Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan

Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan


Nikah adalah suatu akad atau perjanjian yang mengandung kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai lafazh “nikah” atau “tazwij”. Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahan. Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan). Namun dewasa ini, banyak praktek pernikahan yang dilakukan di kalangan masyarakat saat ini tanpa dihadiri oleh wali. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah Bagaimana Perkawinan tanpa Dihadiri Wali dalam Perspektif Hukum Islam? Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah; Untuk mengetahui perkawinan tanpa dihadiri wali dalam perspektif hukum Islam. Sedangkan kegunaan penelitian ini di antaranya; Secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan perkawinan tanpa dihadiri wali dalam perspektif hukum Islam; Secara praktis dapat dijadikan acuan atau tambahan referensi dalam masalah masalah yang berkaitan dengan perkawinan tanpa dihadiri wali dalam perspektif hukum Islam. Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah Library Research atau penelitian pustaka. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Sumber data yang penulis gunakan di antaranya data primer berupa Al-Qur’an dan tafsirnya, serta kitab-kitab fiqih. Adapun data sekunder berupa artikel atau buku-buku yang ada relevansinya dengan pembahasan skripsi. Dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai sumber informasi, penulis menggunakan metode dokumentasi. Setelah data terkumpul, penulis analisa menggunakan analisis kualitatif dengan pendekatan berfikir. Cara berfikir deduktif dengan menggunakan analisis yang berpijak pada pengertian-pengertian atau faktafakta yang bersifat umum, kemudian diteliti dan hasilnya dapat memecahkan persoalan khusus. Hasil penelitian menjelaskan, bahwa sebuah pernikahan harus terpenuhi syarat dan rukunnya guna memperoleh keabsahan menurut agama Islam dan Undang-Undang yang ada. Diantara syarat dan rukun pernikahan adalah hadirnya wali dalam resepsi pernikahan. Seorang yang hendak melaksanakan perkawinan terlebih bagi seorang wanita, harus meminta izin terlebih dahulu kepada walinya. Dalam Islam, nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya atau memberi izin pernikahannya. Wali dapat langsung melaksanakan pernikahan itu atau mewakilkannya kepada orang lain. Jadi, pernikahan yang tanpa dihadiri oleh wali merupakan pernikahan yang salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi. Maka dari itu pernikahan tanpa dihadiri oleh

wali tidak sah.

2018m0037.1S 001.4 ROB PIAIMNU Metro Lampung (001-099)Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing

Judul Seri

-

No. Panggil

S 001.4 ROB P

Penerbit IAIM NU METRO : Metro Lampung., 2016
Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

NONE

Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Subyek
Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab

-

Tidak tersedia versi lain




DETAIL CANTUMANKembali ke sebelumnya


Tekan tombol Enter untuk memulai obrolan

Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan
Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan
Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan
Hukum nikah tanpa wali dari pihak perempuan

“Ratih”, 28, menceritakan pengalamannya mengurus birokrasi pernikahan yang rumit di sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) Jawa Tengah. Saking njlimetnya, ia harus merelakan kariernya di Swiss demi bisa sah jadi suami istri dengan pasangannya. Dalam wawancara bersama Magdalene, (21/9), ia menerangkan, KUA tempatnya mendaftar nikah, memaksa ia mendatangkan ayah kandungnya sebagai wali. Padahal orang tua Ratih sudah bercerai sejak ia berumur 4 tahun secara tak baik-baik. Dulu sebelum bercerai, ayah Ratih tidak pernah menafkahi, melarang ibu bertandang ke rumah orang tuanya, serta membatasi ibu bekerja.

Karena perceraian ibu dan ayahnya, Ratih meminta wali hakim kepada kepala KUA. Namun, kepala KUA justru memintanya untuk melampirkan surat yang menyatakan ayahnya mengizinkan ia dinikahkan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, kepala KUA tidak berani menikahkan tanpa izin ayah yang masih hidup walaupun bercerai. Sebab, menurut pengalaman kepala KUA, ada kasus di mana ayah calon mempelai perempuan menggugat ke pengadilan lantaran ia tidak tidak memberikan izin, sehingga status pernikahan pun dibatalkan.

Karena masalah ini akhirnya ibu Ratih meminta tolong kepada sahabat ayahnya untuk memberikan izin nikah dengan wali hakim. Sayangnya, ayah Ratih berkeras ia harus hadir ke rumahnya seorang diri tanpa didampingi siapapun. Ratih dan ibunya tentu menolak syarat tersebut. 

Senada, Rizka, 27, juga mengalami pengalaman yang relatif tak mengenakkan ketika mengurus pernikahan di KUA. Kedua orang tuanya berpisah saat ia berusia 2 tahun karena ibu dan saudara perempuannya terus mengalami kekerasan akibat perilaku abusif ayahnya. Selama 25 tahun semenjak orang tuanya memutuskan berpisah, ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Ia dan keluarga ayahnya juga tidak pernah saling kontak.

“Aku ‘dibuang’ keluarga sana,” ujarnya. 

Karena itulah ia muntab begitu pihak KUA mendesak ia dan ibunya untuk menemukan sang ayah demi melegalkan akad nikahnya ini. Kendati sempat kesal dan frustrasi, demi hukum dan proses birokrasi, Rizka dan ibunya mengalah dan mencari laki-laki tersebut. Itu pun dengan asumsi bahwa sang ayah masih hidup. Jika menganggapnya telah wafat, ia harus membuktikannya dengan akta kematian.

Rizka sudah menjelaskan keadaannya ini kepada kepala KUA, tapi KUA tidak mau menerima begitu saja alasannya karena menurut mereka selama masih hidup, ayahnya harus memberikan restu baik secara tertulis atau lisan.

“Seakan-akan negara menjadi lalai memberi hak bagi warga negaranya. Saya merasa negara selalu mengasumsikan bahwa keluarga itu ideal dengan relasi antara anak dan orang tua berjalan baik tidak memiliki situasi konflik seperti saya.”

Baca Juga: Saat Keluarga Tak Beri Restu, Pilih Kawin Lari Atau Nikah Siri?

Bagaimana Hukum Mengatur Soal Wali Nikah?

Ada dua regulasi yang mengatur tentang pernikahan bagi umat Islam di Indonesia, yakni Undang-Undang Perkawinan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam atau KHI.

Terkait syarat wali nikah, dalam KHI disebutkan, yang menjadi wali haruslah laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil, dan baligh. Dilansir dari website Kementerian Agama Majalengka, syarat wali nikah ini kemudian diperluas jadi 6, di antaranya beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil. Dalam peraturan yang sama, wali nikah terdiri dari wali nasab (anggota keluarga laki-laki dari calon mempelai perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan dari pihak ayah) dan wali hakim (wali yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya).

Kendati dalam KHI sudah dicantumkan peraturan mengenai sahihnya dua wali ini, namun pada praktiknya, perempuan masih dibenturkan dengan ruwetnya birokrasi yang “memaksa” mereka untuk tetap memakai wali nasab, dengan prioritas utama, ayah kandung.

Magdalene berbincang-bincang dengan Gita Putri Damayana, dosen dan Wakil Ketua Bidang Penelitian periode 2020-2024 di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Ia menjelaskan bagaimana fungsi KUA hanya sebagai pencatat administrasi. Konsekuensinya, KUA perlu memastikan agar pihak yang melakukan pernikahan, sudah memenuhi syarat-syarat administratif. Ini termasuk urusan mencari wali nikah dengan prioritas wali nasab.

“Situasinya tidak selalu ideal. Ada beberapa situasi di mana ayah calon mempelai perempuan sudah tidak ada, maka (yang menggantikannya) harus dari kelompok prioritas wali nasab: Kakek, saudara lelaki kandung, saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki kandung, anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah,” ucapnya.

Baca Juga: Menikah Tak Cuma Soal Sayang dan Pesta, Butuh Persiapan Mental

Jika ayah masih hidup, imbuhnya, namun ternyata terdapat situasi konflik semisal kekerasan atau penelantaran, perempuan tidak bisa hanya memberikan alasan lisan ke KUA karena ini tidak bisa diterima secara hukum. Lalu apakah yang bisa perempuan lakukan dalam posisi ini? Perempuan dapat meminta wali hakim melalui penetapan wali adhal terlebih dahulu ke pengadilan agama.

“Caranya, si calon mempelai perempuan ini minta penetapan ke pengadilan agama bahwa dia memohon agar pengadilan menetapkan kepada dirinya wali hakim. Supaya bisa menikah. Di Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018, itu namanya wali adhal. Perempuan mengajukan permohonan ke pengadilan agama untuk menetapkan wali adhal karena ayah kandungnya tidak berkenan menjadi wali nikahnya. Wali adhal harus berdasarkan penetapan pengadilan agama karena kalau tidak, ya KUA tidak mau terima,” tutur Gita.

Bagaimana dengan Pandangan Islam?

Dalam Islam, agar calon mempelai laki-laki dan perempuan dapat melangsungkan pernikahan maka mereka harus memenuhi rukun pernikahan. Rukun pernikahan ini salah satunya adalah diwajibkan atas calon mempelai perempuan memiliki wali nikah. Dikarenakan wali nikah termasuk ke dalam rukun pernikahan, maka dari itu pernikahan hanya bisa sah secara agama jika terdapat wali nikah dari calon mempelai perempuan.

Dr. Iklilah MD Fajriyah, Kepala Pusat Riset Gender Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, (23/9) menjelaskan lebih lanjut soal ini. Kepada Magdalene ia menyebutkan, pertimbangan hukum dalam Islam tentang mengapa Bikr (perempuan yang belum menikah) harus memiliki wali karena wali bisa memastikan perlindungan pihak perempuan. Dulu di masa Rasul, posisi perempuan tidak diperhitungkan secara sosial budaya, sehingga kehadiran wali pada pihak perempuan dan tidak pada pihak laki-laki menjadi simbol perempuan sudah menikah berpindah ke keluarga suaminya.

“Karena perpindahan lokasi dan situasi sosial yang belum menempatkan perempuan secara setara, penetapan wali untuk perempuan sebenarnya dilakukan sebagai upaya Islam menjamin agar perempuan diperlakukan secara terhormat di keluarga suaminya. Penetapan wali ini sebenarnya lebih kepada orientasi perlindungan. Jika mereka menikah melalui walinya, maka istilahnya perjanjian perkawinan itu terjadi bukan di antara si calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan saja tapi dengan si walinya. Sehingga, jika terjadi sesuatu, si suami ini harus bertanggung jawab juga terhadap si wali,” jelasnya.

Baca Juga: Indonesia Memang Negara Kaya Kultur, Kecuali dalam Urusan Kawin Campur

Iklilah kemudian menjelaskan bagaimana terdapat wacana Fikih alternatif mengenai wali nikah yang berbeda dengan Fikih normatif. Salah satu poin pentingnya adalah memperbolehkan pihak perempuan menjadi wali dari calon mempelai perempuan. Ia bahkan mengemukakan pandangan alternatif di mana perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri dengan syarat ia telah dewasa yang tentunya persyaratan dewasa--meskipun tafsir dewasa ini masih diperdebatkan. Sayangnya, pandangan alternatif ini masih belum terimplementasikan di KUA, sehingga hingga kini persyaratan wali nikah bagi perempuan masih mengikuti Fikih normatif dengan wali nikah dari pihak laki-laki

Kendati terdapat wacana Fikih alternatif yang mampu meringankan perempuan dalam urusan wali nikah, kata dia, sebagai warga negara Indonesia kita tetap harus mematuhi hukum negara yang telah diberlakukan.

“Lagi-lagi kalau kita ada di dalam suatu negara, hukum negara yang harus dipatuhi untuk memastikan perlindungan hukum bagi subjek hukum. Jadi jangan hanya melihat aturan Fikihnya saja. Aturan Fikihnya bisa tapi kalau aturan negara tidak bisa kan sama aja bohong, karena bisa jadi di ke depannya justru hak-hak perempuan dan laki-laki dalam perkawinan atau bahkan anak yang dilahirkan, tak diakui di depan hukum,” tukasnya.