Ketentuan adat tentang tata cara pemanfaatan harta pusako tinggi

Jawaban:

1).Pelaksanaan gadai tanah harta pusaka tinggi dahulu harus memenuhi 4 syarat adat yaitu —mambangkik batang tarandam, gadih gadang alun balaki, mayek tabujua di tangah rumah, rumah gadang katirisan“, sekarang syarat menggadai tanah harta pusaka tinggi tersebut maknanya diperluas khususnya di nagari Kamang Mudiak dapat ...

2).Harta pusaka tinggi dan tanah ulayat bukanlah milik pribadi yang dapat diperjual belikan atau dipindah tangankan oleh seseorang kepada orang ...

3).Ada 2 istilah yang dikenal dalam usaha - 136… ... secara turun-temurun oleh suatu kaum diperoleh nenek moyang melalui berbagai cara.Ada 2 ...

4).Harta pusako tinggi adalah harta yang telah diwarisi secara turun-temurun oleh sebuah kaum. Harta tersebut berupa tanah, sawah, tanah peladangan ...

5.no 5 maaf saya gak ngerti bahasa apa itu maaf sekali maaff

Journal LINGUA SUSASTRA

ISSN:

vol. 1, no. 1, 2020

page. 1-9

ISSN: - © 2020 UNP

Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta

Pusaka Masyarakat Minangkabau dalam

Karya Wisran Hadi

Irfani Basri1, Ellya Ratna2

Universitas Negeri Padang

*

Abstract. This reasearch discusses the management and the usage system of inheritance (harato

pusaka) in novels wrote by Minangkabau writer Wisran Hadi. Wisran Hadi was chosen because

of his sensitivity in incorporating Minangkabau conflict and culture into literary works. The

novels that became the object of this research titled Orang-orang Belanti dan Negeri Perempuan.

This research was conducted through qualitative approach with content analysis in describing

and interpretating the data. The results obtained indicate that in the novel, there are several

regulations that are used as references in the management and utilization system of the

inheritance of the Minangkabau people. Furthermore, the novel also shows how conflicts that

often occur, such as misunderstandings in the management of inheritance which in the novel is

performed by male characters and the government on the pretext of community needs. In addition,

it is also shown how the wisdom of women's characters in managing the inheritance without

igniting conflicts among their clans.

Keywords. Inheritance management; Minangkabau-colored novels; Wisran Hadi

Abstrak. Penelitian ini membahas tentang pengelolaan dan tata cara penggunaan warisan (harta

pusaka) dalam novel karya penulis Minangkabau bernama Wisran Hadi. Wisran Hadi dipilih

karena kepekaannya dalam memasukkan konflik dan budaya Minangkabau ke dalam karya

sastra. Novel yang menjadi objek penelitian ini berjudul Orang-orang Belanti dan Negeri

Perempuan. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif ditunjang dengan analisis isi

dalam mendeskripsikan dan menginterpretasikan data yang bersumber dari kedua novel. Hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa dalam novel terdapat beberapa petikan regulasi yang

dijadikan acuan dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan warisan budaya masyarakat

Minangkabau. Lebih lanjut, kedua novel ini juga memperlihatkan bagaimana konflik yang sering

terjadi mengenai pusaka, seperti kesalahpahaman dalam pengelolaan warisan. Yang mana di

dalam novel hal tersebut dilakukan oleh tokoh laki-laki dan pemerintah dengan dalih kebutuhan

masyarakat. Selain itu, juga diperlihatkan bagaimana kearifan karakter-karakter perempuan

dalam mengelola warisan tanpa menyulut konflik antar kaum.

Kata Kunci: pengelolaan harta pusaka; novel warna Minangkabau; Wisran Hadi

Pendahuluan

Terminologi “Minangkabau lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai

bentuk sebuah kerajaan yang pernah ada dalam sejarah (Navis, 1984). Hal itu diperkatakan seperti

itu disebabkan oleh ketiadaan dokumen atau bukti tertulis yang dapat memberi petunjuk tentang

sistem pemerintahan dalam kerajaan. Bahkan tambo (kenangan sejarah) yang dipusakai secara

turun-temurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan kerajaan Minangkabau

secara samar-samar bahkan bercampur-baur dan dibubuhi dengan dongeng (Asnan, 2003).

Cerminan Minangkabau sebagai budaya terlihat dari masyarakatnya yang unik dan kuat

(Azwar, Yunus, Muliono & Permatasari, 2018). Dikatakan unik karena mereka menganut sistem

kekerabatan matrilinieal (Stark, 2013), berbeda dengan kebudayaan lainnya yang pada umumnya

menganut sistem kekerabatan patrilinieal. Keunikan sistem kekerabatan ini berpengaruh terhadap

segala aspek budaya yang mereka anut. Misalnya dari segi warisan akan jatuh pada anak

perempuan (von Benda-Beckmann & von Benda-Beckmann, 1994). Begitu juga dengan

pengasuhan anak-anak yang menjadi tanggungan orang-orang dalam suku ibunya. Dikatakan kuat

karena pada umumnya masyarakat Minangkabau teguh menjalankan nilai-nilai budaya yang

mereka miliki (Navis, 1984).

Karya sastra (novel) yang mengupas masalah masyarakat Minangkabau serta ekspresi budaya

Minangkabau sudah muncul sejak tahun 20-an, saat istilah roman pertama kali digunakan di

Indonesia (Ali, 1994). Siti Nurbaya dan Salah Asuhan adalah dua roman yang memiliki nama

besar. Salah satu penyebabnya karena berbicara tentang etnik Minangkabau yang serba

kontroversial sehingga menimbulkan perdebatan (Hadler, 2010). Dengan membaca kedua novel

tersebut maka akan terjadi perubahan pola pikir dan orientasi kebudayaan pembaca ke arah yang

lebih terbuka. Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya novel tidak hanya berlandaskan kepada

imajinasi pengarang belaka, tetapi juga berpijak pada realita yang berkembang dalam masyarakat.

Budaya Minangkabau yang berlaku di tengah-tengah masyarakat hingga saat ini juga dikupas

dalam karya sastra (novel). Novel sebagai salah satu jenis karya sastra memberikan peluang bagi

pengarang untuk menyampaikan berbagai persoalan yang diamati, ditemukan dan dirasakannya.

Hal ini antara lain disebabkan oleh eksistensi pengarangnya sebagai makhluk sosial. Esten (1993)

memaparkan bahwa keberadaan seorang sastrawan Indonesia adalah seorang seniman dari dua

dunia: dunia budaya daerah dan dunia baru Indonesia. Karya-karya yang dilahirkannya tidak akan

pernah lepas dari pengaruh sistem nilai budaya daerah tempat sastrawan tersebut berasal.

Lebih lanjut, Teeuw (1980) menyatakan bahwa dalam penulisan novel sastra Indonesia

terdapat novel yang dipengaruhi warna lokal atau novel bernuansa daerah. Salah satu jenis novel

tersebut adalah novel warna lokal budaya Minangkabau. Novel bernuansa lokal ini, dalam

penceritaannya biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan, istilah-istilah atau kebiasaan-

kebiasaan berbahasa, dan bersikap dari suatu kelompok masyarakat (Muhardi dan Hasanuddin

WS, 1996).

Wisran Hadi sebagai salah seorang sastrawan yang berasal dari Minangkabau seringkali

membicarakan masalah budaya Minangkabau dalam karyanya. Bentuk budaya Minangkabau

yang dibicarakan dalam novel-novelnya menyangkut banyak aspek dari kehidupan masyarakat

itu sendiri. Banyaknya karya Wisran Hadi yang telah diterbitkan dan mendapatkan berbagai

penghargaan, maka penulis ingin mengkaji sistem pengelolaan dan pemanfaatan harta pusaka

dalam masyarakat Minangkabau yang dibicarakan dalam karyanya, terutama pada karya yang

berbentuk novel.

Penelitian terhadap budaya Minangkabau ini cukup signifikan dan menarik terutama pada

sistem pengelolaan dan pemanfaatan harta pusaka. Bagi masyarakat Minangkabau harta pusaka

merupakan harta pusaka tinggi yang tak dapat dibagi maupun dimiliki (von Benda‐Beckmann,

1982). Masyarakat Minangkabau memiliki cara tersendiri dalam memanfaatkan dan mengelola

harato pusaka tersebut. Inilah salah satu yang membuat sastrawan Minangkabau tertarik untuk

membicarakan dalam karyanya.

Metode

Data yang diambil dalam penelitian ini adalah sistem pengelolaan dan pemanfaatan harta

pusaka dalam budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel-novel Wisran Hadi. Berpedoman

pada teknik porposive sampling, maka data diambil diambil dari dua sumber data yaitu novel dari

pengarang yang sama dengan judul Orang-orang Blanti (2000) dan Negeri Perempuan (2001)

karya Wisran Hadi. Novel-novel yang dijadikan sumber data dan digolongkan sebagai data

primer. Penggolongan data penelitian ini didasarkan pada proses pengambilan secara langsung

dari sumbernya, tanpa ada perantara.

Hasil dan Pembahasan

Sistem Pengelolaan dan Pemanfaatan Harta Pusaka Masyarakat Minangkabau dalam

Novel Orang-Orang Blanti Karya Wisran Hadi

Dalam novel Orang-Orang Blanti (2000) dilukiskan bahwa, mereka sebagai orang Blanti

memiliki harta yang banyak dan hasil bumi yang melimpah. Harta pusaka (pusako) itu adalah

milik kaum yang diwariskan secara turun temurun yang berbentuk material seperti; sawah,

ladang, rumah gadang dan lainnya. Harta pusaka itu dimanfaatkan terutama untuk perempuan di

dalam kaumnya. Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki maupun

menjualnya. Dalam mengatur dan memanfaatkan harta pusaka untuk keperluan tertentu orang

Blanti punya cara tersendiri. Seperti pada kutipan berikut.

Tanah pusaka hanya boleh digadaikan apabila terjadi tiga hal besar dalam suatu kaum, yang

tidak dapat diatasi dengan segera. Pertama, jika anggota kaum meninggal tapi jenazah tidak

dapat dikuburkan karena tidak ada uang untuk membiayai penyelenggaraan upacara adat

kematian. Kedua, bila rumah gadang rusak atau ketirisan tidak ada uang untuk membiayai

perbaikannya. Ketiga, apabila seorang gadis tidak kunjung mendapat jodoh. Jika calon suami

harus dibeli, kaumnya harus melakukan berapapun mahalnya. Selain tiga hal itu, tidak

seorangpun boleh menggadaikan. Apabila membagi-bagi untuk kepentingan pribadi. Satu hal

yang sangat memalukan bagi suatu kaum apabila mereka menjual tanah pusaka. Mereka akan

malu turun temurun walau tidak dipermalukan. (Hadi, 2000:42-43)

Selanjutnya melalui tokoh Bu Yuk, pengarang mengemukakan permasalahan dalam

pengelolaan harta pusaka. Bu Yuk sebagai seorang penulis ingin menulis terutama hal-hal yang

bersangkutan dengan permasalahan tanah pusaka dalam kaum. Terjadinya perebutan harta pusaka

dalam kaum keluarga Bu Yuk merupakan simbol terjadinya diskriminasi dalam pengelolan tanah

pusaka kaum. Tanah pusaka tinggi tidak dapat dijual kecuali jika terjadi empat perkara yang telah

ditentukan. Ternyata aturan ini tidak selamanya dapat dipertahankan oleh anggota kaum itu

sendiri. Terlihat pada kutipan berikut ini.

Aku ingin tulisanku dapat dibaca oleh mereka yang telah salah memperlakukan adat dan tanah

pusakanya. (Hadi, 2000:21)

Terutama menyangkut tanah pusaka yang hanya tinggal sekeping itu, tetapi setiap anggota kaum

masih terus memperebutkannya. “katanya tanah pusaka kita luas sekali,” tanya Buk Yuk pelan.

Nenek mengangguk. (Hadi: 2000:40).

Terjadinya pelanggaran dalam penaturan pengelolaan tanah pusaka mengakibatkan tanah yang

pada awalnya luas dan banyak sudah berpidah tangan pada orang lain maupun kaum lain.

Perpindahan itu terjadi karena beberapa hal. Pertama, karena adanya kesewenang-wenangan

dalam pengaturan tanah pusaka, terutama oleh pihak laki-laki yang memiliki kekuasaan dalam

hal pengaturan. Meskipun pihak perempuan memiliki hak dalam hal pemakaian, namun mereka

tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan hak mereka. Akibatnya mereka dengan terpaksa

mengalah demi menghindari perpecahan dalam keluarga. Akan tergambar pada kutipan di bawah

ini.

Betapa hebat pertengkaran antara nenek dengan adik laki-lakinya sendiri Datuk Tuo.Nenek

mengalah menghindari perpecahan. Menerima saja apa yang diputuskan. Tanah pusaka harus

dibagi. Orang pulau yang bekerjapun dibagi. Keluarga empon yang sangat setia pada nenek

dipisahkan dan dipindahkan jauh ke pinggir kampung. (Hadi, 2000:41)

Dengan adanya perristiwa seperti pada kutipan di atas maka telah terjadi kesewenangan dalam

kepemilikan tanah pusaka oleh laki-laki. Padahal secara hukum adat Minangkabau tidak

seorangpun berhak memiliki tanah pusaka. Laki-laki hanya memiliki hak untuk mengatur,

sedangkan perempuan hanya mempunyai hak untuk memakai. Dengan adanya pelanggaran

tersebut tanpa disadari tanah pusaka itu sudah menjadi hak milik pribadi, bukan hak milik kaum.

Sesuai dengan gambaran pada kutipan berikut.

Berdasarkan Adat Blanti, perempuanlah yang memiliki, memakai, menikmati, dan memelihara.

Sedangkan laki-laki berhak mengatur, menjaga dan kalau perlu menambahnya. Perempuan

pulalah nanti yang akan mewariskannya kepada perempuan turunan berikutnya. (Hadi,

2000:105)

Datuk Tuo sebagai seorang laki-laki Blanti seharusnya mempertahankan tanah pusaka

kaumnya agar dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Bukan membagi dan menjualnya untuk

kepentingan pribadi dengan mengabaikan kepentingan bersama dalam kaum. Sikap Datuk Tuo

ini akan ditiru oleh laki-laki lain. akibatnya tanah yang akan diwariskan sebagai tanah pusaka

makin hari makin menipis. Sehingga generasi berikutnya tidak bisa menikmati hasil dari tanah

pusaka pada masa yang akan datang. Dapat dilihat pada kutipan berikut.

.... Laki-laki secara adat tidak boleh memiliki harta pusaka, Tapi dengan peristiwa itu semua laki-

laki akan mencontoh apa yang telah dilakukan oleh Datuaktuo. Tanah pusaka dari hari ke hari

akan semakin habis dibagi-bagi. Pangkal dari keruntuhan adat blanti ... ( Hadi, 2000:42)

Penyebab berpindahannya harta pusaka kedua, disebabkan adanya pihak ketiga yang

memanfaatkan pertikaian dalam keluarga kaum. Pihak ketiga ini adalah Gampo Alam yang

berasal dari luar Blanti dan menginginkan harta pusaka untuk dijadikan hak milik perorangan.

Gampo Alam mendapatkannya dengan cara membeli dengan paksa pada kaum Bu Yuk yaitu

Engku dan Nenek. Akibatnya orang yang tidak asli juga bisa memiliki tanah pusaka. Terlihat pada

kutipan di bawah ini.

Perpecahan yang terjadi dalam kaum buk Yuk dimanfaatkan Gampo Alam dengan sebaik-baiknya.

Kini giliran tanah Nenek yang harus dijual. Sebagian besar tanah pusaka itu segera berpindah

tangan pada Gampo Alam. (Hadi, 2000:44)

Ketiga, disebabkan adanya tekanan dan kelicikan dari pihak luar kaum yang memiliki

kekuasaan dengan mengancam nyawa orang yang bersangkutan. Bagi mereka yang punya misi

tertentu ingin memiliki tanah pusaka. Sementara orang Blanti yang tidak memiliki kekuasaan

untuk menangkis tekanan itu dengan terpaksa menjual tanah pusaka kaum mereka sedikit demi

sedikit. Sehingga bagi mereka yang tidak asli Blanti juga dapat memiliki tanah pusaka. Terlihat

pada kutipan berikut ini.

Gampo Alamkah yang memaksa Datuk Tuo membagi tanah pusaka?” bisik Bu Yuk. Nenek

tersenyum getir. Nenek tahu siapa dia? Nenek meraba tangan Buk Yuk dengan lembut. Tiba-tiba

wajah Nenek berubah pucat. Matanya menyiratkan ketakutan yang dalam.” (Hadi, 2000: 46-47)

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa Nenek lebih memilih kehilangan tanah pusaka

dari pada kehilangan nyawa adiknya (Datuk Tuo). Melaui cara ini telah terjadi perampasan tanah

pusaka oleh pihak luar pada Nenek Bu Yuk. Dengan demikian terlihatlah adanya kesemena-

menaan seseorang untuk mengambil tanah pusaka yang seharusnya menjadi milik suatu kaum

tanpa ada perlindungan dari pihak-pihak adat maupun lembaga pemerintahan.

Keempat, karena adanya penjualan secara terang-terangan untuk keperluan pribadi dan tidak

dilegalkan dalam hukum adat. Seperti yang dilakukan oleh Sulan anak Empon yang telah menjual

sedikit demi sedikit tanah pusaka dengan alasan untuk mencari Ayahnya, dan pembutan jalan raya

atau kepentingan umum lainnya. Dalam hal ini Empon sebagai pihak perempuan tidak memiliki

kuasa untuk mempertahankan tanah miliknya hingga habis dijual. Digambarkan pada kutipan di

bawah ini.

Namun beberapa tahun kemudian, satu-satunya anak lelaki yang diharap dapat membelanya, ikut

pula seperti ayahnya. Menjual tanah sekeping-sekeping dengan berbagai alasan. Mula-mula

dengan alasan terpaksa, untuk pembuatan jalan raya. Kemudian untuk membangun komplek

perumahan. (Hadi, 2000:67)

Dari kutipan tersebut dalam novel Orang-orang Blanti diketahui bahwa terjadi pemindahan

kepemilikan tanah pusaka untuk kepentingan pribadi. Hal ini bertentangan dengan UU Hal yang

sama juga terlihat pada kutipan berikutnya.

...Nenek, Datuk atau Mamakmamak mereka tidak dapat bertahan dari derasnya desakan agar

menjual kebun, sawah atau ladangnya. Suka atau tidak suka, secara jujur atau tidak jujur, sesuai

dengan hukum atau tidak, dengan alasan “ kepentingan bersama harus didahulukan dari

kepentingan sendiri” dan “pembangunan” mereka harus melepaskan hak yang sudah dimiliki

turun temurun. (Hadi, 2000:4)

Sedangkan harta pusaka yang tersisa masih menjadi milik kaum, tetapi juga terjadi

ketidakadilan dalam pemakaiannya antar anggota kaum. Tokoh Bu Yuk merupakan orang yang

berhak untuk mengelola tanah pusaka, tetapi Bu Yuk tidak mendapatkan haknya. Hal ini

disebabkan adanya kerakusan dan ketamakan Cianai anak saudara ibunya. Seharusnya Bu Yuk

mendapat bagian yang sama banyak dengan Ciani, tapi Ciani menyamakan jumlah pembagian

dengan anak-anaknya dengan alasan anaknya banyak. Dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Menguasai rumah gadang dan sawah ladang yang seharusnya juga menjadi hak Buk Yuk sebagai

pewaris dari Ibu Bu Yuk. Ciani dan ibu Buk Yuk adalah dua perempuan yang punya hak sama

terhadap tanah pusaka yang diwariskan nenek... (Hadi, 2004: 18)

Karena ketamakan Ciani, Dawis sebagai laki-laki kaum Bu Yuk juga tidak mendapat hak

dalam pengaturan tanah pusaka. Padahal secara hukum Adat BlantiDawis memiliki hak untuk

ikut campur dalam pengaturan tanah pusaka. Begitu juga dengan Dawis yang tidak mau ikut

campur dalam masalah tanah pusaka. Antara tokoh Ciani dan Tokoh Dawis telah terjadi

persengketaan dalam mengatur pengelolaan tanah pusaka. Tampak pada kutipan berikut ini.

Ciani tetap bertahan dengan suratnya dan Dawis tetap bertahan dengan sumpahnya. Dengan

alasan bahwa laki-laki tidak memerlukan harta pusaka kaum untuk biaya hidup, Dawis semakin

tegar. Kedua belah pihak sama-sama menganggap diri mereka telah mengikuti tatanan adat

secara benar... (Hadi, 200:124)

Berbeda dengan sikap Datuk Tuo, ternyata tokoh Dawis tidak peduli sama sekali terhadap

tanah pusaka kaumnya. Hal ini menjadikan tokoh Ciani semakin leluasa dalam menguasai tanah

pusaka kaum tanpa ada kontrol dari pihak laki-laki. Melalui konflik antar tokoh dalam novel

Negeri Perempuan ini terlihat bahwa pihak laki-laki dalam kaum juga tidak mau ikut campur

dalam pengelolaan tanah pusaka. Terlihat melalui kutipan berikut.

Dawis tidak punya hak apa-apa lagi terhadap harta pusaka. Tidak boleh lagi mengatur apa pun

juga yang bersangkut paut dengan hasil sawah ladang serta rumah gadang... (Hadi, 2000:122-

123)

Meskipun telah terjadi diskriminasi terhadap pengelolaan dan kepemilikan tanah pusaka, baik

oleh pihak laki-laki maupun oleh pihak perempuan, namun pihak yang menjadi korban masih

tetap berusaha mendapatkan hak mereka. Hanya saja sangat disayangkan, ternyata usaha mereka

tetap sia-sia dan tidak mendapat sokongan baik dari pihak anggota kaum apalagi dari pihak-pihak

luar. Akibatnya penindasan ini terus berlangsung tanpa ada yang dapat menghalangi. Seperti

terlihat pada kutipan di bawah ini.

...Bukan laki-laki saja yang berhak mengatur harta pusaka, tetapi juga harus menjadi hak

perempuan. Karena itulah Ciani berjuang untuk merebut hak itu dengan mengatur sendiri

penggunaan rumah gadang. Pembagian hasil sawah ladang. Tapi Dawis dan Orang-orang

Belanti lainnya, termasuk Bu Yuk sendiri, menentang perjuangan Ciani. Ciani malah menganggap

mereka menyalahi aturan adat. (Hadi, 2000:131)

Melalui kutipan tersebut ditemukan adanya sabotase kepemilikan hak ulayat terhadap

seseorang yang pelakunya adalah anggota kum itu sendiri. Dari peristiwa itu diketahui telah

terjadi perebutan kepemilikan. Seharusnya harta pusaka dimanfaatkan untuk kepentingan

bersama tanpa ada perebutan kekuasaan. Persoalan seperti ini juga sering terjadi dalam dunia

nyata. Siapa yang berkuasa dialah yang akan memonopoli.

Bentuk pengelolaan harta pusaka dalam budaya Minangkabau yang terdapat dalam

novel Negeri Perempuan karya Wisran Hadi

Bagi masyarakat Nagariko, tanah dipandang sebagai ssesuatu yang sangat penting. Bagi

mereka tanh merupakan suatu lambang bagi mereka yang bermartabat. Kaum yang tiddak

memiliki tanah dianggap sebagai orang yang tidak jelas asal usulnya. Tanah pusaka bagi

masyarakat Nagariko akan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi

berikutnya melalui garis keturunan ibu. Khusus tanah pusaka kerajaan Nagariko dikelola oleh

Bundo sebagai pewaris sah kerajaan. Sedangkan hasil dari tanah pusaka ini tidak dinikmati secara

individu tapi digunakan untuk kepentingan bersama dalam kaum itu sendiri. Terlihat dalam

kutipan berikut.

semua harta pusaka peniggalan nenek monyang kita, berada dalam tangan kami. Karena itu,

berkewajiban bagiku melayani semua keperluan anak cucu keturunan.” kata Bundo dengan

lembut. (Hadi, 2001:175)

Namun kepemilikan tanah pusaka ini sudah mulai tidak beraturan. Tanah pusaka yang menjadi

milik suatu kaum di Nagariko dapat berpindah tangan melalui pemalsuan silsilah. Pemalsuan

silsilah ini dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa kuat dalam pemerintahan. Kejadian ini

terjadi di daerah Nagariang dan Nagarikau. Sehingga orang-orang yang seharusnya menjadi

pewaris tanah pusaka tidak memiliki apa-apa. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini.

.... bisa jadi, tanah pusaka yang kini menjadi milik suatu kaum akan dapat dipindah kepada kaum

lain karena pemalsuan silsilah. Hal seperti itu pernah terjadi di Nagariang dan Nagarikau.

Karena yang memalsukan silsilah itu mempunyai kedudukan yang kuat dalam pemerintahan,

mereka menyalahgunakan kekuasaan untuk mencaplok tanah pusaka kaum lain berdasarkan

silsilah yang dipalsukan ... (Hadi, 2001:29)

Sementara di Nagariko, tanah pusaka milik Bundo juga terjadi penyerobotan secara paksa oleh

pihak pemerintah. Terlihat pada pengkablingan tanah di samping Puri Alam tampa izin dari pihak

keluarga pewaris atau Bundo. Penyerobotan ini dilakukan oleh Barajoan sebagai pihak

pemerintah yang menyatakan diri sebagai anggota kaum atau pihak pewaris. Barajoan merasa

dirinya sudah menjadi pangulu, maka ia merasa memiliki kuasa dalam mengelola tanah pusaka

suatu kaum. Terlihat melalui kutipan berikut.

Masam penyampaikan kepada Bundo bahwa orang-orang sudah mulai mengukur tanah di

samping puri Alam sejak seminggu lalu. Bundo tercengang. Setahu Bundo, belum pernah ada

rencana mengelola tanah di situ. Setelah Masam menjelaskan secara lengkap apa yang dikerjakan

orang-orang itu mengukur tanah pusaka miliknya. Belum pernah hal seperti ini terjadi. Tapi kini,

ada orang-orang berpakaian seragam yang sudah seminggu mengukur tanahnya, tanpa memberi

tahu, tanpa izin. (Hadi, 2001: 30)

Dalam hal ini terlihatlah bahwa sikap barajoan yang semena-mena menggunakan

kekuasaannya sebagai kepala daerah dan penghulu untuk mengelola tanah pusaka milik Bundo.

Barajoan bertindak sekehendak hati tanpa ada musyawarah dengan pihak keluarga pewaris.

Meskipun orang-orang Nagariko berasal dari nenek monyang yang sama tapi dalam sistem

kepemilikan tanah pusaka tidak semua kaum dapat memiliki tanah pusaka. Orang-orang Nagariko

memiliki hak tersendiri dalam sistem pemilikan tanah pusaka. Seperti yang digambarkan melalui

kutipan berikut.

semua keturunan raja-raja itu adalah saudara kita. Karena nenek monyang mereka juga nenek

monyang kita. Dalam status keturunan kita sama dengan mereka. Tapi dalam hal warisan kita

punyak hak tersendiri baik menurut adat apalagi turunan darah, “Bundo menegaskan. (Hadi,

2001:31)

Pada hakikatnya penggunaan tanah pusaka adalah untuk kepentingan bersama, tetapi tidak

dapat digunakan bergitu saja tanpa ada kesepakatan melalui musyawarah dari anggota kaum itu

sendiri. Hal itulah yang terjadi dalam keluarga Bundo. Barajoan sebagai kepala daerah tidak

memahami bagaimana seluk-beluk dalam pengelolaan tanah pusaka tersebut. Dengan kekuasaan

yang dimiliki Barajoan memperlakukan tanah pusaka suatu kaum dengan semena-mena. Seperti

terlihat pada kutipan di bawah ini.

....Barajoan yang memerintahkan pekerja itu, bagaimana mungkin mereka melakukan

penyerobotan? Sejak kapan ada peraturannya untuk melakukan serobotan terhadap hak milik

seseorang, terhadap tanah pusaka mereka suatu kaum yang sah”.... (Hadi, 2001:138)

Namun Barajoan tetap ingin memperlakukan tanah pusaka Bundo sekehendak hatinya dengan

alasan untuk pembangunan dan keperluan bersama. Dalam hal ini Barajoan sebagai kepala daerah

tidak memahami hakikat penggunaan dan pengelolaan tanah pusaka dan batas-batas wewenang

dalam pengelolaan tanah pusaka. Seperti pada kutipan berikut.

Apa salahnya mereka merelakan pemakaian tanah itu untuk kepentingan pembangunan. Tanah

ini tidak akan dibawa mati. Lalu saya katakan padanya bahwa semua itu benar tapi kan ada

tatacaranya. Musyawarah. Bukan serobot-serobotan. Dia jadi semakin marah,” kata engku

gemetar menahan diri. ... (Hadi, 2001:144)

Dari paparan di atas terlihat bahwa pengelolaan tanah pusaka di Nagariko bagi anggota kaum

berjalan sebagaimana mestinya terutama pada keluarga pewaris. Tapi dalam hal kepemilikan,

tidak semua kaum mampu mempertahankan tanah pusaka mereka dari penyerobotan pihak

pemerintah dan orang-orang beruang yang memiliki kekuasaan dengan dalih untuk

pembangunan. Hal ini tidak sesuai dengan peraturan pemerintah tentang Hak Tanah Ulayat dan

UU No. 5 tahun 1967 yang diperbaharui dengan UU No.41 tahun 1999 pasal 5 ayat 4 yang

berbunyi “Apabila dalam perkembangan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada

lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali ke pemerintah”. Dengan dasar ini, sebenarnya hak

ulayat belum bisa dialih fungsikan untuk kepentingan umum oleh pemerintah karena masih ada

anggota kaum yang berhak mewarisinya.

Khusus keluarga Bundo mereka mampu mempertahankan tanah pusaka mereka dari serobotan

pihak pemerintahan. Dengan demikian bagi suatu kaum yang tidak bisa mempertahankan tanah

pusaka, maka tanah pusaka mereka akan habis. Sedangkan bagi kaum yang mampu

mempertahankan tanah pusaka, maka mereka akan tetap bisa mewariskannya kepada anak

kemenakan sebagaimana aturan dalam adat istiadat Minangkabau.

Simpulan

Pengelolaan tanah pusaka masyarakat Minangkabau dalam novel Orang-Orang Blanti pada

dasarnya sudah merujuk pada aturan yang sebagaimana yang berlaku dalam aturan budaya

masyarakat Minangkabau yang seharusnya yakni berlandaskan Adat-istiadat. Namun, dalam

novel Wisran Hadi ini juga memotret beberapa penyalahgunaan dalam memanfaatkan tanah

pusaka oleh kaum laki-laki dan pihak pemerintahan dengan alasan “demi kepentingan bersama”.

Gambaran pemanfaatan pengelolaan dan pemanfaatan harta pusaka yang digambarkan Hadi

memang terkait erat dengan realita yang ada saat ini (Febriasi, 2015). Dimana, kaum perempuan

Minangkabau tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam kepemilikan harta pusaka, bahkan mereka

dapat saja terusir dari rumah dan tanahnya sendiri. Kaum laki-laki belakangan ini lebih berkuasa

dalam mengelola harta pusaka seperti menjual dan menggadaikannya demi kepentingan pribadi

atau di luar ketentuan yang ditetapkan adat.

Dalam tatanan adat Minangkabau, tanah pusaka seharusnya tidak dapat diperjualbelikan.

Tanah pusaka (atau pusako tinggi) hanya boleh digadaikan apabila; 1) maik tabujua tangah rumah

(ada yang meninggal), 2) gadih gadang indak balaki, (janda yang harus dinikahkan), 3) rumah

gadang katirisan, (rumah gadang rusak dan harus direhabilitasi), dan 4) mambangkik batang

tarandam (menaikkan harkat dan martabat keluarga /batagak pangulu) (Abdurrahman, 1994).

Namun dalam novel ini, digambarkan pengarang bahwa tanah pusaka sudah ada yang berpindah

tangan dengan jalan dijual atau dengan perampasan hak oleh pendatang yang pada mulanya

dijadikan keluarga oleh suatu kaum.

Lain halnya dengan novel Negeri Perempuan, digambarkan bahwa pengelolaan tanah pusaka

berjalan sebagaimana mestinya. Tokoh Bundo sebagai salah satu pewaris dapat mengelola tanah

pusaka tanpa memonopoli hak anggota kaum yang lain, serta memanfaatkan hasilnya untuk

kepentingan bersama. Begitu juga dengan pihak laki-laki yang memiliki kekuasaan dalam

pengaturan tanah pusaka, mereka tidak berbuat semena-mena. Namun di Nagariko, perampasan

hak tanah pusaka dilakukan oleh pihak pemerintahan pada masyarakat yang lemah dengan

mengancam bagi mereka yang tidak mau.

Secara realitas yang ada dalam masyarakat, bahwa pemanfaatan harta pusaka ini dapat

dipertahankan sebagaimana harusnya, mustilah anggota dalam kaum memiliki kesapakatan kuat

untuk mempertahankannya. Perampasan hak tanah ulayat suatu kaum yang dilakukan oleh pihak

pemerintah seperti digambarkan pengarang dalam novel, tidaklah terjadi dalam keadaan nyata.

Tetapi dilakukan oleh salah satu anggota kaum yang ingin mengusai dengan mengatasnamakan

pemerintah sebagai alasan untuk mengibuli anggota kaum yang lain. Dengan demikian, dapat

disimpulkan secara keseluruhan bahwa novel-novel yang ditulis oleh Wisran Hadi berpijak pada

realita yang sedang berkembang dalam masyarakat Minangkabau saat ini.

Referensi

Abdurrahman. (1994). Konsep tentang tanah ulayat dan hak-hak atas tanah lainnya menurut

hukum Indonesia. Jakarta: Akademika.

Ali, L. (1994). Unsur adat Minangkabau dalam sastra Indonesia, 1922-1956. Jakarta: Balai

Pustaka.

Asnan, G. (2003). Kamus sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan

Minangkabau.

Azwar, W., Yunus, Y., Muliono, M., & Permatasari, Y. (2018). Nagari Minangkabau. Jurnal

Bina Praja: Journal of Home Affairs Governance, 10(2), 231-239.

Esten, M. (1993). Modernisasi budaya. Bandung: Angkasa.

Febriasi, K. (2015). Perkembangan Syarat Menggadai Tanah Harta Pusaka Tinggi Dalam

Masyarakat Adat Minangkabau Di Kabupaten Agam Nagari Kamang Mudiak. Premise Law

Journal, 4, 14044.

Hadi, W. (2000). Orang-orang Belanti. Padang: Citra Budaya.

___________. (2001). Negeri perempuan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hadler, J., (2010). Sengketa tiada putus: Matriakat, reformisme agama, dan kolonialisme agama

di Minangkabau (terj. Samsudin Berlian). Jakarta: Freedom Institute.

Muhardi & Hasanuddin WS. (1996). Prosedur analisis fiksi. Padang: IKIP Padang Press.

Navis, A. A. (1984). Alam terkembang jadi guru. Jakarta: Grafiti Press.

Sekretariat Negara. (1999). Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang: Kehutanan. Jakarta.

Stark, A. (2013). The matrilineal system of the Minangkabau and its persistence throughout

history: a structural perspective. Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal, 1-13.

Teeuw. A. (1980). Sastra Baru Indonesia I. Ende Flores: Nusa Indah.

von Benda‐Beckmann, F. (1982). ‘Ayam gadang toh Batalua? Changing values in Minangkabau

property and inheritance law and their relation to structural change. Indonesia circle, 10(27),

26-38.

von Benda-Beckmann, F., & von Benda-Beckmann, K. (1994). Property, politics, and conflict:

Ambon and Minangkabau compared. Law and Society Review, 589-607.