Kapanlagi.com - Pernah dengar kata riba? terutama untuk yang beragam muslim pastinya sudah familiar ketika mendengar kata riba. Sebenarnya riba tidak hanya ada dalam ajaran islam saja, tapi agama lain seperti Kristen juga punya pembahasan terkait riba. Riba telah menjadi masalah serius jauh pada masa Yunani dan Romawi. Di masa itu riba menjadi pasang surut sesuai dengan keinginan penguasa pada masa itu. Riba adalah kelebihan yang tidak disertai dengan imbalan yang disyaratkan dalam jual beli. Secara umum, riba adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam. Jika peminjam tidak mampu melunasi riba pada waktu yang ditentukan, pihak pemberi pinjaman akan menambahkan kembali biaya hingga pembayaran bisa dilunasi. Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak kebingungan dalam menentukan batasan mana saja yang termasuk riba. Dengan kondisi bingung, tanpa bertanya atau berkonsultasi kepada yang mengerti, mirisnya sering kali masyarakat membenarkan praktek riba. Nah biar tidak terjadi hal demikian, kalian harus memahami pengertian, hukum, dan jenis-jenis riba agar tidak terjebak dalam dosa besar ini. Berikut jenis-jenis riba yang wajib kalian ketahui:
(credit: flicker) Jenis riba yang pertama adalah riba qardh yang masuk dalam riba hutang piutang. hutang piutang yang dimaksud terdapat motif keuntungan (syarth naf'an) yang kembali kepada pihak pemberi pinjaman hutang (muqarid) saja atau sekaligus kepada pihak yang berhutang (muqtarid). Contohnya seseorang meminjamkan uang Rp 100.000 lalu disyaratkan mengambil keuntungan ketika pengembalian. Keuntungan ini bisa berupa materi atau jasa. Ini termasuk riba dan hukumnya haram, karena yang namanya menghutangi adalah dalam rangka tolong menolong dan berbuat baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di, jika bentuk hutang yang di dalamnya terdapat keuntungan itu sama saja dengan menukar dirham dengan dirham atau rupiah dengan rupiah kemudian keuntungannya ditunda.
Riba fadhl yaitu pertukaran antara barang-barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang diperlukan termasuk dalam jenis barang ribawi. Misalnya menukar beras sebanyak 10 kg dengan beras sebanyak 12 kg adalah contoh riba fadhl. Tapi apabila barang yang ditukar dari jenis yang berbeda maka hukumnya dibolehkan, misalkan menukar beras ketan sebanyak 10 kg dengan beras biasa sebanyak 12 kg. Selain itu, tidak terjadi riba dalam dunia barter kecuali dengan enak benda ribawi. Dalam sebuah hadits hanya ada enam benda yang termasuk dalam benda ribawi, tapi ada perselisihan apakah riba hanya pada enam benda tersebut atau bisa dilebarkan ke benda yang lainnya.
(credit: flicker) Riba yad adalah jenis riba yang tukar menukar dengan cara mengakhirkan penerimaan kedua barang yang ditukarkan atau salah satunya tanpa menyebutkan masanya. Riba yad terjadi apabila saat transaksi tidak menegaskan berapa nominal harga pembayaran. Contohnya, misalkan ada penjual mobil yang menawarkan mobilnya seharga Rp 90.000.000 jika langsung bayar secara tunai, namun jika dicicil total menjadi Rp 95.000.000. kemudian penjual dan pembeli tidak menegaskan berapa yang harus dibayarkan hingga akhir transaksi.
Jenis-jenis riba yang terakhir adalah riba Nasi'ah yang berarti tambahan yang disyaratkan diambil atau diterima dari orang yang dihutangi sebagai kompensasi dari penundaan pelunasan. Ulama Hanafiah memasukan ke dalam kelompok riba nasi'ah suatu bentuk barter yang tidak ada kelebihan, akan tetapi penyerahan imbalan atau harga diakhirkan. Riba ini hukumnya haram berdasarkan Al-Quran dan hadis. Riba nasi'ah dikenal sebagai riba jahiliyah karena berasal dari kebiasaan orang jahiliah yang memberikan pinjaman kepada seseorang dan ketika jatuh tempo telah tiba akan menawarkan untuk diperpanjang sehingga membuat riba ini beranak atau berganda. Riba nasi'ah biasanya ada dalam praktek yang dilakukan lembaga-lembaga keuangan atau perbankan, dengan sistem pinjaman uang yang pengembaliannya diangsur dengan bunga bulanan atau tahunan sekitar 7-5%. Praktek seperti ini jelas disebut riba dalam jenis nasi'ah dan hukumnya haram. Riba merupakan transaksi haram dan termasuk dosa besar. Pelaku riba mendapatkan laknat dari Allah dan dijauhi dari rahmat-Nya. Riba itu aniaya atau zalim secara realitasnya, meskipun yang terzalimi merasa terbantu, bagaimanapun mengambil tambahan adalah zalim. Riba memang sukarela, jika tidak secara sukarela maka bukan riba melainkan perampasan. Apapun jenis ribanya, yang pasti hukumnya haram dan harus dijauhi. Selain itu, riba mendapat ancaman peperangan dari Allah dan Rasul-Nya. Hanya riba yang mendapat ancaman dari Allah dan Rasul-Nya sesuai dalam hadits Arba'in yang berbunyi "Barang siapa memusuhi wali-ku, maka Aku umumkan perang kepadanya..." Yuk Baca Lagi
Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Perbuatan riba merupakan dosa besar yang akan mendapat laknat Allah SWT dan Rasulullah SAW jika tidak segera ditinggalkan. Umat Islam mesti meninggalkan bermualah yang memiliki unsur riba. "Yang menghalalkan riba telah kafir dan yang melakukannya fasik, serta mendapat lima dosa sekaligus," kata Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA dalam bukunya. "Hukum Bermualamah Dengan Bank Konvensiona". Ustadz Ahmad mengatakan, secara garis besarnya riba ada dua macam, yaitu riba yang terkait dengan jual-beli yang disebut riba fadhl dan riba yang terkait dengan peminjaman uang disebut riba nasiah. "Inti riba nasi’ah adalah pinjaman uang yang harus ada tambahan dalam pengembaliannya," katanya. Nasi'ah berasal dari kata nasa'i yang artinya penangguhan. Ustadz Ahmad mencontohkan misalnya A memberi utang berupa uang kepada B, dengan ketentuan harus dengan tambahan prosentase bunganya. "Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian," katanya. Menurut Ustadz Ahmad untuk bisa dianggap sebagai riba nasi’ah secara benar dan akurat, setidaknya harus ada lima ketentuan yang terpenuhi. 1. Utang Tidaklah disebut riba nasi’ah kalau akadnya bukan utang-piutang. Misalnya A pinjam uang dari B, lalu B harus membayar lebih dari jumlah yang dia pinjam. "Namun kalau yang terjadi bukan pinjam melainkan titip uang, kasusnya sudah keluar dari riba," katanya. Ia mencontohkan, misalnya A titip uang 10 juta kepada B. Jelas sekali akadnya bukan utang melainkan titipan. Seandainya saat pengembaliannya B memberi tambahan kepada A menjadi 11 juta, kasus ini tidak bisa dihukumi sebagai riba. "Sebab riba itu hanya terjadi kalau kasusnya pinjam meminjam atau hutang," katanya. 2. Berupa uang Utang yang dimaksud di atas hanya sebatas pada utang dalam wujud uang, baik emas perak di masa lalu atau pun uang kertas di masa sekarang. Sederhananya harus berupa benda yang berfungsi sebagai alat pembayaran dalam jual-beli. Sedangkan utang dalam wujud benda-benda, barang atau aset-aset, misalnya rumah, kendaraan, tanah, dan lainnya, tidak berlaku riba meski saat pengembaliannya ada tambahan atau kelebihan yang harus dibayarkan. Sebab pinjam benda yang harus ada tambahannya masuk ke dalam akad sewa menyewa, atau disebut dengan ijarah. "Dan ijarah adalah akad yang dihalalkan dalam agama," katanya. 3. Tambahan menjadi syarat di awal Titik keharaman riba nasi’ah ini sebenarnya ada pada syarat yang disepakati di awal, di mana harus ada tambahan dalam pengembaliannya. Seandainya tambahan itu tidak disyaratkan di awal dan terjadi begitu saja, ini pun juga bukan termasuk riba yang diharamkan. Karena dasarnya adalah kasus yang terjadi pada Rasulullah SAW, ketika beliau meminjam seekor unta yang masih muda (kecil) dari seseorang. Giliran harus mengembalikan, ternyata Beliau tidak punya unta yang muda. "Maka diberikanlah unta yang lebih tua (besar)," tulis Ustadz Ahmad. Hadits ini, kata dia, menunjukkan bahwa seandainya kelebihan atau tambahan ini diberikan begitu saja, tidak lewat syarat atau kesepakatan sebelumnya, maka tidak menjadi riba. 4. Tambahan yang menjadi kebiasaan Namun meski tidak disyaratkan saat akad peminjaman, tetapi bila sudah jadi kebiasaan (’urf) yang berlaku, sehingga setiap pinjam selalu ada tambahan yang diberikan, maka ini termasuk riba yang diharamkan. Memang tidak disyaratkan, tetapi kalau sudah jadi kebiasaan, hukumnya menjadi tidak boleh. 5. Tidak dalam kasus inflasi Di masa sekarang kita mengenal ada inflasi yang ekstrem, sehingga membuat nilai mata uang anjlok. Misalnya pinjam uang senilai Rp 10 juta pada 1970. Kalau sampai 50 tahun kemudian belum dikembalikan, apakah pengembaliannya tetap 10 juta ataukah harus disesuaikan dengan nilainya di hari ini? Pada 1970 uang 10 juta bisa beli rumah lumayan besar. Tapi uang segitu di 2020 cuma cukup buat beli pintu gerbangnya saja. Maka hal ini membuat para ulama berbeda pendapat. "Ada yang keukeuh hanya boleh dibayar 10 juta saja," katanya. Akan tetapi ada juga yang lebih realistis dan membolehkan pengembaliannya disesuaikan dengan nilai yang setara di hari ini.
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ... |