Human Right Working Group (HRWG) mengadakan pelatihan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mekanisme HAM internasional yang diselenggarakan dari tanggal 13-16 Desember 2016 di Hotel Aston Jogjakarta. Pada kesempatan ini HRWG mengundang pegiat buruh migran dari berbagai daerah dan organisasi yang konsentrasi dalam pembelaan buruh migran. Jenis dan Muatan Hak dalam ICCPR, UU HAM, dan UUD 1945
Klasifikasi kedua adalah Derogable Right, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Termasuk jenis hak ini adalah:
Berikut adalah rincian hak-hak sipol sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap kovenan internasional tentang hak sipil-politik.
Undang-Undang HAM Undang-Undang Dasar 1945 Tanggung Jawab Pemenuhan dan Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam ICCPR ada di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) ICCRPR yang menyebutkan bahwa: “Setiap negara pihak pada kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua individu yang berada di dalam wilayahnya dan berada di wilayah yuridiksinya, tanpa pembedaan jenis apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau status lainnya.” Kalau hak dan kebebasan yang terdapat dalam kovenan ini belum dijamin dalam yuridiksi suatu negara pihak, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektfkan perlindungan hak itu sebagaimana yang bunyi Pasal ayat (2) ICCPR. Kewajiban negara pihak lainnya adalah menjamin pemulihan hak yang efektif dari suatu pelanggaran hak sipil dan politiknya walaupun si pelaku bertindak sebagai pejabat negara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) ICCPR. Perlindungan dan pemenuhan kewajiban hak-hak dan kebebasan dalam ICCPR oleh negara adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) atau justiciable. Menurut Pasal 8 jo. Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab negara. Kewajiban dan tanggung pemerintah tersebut menurut Pasal 72 UU HAM meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Ketentuan-ketentuan ini juga berarti termasuk perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak dan kebebasan sipil dan politik. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I ayat (4) juga menyebutkan bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM adalah menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalan Berbagai Peraturan Perundang-undangan Nasional dan Bidang Politik
Bidang Politik
Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia Argumentasi Golongan Pro lainnya adalah Pasal 6 ICCPR sendiri membolehkan adanya hukuman mati dengan beberapa persyaratan atau kondisi yang khusus, yakni:
Penerapan Peraturan Daerah
Hak Mendirikan Organisasi Buruh dan Menjadi Anggotanya Hak untuk tidak Ditahan dan Ditangkap Serta Dijadikan Tersangka/Terdakwa Secara Sewenang-wenang. Kendala Implementasi Hak Sipil dan Politik di Indonesia
KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK, Substansi Hak-Hak Di Dalamnya
Negara-negara Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Negara-Negara Pihak ICCPR diperbolehkan mengurangi atau mengadakan penyimpanan atas kewajiban dalam memenuhi hak-hak tersebut. Tetapi penyimpanan itu hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi : Prof. Rosalyn Higgins menyebut ketentuan ini sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Hal ini ditegaskan pada Pasal 2 (1) yang menyatakan, Negara-Negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apapun. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2). Perlu diketahui, tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately). Singkatnya hak-hak yang terdapat dalam ICCPR ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya dengan tanggung jawab negara dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap (progressive realization), dan karena itu bersifat non-justiciable. Kewajiban negara yang lainnya, yang tak kalah pentingnya, adalah kewajiban memberikan tindakan pemulihan bagi para korban pelanggaran hak atau kebebasan yang terdapat dalam Kovenan ini secara efektif. Sistem hukum suatu negara diharuskan mempunyai perangkat yang efektif dalam menangani hak-hak korban tersebut. Penegasan mengenai hal ini tertuang pada Pasal 3, yang menyatakan sebagai berikut : Mekanisme Pengawasan
Prinsip-Prinsip Hak Sipil dan Politik dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999 Di Indonesia, dikhusus tetang penegakan hak asasi manusia juga tidak kalah gencarnya. Keseriusan pemerintah di bidang HAM paling tidak bermula pada tahun 1997, yaitu semenjak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) didirikan setelah diselenggarakannya Lokakarya Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 1991. Sejak itulah tema tentang penegakan HAM di Indonesia menjadi pemebicaran yang serius dan berkesinambungan. Kesinambungan itu berwujud pada usaha untuk mendudukkan persoalan HAM dalam kerangka budaya dan sistem politik nasioanal sampai pada tingkat implementasi untuk membentuk jaringan kerjsama guna menegakkan penghormatan dan perlindungan HAM tersebut di Indonesia. Meski tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh internasional yang menjadikan hak asasi manusia sebagai salah satu isu global, namun penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih merupakan hasil dinamika internal yang merespon gejala internasional secara positif. Pada tahun 1999, Indonesia memiliki sistem hukum yang rigid dan jelas dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan pelangaran HAM di Indonesia. Diberlakukannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia kendati agak terlambat merupakan langkah progresif dinamis yang patut dihargai dalam merespon isu internasional di bidang hak asasi manusia walaupun masih perlu dilihat dan diteliti lebih jauh isinya. Sebelumnya, penerimaan Indonesia atas Undang-undang Internasional Hak Asasi Manusia atau dalam dunia internasional dikenal dengan nama International Bills of Human Right, dilakukan terhadap Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Meskipun deklarasi tersebut merupakan instrumen non yuridis, namun semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations), termasuk Indonesia, wajib mengakui dan menerima pokok-pokok pikira yang terkandung dalam deklarasi tersebut. Dalam konteks Indonesia, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi pertimbangan dalam hal dibuatnya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, dengan adanya Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak menegakkan HAM masyarakatnya. Hal ini karena secara sederhana saja, Indonesia sudah mempunyai peraturan maupun pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Sayang, kenyataannya tidak demikian. Harus diakui, masih ada kontroversi atau perbedaan pendapat yang cukup tajam atas suatu permasalahan berkaitan dengan kovenan-kovenan tersebut. Tentang hak atas hidup, misalnya, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) yang diadakan pada tahun 1966, menyatakan bahwa hak atas hidup adalah hak yang mendasar dan tidak dapat dilanggar dalam keadaan apapun. KIHSP juga mengatakan, di negara-negara yang masih memakai hukuman mati, hukuman ini hanya boleh dipakai untuk kejahatan yang paling berat, dan pelaksanaannya hanya dapat dilakukan kalau ketentuan-ketentuan KIHSP dipenuhi, termasuk hak atas pengadilan di depan peradilan yang “kompeten.” Pada sisi lain, ketentuan hukum pidana di Indonesia dalam hal ini KUHP (dan aturan lain) masih memberlakukan pidana mati. Perdebatan lain yang muncul seputar implementasi konvensi di atas adalah masalah penafsiran dan implementasi dari perlindungan terhadap menjalankan agama dan keyakinannya secara bebas tanpa ada ras takut, tentang hak untuk tidak ditangkap tanpa surat penangkapan dalam proses peradilan pidana, atau tentang perlindungan saksi yang belum optimal di Indonesia. Untuk hal tersebut, KHN melakukan diskusi untuk menelaah lebih jauh mengenai arti penting dari diratifikasi kovenan-kovenan tersebut, dan telah berwujud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik). Sejak reformasi berbagai produk hukum telah dilahirkan guna memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi Anti-Diskriminasi Rasial dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 30 September 2005 pemerintah Indonesia meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR). Dan pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional; maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Perempuan (CEDAW),berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih gambang dicantumkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 ini menyatakan:
Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.” Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 juga menyatakan,
Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Ada pula sejumlah UU yang mendukung adanya kebebasan informasi publik. Antara lain UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana tercantum dalam Pasal (4), “Setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang”.6 Pasal (5) UU No 23 Tahun 1997 yang menyatakan, “setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dan pengelolaan lingkungan hidup”. Juga Pasal (3) UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan , ”perlindungan konsumen bertujuan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa” serta Pasal (7), “kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”. Hak Sipil dan Politik di Indonesia Pada Masa Transisi Politik Dalam politik menurut margenthau berlaku istilah “ lie zero sun game” (the winner takes all) yang berarti pemenang adalah pemenang, vinito. Karena itu pimpinan politik di Negara berkembnag di harapkan memiliki visi, misi, dan platform yang jelas. Pemimpin di anggap sebagai primus interpares dan dari padanya di tuntut adanya keteladanan. “ kunci kesulitan – kesulitan dalam kestabilan polotik terletak pada sifat atau tingkat partisipasi sebagian besar anggota masyarakat temasuk kaum terpelajar, pejabat militer, pemuka agama dan tokoh-tokoh politik yang masih lemah dan kadang kurang sehat (alfian, 1976 : 100), ”visi atau dambaan yang di inginkan di masa depan (what we do we want to be), oelh almarhum Cak Nur sering di terjemahkan sebagai “sasaran agung “, sedangkan misi apa yang di harapkan sekarang demi masa depan (what do we want to have) di artikan sebagai “tugas agung”. (majalah Managemen, Agustus 1998). Karena itulah dalam masyarakat yang paternalistis sebagaimana tergambar di depan, peran para inetelektual, budayawan, idealis, dan agamawan tetap di harapkan. Dengan demikian perunagaha politik memerlukan pula pemikiran kelompok – kelompok tersebut di atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal maupun pemantapan niat untuk mewujudkan politik hukum yang sudah di tetapkan, diikuti langkah konkreet dengan mengangjat taraf hidup, kesejahteraan, dan ketentraman semua angota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak atau kurang beruntung. Lebih- lebih kalau keterpurukan tersebut terbentuk kemiskinan cultural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan cultural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural yang harus di perangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural, hal ini sangat terikat dengan penegakan HAM. Malah partisipasi masyarakat dalam politik, meurut Jeffery M.Paige, di bedakan menjadi empat macam yaitu sebgai berikut.
Menurut alfian partisipasi pertama yang ideal hanya mungkin dalam system yang demokrtis. Untuk mengarah kepada satu partisipasi model pertama sekaligu mempunyai makna penegakan hukum, maka pendidikan politik yang benar dan terbuka harus di jalankan. Keterbukaan sekali lagi akan menumbuhkan kepercayaan anggota masyarakat kepada penguasa karena mereka di percaya dan tidak dianggap warga kelas dua. Hal ini akan menunjang system politik yang sehat dan demokratis dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif, terbuka dan dialogis, akan menciptakan atau memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyrakat terhadap system politik yang ada, di mana pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, Negara dan kemanusiaan. Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan status quo, dan mempertahankan kepentingan penguasa. dalam sisitem hukum yang berwatak represif atu reaktif, dapat dipastikan hak-hak rakyat diabaikan, terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. pemerintahan dictator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, dimanba aparat dan pejabat Negara dibawah control penguasa. Dalam system tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak, walaupun ada halnya sebagi aksesoris politik saja. Sebaliknya dalam system politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsive dan akomodatif, substansi hukum yang tertuang dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjungjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegak hukum. dalam system tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini public lewat wakil-wakilnya, juga media masa, agamawan, cendekiawan, dan LSM dengan pemerintah. Dengan demikian, system hukumnya ditandai dengan konsep inpariality, consistensy, openness, predictability, dan stability. Semua warga Negara mempunyai kedudukan sama di depan hukum (equal before the law). Ciri inilah yang disebut rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada procedure merupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi ialah mewujudkan kehendak rakyat yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR. Antara pemerintah (dalam arti luas) dengan rakyat tidak ada jarak. HAK-HAK WARGA NEGARA (SIPIL) DALAM ISLAM Dr. Robert Morey menganggap bahwa hukum dunia Islam, sebagai sejarah hukum barbar, meskipun anggapan tersebut tentu saja berlawanan dengan fakta yang telah kita bahas di atas. Hal ini menunjukkan bahwa mereka berupaya menunjukkan Islam dalam bentuk yang paling mengerikan, atau tidak punya pengetahuan sedikitpun mengenainya. Namun, belakangan ini, hak asasi manudia telah dirumuskan dalam pengertian tuntutan akan aksi kesejahteraan Negara. Negara harus menjamin lapangan kerja, perumahan, perawatan kesehatan, bahkan hak untuk menikmati alam dan kebahagiaan individu. Ini telah mendorong pada turunnya nilai “hak asasi manusia” dan turunnya nilai sektor negara. Penyimpangan-penyimpangan ini sama-sama dapat membahayakan kelangsungan hidup cita-cita yang mulia dari hak asasi manusia karena hilangnya kaitan transendental. Sedangkan bagi umat Muslim, setiap hak harus bersumber dari ilahi Al-Quran dan Sunnah Nabi. Dan hak dasar tidak mungkin diciptakan oleh manusia melainkan hanya dapat ditampilkan kembali olehnya.Lebih jauh lagi, hukum Islam berbeda dari barat karena mempertimbangkan bahwa semua hak, termasuk hak asasi manusia, hanya terjamin dengan sungguh-sungguh jika seluruh sistem sosial dan hukum berada dalam kondisi yang baik, yaitu bahwa tujuan mulia keadilan hanya bisa diwujudkan sebagai produk sampingan dari system sosial yang komprehensif dan adil, dan bukan secara terpisah. Menurut hukum Islam, hak untuk beralih agama tanpa menimbulkan kerugian hukum tidak berlaku bagi seorang Muslim. Paling-paling, peralihannya ke agama lain akan mendatangkan konsekuensi menyangkut warisan dan kemungkinan perkawinannya (batalnya keabsahan perkawinannya dengan seorangwanita Muslim), meskipun jelas tidak ada perintah Al-Quran untuk menghukum mati orang yang murtad tersebut. Sedangkan ayat 5:33 adalah hukuman mati bagi pengkhianat di masa perang, karena kebanyakan yang murtad adalah orang yang berkhianat. Situasi ini akan dapat dipahami dengan mudah jika menjadi seorang Muslim disamakan dengan mendapatkan kewarganegaraan di sebuah negara Barat. Tidak ada yang menyangkal bahwa hak istimewa atau kewajiban tertentu ada kaitannya dengan pemilikan kewarganegaraan. Pada kenyataannya, demokrasi yang berkembang di dunia saat ini, adalah demokrasi berdasar suara mayoritas. Negara yang berpenduduk mayoritas Kristen tentu risih dipimpin seorang Muslim, begitu sebaliknya. Hanya bedanya, minoritas non-muslim di negara muslim lebih aman ketimbang minoritas muslim di negara non-muslim. Berita penganiayaan atas mereka tidak berhenti hingga sekarang. Berita yang masih hangat, Perancis ingin melarang pemakaian jilbab oleh pelajar muslim dengan alasan sekulerisasi, dipihak lain mereka menuduh Saudi yang mewajibkan jilbab sebagai negara yang tidak demokratis. lantas apa arti demokrasi yang sebenarnya? Apa yang diterapkan dengan setandar ganda Hak Kebebasan Beragama Dalam UDHR (1948) Walaupun hal tersebut tidak tertulis didalam pasal, namun harus tetap diingat bahwa dalam menafsirkan hak kebebasan beragama, nilai-nilai absolut dan hak yang suci harus tetap menjadi acuan utama. Hits: 4983 |