Kenapa di sebut tugu pena

OLEH AMRULLAH BUSTAMAM, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, melaporkan dari Banda Aceh

Ting...ting...ting... Mesra, Mesra, Mesra. Kira-kira beginilah suara para kernet Robur, Damri, dan labi-labi dengan lantangnya saat hendak melewati Simpang Mesra dan disahut romantis “Mesra Bang, Mesraaa” oleh para penumpang yang hendak turun di Simpang Mesra Kota Banda Aceh saat itu.

Dari era ‘80-an dalam ingatan saya, warga Gampong Rukoh dan sekitarnya saat itu masih menyebut Simpang Mesra ini dengan sebutan Simpang Lhee (Simpang Tiga) dan Simpang Meulagu. Istilah Simpang Lhee dan Simpang Meulagu masih sering disebut sebelum dibangunnya Tugu Tentara Pelajar Aceh (TPA) yang diresmikan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud pada tahun 1998.  Sebelum adanya tugu “pena raksasa” atas prakarsa Pak Amran Zamzami itu simpang ini masih berupa pertigaan biasa. Ke arah utara merupakan jalur menuju Jalan Laksamana Malahayati, ke selatan jalur menuju ke Kopelma Darussalam, dan ke arah barat jalur menuju pusat Kota Banda Aceh.

Simpang Mesra menjadi menarik untuk dikenang karena ada 1.001 satu kesan dalam hati para pelajar, mahasiswa, dan setiap warga khususnya dari Aceh Besar dan Banda Aceh yang selalu melintasi simpang ini setiap harinya. Bagaimana tidak, ketika moda transportasi umum berupa bus Robur, Damri, dan labi-labi melintasi simpang ini, secara otomatis sopir selalu melajukan kendaraannya lebih kencang. Alhasil, penumpang di dalam Robur, Damri, dan labi-labi jadi berdesakan, berimpit-impitan, berdorong-dorongan, bersenggol-senggolan, dan serunya bukan kepalang.

Ada penumpang yang sudah mempersiapkan diri untuk momen berdesak-desakan tersebut, tapi ada juga yang pasrah dengan keadaan yang terjadi setiap harinya jika naik kendaran umum seperti ini. Perihal wangi-wangian yang semerbak di pagi hari, aroma asam keringat di siang hari, dan bau solar dari Robur dan Damri sudah menjadi keseharian setiap orang yang menaiki kendaraan umum di Banda Aceh saat itu dan mungkin hingga kini.

“Wow” adalah kata yang mungkin bisa kita katakan hari ini saat mengingat kenangan di jalur Simpang Mesra ini. Seperti kita ketahui bahwa Robur dan Damri tidak lagi aktif akibat tsunami tahun 2004. Apalagi sudah ada bus baru yang menggantikan peran mereka, yakni Trans-Koetaradja.

Secara letak geografi, Simpang Mesra berada di Jalan Teuku Nyak Arief  Kota Banda Aceh dan menjadi pembatas antara Perumnas Gampong Jeulingke dan Gampong Lamgugop, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Era ‘90 sampai sudah 2000-an, di kawasan Simpang Mesra ini  banyak didapati tempat kuliner bagi warga yang mau bersantai bersama keluarga dan koleganya. Bahkan, bagi mahasiswa yang mau merayakan acara wisudanya, ulang tahun, bahkan untuk bersantai dengan kawan ataupun pasangannya, mereka sering memilih kafe di sekitaran Simpang Mesra, yaitu Mesra Utama Cafe dan Mbak Moel Cafe.

Di kafe ini saya dan kawan-kawan saat masih kuliah juga sering mengadakan acara buka puasa bersama. Tempatnya nyaman, santai, dan banyak menu pilihannya. Tapi sayang, kafe ini sekarang sudah tutup.

Di sekitar Simpang Mesra ini juga terdapat beberapa tempat lain yang terkenal seperti Wisma Pojok, Akademi Manajemen Ilmu Komputer Indonesia (AMIKI), dan Kantor Pos Jeulingke.

Tidak dapat dipungkiri, banyak kesan tentang Simpang Mesra yang bisa membuat kita senyum-senyum sendiri saat mengenangnya. Namun, berbeda kesan untuk Simpang Mesra yang dirasakan sekarang oleh para pedagang kuliner yang pernah berdagang di sekitaran Simpang Mesra ini. Mereka menganggap “Simpang Mesra tak lagi mesra”. Bagaimana tidak, akhir tahun 2020 lalu pihak Pemerintah Aceh mendelegasikan mandat kepada Wali Kota Banda Aceh untuk menggusur seluruh lapak kuliner yang dibangun oleh Pemerintah Kota Banda Aceh di Simpang Mesra hingga ke Lamnyong. Secara keberadaannya, para perdagang mengaku tak bersalah karena selalu membayar sewa lahan kepada Pemko melalui Dinas Pariwisata Banda Aceh, Mereka juga selalu membayar restribusi pajak makanan, sampah, dan lain-lain.

Dari sisi aturan hukum lainnya pedagang mengaku salah telah memakai lahan pemerintah, tetapi mereka juga mempertanyakan kenapa pihak Pemko Banda Aceh menyewakan lahan tersebut kepada pedagang kuliner. Kekecewaan pedagang ini direspons dingin oleh pihak pemko dengan menawarkan lokasi ke lainnya. (beritakini.co).

Menurut berita lainnya, penggusuran ini merupakan imbas dari dikeluarkannya surat oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera I dalam melakukan penataan bantaran Sungai Krueng Aceh wilayah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh. Dan, lokasi Simpang Mesra menjadi salah satu lokasi yang harus dibebaskan dari beragam bangunan di atasnya, terlebih yang permanen.

Sejauh yang saya amati, sampai saat ini belum ada kebijakan yang pasti kapan lokasi Simpang Mesra ini akan ditetapkan kembali sebagai lokasi Wisata Kuliner di Kota Banda Aceh. Secara geografis, lokasi Simpang Mesra sangat strategis untuk dijadikan kembali sebagai lokasi wisata kuliner keluarga. Walaupun dalam sebuah dokumen saya baca bahwa lokasi Simpang Mesra sudah ditetapkan sebagai Zona Taman dan Rekreasi Keluarga (Zona-2) biasa oleh pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera I. Toh, pada dasarnya jika yang dipersoalkan adalah jenis bangunannya yang dapat menganggu proses penyerapan air di bantaran sungai, menurut saya, Pemko Banda Aceh dapat membuat model bangunan-bangunan yang ramah lingkungan yang dapat meminimalisasi persoalan tersebut. Saya berasumsi, dengan kembalinya wisata kuliner di Simpang Mesra nantinya dapat mengembalikan citra dan menciptakan kenangan baru bagi generasi muda Aceh tentang Simpang Mesra yang selalu mesra menerima kehadiran mereka di Negeri Pelajar Pejuang Darussalam dan agar Simpang Mesra tidak tinggal kenangan.

Sumber: Serambi Indonesia

Tags:

SERAMBIWIKI.COM, BANDA ACEH - Simpang Mesra, begitulah orang-orang menyebut nama sebuah persimpangan di ujung utara Banda Aceh.

Ketiga jalur di persimpangan ini menuju ke titik-titik yang sangat strategis, yaitu Kota Banda Aceh, Kampus Darussalam, dan Pelabuhan Malahayati Aceh Besar.

Seperti halnya di persimpangan strategis lainnya, di pertigaan ini juga dibangun satu tugu dan bundaran yang mengelilingi tugu. 

Pulpen raksasa dengan mata pena berujung tajam menjulang gagah di puncak tugu. 

Tugu itu melambangkan ini adalah kotanya para pelajar dan pejuang.

Maka tugu itu diberinama Tugu Tentara Pelajar.

Namun anehnya, keberadaan tugu itu tidak berpengaruh kepada nama persimpangan di bawahnya. 

Hampir tidak ada orang yang menyebutnya simpang tentara pelajar atau simpang pulpen atau simpang Darussalam.

Hampir semua orang di Banda Aceh dan sebagian Aceh Besar menyebutnya Simpang Mesra.

Padahal hampir tidak ada sesuatu yang mesra di kawasan tersebut.

Kenapa demikian?

Berdasarkan penuturan sejumlah kalangan, nama simpang mesra mulai disematkan pada tahun 80-an.

• Perbedaan Tari Saman dan Ratoh Jaroe

Tugu simpang Mesra (Serambinews.com/Hendri)

Hal ini berkaitan erat dengan pengalaman harian yang dialami oleh para mahasiswa yang menumpangi kendaraan.

Setiapkali melewati persimpangan ini, penumpang kendaraan harus bersandar atau berpegangan erat pada benda atau orang di samping maupun di depannya.

Hal ini terjadi karena putarannya yang melengkung.

Sebutan Simpang Mesra dipopulerkan oleh para mahasiswa yang menumpang Robur, angkutan kota berbadan besar yang melayani rute Kota (Banda Aceh) - Kampus Darussalam.

• Ini Dia Yusri Saleh, The King of Ratoh Jaroe

Bus produksi Jerman ini memang sangat terkenal pada masa itu, karena menjadi satu-satunya angkutan massal bagi para mahasiswa.

Setiap kali bus berbadan lebar, besar, dan panjang ini melewati bundaran Simpang Mesra, para penumpang yang duduk maupun berdiri di dalam robur akan mengikuti arah badan mobil.

Mau tidak mau, penumpang akan saling berdempetan antara sesama.

Sehingga banyak yang kemudian menyebutnya sebagai Simpang Mesra.

Nama Simpang Mesra semakin melekat, karena kondektur (kernet) bus ini selalu menyebut "mesra... mesra" sambil memukul duit ke besi pegangan di dalam bus, setiap kali tiba di kawasan tersebut.

"Sorak sorai riuh mahasiswa mengikuti irama kemudi supir robur yang terkadang usil dan sengaja berbelok lebih tajam, agar para penumpang di dalam lebih rapat, sehingga saling bersenggolan," tulis akun Twitter Dishub Aceh dalam sebuah postingannya tentang Simpang Mesra dan kenangan tentang Robur.

• Sejarah UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Bermula dari IAIN Ketiga di Indonesia

• Mengenal Universitas Syiah Kuala Atau Unsyiah, Kampus Tertua di Aceh

Nama Selain Mesra

Tugu ini sebenarnya bernama tuga atau Tentara Pelajar.

Tugu ini dibangun untuk mengingatkan generasi muda akan sepak terjang para pelajar Aceh dalam masa perjuangan melawan penjajah dulunya.

Makanya di puncak tugu, dibuat lambang sebuah pena, sebagai pesan agar generasi muda terus bergiat menambah ilmu.

Dikutip dari buku Banda Aceh Heritage, Tentara Pelajar Aceh (TPA) bermula dari kreativitas murid-murid sekolah menengah Koetaradja yang pada Mei 1946 membentuk Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Aceh.

Tugu yang memiliki ketinggian 17 meter dengan diameter bawah 45 meter mengandung nilai-nilai filosofis, idealisme, heroisme, loyalitas, serta semangat persatuan dan kesatuan dari para pejuang pelajar.

Dibangun atas prakarsa eks Tentara Pelajar Aceh di bawah pimpinan Amran Zamzami dengan arsiteknya Kamal Arif.

Tugu diresmikan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud pada 1998.

Berdasarkan letaknya tugu tersebut tepat di tengah jalan Teuku Nyak Arif, tidak jauh dari Darussalam atau kota pelajar.

Tugu yang dibangun di tengah bundaran itu terdapat seperti ujung pena yang mengarah ke langit, di bawahnya terdapat efek api, bukan api asli, tapi hanya berbentuk ilustrasi yang menggambarkan api yang bergejolak.

Memang tugu tersebut terlihat begitu sederhana, namun pembangunan tugu dengan bentuk sedemikian rupa, untuk menggambarkan bagaimana semangat pemuda Aceh tempo dulu sangat tinggi dalam menuntut ilmu meskipun dalam situasi menghadapi penjajah Belanda.

Pesan tentara pelajar tertulis di dasar tugu, “Belajar Sambil Berjuang, Dan Berjuang Sambil Belajar “. (Serambi/Hendri)

Sumber: Serambi Indonesia