Tanggal 22 Juli ini Kejaksaan Republik Indonesia merayakan hari jadinya yang ke-56. Selama setengah abad lebih menjadi tulang punggung dalam penegakan hukum, Kejaksaan tak berhenti berbenah. Penguatan internal kelembagaan dan reformasi birokrasi jadi agenda utama. Apalagi tantangan yang diemban ribuan jaksa kian hari kian berat. Kejaksaan mulai berdiri menjadi lembaga mandiri sejak 22 Juli 1960 dengan dasar Surat Keputusan Presiden RI No.204/1960. Untuk memperingati momen bersejarah tersebut, 22 Juli pun ditetapkan sebagai Hari Bhakti Adhyaksa. Untuk memenuhi tuntutan jaman, aturan susunan organisasi serta tata laksana kerja Kejaksaan mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi di awal era 90-an, dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Setelah era reformasi bergulir, Kejaksaan sebagai elemen penting dalam penegakan hukum pun turut berbenah. Kejaksaan berupaya memperbaiki diri menjadi lembaga yang lebih mandiri dan bebas dari intervensi. Untuk memperkuat perubahan tersebut, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 pun diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Perubahan tersebut disambut gembira banyak pihak, lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan independen. Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa Kejaksaan R.I merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis). Ia mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini menjadi mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi dan tindak pidana lainnya. Diusia ke-56, Kejaksaan terus berupaya menjadi lembaga yang mandiri, berintegritas dan profesional dalam menjalankan tugasnya. Ketiga hal itu menjadi kunci bagi jaksa untuk dicintai dan dipercaya oleh rakyat.
RIWAYAT KEJAKSAAN DI NUSANTARA Beragam pengalaman dan pembelajaran telah ditempuh Kejaksaan RI sepanjang 54 tahun usianya. Sejarah Kejaksaan di Nusantara sendiri jauh lebih panjang. Selain sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit, Gajah Mada juga dikenal sebagai adhyaksa. Riwayat kejaksaan di Nusantara diperkirakan jauh melewati usia Kejaksaan Republik Indonesia (RI) sendiri. Kata jaksa pada masa kini merujuk pada kata dhyaksa dari bahasa Sansekerta pada era kerajaan sebelum kolonialisme menguasai Nusantara. Pada masa Kerajaan Majapahit, istilah-istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa dalam bahasa Sansekerta mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Menurut W.F. Stutterheim, peneliti Belanda, dhyaksa merupakan pejabat Negara pada era Kerajaan Majapahit, tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang bertugas menangani masalah peradilan pada sidang pengadilan. Ketika bertugas, para dhyaksa dipimpin seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa. Peneliti lain, H.H. Juynboll, menambahkan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Sedangkan, sumber lain menyebut bahwa dharmaadhyaksa adalah hakim tertinggi. Bahkan, Krom dan Van Vollenhoven, juga peneliti Belanda, menyebut Gajah Mada, Mahapatih Kerajaan Majapahit, juga sebagai adhyaksa. Tampaknya, dulu, jaksa punya kewenangan yang luas. Kewenangannya tak hanya sebagai penuntut umum seperti sekarang karena lembaga penuntutan memang belum dikenal pada masa itu. Fungsinya selalu dikaitkan dengan bidang yudikatif atau bahkan dengan bidang keagamaan, sehingga seperti fungsi hakim dalam makna yang luas.
Lembaga penuntutan baru hadir ketika Pemerintahan Hindia Belanda memberlakukan Rrechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie pada 18 April 1827 dengan mengadopsi sistem yang berlaku di Prancis. Asas konkordansi juga kemudian diterapkan di negeri ini, terutama setelah pemberlakuan paket perundang-undangan baru sejak 1 Mei 1948. Sejak itulah dikenal procuceur general, jabatan seperti Jaksa Agung RI sekarang. Ada pula of ficieren van justitie, yakni penuntut umum bagi golongan Eropa dan kelompok yang dipersamakan. Inlands Reeglement memperkenalkan megistraat sebagai penuntut umum, tapi masih dalam kendali atau perintah residen dan asisten residen. Setelah Inlands Reeglement diubah menjadi Herziene Inlandsch Reglemeent (HIR) pada 1941, barulah dikenal lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri di bawah procureur general. Tapi, bagi kalangan Bumiputra, lantaran masih kurangnya sarjana hukum pada masa itu, jabatan magistraat masih dirangkap asisten residen. Para jaksa memiliki statusnya sebagai penuntut umum yang sebenarnya sejak masa pemerintahan Jepang, sebagaimana tertuang pada undang-undang zaman pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei Nomor 3/1942, Nomor 2/1944, dan Nomor 49/1944. Sejak itu, kejaksaan sudah berada pada semua jenjang pengadilan, mulai Pengadilan Negeri (tihooo hooin), Pengadilan Tinggi (koootooo hooin), hingga Pengadilan Agung (saikoo hooin). Jabatan asisten residen pun dihapuskan, sehingga kedudukan jaksa mengalami perubahan mendasar. Semua tugas dan wewenang asisten residen dalam penuntutan perkara pidana diberikan kepada jaksa dengan jabatan tio kensatsu kyokuco atau kepala kejaksaan pada pengadilan negeri dan berada di bawah pengawasan koo too kensatsu kyokuco atau Kepala Kejaksaan Tinggi. Setelah Osmu Seirei Nomor 49 diberlakukan, kejaksaan dimasukkan dalam wewenang Cianbu atau Departemen Keamanan. Dengan demikian, kejaksaan sudah memiliki fungsi mencari atau menyidik kejahatan dan pelanggaran (penyidikan), menuntut perkara (penuntutan), serta menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal (eksekutor).
Perubahan Undang-Undang Sejak proklamasi kemrdekaan, tugas openbaar ministrie atau pengadilan terbuka pada tiap-tiap pengadilan negeri menurut HIR dijalankan magistraat. Kaa magistraat pada HIR juga diganti dengan kata jaksa, sehingga jaksa menjadi penuntut umum pada pengadilan negeri. Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus-menerus seiring perputaran waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Kedudukan pemimpin, organisasi, dan tata cara kerja kejaksaan juga mengalami berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan zaman dan sistem ketatanegaraan. Pada 22 Juli 1960, rapat cabinet memutuskan bahwa kejaksaan menajdi departemen dan keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 204/1960 tertanggal 1 Agustus 1960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Sejak itu pula, Kejaksaan RI dipisahkan dari Departemen Kehakiman. Pemisahan tersebut dilatarbelakangi rencana kejaksaan mengusut kasus yang melibatkan Menteri Kehakiman. Tanggal 22 Juli itu itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Bhakti Adhyaksa atau ulang tahun institusi Kejaksaan Agung RI.
Bebas Pengaruh Undang-Undang Tipikor Pada masa reformasi pula, kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya sejumlah lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggung jawab. Misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggung jawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami kejaksaan, tapi juga Kepolisian RI dan badan-badan lain. UU Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi, sehingga diganti dengan UU Nomor 31 Tahun 1999. UU tersebut mengatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan pemberlakuan sanksi yang lebih berat, termasuk hukuman mati. Namun belakangan, UU itu juga dipandang lemah dan menjadi penyebab lolosnya para koruptor karena tidak adanya aturan peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan UU ini. Maka, UU itu diganti dengan UU Nomor 30 Tahun 2002. PenjelasanMaka, UU itu diganti dengan UU Nomor 30 Tahun 2002. Penjelasan UU tersebut menegaskan, penegakan hukum dan pemberantasan kourupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar bisa melalui pembentukan sebuah badan Negara yang punya kewenangan luas, independen, dan bebas dari kekuasaan mana pun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime. Karena itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor). Pengadilan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sedangkan, penuntutannya diajukan KPK. Kehadiran KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan. KPK membawahi empat bidang, yakni pencegahan, penindakan, informasi dan data, pengawasan internal, serta pengaduan masyarakat. Bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari kepolisian dan kejaksaan. Khusus untuk penuntutan, tenaganya adalah pejabat fungsional kejaksaan.Sumber : Majalah Adhyaksa Indonesia |