Sebagai
manusia yang memiliki akal, pikiran dan naluri, mestinya kita mampu melihat
berbagai fenomena bencana yang sering menimpa negeri kita, Indonesia. Tidak
sebatas melihat, mestinya kita juga mampu melakukan analisis mengenai penyebab
terjadinya bencana tersebut untuk dapat memikirkan dan melakukan tindakan
preventif guna mencegah terjadinya bencana serupa. Paradigma Pembangunan di Negara Maju versus Negara Berkembang Di negara-negara maju, dalam keadaan tingkat hidup yang tinggi dan hampir semua penduduknya tidak lagi mengenal kelaparan maupun penyakit menular yang berbahaya, kerusakan lingkungan dianggap sebagai bahaya terhadap kehidupan yang makmur, aman dan menyenangkan. Untuk apa membangun bendungan bila membawa resiko kerusakan lingkungan, sedangkan listrik untuk pabrik dan keperluan rumah tangga serta air irigasi untuk produksi pertanian telah cukup. Untuk apa pula digunakan pestisida guna menaikkan lagi produksi bahan makanan dengan menanggung resiko terjadinya pencemaran lingkungan, sedangkan produksi telah melimpah bahkan berlebih (Soemarwoto, 2007). Sejak tahun 1960-an di negara maju, terjadi gerakan lingkungan yang kuat yang bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan yang diakibatkan oleh pembangunan. Gerakan tersebut diikuti oleh gerakan yang bersifat anti-teknologi maju dan anti-pembangunan, karena pembangunan dianggap sebagai biang keladi rusaknya lingkungan. Gerakan-gerakan tersebut melihat masalah lingkungan dari cara pandang negara maju yang serba kecukupan dan bebas dari penyakit menular yang berbahaya (Soemarwoto, 2007). Secara umum, keadaan di negara berkembang sangatlah berbeda dengan di negara maju. Tingkat hidup yang masih rendah; produksi bahan makanan masih belum mencukupi sehingga masih terjadi kasus kekurangan makanan bahkan kelaparan; sanitasi lingkungan rendah; tingkat pendidikan masih rendah; tingkat pengangguran tinggi dan berbagai macam kasus banjir dan kekeringan menjadi ancaman yang rutin terjadi (Soemarwoto, 2007). Untuk mengurangi permasalahan tersebut diatas di negara-negara berkembang, mutlak diperlukan adanya pembangunan. Tanpa pembangunan tidak akan dapat terjadi perbaikan kualitas hidup bahkan akan terjadi kemerosotan kesejahteraan. Akan tetapi, konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan dan berwawasan lingkungan justru akan menimbulkan masalah-masalah lingkungan. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Negara Berkembang Seiring dengan kebutuhan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengatasi banyak masalah, akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan dapat dan telah menimbulkan berbagai dampak negatif. Konsep pembangunan yang tidak berkelanjutan dan tidak berwawasan lingkungan bukan hanya akan memperparah masalah-masalah lingkungan dan sosial yang ada namun juga akan memicu timbulnya masalah-masalah lingkungan yang baru. Terdapat 5 isu pokok lingkungan aktual yaitu;
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan,informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan. Pada prinsipnya, tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara masalah-masalah pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi di negara-negara berkembang dan di Indonesia. Oleh karena itu, bahasan-bahasan berikut akan lebih ditekankan pada masalah-masalah pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, sebetulnya telah ada peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun daerah. Pada level pemerintah pusat, telah terbit berbagai macam produk perundangan mulai dari Keputusan Menteri, Peraturan Menteri, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah hingga Undang-Undang. Sebagai jawaban atas permasalahan kebijakan pengelolaan lingkungan, pemerintah menerbitkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 yang disempurnakan melalui penerbitan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terbitnya UU No. 32 Th. 2009 tersebut tampaknya memang ditujukan untuk lebih memperkuat aspek perencanaan dan penegakan hukum lingkungan hidup, yang mana terlihat dari struktur UU yang lebih dominan dalam mengatur aspek perencanaan dan penegakan hukum. Meskipun demikian terdapat celah yang cukup mencolok dalam UU No. 32 Th. 2009, yaitu ketiadaan pasal dan ayat yang menyinggung tentang komitmen para pemangku kepentingan untuk memperlambat, menghentikan dan membalikkan arah laju perusakan lingkungan (Adnan, 2009). Kasus 1: Kelemahan Sistem Perundangan dan Hukum Lingkungan Terkait dengan permasalahan pengelolaan lingkungan hidup yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah, terdapat beberapa kajian mengenai celah yang ada. Salah satu contoh adalah kajian oleh Sarah Waddell (2002), seorang ahli yang bekerja di Program Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia-Jerman (ProLH-GTZ). Berdasarkan pengamatannya, pada tingkat nasional perangkat hukum lingkungan relatif lengkap, meskipun masih ada celah-celah yang muncul karena substansi peraturan tidak cukup komprehensif, tidak dapat menggunakan rangkaian perangkat kebijakan dengan baik atau tidak dapat merumuskan prinsip-prinsip pengelolaan hidup dalam ketentuan hukum dengan tepat. Beberapa aspek pengelolaan seperti pengolahan limbah berbahaya dan beracun dan pengendalian zat-zat kimia dari industri pertanian dikategorikan tidak lengkap, artinya aspek tersebut sudah dianggap sebagai subyek hukum lingkungan namun pengaturannya belum berisi aspek-aspek penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada aspek pengelolaan kualitas air tanah, pencemaran udara dari kebakaran hutan, pengelolaan tanah serta pengendalian tanah terkontaminasi masih dianggap diabaikan, artinya aspek pengelolaan lingkungan hidup ini belum dikenal dan dikembangkan sebagai bagian sistem hukum lingkungan hidup, meskipun hukum-hukum sektoral dalam beberapa hal mungkin sudah diterapkan (Adnan, 2009). Aspek pengelolaan sumber daya air, perlindungan daerah pesisir, perlindungan keanekaragaman hayati diluar kawasan lindung dianggap tidak terkoordinasi, artinya pokok persoalan ini memerlukan pendekatan hukum yang terkoordinasi namun ternyata belum dilaksanakan (Adnan, 2009). Ringkasan mengenai celah-celah hukum lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah disajikan pada tabel 1 berikut; Tabel 1. Ringkasan Celah-celah Hukum Lingkungan Hidup di Tingkat Nasional dan Daerah di Indonesia
Pada bagian awal tulisan ini telah disinggung bahwa sisi lemah dalam pelaksanaan peraturan perundangan lingkungan hidup yang menonjol adalah penegakan hukum (Sudarmadji, 2008). Sebagai contoh adalah masalah pencemaran air. Berdasarkan UU No. 32 Th. 2009, definisi pencemaran menjadi lebih jelas dan obyektif, yaitu menilai pencemaran dengan ukuran baku mutu. Pencemaran terjadi kalau baku mutu terlampaui, baik itu baku mutu ambient maupun baku mutu effluent. Namun konsekuensinya ternyata sangat berat. Karena nuansa penyusunan undang-undang yang ditujukan untuk meningkatkan kinerja penegakan hukum lingkungan yang dianggap masih lemah, maka pelanggaran terhadap baku mutu sudah dapat dikenai sanksi pidana. Hal ini akan berat dilaksanakan di lapangan, karena data PROPER menunjukkan bahwa hanya 49% dari seluruh perusahaan yang diawasi selama tahun 1996 hingga 2009 yang taat terhadap peraturan. Sebagian besar perusahaan yang lain beberapa kali dalam satu tahun melakukan pelanggaran, terutama yang berkaitan dengan baku mutu (Adnan, 2009). Keinginan politik untuk menindak tegas pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup patut kita hargai namun fakta-fakta dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan dilapangan juga perlu dijadikan bahan pertimbangan.Kasus 2: Tumpang-tindih Kebijakan Pengelolaan Lingkungan dalam Otonomi Daerah Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah untuk menyusun desain kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun demikian, antara pemerintah pusat dan daerah seringkali terjadi tumpang-tindih kebijakan pengelolaan lingkungan dan sering tidak saling terkoordinasi dengan baik. Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut;
Kasus 3: Pelaksanaan AMDAL Dalam kaitannya dengan perijinan usaha, telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, diikuti dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Dari aturan-aturan hukum yang mengikat tersebut, selayaknya dampak negatif suatu kegiatan usaha dapat diminimalisasi melalui studi AMDAL. Akan tetapi, seringkali terjadi bahwa studi dan dokumen AMDAL hanya dijadikan sebagai prasyarat untuk mendapatkan ijin suatu pembangunan/usaha, tanpa adanya upaya untuk melakukan pengelolaan lingkungan seperti yang tercantum dalam dokumen AMDAL. Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencan aan kegiatan pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL harus merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya-upaya untuk meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut. Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di Indonesia adalah BAPEDAL (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan – saat ini dilebur dalam BLH/Badan Lingkungan Hidup). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun 1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi-instansi sektoral serta BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain BAPEDAL Pusat hanya menangani studi-studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL. Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di Indonesia memiliki banyak kelemahan, yaitu;
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan teknologi pembuatan perencanaan dan keputusan yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang dengan kondisi budaya dan sosiopolitik berbeda, kesulitanpun muncul. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL di Indonesia telah lama diterapkan. Meskipun demikian berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor teknis, seperti tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan; kekuatan institusi; pelatihan ilmiah dan institusional serta ketersediaan data. Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan lingkungan di Indonesia sangat bersifat “top down” oleh pemerintah sendiri. Inisiatif “top down” tersebut muncul bukan karena adanya kebut uhan penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat. Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De Janiero tahun 1992 . Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif bersifat “bottom up”. Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sumber daya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi agenda politik. Kemiskinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter, merupakan faktor adanya situasi tersebut. Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan antar instansi, karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL, seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam siklus proyek, melakukan evaluasi terhadap usaha penilaian dan perencanaan lingkungan, serta menyusun rekomendasi. Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan AMDAL di Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada di masing-masing sektor kementerian dan propinsi bekerja sendiri-sendiri. Komisi dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin egiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek. Pada umumnya pelaksanaan AMDAL tidak mengikut sertakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat. Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsultasi masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan bersama. Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang berbeda.REFERENSI Adnan, M.G. 2009. Jalan Panjang Pengendalian Pencemaran di Indonesia. Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Hendartomo, T. Permasalahan dan Kendala Penerapan AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan. www.freewebs.com; diakses pada tanggal 13 November 2010. Rencana Strategis Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur 2006 – 2010. Soemarwoto, O. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sudarmadji. 2008. Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Waddell, S. 2002. Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia: Sebuah Analisis Kesenjangan. Program Pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia – Jerman (ProLH-GTZ). Wibowo, H., M. Djajadilaga, W. Pribadi, S.M. Nurfadilastuti, Harimurti, H. Nurdin dan I. Siregar. 2008. Pedoman Umum Penyusunan Status Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota. Asisten Deputi Urusan Data dan Informasi Lingkungan, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, Kementerian Negara Lingkungan Hidup. |