Kematian yang masih bisa ditangani dengan melakukan RJP adalah

“CPR atau Cardiopulmonary Resuscitation merupakan prosedur pertolongan pertama yang sangat penting, untuk menyelamatkan pasien henti jantung. Prosedurnya terdiri dari kompresi dada, membuka jalur napas, dan memberi napas buatan.”

Halodoc, Jakarta – Jantung punya fungsi yang sangat vital, yaitu memompa darah ke seluruh organ tubuh. Jika jantung berhenti berdetak, aliran darah ke seluruh tubuh juga terhenti. Kondisi ini disebut dengan henti jantung atau cardiac arrest. 

Pertolongan pertama yang bisa diberikan pada pasien henti jantung adalah CPR atau Cardiopulmonary Resuscitation. Bila dilakukan dengan baik, prosedur CPR bisa menurunkan risiko kematian akibat henti jantung. Berikut ini pembahasannya.

Baca juga: Ini 5 Fakta Henti Jantung yang Perlu Diketahui

Begini Prosedur CPR sebagai Pertolongan Pertama Henti Jantung

Henti jantung terjadi ketika ada gangguan listrik pada jantung, sehingga proses memompa darah terhenti. Kondisi ini bisa menyebabkan kerusakan otak permanen, bahkan kematian. 

Itulah sebabnya henti jantung perlu segera ditangani. Pertolongan pertama yang bisa diberikan segera adalah CPR. Prosedur yang dikenal juga dengan sebutan resusitasi jantung paru ini dapat mengembalikan kemampuan bernapas dan sirkulasi darah yang terhenti akibat henti jantung. 

Jadi, dapat dikatakan bahwa prosedur CPR perlu dilakukan secara cepat dan tepat, sebagai pertolongan pertama untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Selain karena henti jantung, CPR juga bisa dilakukan sebagai pertolongan pertama untuk serangan jantung, kecelakaan, atau tenggelam. 

Sebelum melakukan CPR, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

  • Pastikan lokasi aman untuk memberi pertolongan. Misalnya, jika pasien ditemukan di tengah jalan, pindahkan ke trotoar atau pinggir jalan yang aman. 
  • Periksa tingkat kesadaran pasien henti jantung, dengan cara memanggil atau menepuk-nepuk bahunya. Bila tidak ada respons, periksa apakah pasien masih bernapas.
  • Selanjutnya, periksa denyut nadi di pergelangan tangan atau sisi leher pasien, untuk mengetahui apakah jantung masih berdetak. 
  • Bila tidak ada respons, segera panggil ambulans, atau minta tolong pada orang di sekitar. 

Baca juga: Hati-Hati, Ini Gejala Penyakit Jantung yang Mesti Diwaspadai

Setelah memerhatikan hal-hal tersebut, langkah selanjutnya adalah melakukan prosedur CPR. Secara umum, prosedur CPR terbagi menjadi 3 tahapan, yaitu compression, airways, dan breathing. Berikut ini langkah-langkahnya:

  1. Kompresi Dada (Compression)

Untuk melakukan kompresi dada, pertama-tama, letakkan salah satu telapak tangan di bagian tengah dada pasien, dan tangan yang satunya di atasnya. Lalu, tekan dada pasien henti jantung sebanyak 100-120 kali per menit.

Kecepatan tekanan adalah 1-2 tekanan per detik. Lakukan kompresi dada ini hingga pertolongan medis tiba, atau hingga pasien menunjukkan respons. 

  1. Membuka Jalur Napas (Airways)

Jika pasien henti jantung tidak kunjung menunjukkan respons, langkah selanjutnya adalah airways atau membuka jalur napas. Caranya, dongakkan kepala pasien dengan meletakkan tangan di dahinya, lalu angkat dagu pasien secara perlahan. 

  1. Bantuan Napas (Breathing)

Setelah dua langkah tadi, pasien belum menunjukkan tanda-tanda pernapasan? Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan adalah memberi bantuan napas dari mulut. 

Caranya, jepit hidung pasien henti jantung, lalu posisikan mulut kamu di mulutnya. Berikan napas dengan cara meniupkan udara dari mulut sebanyak dua kali. Lakukan ini sambil memerhatikan apakah dada pasien mengembang dan mengempis seperti sedang bernapas. 

Bila dada pasien tidak mengembang dan mengempis, berarti pemberian napas buatan belum benar. Cobalah perbaiki posisi leher pasien, atau periksa apakah ada sumbatan di jalan napasnya. 

Setelah itu, lakukan lagi kompresi dada sebanyak 30 kali, lalu selingi dengan 2 kali pemberian napas buatan. Lakukan siklus ini hingga bantuan medis atau ambulans datang, atau hingga pasien mulai bernapas dan bergerak. 

Penting untuk dipahami bahwa jika kamu belum terlatih atau belum menguasai prosedur CPR, sebaiknya lakukan kompresi dada saja (hands only CPR). Jangan memberikan napas buatan. 

Baca juga: Pola Makan Sehat Bagi Pengidap Jantung Koroner

Itulah pembahasan mengenai prosedur CPR sebagai pertolongan pertama untuk henti jantung. Prosedur ini sangat penting untuk dilakukan sesegera mungkin untuk meningkatkan peluang pasien untuk bertahan hidup. 

Jadi, penting untuk mempelajari prosedur ini, agar kamu bisa menyelamatkan nyawa orang terdekat yang mengalami henti jantung atau kondisi gawat darurat lainnya. 

Kondisi gawat darurat bisa terjadi kapan saja. Penting untuk selalu sedia peralatan P3K kapan saja. Bila kamu butuh beli peralatan P3K, misalnya perban untuk luka, kamu bisa download dan gunakan aplikasi Halodoc.

Kematian yang masih bisa ditangani dengan melakukan RJP adalah
Referensi:
Healthline. Diakses pada 2021. Cardiac Arrest.
WebMD. Diakses pada 2021. Sudden Cardiac Arrest: Why It Happens.
American Heart Association. Diakses pada 2021. What is CPR?
American Red Cross Training Services. Diakses pada 2021. CPR Steps.

BLS berdasarkan guideline American Heart Association (AHA) tahun 2020, terdiri atas 3 komponen, yaitu kompresi dada (circulation), jalan napas (airway), dan pernapasan (breathing) atau disingkat menjadi C-A-B.[2,3]

Sedangkan pada bantuan hidup tingkat lanjut (advanced cardiac life support), resusitasi jantung paru dilakukan menggunakan bantuan obat-obatan.[2,3]

Persiapan Pasien

RJP dilakukan segera dan tidak membutuhkan persiapan khusus, termasuk obat anestesi. Hal yang penting saat persiapan adalah memastikan bahwa lingkungan aman untuk melakukan RJP, tidak hanya untuk pasien tapi juga bagi penolong.[2-4]

Setelah memastikan lingkungan aman, penolong harus memastikan henti jantung pasien dengan pemeriksaan kesadaran, nadi, dan napas spontan.[2-4]

Pemeriksaan Kesadaran

Pemeriksaan kesadaran dapat menggunakan metode AVPU (alert, voice responsive,  pain responsive, unresponsive). Pasien dikatakan alert apabila sadar penuh, jika tidak ada respon, berikan respon suara (voice), lalu beri rangsang nyeri (pain). Jika tidak ada respon sama sekali pasien dikategorikan sebagai unresponsive.[2-4]

Pemeriksaan Nadi

Pemeriksaan nadi dengan cepat dilakukan dengan meraba denyut arteri karotis atau arteri radialis. Penolong tidak boleh memeriksa denyut nadi >10 detik. Jika nadi tidak terasa dalam waktu tersebut, penyelamat harus memulai kompresi dada.[2,4]

Pemeriksaan Pernapasan

Pemeriksaan frekuensi dan pola pernapasan dilakukan dengan metode look-listen-feel. Metode ini dilakukan dengan melihat gerakan dada pasien, sambil mendekatkan telinga penolong ke hidung dan mulut pasien untuk mendengar dan merasakan hembusan udara dari sistem pernapasan.[2,4]

Aktifkan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat

Saat menemukan orang dengan tanda henti jantung, yaitu tidak berespon, tidak teraba denyut nadi, dan tidak bernapas atau pola pernapasan abnormal, maka penolong harus segera memanggil bantuan untuk mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT).[1,2-4]

Peralatan

RJP dapat dilakukan tanpa peralatan khusus. Jika ada, peralatan yang diperlukan adalah alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan dan masker. Namun, RJP tetap harus dilakukan segera walaupun APD tidak ada. Belum ditemukan hubungan yang signifikan mengenai penularan penyakit melalui RJP.[1,2]

Alat tambahan yang dibutuhkan yaitu monitor elektronik yang dapat memberikan umpan balik terkait kompresi yang sedang dilakukan, dan defibrillator untuk memberikan kejut listrik ke jantung pasien. Jika tersedia, dapat digunakan alat kompresi dada mekanik. Pada sebuah studi meta analisis, ditemukan bahwa alat kompresi dada mekanik lebih superior dalam mengembalikan sirkulasi spontan daripada kompresi manual.[1,2]

Posisi Pasien

Posisi pasien terbaik untuk RJP adalah terlentang (supinasi) pada permukaan yang keras, sehingga kompresi jantung di area sternum menjadi efektif. Posisi penolong yang melakukan kompresi dada harus lebih tinggi daripada pasien, untuk mencapai regangan lengan yang cukup sehingga dapat menggunakan berat badannya untuk mengkompresi dada. Jika terdapat 2 orang, penolong yang lain berada di sebelah kepala pasien untuk melakukan bantuan napas.[1,2]

Di rumah sakit, posisi yang sesuai dapat diperoleh dengan menurunkan tempat tidur pasien atau petugas kesehatan menggunakan tangga kecil. Sedangkan di luar rumah sakit, posisi pasien berbaring di lantai dan penolong berlutut di samping pasien.[1,2]

Prosedur Bantuan Hidup Dasar

Prosedur standar RJP berdasarkan pedoman AHA tahun 2020, terdiri dari kompresi dada (circulation), jalan napas (airway), dan pernapasan (breathing), yang disingkat menjadi C-A-B. RJP harus segera dilakukan dalam waktu <2 menit sejak pasien henti jantung. Angka survival berkurang 10‒15% setiap menitnya jika pasien tidak segera ditolong dengan resusitasi jantung paru.[1-3]

RJP pada neonatus dan RJP pada bayi dan anak memiliki prosedur yang berbeda dengan pasien dewasa.[5,6]

Prosedur Circulation / Kompresi Dada

Penolong meletakkan tumit salah satu tangan di atas sternum pasien, sementara tangan lainnya di atas tangan pertama dengan jari-jari yang bertautan. Siku diekstensikan dan badan seperti dijatuhkan ke pasien.[2-5]

Syarat kompresi dada yang baik adalah:

  • Kompresi diulang sebanyak 30 kali, dengan kecepatan 100‒120 kali/menit
  • Kompresi dilakukan dengan cepat dan kuat, dengan kedalaman minimal 5 cm dan maksimal 6 cm
  • Pastikan dada recoilsempurna, yaitu kembali ke posisi awal sebelum ditekan kembali
  • Rasio kompresi:ventilasi dengan 1 orang penolong adalah 30:2, sedangkan dengan 2 penolong adalah 15:2
  • Satu kali rasio kompresi:ventilasi disebut 1 siklus RJP. Untuk mencegah penurunan kualitas kompresi dada akibat kelelahan, penolong diganti setiap 5 kali siklus
  • Kompresi diizinkan untuk berhenti sementara (<10 detik), yaitu saat pemberian 2 kali ventilasi
  • Fase jeda kompresi dada sebelum dan sesudah dilakukan shockharus seminimal mungkin[2-5]

Pada resusitasi jantung paru yang dilakukan tanpa ventilasi (hanya kompresi dada), kompresi dilakukan terus-menerus sampai petugas kesehatan profesional datang.  Penggunaan alat kompresi dada mekanik hanya dianjurkan jika tidak ada petugas kesehatan yang bisa melakukan kompresi dada dengan baik.[1-4]

Prosedur Airway / Jalan Napas

Penolong mengamankan jalan napas dengan manuver head-tilt dan chin-lift. Selain itu, pastikan tidak ada sumbatan jalan napas dengan melihat apakah terdapat benda asing yang menyumbat. Penggunaan oropharyngeal airway atau selang intubasi dapat membantu mengamankan jalan napas.[2,3]

Prosedur Breathing / Pernapasan

Saat ini, pemberian napas buatan mulut ke mulut pada pasien dewasa sudah tidak dianjurkan. Pemberian ventilasi dilakukan menggunakan bag-valve-mask (BVM), jika tidak ada maka penolong cukup melakukan kompresi dada saja.[2,3]

Prosedur bantuan napas yang baik adalah:

  • Pastikan tidak ada celah antara masker BVM dengan wajah pasien
  • Bagdiremas dengan satu tangan selama +1 detik, untuk memasukkan sekitar 500 mL udara ke paru-paru pasien

  • Ventilasi dilakukan tidak lebih dari 8‒10 napas/menit, untuk mencegah pasien mengalami hiperventilasi
  • Rasio kompresi:ventilasi dengan 1 orang penolong adalah 30:2, sedangkan dengan 2 penolong adalah 15:2.
  • Pada pasien yang terintubasi, ventilasi diberikan kontinyu dengan kecepatan 1 kali setiap 6 detik, atau 10 kali/menit) selama kompresi dada dilakukan[1-4]

Follow Up Saat Resusitasi

Pemantauan saat tindakan RJP adalah memastikan kompresi dilakukan dengan baik, yaitu:

  • Kecepatan 100‒120 kali/menit
  • Kedalaman minimal 5 cm dan maksimal 6 cm
  • Pastikan dada recoilsempurna[2-5]

Banyak studi yang menyimpulkan bahwa survival rate akan lebih tinggi jika kompresi lebih banyak. Namun, kompresi yang terlalu cepat (>140 kali/menit) berhubungan dengan kedalaman kompresi yang tidak adekuat.[10]

Kedalaman kompresi yang adekuat akan meningkatkan tekanan intratorakal dan jantung, sehingga menghasilkan aliran darah ke jantung dan otak. Kompresi dada yang terlalu dalam berhubungan dengan cedera tulang dada yang tidak mengancam nyawa.[2,3]

Rekoil penuh diperlukan untuk menjamin aliran darah balik vena, tekanan perfusi koroner, dan aliran darah miokardium. Penolong sebaiknya tidak bertumpu di atas dada pasien di antara kompresi, agar rekoil dada tetap penuh.[2,3]

Follow Up Setelah Resusitasi

Pasien dengan sirkulasi spontan kembali  perlu mendapat perawatan khusus, agar tidak kembali mengalami henti jantung. Terlepas dari apapun penyebab henti jantung, kerusakan banyak organ dapat terjadi akibat hipoksemia, iskemi, dan reperfusi yang terjadi selama henti jantung dan resusitasi.[3,10]

Penanganan pasca RJP mencakup identifikasi dan tata laksana penyebab henti jantung, dikombinasikan dengan penilaian kerusakan organ untuk mengurangi dampak buruk.[3,10]

Ventilasi dan Oksigenasi

Pasien yang berhasil melewati fase henti jantung harus segera mendapat ventilasi dan oksigenasi yang cukup, yaitu:

  • Saturasi oksigen dipertahankan ≥94%
  • Kecepatan terapi oksigen awal 10−12 kali/menit
  • Kecepatan kemudian dititrasi hingga mencapai target PET CO235−45 mmHg
  • Hiperventilasi harus dihindari, karena dapat meningkatkan tekanan intratorakal yang berakibat menurunkan curah jantung

Terapi Cairan

Terapi cairan diberikan untuk menangani kondisi hipotensi. Terapi dengan cairan normal salin atau ringer laktat sebanyak 10‒20 mL/kgBB loading.[2]

Terapi Vasopresor

Jika tekanan darah tidak naik dengan terapi cairan, obat-obatan vasopresor dapat digunakan, seperti epinefrin, dopamin, atau norepinefrin. Dosis pemberian sebagai berikut:

  • Epinefrin: 0,1−0,5 µg/kgBB/menit
  • Dopamin: 5−10 µg/kgBB/menit
  • Norepinefrin: 0,1−0,5 µg/kgBB/menit [3,10]

Diberikan melalui infus intravena selama 4−6 jam, sampai akses vena sentral terpasang. Perlu diperhatikan bahwa infus vasopresor harus melalui jalur vena yang besar (fossa cubiti), tidak boleh melalui vena kecil seperti di punggung tangan.[3,10]

Targeted Temperature Management (TTM)

TTM adalah mencapai 32−36°C dalam waktu 24 jam. Kerusakan otak dan instabilitas kardiovaskular adalah faktor utama penentu survival setelah henti jantung. TTM adalah satu-satunya intervensi yang terbukti dapat membantu pemulihan fungsi neurologis akibat fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel.[3,10]

Mencari Penyebab Henti Jantung

Setelah RJP selesai, dokter harus mencari penyebab henti jantung agar bisa ditangani. Salah satunya adalah dengan melakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) 12 lead. Penyebab yang harus ditangani adalah: hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia, hiperkalemia, hipotermi, tension pneumothorax, tamponade jantung, keracunan, trombosis paru, dan trombosis koroner.[3,10]

Jika pasien dicurigai mengalami infark miokard, protokol lokal untuk tata laksana infark miokard harus dijalankan.[3,10]

Follow Up Sebelum Keluar Rumah Sakit

Penyintas henti jantung sebelum keluar dari rumah sakit, direkomendasikan untuk menjalani penilaian rehabilitasi multimodal, dan pengobatan gangguan fisik, neurologis, kardiopulmonal, dan kognitif. Pasien juga harus menerima perencanaan pemulangan yang komprehensif dan multidisiplin.

Lengkap dengan rekomendasi perawatan medis, rehabilitasi, dan rencana kembali dalam aktivitas kerja atau sosial. Oleh karena itu, kecemasan, depresi, stress pasca trauma, dan kelelahan pada penyintas henti jantung perlu dinilai secara terstruktur.[3,10]