Jawaban: 1 dan 3 Penjelasan: Karena hakk oktroi VOC adalah hak untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, mencetak mata uang sendiri ,memiliki pasukan dan armada laut membangun benteng, serta membuat perjanjian dan menyatakan perang . Februari 17, 2015 by MUHAMMAD ANSYARI - dibaca 1844 kali Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah Swt. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik (QS. 6: 57). Dalam konteks ini, kedudukan Allah Swt sebagai pembuat hukum merupakan sebuah kewajaran (mutlak) dan dapat diterima oleh akal, mengingat Allah Swt lah segala pencipta yang ada di bumi dan di langit. Dalam kaitannya dengan syari’ Nabi Muhammad saw berfungsi menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkap hukum melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt melalui perantara malaikat Jibril. Kesempurnaan turunnya Al-Qur’an dan meninggalnya Nabi Muhammad, saw, menjadikan umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala persoalan yang sedangdihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, parasahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atasmasalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabatsangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad. Perubahan zaman dan wafatnya para sahabat Nabi, makaotoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya.Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yangdihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi olehumat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalamal-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka paraulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum diantaranya; maslahah-mursalah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi),qiyas (Imam Syafi’i),istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya. Tulisan ini berupaya menjelaskan maslahah-mursalahdari aspek pengertian, tingkatan maslahat, perbedaan pendapat tentang maslahah-mursalah, syarat-syarat serta contoh maslahah-mursalah. Semoga bermanfaat.
Kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-manfaat, baik dari segi arti ataupun wajan-nya, yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-masahalih. Semuanya mengandung kata manfaat baik secara asal maupun melalui proses.[1] Maslahah mursalah artinya muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ hukum untuk ditetapkan. Dan tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, untuk mengi’tibarkannya, atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidakdikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkanya. Misalnya kemashlahatan yang disyari’atkan.[2] Pengertian lainnya menjelaskan Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama.[3] Al-Buthi menjelaskan al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu.[4] Dari definisi ini, fokus utama atau tolak ukur maslahah adalah tujuan-tujuan syara atau berdasarkan ketetapan syar’i, meskipun kelihatan bertantangan dengan tujuan-tujuan manusia yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata. Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan. Para ulama ushul menjelaskan bahwa sebagian ulama menggunakan istilah lainnya dalam mengungkapkan al-maslahah al-mursalah, seperti al-munasib al-mursalah, al-istishlah, al-istidlal al-mursalah.[5] Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda dengan syarat yang berbeda pula. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:
Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan maksud syara yang diketahui dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma, tetapi tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka dipakai al-maslahah al-mursalah. Jika memakai qiyas, harus ada dalil asal. Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari Al-Qur’an, sunnah, qarinah-qarinah maupun dari isyarat-isyarat. Oleh sebab itu, cara penggalian mashlahah seperti itu disebu al-mashlahah al-mursalah, artinya terlepas dari dalil-dalil secara khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil syara.[7] Pandangan Al-Ghazali tersebut memberikan gambaran bahwa al-mashlahah al-mursalahmerupakan metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara, tetapi ia tidak keluar dari nash syara. Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas mashlahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi mashlahah kepada tiga tingkatan, yaitu: Kemaslahatan ad-dhururiyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat.yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.Jaminan keselamatan jiwa, akal, keturunan, harta benda, agama/kepercayaan. Kemaslahatan al-hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi.Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.Bentuk keringanan dalam ibadah adalah dibolehkannya meringkas sholat bagi musafir.Dalam muamalat, keringanan ini terwujud dengan dibolehkan berburu binatang halal, memakan makanan yang baik, kerjasama pertanian dan perkebunan.
Maslahat ini sering disebut dengan maslahat takmiliyat, yaitu suatu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat.Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti.Namun demikian, jika kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia.Contohnya memakai pakaian yang indah rapi.[8]Dari ketiga tingkatan kemaslahatan ini yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan tingkat kepentingan kemaslahatan itu sehingga dapat ditentukan kemaslahatan yang harus diprioritaskan terlebih dahulu. Maslahat ditinjau dari segi eksistensinya dari ada atau tidaknya dalil yang langsung mengaturnya terbagi menjadi tiga macam, yaitu: Maslahah al-mu’tabarahadalah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash. Untuk memilihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapkan hukum qishah terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, contoh surat al-Baqarah: 178.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Contoh lainnya seperti menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, demi memilihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah: 38.
Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan nash. Karana itu segala bentuk kemaslahatan ini ditolak syara.Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaaan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun menyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh.Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan. Mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya.Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan.Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum.[9] Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa al-mashlahah al mursalahini sejalan dengan tujuan syara sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan menghindarkan mereka dari kemudharatan.
Penolakan terhadap al-maslahah al mursalah yang dilakukan oleh golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah membuat mereka memperketat ketentuan maslahat.Maslahat harus mengacu pada qiyas yang mempunyai illat yang jelas batasannya.Karenanya, di situ harus terdapat ashl (sumber pokok) yang dijadikan maqis alaih (landasan qiyas).Dan illat harus jelas batasannya yang mengandung esensi maslahat, meskipun kemaslahatan terkadang tidak mengandung illat dalam kondisi tertentu.[10] Ada beberapa alasan ulama tidak menjadikan al-mashlahah mursalah sebagai dalil, yaitu:
Alasan-alasan di atas serta syarat-syarat yang diajukan dalam melihat sebuah permasalahan untuk dijadikan sebagai maslahat merupakan bentuk penolakan terhadap al-maslahah al mursalah yang dicetuskan oleh Imam Malik. Golongan Maliki dan Hambali berpendapat, bahwa sifat munasib yang merupakan alasan adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menjadi illat bagi qiyas.Kalau memang demikian, sifat munasib patut menjadi illat, maka maslahat mursalah termasuk ke dalam macam qiyas. Oleh karena itu, ia bisa diterima sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah illat itu jelas batasannya atau tidak.[12] Golongan Maliki sebagai pembawa bendera al-maslahah al mursalahmengemukakan tiga alasan, yaitu:
Abdul Wahabkallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yaitu:
Sedangkan Imam Malik mengajukan tiga syarat dalam al-mashlahah al-mursalah, yaitu:
Contoh mengenai al-maslahah al mursalah pada dasarnya sudah diuraikan, namun demikian untuk lebih memudahkan dalam memahami al-maslahah al mursalah, maka akan diurakan beberapa contoh, yaitu:
Dengan demikian, semua bentuk kemaslahatan tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum.Hal ini bisa dilakukan selama tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil penetapan hukum Islam, diantara mereka ada yang menggunakannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi suatu maslah yang tidak ada Nash secara jelas mengenai hal itu dan sebagian adapula yang tidak menggunakannya. Penggunaan al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil penetapan hukum Islam dibatasi dengan qayd(klasifikasi tertentu), sehingga ia tidak tercabut dari akar syariat dan tidak mengesampingkan nash-nash yang qath’i. Akhirnya, menolak atau menerima maslahah al-mursalah sebagai metode istibath hukum merupakan sebuah pilihan. Daftar Pustaka Firdaus, Ushul Fiqh; Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komperhensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Terjemah: Saefullah Ma’shum, dkk.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. Nazar bakry, Fiqih dan Usul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Untuk UIN, STAIN, PTAIS,Bandung: Pustaka Setia, 2010. Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Terjemah: Ahmad Sudjono), Bandung: PT Almaarif, 1976. Syekh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih, (Terjemah: Halimuddin), Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
§Disampaikan dalam diskusi kelas mata kuliah Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh pada Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2013.
[1]Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara (Allah Swt) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluknya.Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.Dengan istilah lain bisa disebut sebagai tahshil al-ibqa. Artinya, tahshl adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan dan sebab-sebabnya. Lihat Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 117
[2]Syekh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih, (Terjemah: Halimuddin), (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 98
[3]Nazar bakry, Fiqih dan Usul Fiqih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 60-61
[4]Firdaus, Ushul Fiqh; Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komperhensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 81
[5]Istilah al-maslahah al-mursalah merupakan istilah yang paling terkenal. Istilah al-munasib al-mursalah digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi. Untuk segi yang dipakai istilah al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab al-Musytasyfa, atau istilah al-Isti’dal al-mursal, seperti yang dipakai Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat. Rachmat Syafe’i, Op. Cit., h. 118-119
[8]Firdaus,Op. Cit., h. 82-84
[9]Ibid, 85-87. Lihat juga Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 (Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005), 36-37.
[10]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Terjemah: Saefullah Ma’shum, dkk.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 433
[11]Firdaus, Op. Cit., h. 88.
[12]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 431-433
[13]Ibid, h.428-431.Bandingkan dengan yang terdapat dalam buku Firdaus Op. Cit, h. 89-92. Penggunaan Al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil didasrkan sejumlah alasan, yaitu: a) Syariat Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan, contoh ayat al-Maidah: 6. b) Kemaslahatan berhubungan dengan duniawi, selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia. c) Bahwa Syar’I menjelaskan alas an (illat) sebagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. c) Dalam sejarah tasyri Islam, terbukti sejak masa sahabat dan generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
[14]Syekh Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., h. 102.
[15]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 427-428
[16]Firdaus, Op. Cit., h. 93-94.
[17]Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Terjemah: Ahmad Sudjono), (Bandung: PT Almaarif, 1976), h. 185
[18]Syekh Abdul Wahab Khallaf,Op. Cit., h. 98
[19]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 436 |