Mengapa kritik harus menggunakan bahasa yang santun

Pada dasarnya, tidak ada standar suatu kritik harus bersifat sopan, begitupun harus amoral. Namun, berdasarkan definisinya, tidak ada standar apapun yang menyatakan bahwa suatu kritik harus beretika. Selama itu menyampaikan baik-buruk, itu kritik. Jadi, suatu penilaian atau masukan, baik dalam bentuk makian maupun pujian, selama itu memang ditujukan untuk menilai baik-buruknya sesuatu, itu adalah kritik. Dengan kata lain, kritik tidak harus mengedepankan etika.

Dalam konteks akademik, suatu penilaian karya dalam bentuk kritik adalah penilaian objektif. Penulisan kritik, misalnya kritik sastra, pun tidak harus mengedepankan bahasa Indonesia yang sopan santun. Yang terpenting adalah substansi kritik tersebut berdasarkan landasan teori yang benar. Selama kritik yang disampaikan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, kritik tersebut sah-sah saja.

Begitupun dalam berdemokrasi. Penyampaian pendapat, secara esensinya, tidak harus mengedepankan perasaan seseorang. Tidak perlu memikirkan "Apakah orang tersebut nanti akan sedih atau kecewa?" Objektivitas dalam penilaian atau masukan adalah hal terpenting. Pun, tujuan kritik adalah membangun dan memperbaiki kesalahan sehingga menjadi lebih baik. Kritik juga digunakan pemerintah sebagai bahan pertimbangan suatu kebijakan. Tanpa kritik, pemerintah bergerak layaknya kelelawar yang tuli, selalu menabrak ketika terbang.

Namun, di sisi lain, memang tidak ada salahnya menyampaikan kritik dengan baik-baik. Kritik bisa saja disampaikan dengan mengedepankan kesopansantunan. Masyarakat Indonesia, secara umum, mengedepankan unsur kesopanan dalam bertutur, terlebih kepada yang lebih tua. Selain itu, kebiasaan ini senantiasa dilanggengkan dan dilaksanakan oleh masyarakat, Jadi, meskipun tidak ada landasannya, penyampaian kritik dengan santun juga tidak bisa dianggap sebagai hal yang salah; sah-sah saja.

Apakah kritik bisa sewenang-wenang?
Suatu kritik hanya dapat dikatakan sebagai kritik yang substantif jika kritik tersebut adalah refleksi dari hal yang benar-benar terjadi. Kritik merupakan refleksi dari hal-hal yang dianggap perlu diperbaiki terhadap hal yang sedang terjadi. Dengan kata lain, jika kejadian yang dikritik hanya bersifat imajinatif atau diragunakn kebenarannya, kritik tidak bisa dianggap valid. Simpelnya, "Untuk apa mengkritik hal yang tidak atau tidak akan terjadi?".

Karena mengkritik sesuatu yang nyata, kebenarannya harus dapat dibuktikan. Suatu kritik tidak hanya bisa dalam bentuk makian atau ejekan subjektif yang murni dari opini pribadi. Suatu kritik harus memiliki substansi yang jelas. Harus ada bukti atau landasan yang dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Dengan adanya bukti atau landasan yang kuat, kritik dapat diterima dengan baik oleh pihak lain, terlebih mereka yang dikritik. Dengan menggunakan rasionalitas dan bukti yang kuat, kritik, terlebih kepada pemerintah, dapat dianggap sebagai realita yang harus didengarkan.

Jika tidak ada buktinya, kritik bisa dianggap sebagai karangan fiktif. Bahkan, bisa dianggap fitnah atau ujaran kebencian. Tentunya ini berbahaya. Tanpa adanya bukti, sesuatu yang mungkin nyata bisa dianggap palsu oleh orang lain. Orang lain bisa saja tidak langsung percaya jika kritik yang hendak disampaikan tidak dianggap benar, apalagi kalau mereka tidak merasakan hal yang sama. Dampaknya, penyaluran pendapat pun menjadi tidak efektif.

Selain itu, kritik adalah bentuk argumentasi yang harus dipertanggungjawabkan. Isinya memang harus objektif dan nyata. Dalam konteks akademik, kritik harus disampaikan dengan sebenar-benarnya. Hasil analisis pun harus dipertanggungjawabkan keabsahannya. Begitupun dengan berdemokrasi, kritik harus seobjektif mungkin; jangan sampai mengkritik sesuatu yang hoax. Dengan kata lain, kritik tidak bisa dilakukan sewenang-wenang, baik dalam aspek pendidikan maupun kewarganegaraan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritik memang tidak harus dilakukan dengan sopan. Selama esensinya sesuai dan memang digunakan untuk tujuan membenarkan atau memperbaiki hal yang sedang terjadi, sah-sah saja mengkritik tanpa menggunakan bahasa yang sopan sekalipun. Selain itu, kritik tidak boleh dilakukan dengan so fun (sewenang-wenang atau hanya kesenangan pribadi belaka). Kritik harus memiliki substansi yang jelas, objektif, dan valid. Kebenarannya harus dapat dibuktikan. Dengan mengkritik secara benar, dalam konteks berdemokrasi, dinamika pemerintah dan rakyat dalam memberikan pendapat dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Ini bisa menjadi bagi pemerintah sebagai wakil rakyat sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan rakyat.


Mengapa kritik harus menggunakan bahasa yang santun

Lihat Sosbud Selengkapnya


Page 2

Pada dasarnya, tidak ada standar suatu kritik harus bersifat sopan, begitupun harus amoral. Namun, berdasarkan definisinya, tidak ada standar apapun yang menyatakan bahwa suatu kritik harus beretika. Selama itu menyampaikan baik-buruk, itu kritik. Jadi, suatu penilaian atau masukan, baik dalam bentuk makian maupun pujian, selama itu memang ditujukan untuk menilai baik-buruknya sesuatu, itu adalah kritik. Dengan kata lain, kritik tidak harus mengedepankan etika.

Dalam konteks akademik, suatu penilaian karya dalam bentuk kritik adalah penilaian objektif. Penulisan kritik, misalnya kritik sastra, pun tidak harus mengedepankan bahasa Indonesia yang sopan santun. Yang terpenting adalah substansi kritik tersebut berdasarkan landasan teori yang benar. Selama kritik yang disampaikan objektif dan dapat dipertanggungjawabkan, kritik tersebut sah-sah saja.

Begitupun dalam berdemokrasi. Penyampaian pendapat, secara esensinya, tidak harus mengedepankan perasaan seseorang. Tidak perlu memikirkan "Apakah orang tersebut nanti akan sedih atau kecewa?" Objektivitas dalam penilaian atau masukan adalah hal terpenting. Pun, tujuan kritik adalah membangun dan memperbaiki kesalahan sehingga menjadi lebih baik. Kritik juga digunakan pemerintah sebagai bahan pertimbangan suatu kebijakan. Tanpa kritik, pemerintah bergerak layaknya kelelawar yang tuli, selalu menabrak ketika terbang.

Namun, di sisi lain, memang tidak ada salahnya menyampaikan kritik dengan baik-baik. Kritik bisa saja disampaikan dengan mengedepankan kesopansantunan. Masyarakat Indonesia, secara umum, mengedepankan unsur kesopanan dalam bertutur, terlebih kepada yang lebih tua. Selain itu, kebiasaan ini senantiasa dilanggengkan dan dilaksanakan oleh masyarakat, Jadi, meskipun tidak ada landasannya, penyampaian kritik dengan santun juga tidak bisa dianggap sebagai hal yang salah; sah-sah saja.

Apakah kritik bisa sewenang-wenang?
Suatu kritik hanya dapat dikatakan sebagai kritik yang substantif jika kritik tersebut adalah refleksi dari hal yang benar-benar terjadi. Kritik merupakan refleksi dari hal-hal yang dianggap perlu diperbaiki terhadap hal yang sedang terjadi. Dengan kata lain, jika kejadian yang dikritik hanya bersifat imajinatif atau diragunakn kebenarannya, kritik tidak bisa dianggap valid. Simpelnya, "Untuk apa mengkritik hal yang tidak atau tidak akan terjadi?".

Karena mengkritik sesuatu yang nyata, kebenarannya harus dapat dibuktikan. Suatu kritik tidak hanya bisa dalam bentuk makian atau ejekan subjektif yang murni dari opini pribadi. Suatu kritik harus memiliki substansi yang jelas. Harus ada bukti atau landasan yang dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan. Dengan adanya bukti atau landasan yang kuat, kritik dapat diterima dengan baik oleh pihak lain, terlebih mereka yang dikritik. Dengan menggunakan rasionalitas dan bukti yang kuat, kritik, terlebih kepada pemerintah, dapat dianggap sebagai realita yang harus didengarkan.

Jika tidak ada buktinya, kritik bisa dianggap sebagai karangan fiktif. Bahkan, bisa dianggap fitnah atau ujaran kebencian. Tentunya ini berbahaya. Tanpa adanya bukti, sesuatu yang mungkin nyata bisa dianggap palsu oleh orang lain. Orang lain bisa saja tidak langsung percaya jika kritik yang hendak disampaikan tidak dianggap benar, apalagi kalau mereka tidak merasakan hal yang sama. Dampaknya, penyaluran pendapat pun menjadi tidak efektif.

Selain itu, kritik adalah bentuk argumentasi yang harus dipertanggungjawabkan. Isinya memang harus objektif dan nyata. Dalam konteks akademik, kritik harus disampaikan dengan sebenar-benarnya. Hasil analisis pun harus dipertanggungjawabkan keabsahannya. Begitupun dengan berdemokrasi, kritik harus seobjektif mungkin; jangan sampai mengkritik sesuatu yang hoax. Dengan kata lain, kritik tidak bisa dilakukan sewenang-wenang, baik dalam aspek pendidikan maupun kewarganegaraan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kritik memang tidak harus dilakukan dengan sopan. Selama esensinya sesuai dan memang digunakan untuk tujuan membenarkan atau memperbaiki hal yang sedang terjadi, sah-sah saja mengkritik tanpa menggunakan bahasa yang sopan sekalipun. Selain itu, kritik tidak boleh dilakukan dengan so fun (sewenang-wenang atau hanya kesenangan pribadi belaka). Kritik harus memiliki substansi yang jelas, objektif, dan valid. Kebenarannya harus dapat dibuktikan. Dengan mengkritik secara benar, dalam konteks berdemokrasi, dinamika pemerintah dan rakyat dalam memberikan pendapat dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Ini bisa menjadi bagi pemerintah sebagai wakil rakyat sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan rakyat.


Mengapa kritik harus menggunakan bahasa yang santun

Lihat Sosbud Selengkapnya