yang hanya dapat dibuktikan berdasarkan instuisi yang dalam. Moksa merupakan suatu yang tidak dapat dibantah kebenarannya, karena demikianlah yang dijelaskan oleh kitab suci.

Oleh sebab itu marilah kita melatih diri untuk melaksanakan ajaran  Astangga Yoga dengan tuntunan seorang guru yang telah memiliki kemampuan didalam hal tersebut.

Guru pembimbing : made  sudiartawan