Mengemukakan pendapat dan kebebasan beragama merupakan salah satu dari

Kebebasan merupakan suatu hal dimana setiap orang berhak untuk melakukan apa yang mereka kehendaki, serta bebas untuk mengekspresikan diri dan melakukan apa yang mereka inginkan. Kata 'bebas' menunjukkan tidak adanya hambatan atau rintangan. Kebebasan berbicara, yaitu kemampuan berkomunikasi yang tak terbatas untuk mengatakan apa pun yang disukai. Banyak sekali macam-macam kebebasan yaitu kebebasan dalam mengemukakan pendapat, kebebasan untuk memilih, kebebasan memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing, serta masih banyak lagi contoh kebebasan lainnya.

Kita sebagai manusia tentunya sangat menginginkan kebebasan, kebebasan adalah suatu hal yang sangat di inginkan oleh semua orang. Namun kita tidak boleh berlebihan atas hak kebebasan yang kita miliki, karena didalam hak kebebasan yang kita miliki juga terdapat hak kebebasan orang lain. Salah satu contoh kebebasan dalam politik pemerintahan adalah pemilihan umum (pemilu), dimana dalam pemilihan umum kita bebas menentukan pilihan yang sesuai dengan apa yang kita harapkan tanpa ada paksaan atau desakkan dari orang lain.

Di negara kita sering terjadinya demonstrasi, demostrasi sendiri yaitu bentuk protes atau unjuk rasa yang dilakukan oleh sekumpulan orang untuk menunjukkan ketidak senangan atau tidak setujunya akan suatu hal. Demostrasi seringkali dilakukan oleh mahasiswa sebagai perwakilan rakyat untuk terjun ke lapangan, namun demonstrasi juga sering dilakukan oleh para buruh dan karyawan. Dari demonstrasi kita bisa belajar untuk mendapatkan hak kebebasan dalam berpendapat, membuka suara, mengemukakan opini yang ada.

Kebebasan menyampaikan pendapat merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-bangsa pasal 19 "setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengemukakan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-baras.

Dalam UUD RI tahun 1945 tercantum mengenai hak kebebasan berpendapat, dan di atur secara lebih spesifik dalam UUD 1945 PASAL 28E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Setiap manusia memeluk kepercayaannya masing-masing, kita berada di negara Indonesia, negara dengan penuh toleransi walau dengan beragam agama yang dianut. Di Indonesia sendiri terdapat enam agama yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun mayoritas masyarakat di Indonesia menganut agama Islam, sedangkan penganut agama Kristen dan Katolik banyak ditemukan di Kawasan Timur Indonesia (KTI), yaitu ada bali, sulawesi, papua dan kawasan wilayah lainnya.

Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, ayat (2) setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Dan juga terdapat pada UUD 1954 pasal 29 ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Agama adalah identitas seseorang, landasan seseorang untuk menjalani hidupnya beserta kewajibannya. Di setiap agama memiliki larangan dan aturannya masing-masing. Sebagaimanusia kita harus senantiasa untuk bisa menjalankan aturan tersebut, karena dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang taat. Agama mampu menggambarkan sikap dan karakter seseorang, dengan adanya agama itu dapat meningkatkan keimanan kita. Di zaman sekarang banyak orang yang berpindah keyakinan, dan itu menjadi contoh dari kebebasan beragama.


Mengemukakan pendapat dan kebebasan beragama merupakan salah satu dari

Lihat Ilmu Sosbud & Agama Selengkapnya

Jakarta -

Indonesia adalah negara demokratis yang menjunjung kebebasan hak asasi penduduknya, termasuk aturan agama. Hal ini tertuang dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.

Demokratis artinya bersifat demokrasi, maka negara demokratis adalah negara yang bersifat mengutamakan persamaan hak, kewajiban, dan perlakuan bagi semua warga negara. Dalam konteks agama, Indonesia juga memiliki konstitusi yang menjadi jaminan bahwa warga negara Indonesia memiliki hak untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya.

Jaminan ini tegas termuat dalam berbagai pasal yang membahas mengenai kebebasan beragama. Pasal-pasal ini merupakan wacana kebebasan beragama yang sudah ada sejak kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 dan terus mengalami perkembangan.

Salah satunya pada Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi:

"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".

Kandungan kebebasan beragama dan berkeyakinan ini adalah pasal hak asasi manusia (HAM) yang tegas dan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-3 berbunyi "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya".

Alinea ini memiliki arti keyakinan bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan yang diraih bukan hasil perjuangan rakyat semata, tetapi juga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selain itu, alinea ke-4 memuat tentang kedaulatan Indonesia yang tercantum dalam Pancasila, dengan kalimat pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat ketentuan ini, bukan berarti Indonesia adalah negara yang didasarkan oleh agama tertentu. Sebaliknya, Indonesia adalah negara multikultural yang di dalamnya memiliki berbagai suku, budaya, adat istiadat, dan agama.

Agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia sangat beragam. Seperti yang detikers ketahui, ada penduduk penganut agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

Lalu, bagaimana implementasi dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945 mengenai kebebasan beragama ini?

Dikutip dari artikel Relasi Antara Agama dan Negara Menurut Konstitusi Indonesia dan Problematikanya yang ditulis Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Muhammadiyah Malang, Cekli Setya Pratiwi, SH.,LL.M. untuk mewujudkan kehendak konsitusi tersbut dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dalam Pasal 22 UU tersebut menyebutkan: "Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama." Lebih lanjut lagi, Indonesia sebagai negara yang menjamin hak kebebasan beragama meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Dalam Pasal 18 UU 12/2005 dinyatakan bahwa:

1. Setiap negara berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.

2. Tidak seorangpun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.

3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dasar orang lain.

4. Negara pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri..

Tak lupa, ada kewajiban yang harus dijalani menurut pasal tersebut. Diantaranya seperti kewajiban untuk menghargai semua umat beragama, menjaga kerukunan antar umat beragama, menghormati orang yang beribadah, serta saling membantu dan kerja sama antar umat beragama.

Nah, setelah detikers mengetahui hak kebebasan beragama seperti dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945, apa sudah siap melaksanakan kewajibannya? Agar persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia tetap terjaga, jadilah warga negara yang baik dengan menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang, ya.

(pal/pal)

Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menganut setiap agama. Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain dari agama resmi. Pasal 18 dalam Kovenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menyatakan kebijakan yang menafikan kebebasan seseorang untuk mengamalkan agamanya adalah satu kezaliman spiritual. Kebebasan beragama merupakan satu konsep hukum yang terkait, tetapi tidak serupa dengan, toleransi agama, pemisahan antara agama dan negara, atau negara sekuler (laïcité). Oleh banyak orang dan sebagian besar negara kebebasan beragama dianggap sebagai hak asasi manusia yang mendasar. Di negara keagamaan, kebebasan beragama secara umum dianggap berarti bahwa pemerintah mengizinkan praktik keagamaan sekte lain selain agama yang dianut negara, dan tidak menganiaya pemeluk agama lain (atau mereka yang tidak beragama).[1]

Pasal 18 dalam konvenan Internasional PBB tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, memberikan batasan jelas kemerdekaan beragama pada ranah kebebasan mengubah agama diri sendiri ataupun kelompok, di tempat umum ataupun tertutup. Untuk menjalankan agama ataupun kepercayaan dalam hal pengajaran, pengamalan, beribadah dan juga dalam hal ketaatan.[2]

Sejarah panjang kebebasan beragama tidak lepas dari peran negara, karena sebelumnya negara mewajibkan penduduknya memeluk agama yang sudah disetujui negara. Interaksi antara agama dan negara kerap mempengaruhi politik dalam menentukan hukum yang menaungi kebebasan penduduknya dalam beragama. Seperti pada Atena dan Sparta keduanya merupakan daerah Yunani yang memiliki teologi yang berbeda. Jarak kedua kota tersebut sekitar 153 km, namun karena dengan pemahaman teoligi yang berbeda maka melahirkan kebijakan yang sama sekali berbeda.[3]

Pada tahun 313 kekaisaran Romawi menyatakan bersikap netral pada agama apapun. Hal ini berarti akan menghapus hambatan dan mentoleransi pada praktek keagamaan kekristenan. Sebagai awal pada 311 Galerius pertama kali mengeluarkan dekrit toleransi beragama yang menjadi gerbang awal sikap netral kepada agama kristen. Kejadian ini telah dikenal sebagai gerbang masuk kekristenan di Romawi dan dikenal sebagai Edict of Milan (313).[4]

Pada abad 17 dengan menguatnya solidaritas kebangsaan maka semakin menguat pula solidaritas kenegaraan, peran agama sebagai entitas politik yang berkuasa semakin berkurang.[3]Pemikiran kekuasaan absolut dari kekuasaan sekuler dimulai dari Thomas Hobbes (1588-1679), Pemikiran tersebut terpengaruh oleh Perang Sipil Inggris saat Raja Charles I yang didukung oleh katolik melawan pemberontak Oliver Cromwell yang didukung penganut protestan. Kemudian pemahaman tersebut dikembangkan lagi oleh John Locke sebagai konsep liberalisme dalam buku Latter Concerning Toleration (1689) ia mengusulkan konsep toleransi antar agama dan memisahkan antara agama dan negara. Setelah perang dunia kedua konsep tersebut tumbuh subur dan berkembang sebagai konsep humanis sekular di negara eropa. Pada tahun 1960, negara-negara eropa mulai memisahkan hukum gereja dan hukum sipil. Contohnya hukum perzinahan kini tidak lagi menjadi kejahatan sipil, dan juga banyak perilaku yang tidak termasuk jangkauan gereja.[5]

Di Indonesia kebebasan beragama sudah digagas semenjak perumusan dasar negara, awalnya saat perumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ada kalimat, "ketuhanan, dengan kewajiban melaksanakan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya". Lantas pada pengambilan intisari dasar kebangsaan pada rapat BPUPKI Mohammad Hatta mengusulkan perubahan "ketuhanan yang maha esa", hal ini disetujui dan menjadikannya sebagai pembukaan UUD sekaligus tersematkan dalam pasal pertama Pancasila.[6] Dasar hukum ini menjadi penting, karena dapat menjadikan dasar negara dalam menentukan arah kebijakan dan aturan. Dari dasar hukum ini lahirlah UU PNPS No.1 Tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama yang dapat membantu dalam penanganan kebebasan beragama, karena hanya memberlakukan pembatasan dalam pelaksanaan ajaran bukan dalam berkeyakinan, dan pembatasan tersebut hanya sebatas untuk melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat.[5] Berdasarkan hal itu maka pembatasan kebebasan beragama hanya dapat dilakukan berdasarkan aturan hukum saja, sehingga batasannya dapat dikatakan jelas antara agama satu dan lainnya.[7]

Menurut perspektif hak asasi manusia (HAM), kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dipandang sebagai hak negatif dan hak positif. Sebagai hak negatif, kebebasan ini tidak dapat dipaksakan oleh pihak manapun, sedangkan kebebasan ini sebagai hak positif mengandung arti bahwa setiap orang berhak memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dianutnya, termasuk memilih untuk tidak beragama dan berkeyakinan,[7] bergabung dalam komunitas agama tertentu, berpindah agama, atau dipaksa tinggal dalam sebuah agama dengan cara melawan kehendak bebasnya.[8]

Pada 1993, komite hak asasi manusia PBB menyatakan bahwa pasal 18 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik "melindungi kepercayaan teistik, non-teistik dan ateistik, serta hak untuk tidak menganut agama atau kepercayaan apa pun."[9]komite lebih lanjut menyatakan bahwa "kebebasan untuk memiliki atau menganut suatu agama atau kepercayaan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan, termasuk hak untuk mengganti agama atau kepercayaan seseorang dengan yang lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik." Penandatangan konvensi mengecualikan dari "penggunaan ancaman kekerasan fisik atau sanksi pidana untuk memaksa orang percaya atau tidak percaya" untuk menarik kembali keyakinan mereka atau pindah agama. Meskipun demikian, agama minoritas masih dianiaya di banyak bagian dunia.[10]

Agama dan negara

Topik hubungan agama dan negara kerap diusung dalam perdebatan mengenai kebebasan beragama. Negara di sisi lain berperan menjaga dan menciptakan suasana rukun, damai, serta toleransi bagi setiap umat beragama.[11] Di beberapa negara yang mengusung ideologi liberalisme, kerap memisahkan peran negara dan agama. Agama cukup berhenti pada keyakinan yang dianut individu, sementara negara berlaku sebagai institusi yang melindungi setiap individu.[5] Selain pandangan liberal juga ada pandangan negara dengan satu agama, yang menawarkan pemikiran ada satu agama yang didukung oleh negara. Segala kehidupan individu diatur dengan produk hukum yang dilahirkan oleh satu agama saja, dunia mengenal konsep ini dengan teokrasi.[12] Ada juga yang memilih untuk melakukan jalan tengah, seperti Indonesia yang mengusung konsep negara hukum pancasila, yang tetap memperbolehkan agama lain masuk tapi juga tetap menghadirkan peran negara dalam mengatur ideologi individu. Dalam konsep ini tidak ada yang mutlak antara agama dan negara, pun juga negara tidak memiliki satu agama pedoman dalam melahirkan produk hukum.[13]

  1. ^ Congress, U. S. (2008). Congressional Record #29734 – 19 November 2003. ISBN 9780160799563.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  2. ^ Davis, Derek H. (2008-02-01). "The Evolution of Religious Liberty as a Universal Human Right". usinfo.state.gov. Diakses tanggal 2021-11-18. 
  3. ^ a b Goldstein, Natalie (2010). Global Issue: Religion And The State. New York: Facts on file, Inc. ISBN 978-0816080908.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  4. ^ Adams, J.N. (1989). "Five Notes on Lactantius, De Mortibus Persecutorum". Antichthon. 23: 92–98. doi:10.1017/s0066477400003713. ISSN 0066-4774. 
  5. ^ a b c Fatmawati, Author (2011). "Perlindungan Hak Atas Kebebasan Beragama dan Beribadah dalam Negara Hukum Indonesia". jurnal konstitusi. 8 (4). doi:1031078 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  6. ^ Anom Wiranata, I Made. "Bung Hatta dalam Merevisi Sila "Ketuhanan... - UNUD | Universitas Udayana". www.unud.ac.id. Diakses tanggal 2021-11-19. 
  7. ^ a b Komnas HAM Republik Indonesia (30 September 2020). "Perlindungan Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia". Komnas HAM Republik Indonesia. Diakses tanggal 8 Desember 2021. 
  8. ^ Gusti, Otto (17 September 2019). "Prinsip Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan". Media Indonesia. Diakses tanggal 8 Desember 2021. 
  9. ^ Refugees, United Nations High Commissioner for. "Refworld | CCPR General Comment No. 22: Article 18 (Freedom of Thought, Conscience or Religion)". Refworld (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-19. 
  10. ^ Federasi HAM International (2003-08-01). "Discrimination against religious minorities in Iran" (PDF). FDIH.org. Diakses tanggal 2021-11-19. 
  11. ^ Rukmini, Dewi (29 November 2021). "Isi Bunyi Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Maknanya". Tirto. Diakses tanggal 8 Desember 2021. 
  12. ^ Lazuardy, Dimaz. "Pengertian negara agama atau negara teokrasi". pojokwacana.com. Diakses tanggal 2021-11-24. 
  13. ^ Seno Adji, Oemar (1980). Peradilan bebas negara hukum. Jakarta: Erlangga. OCLC 10924911.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

  • Daniel L. Dreisbach and Mark David Hall. The Sacred Rights of Conscience: Selected Readings on Religious Liberty and Church-State Relations in the American Founding (Indianapolis: Liberty Fund Press, 2009).
  • Barzilai, Gad (2007). Law and Religion. Ashgate. ISBN 978-0-7546-2494-3. 
  • Beneke, Chris (20 September 2006). Beyond Toleration: The Religious Origins of American Pluralism. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-530555-8. 
  • Curry, Thomas J. (19 December 1989). Church and State in America to the Passage of the First Amendment. Oxford University Press; Reprint edition (19 December 1989). ISBN 0-19-505181-5. 
  • Frost, J. William (1990) A Perfect Freedom: Religious Liberty in Pennsylvania (Cambridge, England: Cambridge University Press).
  • Gaustad, Edwin S. (2004, 2nd ed.) Faith of the Founders: Religion and the New Nation, 1776–1826 (Waco: Baylor University Press).
  • Hamilton, Marci A. (17 June 2005). God vs. the Gavel: Religion and the Rule of Law. Edward R. Becker (Foreword). Cambridge University Press. ISBN 0-521-85304-4. 
  • Hanson, Charles P. (1998). Necessary Virtue: The Pragmatic Origins of Religious Liberty in New England. University Press of Virginia. ISBN 0-8139-1794-8. 
  • Hasson, Kevin 'Seamus', The Right to be Wrong: Ending the Culture War Over Religion in America, Encounter Books, 2005, ISBN 1-59403-083-9
  • McLoughlin, William G. (1971). New England Dissent: The Baptists and the Separation of Church and State (2 vols.). Cambridge, MA: Harvard University Press. 
  • Murphy, Andrew R. (2001). Conscience and Community: Revisiting Toleration and Religious Dissent in Early Modern England and America. Pennsylvania State University Press. ISBN 0-271-02105-5.  Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Mutua, Makau (2004). Facilitating Freedom of Religion or Belief, A Deskbook. Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief. 
  • Stokes, Anson Phelps (1950) Church and State in the United States, Historic Development and Contemporary Problems of Religious Freedom under the Constitution, 3 Volumes (New York: Harper & Brothers Publishers).
  • Stokes, DaShanne (In Press). Legalized Segregation and the Denial of Religious Freedom
  • Stüssi Marcel, MODELS OF RELIGIOUS FREEDOM: Switzerland, the United States, and Syria by Analytical, Methodological, and Eclectic Representation, 375 ff. (Lit 2012)., by Marcel Stüssi, research fellow at the University of Lucerne.
  • Associated Press (2002). Appeals court upholds man's use of eagle feathers for religious practices Diarsipkan 2006-07-10 di Wayback Machine.
  • American Indian Religious Freedom Act Diarsipkan 2014-12-26 di Wayback Machine. (1978)
  • Policy Concerning Distribution of Eagle Feathers for Native American Religious
  • Ban on Minarets: On the Validity of a Controversial Swiss Popular Initiative (2008), Diarsipkan 2020-10-23 di Wayback Machine., by Marcel Stuessi, research fellow at the University of Lucerne.
  • "Religious Liberty: The legal framework in selected OSCE countries" (PDF). Law Library, U.S. Library of Congress. 2000. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2008-06-25. Diakses tanggal 6 April 2007.  Parameter |month= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Utt, Walter C. (1964). "Brickbats and Dead Cats" (PDF). Liberty. Washington, D.C.: Review and Herald Publishing Association. 59 (4, July–August): 18–21. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-19. Diakses tanggal 23 June 2011. 
  • Utt, Walter C. (1960). "A Plea for the Somewhat Disorganized Man" (PDF). Liberty. Washington, D.C.: Review and Herald Publishing Association. 55 (4, July–August): 15, 16, 29. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2012-01-19. Diakses tanggal 24 June 2011. 
  • Utt, Walter C. (1974). "Toleration is a Nasty Word" (PDF). Liberty. Washington, D.C.: Review and Herald Publishing Association. 69 (2, March–April): 10–13. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-09-15. Diakses tanggal 24 June 2011. 
  • Zippelius, Reinhold (2009). Staat und Kirche, ch.13. Tübingen: Mohr Siebeck. ISBN 978-3-16-150016-9. 

  • Religion and Foreign Policy Initiative, Council on Foreign Relations.
  • The Complexity of Religion and the Definition of "Religion" in International Law Diarsipkan 2013-05-13 di Wayback Machine. Harvard Human Rights Journal article from the President and Fellows of Harvard College (2003)
  • Human Rights Brief No. 3, Freedom Of Religion and Belief Australian Human Rights and Equal Opportunity Commission (HREOC)
  • U.S. State Department country reports
  • Institute for Global Engagement
  • Institute for Religious Freedom Diarsipkan 2019-07-23 di Wayback Machine.
 

Artikel bertopik agama atau kepercayaan ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Kebebasan_beragama&oldid=19578400"