Jelaskan latar belakang tokoh dan akhir dari perlawanan daerah yang terjadi sesudah tahun 1800

Jakarta -

Perlawanan rakyat Maluku pada penjajahan tercatat sebagai salah satu perlawanan terhebat di negeri ini. Kawasan ini selalu menjadi incaran negara asing karena kekayaan rempah-rempah. Dua negara pernah mencoba menguasai kawasan ini, Portugis lalu kemudian Belanda.

Selain Maluku, perlawanan juga terjadi di beberapa daerah, seperti Jawa, Sumatera Barat, dan Aceh. Bentuk perlawanan tersebut dilakukan untuk mengusir penjajah dari Nusantara. Berikut ringkasan perjuangan perlawanan rakyat Maluku pada VOC Belanda yang dikutip dari berbagai sumber:

1. Latar Belakang

Latar belakang perlawanan rakyat Maluku mengusir bangsa Belanda karena adanya praktik monopoli dan sistem pelayaran Hongi yang membuat rakyat sengsara. Belanda melaksanakan sistem penyerahan wajib sebagian hasil bumi terutama rempah- rempah kepada VOC.

Kompeni juga melangsungkan sistem pelayaran Hongi (hongitochten). Dengan cara itu, para birokrat Kompeni dapat menginspeksi satu per satu pulau-pulau di Maluku yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah. Kompeni juga punya hak ekstirpasi, yaitu hak memusnahkan pohon pala dan cengkeh jika harganya turun.

2. Perlawanan

Perlawanan rakyat Maluku muncul pada tahun 1635 di bawah pimpinan Kakiali, Kapitan Hitu. Saat Kakiali tewas terbunuh, perjuangannya dilanjutkan Kapitan Tulukabessy. Perlawanan ini baru dapat dipadamkan pada tahun 1646. Sampai akhir abad ke-18 tak terdengar lagi perlawanan pada VOC.

Baru kemudian muncul nama Sultan Jamaluddin, dan Sultan Nuku dari Tidore. Namun VOC dengan cepat bisa memadamkan perlawanan itu. Lalu pada 1817 muncul tokoh dari di Pulau Saparua bernama Pattimura. Dalam aksi Pattimura itu, Benteng Duurstede berhasil dihancurkan oleh rakyat Maluku. Bahkan, Residen Belanda Van den Bergh terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Tak sampai di situ, Belanda terus membawa pasukan dari Ambon hingga Jawa demi mengalahkan rakyat Maluku. Peristiwa ini menjalar ke kota lainnya di Maluku, seperti Ambon, Seram, dan pulau lainnya agar rakyat Maluku mundur.

Rakyat Maluku pun mundur karena kekurangan pasokan makanan. Demi menyelamatkan rakyat dari kelaparan, Thomas Mattulessia atau Patimurra menyerahkan diri dan dihukum mati.

3. Tokoh Perlawanan Rakyat Maluku

Ada dua tokoh yang terlibat dalam perlawanan tersebut, yakni Patimurra sebagai pemimpin perlawanan pertama dan pejuang perempuan Khristina Martha Tiahahu.

Khristina Martha Tiahahu diketahui menggantikan kepemimpinan Pattimura yang menyerahkan diri demi rakyat. Sayang, perjuangannya harus berhenti ketika ia dibawa ke pengasingan di Jawa dan meninggal dunia.

Kolonial pun semakin menerapkan kebijakan yang berat terhadap rakyat Maluku, terutama rakyat Saparua setelah perlawanan rakyat Maluku. Monopoli rempah-rempah kembali diberlakukan.

(pay/pal)

tirto.id - Perang Jawa dengan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh sentralnya merupakan pertempuran melelahkan melawan Belanda yang berlangsung selama 5 tahun (1825-1830). Sebelum peristiwa dalam sejarah Indonesia ini terjadi, terdapat penyebab dan kronologi, begitu pula dengan dampak yang ditimbulkan setelahnya.

Meninggalnya pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat atau Kesultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana (HB) I, pada 24 Maret 1792 membuka peluang bangsa penjajah semakin menancapkan pengaruhnya di lingkungan kerajaan.

Peter Carey dalam The Origins of the Java War (1976) mengungkapkan bahwa campur-tangan bangsa asing menyebabkan terjadinya konflik di internal Keraton Yogyakarta.

Pada 1811, Belanda memaksa Sultan HB II turun takhta lalu raja diberikan kepada HB III sebagai Sultan Yogyakarta selanjutnya.

Penyebab Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro merupakan pangeran dari Kesultanan Yogyakarta. Lahir tanggal 11 November 1785, nama aslinya adalah Raden Mas Mustahar yang kemudian diganti menjadi Raden Mas Antawirya seiring usia sesuai tradisi keraton.

Raden Mas Antawirya adalah putra dari Raden Mas Suraja atau yang nantinya bertakhta dengan gelar Sultan HB III. Sang ayah sebenarnya menginginkan Raden Mas Antawirya menjadi putra mahkota. Namun, keinginan Sultan HB III itu ditolak dengan halus.

Baca juga:

  • Inilah Politikus Ulung Abad ke-18: Hamengkubuwana I
  • Sejarah Hidup Hamengkubuwana II, Berkuasa Tiga Kali
  • Sejarah 20 Februari 1769: Lahirnya Hamengkubuwana III

Lantaran ibunya bukan istri permaisuri raja, Raden Mas Antawirya merasa tidak berhak duduk di singgasana Yogyakarta meskipun ia adalah anak lelaki tertua. Selain itu, ia juga tidak terlalu menyukai kehidupan mewah di dalam istana.

Sultan HB III wafat pada 1814 dan digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot, putra dari istri permaisuri. Saat itu, Raden Mas Ibnu Jarot atau yang kelak bergelar Sultan HB IV masih berusia 10 tahun.

Pengaruh Belanda atas keraton semakin kuat di saat istana sedang labil lantaran Sultan HB IV masih kecil. Muak atas situasi itu, Raden Mas Antawirya memutuskan keluar dari keraton dan kemudian tinggal di kediaman neneknya di wilayah Tegalrejo, Yogyakarta.

Dari sinilah perlawanan Raden Mas Antawirya alias Pangeran Diponegoro terhadap Belanda bermula.

Sagimun dalam buku Pahlawan Dipanegara Berjuang (1957) menjelaskan, terdapat beberapa alasan mengapa Pangeran Diponegoro berusaha melawan. Pertama, Belanda semakin mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta.

Alasan kedua, akibat pengaruh Belanda, beban pajak yang ditanggung rakyat menjadi sangat berat.

Dan alasan berikutnya, rencana Belanda membangun jalan kereta api yang melewati kediaman neneknya membuat Pangeran Diponegoro mantap melakukan perlawanan.

Kronologi & Tokoh Perang Jawa

Anthonie Hendrik Smissaert, Residen Yogyakarta yang merupakan orang Belanda, berniat membangun jalan kereta api. Rencana ini ditentang oleh Pangeran Diponegoro lantaran rel kereta api tersebut mengenai area kediaman neneknya di Tegalrejo.

Perang Jawa tak dapat dihindari, dimulai pada 20 Juli 1825. Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya menerapkan strategi gerilya untuk menghadapi Belanda yang jelas lebih unggul jumlah prajurit dan persenjataan.

Baca juga:

  • Sejarah Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi Tahun 1998
  • Tahun Berapa Sejarah Kerajaan Majapahit Berdiri & Terletak di Mana?
  • Sejarah Awal Kesultanan Mataram Islam, Letak, dan Pendiri Kerajaan

Kubu Pangeran Diponegoro bermarkas di pedalaman Goa Selarong, suatu kawasan pegunungan (di wilayah Pajangan, Bantul) yang terletak sekitar 26 kilometer ke arah barat daya dari Keraton Yogyakarta.

Beberapa tokoh pahlawan yang berandil besar membantu Pangeran Diponegoro antara lain Kyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Sedangkan pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock.

Pasukan Diponegoro selalu bergerak, masuk keluar hutan, naik turun gunung, dan menjelajahi banyak wilayah, dari Yogyakarta, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur.

Strategi ini sangat merepotkan Belanda yang terpaksa mengeluarkan banyak biaya untuk membiayai Perang Jawa dan mendatangkan pasukan bantuan.

Belanda terpaksa menarik pasukan yang sedang menghadapi pertempuran di Sumatera Barat yakni Perang Padri -yang digalang oleh para tokoh Minangkabau termasuk Tuanku Imam Bonjol- untuk diperbantukan di Perang Jawa.

Baca juga:

  • Sejarah Jalur Daendels: Semacam Jalan Tol di Era Hindia Belanda
  • Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo
  • Kronologi Sejarah Perang Padri: Tokoh, Latar Belakang, & Akhir

Akhir dan Dampak Perang Jawa

Kekuatan Belanda yang semakin bertambah membuat kubu Pangeran Diponegoro mulai terdesak. Satu demi satu, pimpinan pasukan Diponegoro tertangkap, termasuk Kyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo.

Belanda menawarkan gencatan senjata. Pangeran Diponegoro yang semula kukuh akhirnya bersedia demi keselamatan pasukan dan pengikutnya. Ia mau diajak berunding dengan syarat keluarga dan para pengikutnya dibebaskan.

Tanggal 28 Maret 1830, diadakan perundingan antara Pangeran Diponegoro dan Jenderal De Kock di Magelang, Jawa Tengah. Rupanya, ini taktik licik Belanda. Pangeran Diponegoro yang tidak bersenjata justru ditangkap.

Baca juga:

  • Sejarah Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi 5 Februari 1933
  • Corak Agama Kerajaan Majapahit & Sejarah Peninggalan Situs Candi
  • Kesultanan Aceh Darussalam: Sejarah Masa Kejayaan dan Peninggalan

Ditahannya Pangeran Diponegoro otomatis membuat Perang Jawa yang melelahkan dan telah belangsung selama 5 tahun (1825-1830) berhenti.

Dikutip dari Sulawesi: Island Crossroads of Indonesia (1990) karya Toby Alice Volkman, Pangeran Diponegoro kemudian diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar, hingga wafatnya tanggal 8 Januari 1855.

Menurut MC Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since 1300 (1981), secara keseluruhan dampak Perang Jawa telah merenggut 200.000 korban jiwa, di antaranya 7.000 orang dari pihak pribumi dan 8.000 orang dari pasukan Belanda.

Perang Jawa sangat meletihkan bagi Belanda dan menguras banyak sumber daya, termasuk pasukan dan uang atau pendanaan yang menyebabkan pemerintah kolonial mengalami krisis keuangan.

Baca juga:

  • Sejarah Kesultanan Banten dan Daftar Raja yang Pernah Berkuasa
  • Kesultanan Gowa Masa Islam: Sejarah, Peninggalan, Daftar Raja
  • Sejarah Kesultanan Ternate: Kerajaan Islam Tertua di Maluku Utara

Baca juga artikel terkait PERANG JAWA atau tulisan menarik lainnya Yuda Prinada
(tirto.id - prd/isw)


Penulis: Yuda Prinada
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Yuda Prinada

Subscribe for updates Unsubscribe from updates