Mengapa perlu kerjasama internasional pencegahan korupsi?

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini bahwa tugas pemberantasan korupsi harus dijalankan melalui sinergi dengan berbagai pihak, baik di tingkat eksekutif, legislatif, maupun masyarakat di dalam dan luar negeri.

Yang tidak boleh luput, lembaga antikorupsi dari negara lain juga harus dilibatkan dalam meningkatkan kerja sama dalam upaya pemberantasan korupsi.

Dalam hal ini, KPK telah menjalin sinergi dengan 26 lembaga antikorupsi dari sejumlah negara, baik di tingkat Asia maupun Eropa.

Ke-26 lembaga itu di antaranya MACC Malaysia, SFO Inggris, AGD Australia, ACB Brunei Darussalam, CPIB Singapura, NACC Thailand, dan MOS Tiongkok.

Upaya ini dilakukan mengingat bahwa korupsi tergolong kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang bisa terjadi melintasi batas-batas suatu negara. Karenanya, penanganannya juga harus dilakukan secara luar biasa dan melibatkan banyak lembaga antikorupsi di berbagai negara.

Menurut Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief, kerja sama tersebut tidak hanya pada lingkup peningkatan kapasitas dan berbagi praktik terbaik dari kedua lembaga negara, melainkan juga meliputi bidang pencegahan dan penindakan.

"Dari praktik terbaik negara lain, kita belajar untuk memperbaiki diri. Begitu juga dengan lembaga lain yang melihat kinerja KPK cukup progresif dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air karena mampu menangani kasus-kasus besar," katanya.

Dari berbagai praktik terbaik itu, sejumlah negara tercatat pernah belajar dan meniru strategi KPK dalam upaya di bidang pencegahan maupun penindakan tindak pidana korupsi. Misalnya pada 2014, lembaga antikorupsi asal Timor Leste Comissao Anti-Corrupçao (CAC), secara khusus datang dan belajar di KPK selama beberapa pekan.

Yang teranyar, KPK juga menjalin kerja sama dengan Anti-Corruption Commission (ACC) Bangladesh. Dalam waktu dekat, kerja sama ini akan dipererat melalui penandatangan nota kesepahaman bersama (MoU) yang meliputi pertukaran informasi dalam bidang pencegahan korupsi; berbagi informasi praktik terbaik dalam bidang pemberantasan korupsi, kerja sama dalam hal penyelenggaraan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan penelitian, serta bertukar kepakaran dalam hal keorganisasian dan penegakan hukum untuk peningkatan kapasitas.

Sinergi dengan ACC Bangladesh, lembaga antikorupsi yang berdiri pada 2004 ini, sejatinya telah dibangun sejak 2014 melalui sejumlah kegiatan kunjungan kehormatan. Kemudian, kedua lembaga sepakat untuk meningkatkan hubungan kerja sama agar pemberantasan korupsi di kedua negara berjalan lebih efektif. (RO/OL-5)

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyerukan pentingnya kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi termasuk kesepakatan ekstradisi dan juga penyelamatan aset negara di negara lain yang dibawa lari oleh buronan kasus korupsi."Yang penting selain merumuskan konsep pemberantasan korupsi namun juga kerja sama internasional sehingga tidak ada save heaven (bagi buronan kejahatan korupsi-red). Ekstradisi penting juga legal assistance," kata Presiden saat menerima delegasi International Conference Principles for Anti Corruption Agencies di Istana Negara Jakarta, Selasa.Kepala Negara mengatakan banyak aset sejumlah negara yang dibawa lari oleh buronan kasus korupsi dan mengalami hambatan dengan alasan kerahasiaan perbankan atau sistem di negara yang dijadikan tempat pelarian para buron tersebut."Sekarang ini ekonomi internasional terintegrasi, bisa mendorong adanya kolusi, foreign bribery dan juga termasuk pencarian buronan. Saya berharap kerja sama (memerangi korupsi secara internasional-red) bisa dilakukan dengan baik,” katanya.Dalam acara yang dihadiri perwakilan United Nation Development Program (UNDP) dan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) serta perwakilan lembaga anti korupsi dari 30 negara tersebut, Kepala Negara menekankan bahwa pemberantasan korupsi merupakan upaya yang panjang dan harus dilakukan dengan konsistensi tinggi."Setelah delapan tahun ini bersama elemen bangsa yang lain secara serius melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, bagi Indonesia ini adalah salah satu agenda utama. Menyadari ini tidak mudah maka semua pihak hendaknya ikut berperan," tegasnya.Presiden menambahkan, "Ini bukan pekerjaan instan. Saya belajar dari pengalaman Hongkong yang memerlukan waktu 13 tahun.”Menurut Donald Tsang, papar Presiden, awalnya upaya itu penuh gejolak, ada benturan namun akhirnya semua komponen bangsa menyadari dan secara sistematis terus melakukan upaya pencegahan.

Dalam acara yang berlangsung sekitar satu jam itu sejak pukul 11:00 WIB, Presiden didampingi Ketua KPK Abraham Samad, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Mensesneg Sudi Silalahi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menkeu Agus Martowardojo, Menkum dan Ham Amir Syamsuddin serta sejumlah pejabat lainnya. (ant/gor)

Editor : Gora Kunjana ()

Jakarta, Kompas - Upaya memerangi korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang tidak cukup hanya dengan mengandalkan penegakan hukum di dalam negeri. Dibutuhkan kerja sama internasional agar upaya pemberantasan korupsi berjalan efektif.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan hal itu, Sabtu (5/11), sesaat setelah mendarat di Bandara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta, seusai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Negara Kelompok G-20 di Cannes, Perancis. Topik kerja sama internasional dalam memerangi korupsi diangkat dalam pertemuan itu. Indonesia dan Perancis pun menjadi ketua kelompok kerja antikorupsi pada forum itu.

”Di dalam negeri, kita harus gigih memberantas korupsi. Namun, di sisi lain, kerja sama di tingkat dunia untuk memberantas korupsi harus terus dijalin. Bagaimana mungkin akan bagus dunia ini kalau ada negara yang mudah sekali menerima orang yang membawa aset, yang dihasilkan dari korupsi,” katanya.

Menurut Presiden, setiap negara di dunia harus bekerja sama, khususnya dalam hal mengekstradisi koruptor yang lari ke luar negeri dan membawa aset negara yang dikorupsinya. ”Jika ada aset yang dibawa ke luar negeri harus bisa kita bawa pulang. Begitu pula menghadapi kejahatan pencucian uang,” paparnya lagi.

Presiden melanjutkan, ”Indonesia berkomitmen terus bekerja sama, di samping di dalam negeri memberantas korupsi, kita juga bekerja sama di tingkat global.”

Dalam Konferensi Tahunan Advokat Internasional, International Bar Association (IBA) Annual Conference 2011, di Dubai, Uni Emirat Arab, yang berakhir Sabtu lalu, juga dibahas gerakan bersama untuk memerangi penyuapan, korupsi, dan pencucian uang. Kalangan advokat sedunia pun membangun kesadaran bahwa korupsi pada gilirannya sangat merugikan masyarakat.

Peter Kim, advokat asal Korea Selatan, mengingatkan, korupsi tak hanya menyengsarakan rakyat, tetapi pada gilirannya mempermalukan diri sendiri dan keluarga serta merusak karier politik dan sosial seseorang. Korsel memiliki pengalaman dengan hal ini karena ada dua mantan presiden di negara itu yang dihukum karena melakukan korupsi.

Hoyer E Moyer, Wakil Ketua Komisi Antikorupsi IBA, menambahkan, sanksi apa pun bagi pelaku korupsi harus gencar dipublikasikan sehingga lebih banyak orang yang mengetahui. Hal ini akan memberikan efek malu bagi pelakunya.

Perlu konsesi

Secara terpisah, anggota Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, Todung Mulya Lubis, sepakat, pemberantasan korupsi membutuhkan kerja sama internasional, terutama dalam memburu koruptor yang buron dan pengembalian aset yang dikorupsi. Juga perlu konsesi yang mengikat seluruh negara di dunia dalam ekstradisi dan pengembalian aset yang dikorupsi. Kerja sama internasional diperlukan untuk memberantas praktik penyuapan yang dilakukan perusahaan atau pengusaha yang menanamkan investasinya di luar negeri pula.

Di sisi lain, ia juga mengkritik komitmen pemerintah untuk betul-betul meminta negara lain agar mengekstradisi buron kasus korupsi yang lari ke negara lain. Hingga saat ini, buron kasus suap cek perjalanan Nunun Nurbaeti serta buron kasus suap pengadaan pembangkit tenaga listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008 Neneng Sri Wahyuni belum dapat dipulangkan untuk mengikuti proses hukum yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Todung juga menilai, tim pemburu aset koruptor yang dibentuk pemerintah perlu direvitalisasi. Pemerintah perlu memasukkan anggota dari masyarakat yang berani dan tahu cara pengembalian aset dengan efektif. (why/tra)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Mengapa perlu kerjasama internasional pencegahan korupsi?

Kerjasama internasional dalam penanganan tindak pidana korupsi sangat diperlukan. Hal ini karena korupsi dilakukan pula oleh perusahaan multinasional, skema korupsi yang semakin kompleks, perlunya pemulihan aset, lintas batas atau multi yuridiksi, dan kolaborasi penggunaan teknologi terbaru.

Dalam kerja sama internasional penanganan tindak pidana korupsi, terdapat dua jenis permintaan bantuan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni koersif dan nonkoersif. Koersif diantaranya dapat berupa pengambilan barang bukti atau pemeriksaan untuk digunakan di pengadilan, pelaksanaan investigasi bersama, atau penegakan perintah pengadilan luar negeri seperti penyitaan, pembekuan, perampasan aset hasil tindak pidana.

Sementara nonkoersif diantaranya melakukan kegiatan surveillance, penelusuran lokasi saksi, tersangka atau buron, memberikan informasi publik dan informasi tidak sensitif, berbagi bukti petunjuk dalam pengembangan kasus, dan bentuk bantuan lain sesuai dengan UU yang berlaku.

Hal tersebut disampaikan oleh mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, dalam mata kuliah Korupsi dan Penyalahgunaan Wewenang pada Kamis (3/6/2021) secara daring. Ia merupakan salah satu dari 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan karena dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan kebangsaan (TWK).

Beberapa hasil kerja sama lintas yuridiksi yang pernah dilakukan oleh KPK yakni kasus suap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, pada 2004 yang melibatkan perusahaan energi Alstom dan perusahaan Jepang, Marubeni. Dalam menangani kasus tersebut, KPK bekerja sama dengan FBI dan otoritas Jepang.

Penulis : FNI