Mengapa pemilu 1955 dianggap pemilu paling demokratis

Pemilihan umum 1955 adalah pemilihan umum legislatif pertama di Indonesia. Pemilihan umum ini diadakan pada tanggal 29 September 1955. Para kandidat bersaing untuk dipilih ke kursi 257 Dewan Perwakilan Rakyat yang akan menggantikan legislatif sementara.

Dalam pemilihan umum 1955, pelaksanaanya sangat demokratis dan berjalan sukses dengan bebas dan jujur serta tanpa paksaan. Ratusan partai dan calon individu bersaing. Para calon pemilih berhasil didaftarkan dan mengikuti pemilihan, meskipun pada waktu itu kondisi Indonesia baru merdeka dan akses transpotasi serta kemampuan baca tulis penduduk masih rendah Sebanyak 87,65% pemilih memberikan suara yang sah dan 91,54% dari calon pemilih terdaftar memilih dalam pemilihan ini. Total pemilih adalah sebanyak 37.785.299 orang.

Meski Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan ratusan partai peserta dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan tertib. Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar yang terpilih, yaitu:

  1. Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22.3%) dengan 57 kursi,
  2. Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dengan 57 kursi,
  3. Nahdatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dengan 45 kursi, dan
  4. Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dengan 39 kursi.

Dengan demikian, pemilihan umum 1955 sering disebut sebagai pemilihan umum paling demokratis karena pemilihan umum ini dilakukan dengan bebas serta jujur, tanpa paksaan, dan diikuti oleh berbagai partai dalam kondisi bangsa yang baru merdeka, namun dapat berlangsung aman dengan jumlah pemilih yang sangat tinggi.

Mengapa pemilu 1955 dianggap pemilu paling demokratis

Mengapa pemilu 1955 dianggap pemilu paling demokratis

HightLight

  • Rapat Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan Program Bawaslu Kab.Jembrana – Selengkapnya...
  • Rakor, Sosialisasi & Rekapitulasi PDPB Desember 2021 – Selengkapnya...
  • Selamat Natal dan Tahun Baru 2022 – Selengkapnya...

Pemilu Tahun 1955

SATU dekade paska merdeka, situasi negara Indonesia masih tidak stabil, baik itu politik, keamanan, dan juga ekonomi. Satu hal yang mendasar dilakukan pemerintah saat itu adalah berusaha mengubah sistem ekonomi kolonial dengan ekonomi nasional.

Situasi genting dalam negeri berlanjut hingga kurun waktu dua dekade paska merdeka termasuk saat tragedi 1965/66 dan juga gerakan konfrontasi ganyang Malaysia. Namun demikian, Indonesia dinilai berhasil melewati masa-masa genting yang mengancam integrasi masyarakat secara nasional baik itu bentuk ancaman internal kelompok separatis maupun ancama eksternal berupa dominannya campur tangan asing khususnya negara yang pernah menjajah berkaitan urusan dalam negeri Indonesia.

Indonesia mulai memperlihatkan jati diri sebagai negara demokrasi kepada dunia dengan peran dan kiprahnya menyelenggarakan KTT Asia Afrika pertama tahun 1955 dan sepak terjangny di Asia Tenggara melalui pembentukan organisasi Asean tahun 1967. Membenahi sistem politik dan demokrasi Indonesia dapat dilihat dari bagaimana Indonesia menyelenggarakan Pemilu pertama pada tahun 1955 yang dikatakan sebagai pemilihan umum paling demokratis sepanjang sejarah politik Indonesia.

Pemilu Tahun 1955 dan 1999 Dianggap Paling Demokratis, Benarkah?

Perangko edisi pemilu perdana (Istimewa)

Walau pun dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif dengan sering terjadinya tindakan separatis, bahkan saat berlangsungnya Pemilu, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri yang kemudian diganti oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, namun Pemilu yang memperebutkan 260 kursi DPR dan 520 kursi Konstituante ditambah 14 kursi khusus untuk wakil golongan minoritas itu berjalan dengan baik.

BACA JUGA :

Berikut, Catatan Pemilu di Indonesia dari Masa ke Masa

Pemilihan Umum Indonesia 1955 merupakan pemilihan umum pertama yang diadakan di Indonesia pada tahun 1955. Pemilu saat itu dinilai sebagai pemilu paling demokratis, karena berlangsung aman di saat kondisi keamanan negara sedang tidak kondusif. Tahun 1955 Indonesia sedang mengalami kekacauan, di Madiun misalnya. Tengah terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwiryo.

Polisi dan Tentara pada waktu itu ikut serta dalam pemilihan pemilu. Mereka yang bertugas di daerah rawan, secara bergilir menuju ke tempat peilihan. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan Konstituante pada saat itu berjalan aman. Kursi yang direbutkan sebanyak 794 kursi, terdiri dari 260 untuk DPR dan 520 untuk konstituante atau dua kali lipat anggota DPR. Jumlah kursi masih ditambah 14 lagi untuk wakil golongan minoritas yang diangkat oleh pemerintah.

Saat itu, total pemilih adalah sebanyak 37.785.299 orang. Meski ini adalah pemilihan umum pertama, dengan ratusan partai peserta, dan jutaan pemilih, pemilihan berlangsung aman dan tertib.  Dari hasil pemilihan umum, empat partai-partai terbesar adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8.434.653 suara (22.3%) dan 57 kursi, Masyumi dengan 7,903,886 suara (20,9%) dan 57 kursi, Nahdatul Ulama dengan 6,955,141 suara (18,4%) dan 45 kursi, serta Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 6,176,914 suara (16,4%) dan 39 kursi.

Tahun 1999

Terlepas dari beragam persoalan yang menyertainya, Pemilihan Umum 1999 dinilai sebagai salah satu penyelenggaraan pemilu terbaik, selain Pemilu 1955. Pemilu demokratis pertama sejak era reformasi 1998 itu menjadi kulminasi politik pasca-Orde Baru dengan keikutsertaan berbagai kekuatan politik yang sebelumnya terepresi.

Kala itu, sejumlah partai baru mendadak naik daun, mengalahkan parpol lama yang sudah lama merintis kekuatan massa di sejumlah wilayah di Tanah Air. Bila ditelusuri, ternyata perolehan suara saat itu mirip hasil Pemilu 1955, ketika parpol pemenang hanya unggul tipis. Ajang Pemilu 1999 tersebut hanya disiapkan selama 13 bulan oleh pemerintahan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Walau begitu, pemilu yang diikuti 48 partai politik ini berlangsung tepat waktu.

Pemilu Tahun 1955 dan 1999 Dianggap Paling Demokratis, Benarkah?

Usai perhitungan, ternyata Pemilu 1999 dimenangkan parpol baru: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai ini merupakan pecahan dari Partai Demokrasi Indonesia pimpinan Soerjadi. Sebagai imbas dari Konflik 27 Juli 1999, mereka berhasil menarik simpati masyarakat dengan mendominasi perolehan suara di 11 provinsi pada 7 Juni 1999. Perolehan suara terbesar PDIP diperoleh di Bali sebesar 79 persen dan angka yang terkecil di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 6,6 persen. Meski hanya 11 provinsi, PDIP menguasai 33,7 persen suara secara nasional.

Peringkat kedua dalam Pesta Demokrasi lima tahun silam ditempati Partai Golongan Karya, yang mendominasi perolehan suara di 13 provinsi. Partai Beringin berhasil mendulang suara terbanyak di Sulsel (66,5 persen) dan paling sedikit di Bali dengan 10,4 persen. Sementara prosentase perolehan suara Golkar secara nasional sebesar 22,3 persen.

Posisi berikutnya untuk urutan secara nasional diperoleh Partai Kebangkitan Bangsa (12,6 persen). Partai yang diusung kaum Nahdliyin ini meraih suara terbanyak di Jawa Timur (35,5 persen), terendah di Sulawesi Utara (0,8 persen). Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merebut angka 10,7 persen, dengan rincian terbesar di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (28,8 persen) dan terendah di Bali (0,9 persen). Lantas Partai Amanat Nasional (PAN) meraih suara terbesar di Sumatra Barat (22,2 persen) dan terendah di Bali (1,3 persen). Atau bisa disebut meraih suara secara nasional sebanyak 7,2 persen.

Di Jakarta, PDIP mendominasi seluruh wilayah (39,4 persen). Dari seluruh kecamatan di DKI Jakarta, hanya Kepulauan Seribu dan Pancoran, Jaksel, yang tidak dimenangkan PDIP. Disusul PPP di urutan kedua dan Golkar ketiga. Partai Golkar menang di Kecamatan Pulau Seribu, sedangkan PPP di Kecamatan Pancoran. PAN hanya menduduki urutan keempat dengan 16,8 persen suara, sementara Partai Keadilan sebanyak 4,9 persen, dan PKB merebut 3,4 persen.

Kondisi tak jauh berbeda terjadi di Provinsi Bali. Di sana, PDIP nyaris menyapu bersih perolehan suara (79 persen), dan Golkar hanya berhasil dengan angka 10,4 persen. Dengan kata lain, PDIP hanya menyisakan sepuluh persen lebih suara untuk partai lain. Basis suara terbesar PDIP berada di Kabupaten Tabanan, dengan merebut sebanyak 87 persen.

Kondisi sedikit berbeda terjadi di Provinsi Jawa Timur. Di wilayah ini, PKB dengan basis pemilih dari kalangan Nahdlatul Ulama memenangkan Pemilu 1999 (33,5 persen suara). PKB menguasai wilayah timur, meliputi Situbondo, Bondowoso, dan Sumenep. Hasil ini hanya berbeda tipis dengan PDIP (33,8 persen), yang merajai wilayah barat Provinsi Jatim hingga wilayah Jateng. Posisi partai banteng dalam lingkaran diikuti PPP, yang menguasai Kabupaten Pamekasan. Sementara Golkar memperoleh suara tertinggi di Pacitan (30 persen) dan Madiun (20,6 persen).

Di Sulsel, Partai Beringin hanya meraih 66,5 persen suara. Perolehan itu merupakan kemunduran bagi partai tersebut. Pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh 80 persen di daerah Angin Mamiri. Pemilih terbanyak berada di Kabupaten Soppeng, Wajo, dan Bone.

Kekalahan PDIP terjadi di provinsi ini. Suara terbanyaknya hanya berhasil direbut di bagian utara. Sementara PPP di urutan ketiga dengan suara terbanyak menyebar di Kabupaten Pinrang, Sinjai, dan Kabupaten Pangkajene. (*)

Apakah pemilu tahun 1955 adalah pemilu paling demokratis di Indonesia?

Pemilihan umum legislatif Indonesia 1955 (biasa dikenal dengan Pemilu 1955) adalah pemilihan umum pertama di Indonesia yang diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia paling demokratis.

Bagaimanakah pelaksanaan pemilu pada tahun 1955?

Pemilu 1955 dilaksanakan dalam dua tahap, tahap pertama yang dilaksanakan pada tanggal 29 September untuk memilih anggota DPR dan tahap kedua yang dilaksanakan pada tanggal 15 Desember untuk memilih anggota Konstituante.

Mengapa pada tahun 1955 diadakan pemilu?

Yang pertama, pada 29 September 1955 untuk memlih anggota-anggota DPR. Yang kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante. Dalam Maklumat X hanya disebutkan bahwa Pemilu yang akan diadakan Januari 1946 adalah untuk memilih angota DPR dan MPR, tidak ada Konstituante.

Mengapa pemilu 1 di Indonesia yang sebenarnya dirancang sejak Kabinet Ali 1 berkuasa namun gagal dilaksanakan oleh kabinet tersebut?

Dengan demikian, Mengapa pemilu I di Indonesia yang sebenarnya dirancang sejak Kabinet Ali I berkuasa, namun gagal dilaksanakan oleh kabinet terstrebut sebab Kabinet Ali Sastroamijoyo tidak berhasil menyelenggarkan pemilu akibat dari Keretakan dalam kabinet karena NU menarik dukungan dan menterinya, memaksa Ali harus ...