Masalah perbatasan wilayah yang pernah menjadi persoalan di beberapa negara ASEAN kecuali

Oleh Sandy Nur Ikfal Raharjo

Kembali munculnya sengketa antarnegara di kawasan Asia Tenggara menjadi cobaan besar bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2011.

Selama Januari-Juli, sengketa lama seperti perbatasan Thailand-Kamboja dan perebutan Laut China Selatan mulai memasuki babak ketegangan baru. Hal ini kemudian jadi isu signifikan dalam ASEAN Foreign Ministers Meeting Ke-44, Post Ministerial Conference, dan ASEAN Regional Forum Ke-18 pada 16-23 Juli lalu. Di samping itu, juga menjadi isu persiapan menuju Komunitas ASEAN tahun 2015.

Mengganggu

Setidaknya ada dua sengketa yang harus jadi prioritas untuk diselesaikan. Pertama, sengketa perbatasan Thailand-Kamboja, yang telah terjadi kenaikan level konflik satu tingkat tahun 2008-2011. Insiden April-Mei 2011 bahkan memakan korban sipil dan memaksa lebih dari 85.000 orang mengungsi, terburuk sejak ketegangan mulai muncul pada Juli 2008.

Upaya diplomasi mengalami kendala karena kedua negara mengajukan pendekatan yang berbeda. Thailand menginginkan pendekatan bilateral, sementara Kamboja lebih memilih multilateral. ASEAN sebenarnya telah berupaya mempertemukan keduanya dalam satu meja. Namun, solusi yang ditawarkan berupa pengiriman tim pemantau ke area sengketa belum disepakati kedua negara.

Upaya ASEAN kemudian mendapatkan angin segar ketika Mahkamah Internasional memutuskan agar Thailand-Kamboja menarik semua pasukannya dan mengizinkan tim pemantau ASEAN memasuki zona demiliterisasi. Jika ASEAN bisa memanfaatkan momentum ini, diharapkan insiden bersenjata tidak akan terjadi lagi.

Sengketa kedua yang juga meresahkan adalah tumpang tindih klaim wilayah antara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, China, dan Taiwan di Laut China Selatan. Ketegangan ini muncul kembali sejak Februari 2011 dengan peningkatan aktivitas patroli laut dan latihan militer. Masalah kian rumit manakala Filipina meminta bantuan Amerika Serikat untuk menghadapi China jika diperlukan.

Setidaknya ada dua alasan mengapa Laut China Selatan diperebutkan. Pertama, posisinya yang strategis sebagai jalur laut internasional yang dilalui 50 persen total perdagangan dunia. Kedua, perkiraan cadangan minyak dan gas terbesar keempat di dunia. Dalam menyelesaikan sengketa multiaktor ini, Indonesia dan ASEAN sudah melakukan workshop informal tahunan sejak 1990 dan menghasilkan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) tahun 2002, dilengkapi garis acuan DoC Juli 2011 yang memperkuat solusi kerja sama antarnegara untuk melakukan kegiatan bersama di Laut China Selatan.

Kelemahan dan solusinya

Dalam dua kasus di atas, upaya ASEAN sebagai organisasi tunggal dalam menghadapi tantangan sengketa bisa dikatakan belum efektif. Pada kasus Thailand- Kamboja, kebuntuan negosiasi pengiriman tim pemantau yang ditunjuk ASEAN justru diselesaikan dengan perintah langsung dari Mahkamah Internasional sehingga akhir Juli ini tim pemantau Indonesia sudah berhasil masuk ke zona demiliterisasi.

Pada kasus Laut China Selatan, workshop informal bukan diprakarsai ASEAN, melainkan oleh Indonesia sebagai bagian dari politik luar negerinya meskipun pada akhirnya masuk agenda pertemuan ASEAN.

Dari dua kasus ini terlihat bahwa ASEAN masih memiliki kelemahan untuk membuat negara-negara anggota mematuhi mekanisme ASEAN. Untuk menutupinya, ASEAN mendapat dukungan dari pihak luar, misalnya dukungan Dewan Keamanan PBB dalam gencatan senjata Thailand-Kamboja pada Februari 2011 dan bantuan Mahkamah Internasional pada Juli 2011. Dukungan pihak luar yang lebih kuat ini sebagai strategi ASEAN yang bagus pada saat ia tidak memiliki kekuatan formal untuk memaksa.

Namun, strategi tersebut tidak menegasikan kebutuhan ASEAN untuk mengembangkan diri menjadi organisasi yang memiliki kekuatan dan mekanisme efektif dalam menyelesaikan sengketa kawasan. Berhubung tingkat kemauan dan keoptimisan negara-negara anggota dalam memajukan ASEAN berbeda-beda, diperlukan motor penggerak yang menginisiasi ide dan langkah konkret serta mengajak negara anggota lainnya.

Indonesia sebagai negara paling besar ekonominya, paling banyak populasinya, paling luas wilayahnya, dan paling optimistis dengan ASEAN harus mengambil inisiatif. Apalagi tahun depan posisi ketua akan diemban Kamboja yang masih berkonflik dengan Thailand sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu usaha penyelesaian konflik yang damai.

Dalam sisa lima bulan pada periode keketuaannya, Indonesia harus menyiapkan rencana kerja untuk menjamin konflik bisa diselesaikan dan Komunitas ASEAN 2015 bisa terwujud.

Sandy Nur Ikfal Raharjo Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Page 2

Oleh Sandy Nur Ikfal Raharjo

Kembali munculnya sengketa antarnegara di kawasan Asia Tenggara menjadi cobaan besar bagi Indonesia sebagai Ketua ASEAN tahun 2011.

Selama Januari-Juli, sengketa lama seperti perbatasan Thailand-Kamboja dan perebutan Laut China Selatan mulai memasuki babak ketegangan baru. Hal ini kemudian jadi isu signifikan dalam ASEAN Foreign Ministers Meeting Ke-44, Post Ministerial Conference, dan ASEAN Regional Forum Ke-18 pada 16-23 Juli lalu. Di samping itu, juga menjadi isu persiapan menuju Komunitas ASEAN tahun 2015.

Mengganggu

Setidaknya ada dua sengketa yang harus jadi prioritas untuk diselesaikan. Pertama, sengketa perbatasan Thailand-Kamboja, yang telah terjadi kenaikan level konflik satu tingkat tahun 2008-2011. Insiden April-Mei 2011 bahkan memakan korban sipil dan memaksa lebih dari 85.000 orang mengungsi, terburuk sejak ketegangan mulai muncul pada Juli 2008.

Upaya diplomasi mengalami kendala karena kedua negara mengajukan pendekatan yang berbeda. Thailand menginginkan pendekatan bilateral, sementara Kamboja lebih memilih multilateral. ASEAN sebenarnya telah berupaya mempertemukan keduanya dalam satu meja. Namun, solusi yang ditawarkan berupa pengiriman tim pemantau ke area sengketa belum disepakati kedua negara.

Upaya ASEAN kemudian mendapatkan angin segar ketika Mahkamah Internasional memutuskan agar Thailand-Kamboja menarik semua pasukannya dan mengizinkan tim pemantau ASEAN memasuki zona demiliterisasi. Jika ASEAN bisa memanfaatkan momentum ini, diharapkan insiden bersenjata tidak akan terjadi lagi.

Sengketa kedua yang juga meresahkan adalah tumpang tindih klaim wilayah antara Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, China, dan Taiwan di Laut China Selatan. Ketegangan ini muncul kembali sejak Februari 2011 dengan peningkatan aktivitas patroli laut dan latihan militer. Masalah kian rumit manakala Filipina meminta bantuan Amerika Serikat untuk menghadapi China jika diperlukan.

Setidaknya ada dua alasan mengapa Laut China Selatan diperebutkan. Pertama, posisinya yang strategis sebagai jalur laut internasional yang dilalui 50 persen total perdagangan dunia. Kedua, perkiraan cadangan minyak dan gas terbesar keempat di dunia. Dalam menyelesaikan sengketa multiaktor ini, Indonesia dan ASEAN sudah melakukan workshop informal tahunan sejak 1990 dan menghasilkan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) tahun 2002, dilengkapi garis acuan DoC Juli 2011 yang memperkuat solusi kerja sama antarnegara untuk melakukan kegiatan bersama di Laut China Selatan.

Kelemahan dan solusinya

Dalam dua kasus di atas, upaya ASEAN sebagai organisasi tunggal dalam menghadapi tantangan sengketa bisa dikatakan belum efektif. Pada kasus Thailand- Kamboja, kebuntuan negosiasi pengiriman tim pemantau yang ditunjuk ASEAN justru diselesaikan dengan perintah langsung dari Mahkamah Internasional sehingga akhir Juli ini tim pemantau Indonesia sudah berhasil masuk ke zona demiliterisasi.

Pada kasus Laut China Selatan, workshop informal bukan diprakarsai ASEAN, melainkan oleh Indonesia sebagai bagian dari politik luar negerinya meskipun pada akhirnya masuk agenda pertemuan ASEAN.

Dari dua kasus ini terlihat bahwa ASEAN masih memiliki kelemahan untuk membuat negara-negara anggota mematuhi mekanisme ASEAN. Untuk menutupinya, ASEAN mendapat dukungan dari pihak luar, misalnya dukungan Dewan Keamanan PBB dalam gencatan senjata Thailand-Kamboja pada Februari 2011 dan bantuan Mahkamah Internasional pada Juli 2011. Dukungan pihak luar yang lebih kuat ini sebagai strategi ASEAN yang bagus pada saat ia tidak memiliki kekuatan formal untuk memaksa.

Namun, strategi tersebut tidak menegasikan kebutuhan ASEAN untuk mengembangkan diri menjadi organisasi yang memiliki kekuatan dan mekanisme efektif dalam menyelesaikan sengketa kawasan. Berhubung tingkat kemauan dan keoptimisan negara-negara anggota dalam memajukan ASEAN berbeda-beda, diperlukan motor penggerak yang menginisiasi ide dan langkah konkret serta mengajak negara anggota lainnya.

Indonesia sebagai negara paling besar ekonominya, paling banyak populasinya, paling luas wilayahnya, dan paling optimistis dengan ASEAN harus mengambil inisiatif. Apalagi tahun depan posisi ketua akan diemban Kamboja yang masih berkonflik dengan Thailand sehingga dikhawatirkan bisa mengganggu usaha penyelesaian konflik yang damai.

Dalam sisa lima bulan pada periode keketuaannya, Indonesia harus menyiapkan rencana kerja untuk menjamin konflik bisa diselesaikan dan Komunitas ASEAN 2015 bisa terwujud.

Sandy Nur Ikfal Raharjo Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya