Jelaskan latar waktu tempat dan sosial dalam novel Tarian Bumi

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

34 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

TARIAN BUMI

Karya : OKA RUSMINI

Jelaskan latar waktu tempat dan sosial dalam novel Tarian Bumi

Tarian Bumi, Kehidupan Perempuan di Tanah Bali

Judul               : Tarian BumiPenulis             : Oka RusminiPenerbit           : PT Gramedia Pustaka UtamaCetakan           : Cetakan pertama: Juli 2007                          Cetakan kedua: Juni 2013

Tebal               : 182 hlm

Novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini pertama kali diterbitkan pada tahun 2007 oleh penerbit Indonesiatera. Dalam novel ini, Oka Rusmini menyoroti masalah sosial dan adat istiadat di Bali yang digambarkan dengan spesifik  sehingga mampu memberikan pegetahuan baru bagi pembacanya tentang sisi lain pulau Bali yang tidak pernah muncul ke permukaan. Sebagaimana yang dimuat pada sampul belakang novel ini.

”Jika novelis Inggris, Graham Greene merasa menemukan India yang sebenarnya justru dalam novel dan cerita-cerita pendek yang ditulis R.K Narayan, maka tak berlebihan jika kita pun merasa telah menemukan Bali yang sebenarnya melalui novel ini.” (Horison, Juli 2011)

 Masalah sosial yang ditampilkan oleh Oka Rusmini dalam Tarian Bumi yakni masalah perempuan dan kehidupan yang melingkupi perempuan Bali: kasta dan perkawinan.

***

SINOPSIS :

Novel Tarian Bumi mengisahkan seorang perempuan sudra bernama Luh Sekar, yang memiliki ambisi untuk menikah dengan lelaki brahmana karena bosan hidup dalam kemiskinan dan tidak memiliki kedudukan di masyarakat. Untuk mewujudkan keinginannya itu, ia mengawali langkahnya menjadi seorang penari dan ia tidak henti-hentinya berdoa kepada para Dewa agar keinginannya terwujud. Akhirnya ambisinya untuk menikah dengan lelaki brahmana pun terwujud. Ia menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada, akan tetapi Ida Ayu Sagra Pidada, ibu dari Ida Bagus Ngurah Pidada sangat membenci Sekar, karena ia menginginkan anaknya menikah dengan seoarang Ida Ayu, bukan dengan perempuan Sudra. Karena kebenciannya pada Sekar, Ida Ayu Sagra Pidada selalu memaki-maki Sekar, apalagi ketika anaknya pulang dengan keadaan mabuk berat. Sampai akhirnya Ida Bagus Ngurah Pidada meninggal, baru Ibunya mertua tidak lagi memaki Sekar, dan tidak lama kemudian ia juga meninggal.

Dari pernikahannya tersebut Sekar dikaruniai seorang anak, Ida Ayu Telaga Pidada. Sama seperti dulu, Sekar sangat keras kepala. Ia mengharuskan Telaga menikah dengan seorang Ida Bagus. Telaga juga harus menjadi wanita tercantik dan menjadi penari, sampai-sampai ia memanggil guru tari yang terhebat, Luh Kambren, seorang guru tari yang sangat teguh memegang adat istiadat Bali sampai ajal memanggilnya. Rupanya tidak sia-sia. Telaga bisa menjadi seorang penari, dan dikaruniai taksu-taksu yang dulu melekat pada diri Luh Kambren.

Keinginan Luh Sekar (Jero Kenanga) untuk menikahkan Telaga dengan lelaki brahmana tidak sedikit pun dipedulikan oleh Telaga. Telaga justru tertarik dengan lelaki sudra yang sering menjadi bahan perbincangan para Ida Ayu di Griya, dan merupakan pasangannya ketika menari oleg, Wayan Sasmitha namanya. Beruntung, cinta Telaga tidak bertepuk sebelah tangan. Dengan keberanian yang besar, ia memutuskan untuk menikah dengan Wayan Sasmitha. Tentunya keinginan mereka tidak begitu saja diterima, karena merupakan sebuah malapetaka jika seorang perempuan brahmana menikah dengan laki-laki sudra. Tetapi karena cinta Wayan dan Telaga yang sangat besar, membuat mereka berani mengarungi hidup berumah tangga tanpa restu dari orang tua masing-masing. Setelah menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Luh Sari. Namun, tak berapa lama kemudian Wayan meninggal di studio lukisnya. Selepas ditinggal suaminya, Telaga kerap kali di ganggu oleh adik iparnya yang membuat hidup telaga tidak tenang. Akhirnya ibu mertua Telaga, Luh Gumbreg menyarankan dia untuk melakukan Upacara Patiwangi untuk melepaskan statusnya sebagai brahmana dan agar terbebas dari segala kesialan. Akhirnya ia melaksanakan upacara itu di Griya, dan ia pun berubah menjadi perempuan Sudra seutuhnya.

***

TEMA               : Kehidupan perempuan bali : karta dan perkawinan

SUASANA        : Mengharukan

ALUR                     : Menggunakan alur campuran, maju dan mundur, namun lebih dominan alur mundurnya

GAYA BAHASA : Menggunakan gaya bahasa campuran dari bahasa Indonesia dengan bahasa   daerah Bali.

AMANAT          :

Janganlah menilai seseorang dari penampilan luarnya saja, karena engkau tidak tahu apa yang tersimpan dalam hatinya. Meskipun mungkin dia hidup dengan segala kelimpahan, tak pernah berkekurangan suatu apapun, namun belum tentu dia hidup bahagia diatas kemewahannya tersebut.

KELEBIHAN :

Bagi pembaca luar Bali, novel Oka Rusmini bukan saja indah dinikmati sebagai sastra melainkan pula mencerahkan banyak segi pemahaman lebih esensial dan kesalehan spiritual manusia budaya BaliPenggambaran suasana, perasaan dan latarnya terasa sangat nyata. Jadi saat pembaca membaca cerita ini akan merasakan sedang berada di tempat kejadian dan juga sama-sama sedang merasakan perasaan yang sama dengan para tokoh yang diceritakan.

KEKURANGAN :

            Cerita ini selayaknya dikonsumsi oleh orang dewasa atau paling tidak remaja usia 17 tahun ke atas. Sebab cerita yang dikisahkan adalah mengenai konflik rumah tangga dan beberapa hubungan suami istri yang tidak sepatutnya dibaca oleh anak-anak. Tetapi di sampul ataupun di bagian depan buku tidak terdapat peringatan ataupun larangan tersebut.

PENOKOHAN : 

Di dalam novel Tarian Bumi terdapat beberapa tokoh perempuan, yaitu Ida Ayu Telaga Pidada sebagai tokoh utama, Luh Sekar/Jero Kenanga, Ida Ayu Sagra Pidada, dan Luh Kambren sebagai tokoh perempuan yang berpengaruh dalam pembentukan kepribadian Telaga. Mereka merupakan empat tokoh perempuan central. Ida Bagus Tugur (kakek Telaga), Ida Bagus Ngurah Pidada (ayah Telaga), Wayan Sasmitha (Suami Telaga), Luh Sari (anak Telaga), Luh Gumbreg (ibu Mertua Telaga), Luh Dalem (ibu Luh Sekar), Luh Sadri (adik Wayan), Luh Kenten (teman Luh Sekar), Putu Sarma (suami Luh Sadri), Ida Bagus Ketu Pidada (orang yang dituakan di Griya), Kerta dan Kerti (Adik Luh Sekar), Luh Dampar (teman Luh Kambren), dan Luh Kendran (teman Luh Sadri) sebagai tokoh pendukung.

Berikut akan diuraikan keempat tokoh wanita yang penting dalam novel ini:

·         Ida Ayu Telaga Pidada adalah anak dari keluarga Brahmana yang sangat membenci aturan-aturan yang ada di Griya. Ia menginginkan kebebasan dan kebahagiaan dengan pilihan hidupnya sendiri. Telaga menghendaki adanya emansipasi, ia mau kesejajaran antar individu, ia kesal terhadap kaum lelaki yang maunya enak sendiri.

·         Luh Sekar/Jero kenanga adalah seorang dari kalangan Sudra yang sangat ambisius untuk menjadi penari tercantik dan menikah dengan seorang Brahmana untuk menaikkan derajatnya. Sifat kerasnya ini muncul karena ia adalah anak dari seorang PKI, sehingga ia tidak mendapat tempat di dalam masyarakat.

·         Ida Ayu Sagra Pidada adalah perempuan Brahmana yang tercantik di desanya, tutur bahasanya lembut dan tidak sombong sehingga banyak lelaki griya yang tertarik padanya.

·         Luh Kambren adalah seorang guru tari terbaik dan termahal di desanya. Luh Kambren menjadi tokoh perempuan penting dalam novel ini. Ia berjuang sebagai perempuan Bali dengan mempertahakan yang menjadi pusaka Bali yaitu berupa tarian. Meskipun ia telah mendapat berbagai penghargaan, namun Kambren tetap hidup menderita dalam kemiskinan karena ia tak pernah mendapat hasil yang pantas untuk pengabdiannya itu.

Alur yang digunakan dalam novel Tarian Bumi ini adalah alur campuran. Pada awal cerita dibuka dengan kisah masa kini, lalu kemudian Telaga menyibak tabir misteri masa lalu yang menjadi inti permasalahan cerita, setelah itu diakhiri dengan kehidupan telaga di masa kini. Novel Tarian Bumi berlatar tempat di Bali, sedangkan latar sosialnya yaitu permasalahan kasta di Bali. Sudut pandang dalam novel Tarian Bumi adalah orang ketiga maha tahu, yakni penulis serba tahu segala kejadian dan perasaan serta perwatakan setiap tokohnya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut.

“Bagi Telaga, cintanya yang dalam Wayan hanya untuk dirinya sendiri. Perasaan itu terlalu menguasai dirinya. Setiap kali kerinduan mengintip, Telaga hanya bisa menatap wajahnya dengan bantal. Menangis sepuasnya!” (Rusmini, 2007:133)

Atmosfer  yang tercipta dari novel ini yaitu salah satunya kesakralan adat istiadat di bali, di mana ketika adat itu dilanggar akan mengganggu keseimbangan hidup manusia yang bersangkutan.

***

Feminisme adalah sebuah gerakan perlawanan dari kaum perempuan untuk melawan segala bentuk ketidakadilan, khususnya yang terjadi pada perempuan. Begitu lah yang dilakukan oleh Oka Rusmini dengan novel ini. Ia ingin melawan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi pada masyarakat Bali, khususnya perempuan di Bali. Novel Tarian Bumi merupakan gugatan yang sangat keras terhadap kemapanan nilai-nilai lama yang tertutup dan angkuh. Perempuan-perempuan yang digambarkan oleh Oka Rusmini tidak hanya menjadi sebuah kritikan yang keras terhadap sistem patriarki, sistem yang selama ini merugikan kaum tersebut. Oka Rusmini bahkan menawarkan sebuah pemberontakan dengan sebuah pemikiran, bahwa perempuan tidaklah hanya untuk dipilih, tapi juga berhak untuk memilih.

***

PESAN MORAL :

            Janganlah menilai seseorang dari penampilan luarnya saja, karena engkau tidak tahu apa yang tersimpan dalam hatinya. Meskipun mungkin dia hidup dengan segala kelimpahan, tak pernah berkekurangan suatu apapun, namun belum tentu dia hidup bahagia diatas kemewahannya tersebut.  Hal ini tercermin pada tokoh Telaga yang menilai budaya atau adat istiadat hanyalah sebagai wadah manusia untuk menaati sebuah tradisi, namun tidak harus mengkotak-kotakan manusia dari adat dan kasta tersebut. Terlebih masalah pilihan pasangan hidup, pernikahan bukan hanya sekedar adat yang sakral yang sudah ditentukan pemisahan antara orang-orang Brahmana dengan sudra. Tetapi pernikahan adalah mutiara hidup yang tidak bisa diihat dari kasap mata, kepuasan batin akan memilih pasangan hidup itulah kebahagiaan yang tidak bisa diraih dan ternilai harganya dengan apapun termasuk kasta dan kekayaan. Nilai Budaya pun ditampilkan di sini yang tergambar jelas dalam nuansa cultural Bali mulai dari kalangan bawah hingga kehidupan Griya. Kritik sosial pun disampaikan Oka Rusmini melalui ketidakadilan sistem kasta, terhadap prilaku lelaki Bali yang cenderung pemalas dan hanya ingin bersenang-senang saja, dan terhadap kediktatoran kehidupan di Griya.


Page 2