Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab

Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab

Ilustrasi hamil di luar nikah /Pixabay

KABAR BANTEN - Perbuatan yang tercela atau tidak bermoral dan disebut zina, hamil di luar nikah hukumnya haram menurut Islam.

Bukan hanya sanksi sosial dan dosa, namun juga banyak pertanyaan soal perkawinan akibat hamil di luar nikah.

Dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari berbagai sumber, berikut hukum hamil di luar nikah menurut Imam Syafi'i, Imam termasuk nasab anaknya jika menikah bukan dengan yang menghamilinya.

Baca Juga: 6 Mitos Perbedaan Hamil Anak Laki-laki atau Perempuan, Benarkah Bisa Dipastikan dari Bentuk Perut?

Perkawinan akibat hamil di luar nikah:

Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan akibat hamil diluar nikah adalah sah.

Perkawinan akibat hamil di luar nikah, juga boleh dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil.

Bahkan, jika perkawinan itu dilakuan dengan laki-laki yang menghamilinya ataupun dengan laki-laki yang bukan menghamilinya.

Argumen Imam Syafi’i tentang kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut bukanlah termasuk golongan wanita yang haram untuk dinikahi.

Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab


Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki seorang perempuan yang bukan mahram. Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa menikah disebut zina, dan zina haram hukumnya di dalam agama Islam. Seiring dengan perkembangan pandangan mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki, maka hukum yang ditetapkan juga memberi jalan Perkawinan Wanita Hamil akibat zina. Dalam penelitian ini, rumusan masalahnya adalah Bagaimanakah hukum Perkawinan Wanita Hamil akibat zina perspektif Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki. Sedangkan tujuan dan kegunaan penelitian diantaranya adalah: Untuk mengetahui hukum Perkawinan Wanita Hamil akibat zina perspektif Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengembangkan dan memperkaya khasanah pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan Perkawinan Wanita Hamil akibat zina perspektif Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki. Untuk meperoleh data-data yang diperlukan penulis menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data dari bukubuku karya para pakar tentang Perkawinan Wanita Hamil akibat zina perspektif Mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki. Setelah memperoleh data yang diperlukan penulis menganalisanya dengan menggunakan pendekatan berfikir deduktif. Berdasarkan analisa data sebagai hasil penelitian, menurut mazhab Syafi’I perkawinan wanita hamil akibat zina diperbolehkan secara mutlak, baik dengan lakilaki yang menghamilinya maupun laki-laki yang bukan menghamilinya, dan dalam kasus tersebut keduanya boleh melakukan hubungan suami isteri setelah melaksanakan akad nikah. Menurut mazhab Maliki membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, namun jika laki-laki yang menikah bukan yang menghamilinya maka hukumnya tidak boleh menikah sampai

wanita tersebut melahirkan.

2017s144.1S 001.4 MUH HIAIMNU Metro Lampung (001-099)Tersedia namun tidak untuk dipinjamkan - Missing

Judul Seri

-

No. Panggil

S 001.4 MUH H

Penerbit IAIM NU METRO : Metro Lampung., 2017
Deskripsi Fisik

-

Bahasa

Indonesia

ISBN/ISSN

-

Klasifikasi

NONE

Tipe Isi

-

Tipe Media

-

Tipe Pembawa

-

Edisi

-

Subyek
Info Detil Spesifik

-

Pernyataan Tanggungjawab

-

Tidak tersedia versi lain


Lampiran Berkas



DETAIL CANTUMANKembali ke sebelumnya


Tekan tombol Enter untuk memulai obrolan

Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab
Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab
Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab
Hukum menikahi wanita hamil diluar nikah menurut 4 Madzhab

MENIKAH merupakan perjalinan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diikat oleh ijab dan kabul. Pernikahan merupakan sunah Rasulullah yang diikuti oleh pengikutnya hingga saat ini.

Terjadinya akad nikah dalam pernikahan juga merupakan penghalalan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Namun, di kalangan masyarakat Indonesia ada yang melakukan hubungan suami istri sebelum pernikahan yang mengakibatkan hamil sebelum menikah.

Diakui atau tidak, banyak contoh di masyarakat maupun dunia artis dan influencer yang menikah dalam kondisi hamil.  Walau ditutupi tapi kemudian diketahui khalayak ramai setelah perjalanan pernikahan keduanya.
 

Lalu bagaimanakah hukum menikah dalam kondisi hamil?

Perlu diketahui bahwa menikah atau menjalankan ijab kabul dalam keadaan hamil adalah sah pernikahannya. Dalam hal ini KUA (Kantor Urusan Agama) berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam atau disebut juga Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991.

Mengenai menikah dalam kondisi hamil ini dijelaskan dalam bab VIII tentang kawin hamil ini Pasal 53 dan 54.
Adapun isi dari Pasal tersebut adalah pada Pasal 53 ayat 1 menjelaskan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pada ayat 2 yaitu perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Pada ayat 3 yaitu dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak dikandung lahir.

Pasal 53 ini cukup jelas menjawab pertanyaan di masyarakat umum yang menanyakan apakah perlu menikah ulang ketika pernikahan dilangsungkan dalam keadaan hamil? Tentu jawabannya adalah tidak perlu diulang dan pernikahannya sah.

Pemahaman mengenai tidak sahnya pernikahan ketika hamil adalah berpedoman pada pertama, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan bahwa tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai ia melahirkan kandungannya.

Kedua, Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina dibolehkan bagi yang telah menghamilinya maupun bagi orang lain.
 

Hal ini diqiyaskan (dianalogi) dengan, “Kalau satu orang mencuri buah dari satu pohon, ketika itu haram. Kemudian dia beli pohon itu, maka apakah buahnya tadi masih haram atau sudah halal? Itu sudah halal. Tadinya haram kemudian menikah baik-baik maka menjadi halal”.
Tapi agar tidak salah paham. Apakah dia terbebas dari dosa berzina ataukah dia terbebas dari murka Tuhan? Tentu tidak. Itu tadi dari segi hukum. Dalam pandangan madzhab ini, wanita yang zina itu tidak mempunyai iddah. Adapun jika melangsungkan pernikahan, maka nikahnya tetap sah.

Pendapat yang ketiga dari Malikiyyah, tidak sah perkawinannya kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan ini harus memenuhi syarat, yaitu harus taubat terlebih dahulu.
 

Pendapat yang keempat dari Madzhab Hanafiyyah masih terdapat perbedaan pendaan pendapat, di antaranya : 1.    Pernikahan tetap sah , baik dengan laki-laki yang menghamili atau tidak. 2.    Pernikahan sah dengan syarat harus dengan laki-laki yang menghamili, dan tidak boleh di kumpuli kecuali sudah melahirkan. 3.    Boleh nikah dengan orang lain asal sudah melahirkan. 4.    Boleh nikah asal sudah melewati masa haid dan suci, dan ketika sudah menikah maka tidak boleh dikumpuli kecuali sudah melewati masa istibro (masa menunggu bagi seorang wanita setelah mengandung).

Adapun pada Pasal 54 pada bab VIII ini berisi tentang pernikahan dalam keadaan ihram. Pada ayat 1 yaitu selama seorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. Pada ayat 2 menjelaskan tentang apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

Ihram adalah keadaan seseorang yang telah berniat untuk melaksanakan ibadah haji dan atau umrah. Dalam keadaan ini seorang dilarang untuk menikah ataupun menjadi wali menurut Pasal 54 KHI.

Mengenai jawaban menikah dalam kondisi hamil ini perlu disebarluaskan kepada masyarakat Indonesia untuk memahami hukum permasalahan dalam kehidupan yang dekat sekali atau sering kita jumpai ini. Perlu juga untuk diketahui oleh para dai, ustadz, maupun kiai karena tidak sedikit para dai yang berceramah tidak memahami akan adanya Pasal 53 KHI ini.

KHI ini juga merupakan salah satu produk Fiqh Indonesia, karena merupakan serapan dari berbagai kitab-kitab klasik yang ada dengan mempertimbangkan kemaslahatan umat. Serta KHI juga dijadikan pedoman oleh para Hakim di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan masalah talak, cerai, rujuk, waris, wakaf, harta bersama, dan sebagainya.

(Dian Ramadhan/ Mahasiswa Prodi Hukum Keluarga Pascasarjana Hukum Keluarga UIN Raden Intan Lampung

Editor: Safwanto