Mencetak mata uang dan membuat penjara bagi penjahat termasuk contoh dari

Mencetak mata uang dan membuat penjara bagi penjahat termasuk contoh dari

Jawaban:

1 dan 3

Penjelasan:

Karena hakk oktroi VOC adalah hak untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, mencetak mata uang sendiri ,memiliki pasukan dan armada laut membangun benteng, serta membuat perjanjian dan menyatakan perang .

Februari 17, 2015 by MUHAMMAD ANSYARI  - dibaca 1844 kali

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah Swt. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik (QS. 6: 57). Dalam konteks ini, kedudukan Allah Swt sebagai pembuat hukum merupakan sebuah kewajaran (mutlak) dan dapat diterima oleh akal, mengingat Allah Swt lah segala pencipta yang ada di bumi dan di langit. Dalam kaitannya dengan syari’ Nabi Muhammad saw berfungsi menemukan, menjelaskan, memperkenalkan dan menyingkap hukum melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt melalui perantara malaikat Jibril.

Kesempurnaan turunnya Al-Qur’an dan meninggalnya Nabi Muhammad, saw, menjadikan umat Islam mendapat tantangan baru di bidang hukum, karena kadang kala persoalan yang sedangdihadapi tidak ada hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan hukum baru yang sedang dihadapi tersebut, parasahabat selalu ber-ijtihad, dan mereka dapat dengan mudah menemukan hukum atasmasalah-masalah yang sedang dihadapi oleh umat Islam kala itu karena para sahabatsangat mengenal tekhnik Nabi ber-ijtihad.

Perubahan zaman dan wafatnya para sahabat Nabi, makaotoritas tasri’ jatuh ke tangan generasi tabi’in kemudian tabi’tabi’in dan seterusnya.Setelah masa sahabat, dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan hukum yangdihadapi oleh umat Islam, para ulama tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat. Namun karena persoalan hukum yang dihadapi olehumat Islam selalu berkembang dan merupakan persoalan hukum baru, di mana dalamal-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ para sahabat tidak ditemukan hukumnya, maka paraulama dalam mengagali hukumnya, memakai beberapa metode istinbath hukum diantaranya; maslahah-mursalah (Imam Malik), Istihsan (Imam Hanafi),qiyas (Imam Syafi’i),istishab Imam Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya.

Tulisan ini berupaya menjelaskan maslahah-mursalahdari aspek pengertian, tingkatan maslahat, perbedaan pendapat tentang maslahah-mursalah, syarat-syarat serta contoh maslahah-mursalah. Semoga bermanfaat.

  1. Pengertian; Bahasa dan beberapa Istilahal-Mashlahah al-Mursalah

Kata al-maslahah adalah seperti lafazh al-manfaat, baik dari segi arti ataupun wajan-nya, yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimat ash-shalah, seperti halnya lafazh al-manfaat sama artinya dengan al-naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al-masahalih. Semuanya mengandung kata manfaat baik secara asal maupun melalui proses.[1]

Maslahah mursalah artinya muthlak. Dalam istilah ushul, yaitu kemashlahatan yang tidak disyari’atkan oleh syari’ hukum untuk ditetapkan. Dan tidak ditunjukkan oleh dalil syar’i, untuk mengi’tibarkannya, atau membatalkannya. Dinamakan mutlak karena tidakdikaitkan dengan dalil yang menerangkan atau dalil yang membatalkanya. Misalnya kemashlahatan yang disyari’atkan.[2]

Pengertian lainnya menjelaskan Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama.[3]

Al-Buthi menjelaskan al-maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu.[4] Dari definisi ini, fokus utama atau tolak ukur maslahah adalah tujuan-tujuan syara atau berdasarkan ketetapan syar’i, meskipun kelihatan bertantangan dengan tujuan-tujuan manusia yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata.

Kemaslahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.

Para ulama ushul menjelaskan bahwa sebagian ulama menggunakan istilah lainnya dalam mengungkapkan al-maslahah al-mursalah, seperti al-munasib al-mursalah, al-istishlah, al-istidlal al-mursalah.[5] Istilah-istilah tersebut walaupun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai tinjauan yang berbeda-beda dengan syarat yang berbeda pula. Setiap hukum yang didirikan atas dasar maslahat dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu:

  1. Melihat maslahah yang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah masa sekarang. Akte nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi, kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan dari segi ini ditinjau dari sisi ini disebut al-maslahah al-mursalah (maslahah yang terlepas dari dalil khusus), tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syariat Islam.
  2. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara, yang mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu kemaslahatan. Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat sesuai dengan tujuan syara, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan tetapi sifat kesesuaian ini tidak diunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu, dari sisi ini ia disebut al-munasib al-mursalah (kesesuaian dengan tujuan syara’ yang terlepas dari dalil syara yang khusus).
  3. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal ini itu diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut istishlah (menggali dan menetapkan suatu maslahah).[6]

Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan maksud syara yang diketahui dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma, tetapi tetapi tidak dipandang dari ketiga dasar tersebut secara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas, maka dipakai al-maslahah al-mursalah. Jika memakai qiyas, harus ada dalil asal. Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari beberapa dalil yang tidak terbatas, baik dari Al-Qur’an, sunnah, qarinah-qarinah maupun dari isyarat-isyarat. Oleh sebab itu, cara penggalian mashlahah seperti itu disebu al-mashlahah al-mursalah, artinya terlepas dari dalil-dalil secara khusus, tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil syara.[7]

Pandangan Al-Ghazali tersebut memberikan gambaran bahwa al-mashlahah al-mursalahmerupakan metode istidlal (mencari dalil) dari nash syara yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara, tetapi ia tidak keluar dari nash syara.

Ditinjau dari segi kepentingan dan kualitas mashlahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi mashlahah kepada tiga tingkatan, yaitu:

Kemaslahatan ad-dhururiyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat.yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan manusia, yang bila ditinggalkan, maka rusaklah kehidupan, merajalelalah kerusakan, timbullah fitnah, dan kehancuran yang hebat.Jaminan keselamatan jiwa, akal, keturunan, harta benda, agama/kepercayaan.

Kemaslahatan al-hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi.Termasuk kemaslahatan ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam kehidupannya.Bentuk keringanan dalam ibadah adalah dibolehkannya meringkas sholat bagi musafir.Dalam muamalat, keringanan ini terwujud dengan dibolehkan berburu binatang halal, memakan makanan yang baik, kerjasama pertanian dan perkebunan.

  1. Maslahah tahsiniyah atau kamaliyat

Maslahat ini sering disebut dengan maslahat takmiliyat, yaitu suatu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat.Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti.Namun demikian, jika kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia.Contohnya memakai pakaian yang indah rapi.[8]Dari ketiga tingkatan kemaslahatan ini yang perlu diperhatikan adalah kualitas dan tingkat kepentingan kemaslahatan itu sehingga dapat ditentukan kemaslahatan yang harus diprioritaskan terlebih dahulu.

Maslahat ditinjau dari segi eksistensinya dari ada atau tidaknya dalil yang langsung mengaturnya terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

Maslahah al-mu’tabarahadalah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash. Untuk memilihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapkan hukum qishah terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, contoh surat al-Baqarah: 178.

  • pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#qãZtB#uä|=ÏGä.ãNä3øn=tæÞÉ$|ÁÉ)ø9$#Îûn=÷Fs)ø9$#(çtø:$#Ìhçtø:$$Î/ßö6yèø9$#urÏö7yèø9$$Î/4Ós\RW{$#ur4Ós\RW{$$Î/4ô`yJsùuÅ"ãã¼ã&s!ô`ÏBÏmŠÅzr&ÖäóÓx«7í$t6Ïo?$$sùÅ$rã÷èyJø9$$Î/íä!#yŠr&urÏmøs9Î)9`»|¡ômÎ*Î/3y7Ï9ºsŒ×#ÏÿøƒrB`ÏiBöNä3În/§×pyJômuur3Ç`yJsù3ytGôã$#y÷èt/y7Ï9ºsŒ¼ã&s#sùë>#xtãÒOŠÏ9r&

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.

Contoh lainnya seperti menetapkan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian, demi memilihara dan menjamin keamanan kepemilikan harta, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah: 38.

  • Í$¡¡9$#urèps%Í$¡¡9$#ur(#þqãèsÜø%$$sù$yJßgtƒÏ÷ƒr&Lä!#ty_$yJÎ/$t7|¡x.Wx»s3tRz`ÏiB«!$#3ª!$#urîƒÍtãÒOŠÅ3ym

Artinya: laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan nash. Karana itu segala bentuk kemaslahatan ini ditolak syara.Contoh: menyamakan pembagian warisan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Penyamaaan ini memang banyak maslahatnya namun berlawanan dengan ketentuan nash. Namun menyamakan ini dengan alasan kemaslahatan, penyelesaian kasus seperti inilah yang disebut dengan Maslahat Mulgoh.Seperti juga kasus bentuk sanksi kafarat bagi orang yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan.

Mashlahah mursalah ialah maslahat yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang mengakuinya ataupun menolaknya.Maslahat ini merupakan maslahat yang sejalan dengan tujuan syara’ yang dapat dijadikan dasar pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia serta terhindar dari kemudhorotan.Karena tidak ditemukan variabel yang menolak ataupun mengakuinya maka para ulama berselisih pendapat mengenai kebolehannya dijadikan illat hukum.[9]

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa al-mashlahah al mursalahini sejalan dengan tujuan syara sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pijakan dalam mewujudkan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia dan menghindarkan mereka dari kemudharatan.

  1. Perbedaan Pendapat Tentang al-Maslahah al-mursalah

Penolakan terhadap al-maslahah al mursalah yang dilakukan oleh golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah membuat mereka memperketat ketentuan maslahat.Maslahat harus mengacu pada qiyas yang mempunyai illat yang jelas batasannya.Karenanya, di situ harus terdapat ashl (sumber pokok) yang dijadikan maqis alaih (landasan qiyas).Dan illat harus jelas batasannya yang mengandung esensi maslahat, meskipun kemaslahatan terkadang tidak mengandung illat dalam kondisi tertentu.[10]

Ada beberapa alasan ulama tidak menjadikan al-mashlahah mursalah sebagai dalil, yaitu:

  1. Penggunaan al-mashlahah al mursalahakan membuka peluang bagi penguasa dan para hakim untuk menetapkan hukum sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka.
  2. Bahwa syariat Islam memelihara semua kemaslahatan manusia melalui ketentuan yang terdapat dalam nash dan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas. Syar’i tidak membiarkan manusia mengalami kesulitan dalam kehidupannya dan tiada satupun kemaslahatan manusia melainkan disyariatkan oleh Islam. Namun tiada satupun kemaslahatan melainkan ada dalil yang ditetapkan syar’i untuk merealisirkannya. Atas dasar itu, semua kemaslahatan yang tidak didukung oleh syar’i melalui dalil nash untuk mewujudkannya, maka bukan kemaslahatan sejati. Kemaslahatan ini hanya didasarkan pada praduga semata yang tidak boleh dijadikan sebagai dasar penetapan tasyri.
  3. Pada dasarnya al-mashlahah al-mursalah berada diantara dua posisi, yaitu maslahat yang dirang Syar’i mengambilnya dan maslahat yang diperintahkan Syar’i mengambilnya. Mengingat posisi nya seperti ini, maka ia tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
  4. Mengambil al-maslahah al mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum akan merusak kesatuan dan keumuman tasyri Islam. Penggunaan al-maslahah al mursalahakan terjadi perbedaan situasi, kondisi dan orang seiring dengan pergantian maslahat setiap waktunya.[11]

Alasan-alasan di atas serta syarat-syarat yang diajukan dalam melihat sebuah permasalahan untuk dijadikan sebagai maslahat merupakan bentuk penolakan terhadap al-maslahah al mursalah yang dicetuskan oleh Imam Malik.

Golongan Maliki dan Hambali berpendapat, bahwa sifat munasib yang merupakan alasan adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menjadi illat bagi qiyas.Kalau memang demikian, sifat munasib patut menjadi illat, maka maslahat mursalah termasuk ke dalam macam qiyas. Oleh karena itu, ia bisa diterima sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah illat itu jelas batasannya atau tidak.[12]

Golongan Maliki sebagai pembawa bendera al-maslahah al mursalahmengemukakan tiga alasan, yaitu:

  1. Praktek para sahabat yang telah menggunakan al-maslahah al mursalah, contohnya, kasus mengumpulkan al-Qur’an ke dalam beberapa mushaf. Padahal tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah, Saw. Atau ketika Khulafa ar-Rasyidun menatpakan keharusan menanggung ganti kepada para tukang. Atau ketika Umar bin Khatab RA memerintahkan para penguasa (pegawai negeri) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperolehnya dari kekuasaannya, dll.
  2. Adanya maslahat sesuai maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syari) artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syar’i. Sebaliknya mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-Syar’i. Sedangkan mengesampingkan maqasid as-Syar’i adalah batal.
  3. Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks kemaslahatan, maka orang mukallah akan mengalami kesulitan. Firman Allah QS Al-Hajj: 76 dan Al-Baqarah: 185.[13]
  1. Syarat-syarat Maslahah Mursalah

Abdul Wahabkallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam memfungsikan maslahah mursalah yaitu:

  1. Mashlahah hakikat, bukan mashlahah wahamiah (angan-angan) Yang dimaksud dengan ini ialah menetapkan orang yang mentasyri’kkan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan manfaat dan membuang yang mudharat. Adapun tanpa waharn makatasyri’ itu akan mendatangkan manfaat tanpa menimbang-nimbang antara apa-apa yang akan mendatangkan kemudharatan. Untuk itu harus dibina atas kemashl ahatan wahamiah. Misalnya kemashlahatan yang masih diimpikan dalam hal mencabut hak suami untuk menceraikan isterinya. Hak menceraikan ini diserahkan saja kepada hakim.
  2. Kemashlahatan umum. Bukan kemashlahatan perorangan. Yang dimaksud dengan ini ialah meyakinkan bahwa tasyri’ hukum terhadap suatu peristiwa mendatangkan manfaat untuk orang banyak. Atau membuang kemudharatan. Bukan untuk kemashlahatan pribadi, atau orang yang sedikit jumlahnya. Di sini tidak boleh mensyariatkan hukum hanya untuk kemashlahatan khusus oleh Amir atau pembesar. Menyenyampingkan pendapat orang-orang yang kenamaan dan kemashlahatan mereka itu.
  3. Tasyri’ ilu tidak boleh bertentangan bagi kernashlahatan hukum ini, atau prinsip-prinsip yang ditetapkan dengan nash atau ijmak. Tidak sah kemashlahatan itu diperlakukan untuk menyatakan hak anak laki-laki dan anak perempuan dalam masalah warisan. Kemashlahatan ini batal karena bertentangan dengan nash Al Quran. Dalam hal ini berfatwa Yahya ibnu Yahya Al Laitsi Al Maliki, seorang ahli fikhi di Andalus. Dia adalah murid dan imam Malik bin Anas Khathi’ah, Ada bul seorang raja Andalus memperbukakan puasanya dengan sengaja pada  bulan Ramadhan. Menurut fatwa imam Yahya, Tidak usah membayar kifarat, selain dan berpuasa dua bulan berturut-turut. Fatwanya dibina atas kemashlahatan yang berlaku. Jika yang dimaksud dengan kifarat ialah menghardik orang yang berdosa dan menegurnya, sehingga orang itu tidak kembali memperbuat dosa yang seperti itu. Raja itu tidak memperbuat selain ini.[14]

Sedangkan Imam Malik mengajukan tiga syarat dalam al-mashlahah al-mursalah, yaitu:

  1. Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syariat. Dengan adanya persyaratan ini, berarti maslahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang ingin diwujudkan oleh syar’i. Misalnya, jenis maslahat itu tidak asing, meskipun tidak diperkuat dengan adanya dalil khas.
  2. Maslahat itu harus masuk akal, mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
  3. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang meski terjadi. Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal tidak di ambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.[15]Demikian lah pandangan Imam Malik tentang maslahat.
  1. Contoh-contoh alMaslahah Al-Mursalah

Contoh mengenai al-maslahah al mursalah pada dasarnya sudah diuraikan, namun demikian untuk lebih memudahkan dalam memahami al-maslahah al mursalah, maka akan diurakan beberapa contoh, yaitu:

  1. Dengan berpegang pada prinsip al-maslahah al mursalahAbu Bakar mengangkat Umar Bin Khatab menjadi khalifah kedua. Hal ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad, saw. Keputusan ini diambil Abu Bakar untuk menghindarkan perpecahan di kalangan umat Islam karena pemilihan khalifah pengganti sesudahnya.
  2. Berdasarkan pertimbangan al-maslahah al mursalahpula Umar bin Khatab membuat undang-undang perpajakan, mengkodifikasikan buku-buku, membangun kota-kota, membuat penjara, dan hukuman ta’zirdengan berbagai macam sanksi. Selain itu, Umar juga tidak memberikan hukuman potong bagi pencuri yang mencuri untuk mempertahankan hidupnya.
  3. Melalui pertimbangan al-maslahah al mursalah, Usman bin Affan menghimpun umat Islam untuk berpedoman kepada satu mushaf. Selanjutnya dengan al-maslahah al mursalahMuaz bin Jabal mengambil baju buatan Yaman sebagai pengganti dari makanan dalam zakat buah-buahan.[16]
  4. Pengenaan pajak terhadap orang-orang kaya untuk keperluan biaya angkatan perang dan menjaga keamanan hak milik.
  5. Menghukum pesakitan dengan merampas kekayaannya yang berasal dari kejahatan yang menyebabkan ia dihukum atau untuk ganti kekayaan termaksud.[17]
  6. Contohnya yaitu sahabat mendirikan penjara, atau mencetak mata uang, atau menetapkan tanpa pertanian yang dibuka oleh yang memilikinya dan memungut pajak terhadap tanah itu, atau kemashlahatan lainnya yang dirasa penting untuk dijalankan atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak disyari’atkan oleh hukum. Tidak disaksikan oleh orang yang menyaksikan syari’at dengan i’tibarnya.[18]
  7. Sedangkan salah satu contoh dari Imam Malik tentang penggunaan Masalahat seperti diperbolehkannya membai’at/mengangkat seorang penguasa yang mafdhul (bukan yang terbaik). Penolakan akan bai’at dikhawatirkan berakibat timbulnya kemudharatan, kerusakan, kegoncangan serta kekosongan pemerintah. Kekosongan pemerintah selama selama satu jam di mana terjadi berbagai kelaliman lebih buruk disbanding berada di bawah pemerintahan yang lalim beberapa tahun.[19]

Dengan demikian, semua bentuk kemaslahatan tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum.Hal ini bisa dilakukan selama tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.

  1. Penutup
  2. merupakan metode istinbath hukum yang diperkenalkan olehImam Malik.Maslahah mursalah adalah kebaikan (kemaslahatan yang tidak di singgung-singgung syara’ secara jelas untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedangkan apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari kerusakan atau keburukan, seperti seseorang menghukum sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama

Para ulama berbeda pendapat dalam penggunaan al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil penetapan hukum Islam, diantara mereka ada yang menggunakannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi suatu maslah yang tidak ada Nash secara jelas mengenai hal itu dan sebagian adapula yang tidak menggunakannya.

Penggunaan al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil penetapan hukum Islam dibatasi dengan qayd(klasifikasi tertentu), sehingga ia tidak tercabut dari akar syariat dan tidak mengesampingkan nash-nash yang qath’i. Akhirnya, menolak atau menerima maslahah al-mursalah sebagai metode istibath hukum merupakan sebuah pilihan.

Daftar Pustaka

Firdaus, Ushul Fiqh; Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komperhensif, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Terjemah: Saefullah Ma’shum, dkk.), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.

Nazar bakry,  Fiqih dan Usul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Untuk UIN, STAIN, PTAIS,Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Terjemah: Ahmad Sudjono), Bandung: PT Almaarif, 1976.

Syekh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih, (Terjemah: Halimuddin), Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

§Disampaikan dalam diskusi kelas mata kuliah Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh pada Program Pascasarjana IAIN Antasari Banjarmasin, 2013.

[1]Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara (Allah Swt) adalah sifat menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara pencipta dan makhluknya.Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada kenikmatan.Dengan istilah lain bisa disebut sebagai tahshil al-ibqa. Artinya, tahshl adalah penghimpunan kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan dan sebab-sebabnya. Lihat Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih; Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 117

[2]Syekh Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Usul Fikih, (Terjemah: Halimuddin), (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 98

[3]Nazar bakry,  Fiqih dan Usul Fiqih (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 60-61

[4]Firdaus, Ushul Fiqh; Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komperhensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 81

[5]Istilah al-maslahah al-mursalah merupakan istilah yang paling terkenal. Istilah al-munasib al-mursalah digunakan oleh Ibnu Hajib dan Baidawi. Untuk segi yang dipakai istilah al-istishlah, yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab al-Musytasyfa, atau istilah al-Isti’dal al-mursal, seperti yang dipakai Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat. Rachmat Syafe’i, Op. Cit., h. 118-119

[8]Firdaus,Op. Cit., h. 82-84

[9]Ibid, 85-87. Lihat juga Wahbah az-Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamiy Juz 2 (Dimasyq: Dar al-Fikr, 2005), 36-37.

[10]Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Terjemah: Saefullah Ma’shum, dkk.), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 433

[11]Firdaus, Op. Cit., h. 88.

[12]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 431-433

[13]Ibid, h.428-431.Bandingkan dengan yang terdapat dalam buku Firdaus Op. Cit, h. 89-92. Penggunaan Al-Maslahah al-mursalah sebagai dalil didasrkan sejumlah alasan, yaitu: a) Syariat Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan, contoh ayat al-Maidah: 6. b) Kemaslahatan berhubungan dengan duniawi, selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia. c) Bahwa Syar’I menjelaskan alas an (illat) sebagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. c) Dalam sejarah tasyri Islam, terbukti sejak masa sahabat dan generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.

[14]Syekh Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit., h. 102. 

[15]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 427-428

[16]Firdaus, Op. Cit., h. 93-94.

[17]Sobhi Mahmassani, Filsafat Hukum dalam Islam, (Terjemah: Ahmad Sudjono), (Bandung: PT Almaarif, 1976), h. 185

[18]Syekh Abdul Wahab Khallaf,Op. Cit., h. 98

[19]Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., h. 436