Oleh: YANA DESKAPENA ABSTRAK Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan pakan ternak adalah dengan menggunakan bahan pakan lokal. Di Indonesia kulit singkong sudah banyak dijadikan pakan untuk ternak ruminansia baik untuk pengemukan ataupun pembibitan. Tujuan dari penelitaian ini adalah melihat pengaruh pemberian kulit singkong sebagai pakan tambahan untuk sapi potong. Penelitian ini direncanakan selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2016 sampai bulan November 2016. Lokasi penelitian adalah di kandang Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ). Penelitian ini menggunakan 3 perlakuan dan 5 ulangan, dimana pada P1 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 30 %, P2 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 40 %, dan P3 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 50 %. Setiap ulangan menggunakan 1 ekor sapi, jadi untuk keseluruhanya digunakan 15 ekor sapi. Bila ditinjau tiap komponen penyusun pakan, kulit singkong menunjukkan tingkat palatabilitas yang baik dan relatif lebih disukai dari pada bahan lain. Hal ini menunjukkan bahwa kulit singkong mempunyai peluang yang cukup besar sebagai bahan pakan alternatif. Kesimpulan, singkong merupakan salah satu bahan pakan alternatif yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pakan sumber energi. Kata kunci : kulit singkong, sapi potong, PENDAHULUAN Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan di dalam usaha budidaya ternak, disamping mutu bibit dan tata laksana,dan Pakan juga adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan baik penggemukan maupun pembibitan sapi potong. Ketersediaan hijauan di Indonesia kerap kali menjadi masalah untuk peternak,untuk itu para peternak harus membuat pakan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan pakan selain dari hijauan.Kulit singkong merupakan limbah dari singkong yang telah diolah menjadi produk lain. Ketersediaan kulit singkong di Indonesia sangat melimpah sehingga dapat dimanfaatkan. Kulit singkong memang mengandung protein yang rendah namun memiliki kandungan karbohidrat yang lumayan tinggi (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2009). Di Indonesia kulit singkong sudah banyak dijadikan pakan untuk ternak ruminansia baik untuk pengemukan ataupun pembibitan. Peternak di Indonesia bisa memanfaatkan kulit singkong untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya sebagai pakan alternatif ataupun sebagai pakan tambahan untuk memenuhi kekurangan dari hijauan pakan. Kulit singkong bisa diberikan kepada ternak secara langsung ataupun bisa di fermentasi terlebih dahulu (Wikanastri (2012). Feed Suplemen Kulit singkong bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan tambahan untuk ruminansia karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi.Kulit singkong merupakan hasil samping industri pengolahan ketela pohon seperti kripik singkong dan tepung tapioka. Kulit singkong cukup banyak jumlahnya, setiap kilogram umbi ketela pohon biasanya dapat menghasilkan 15-20% kulit umbi, maka semakin tinggi jumlah produksi singkong, semakin tinggi pula kulit yang dihasilkan. Kulit singkong saat ini mulai banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Nilai nutrisi kulit singkong relatif baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia, karena mengandung protein kasar 8,11%; serat kasar 15,20% dan TDN 74.73% (Rukmana, R. 1997). Marjuki dkk, (2005) menambahkan bahwa kulit ketela pohon mengandung BETN 68,5%, ini menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat terlarutnya cukup tinggi. Kandungan gizi kulit singkong Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong yang ada di Indonesia. Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16% dari berat umbi singkong tersebut (SUPRIYADI, 1995). Protein kasar 4,8 %, Serat kasar 21.2 %, Ekstrak eter 1,22 %, Abu 4,2 % , Ekstrak tanpa N 68 %, Ca 0,36 %, P 0,112 %, Mg 0,227 %, Energi metabolis 2960.(DEVENDRA, 1977).Limbah kulit ubi kayu termasuk salah satu bahan pakan yang mempunyai energi (Total Digestible Nutrients = TDN) tinggi, disamping mempunyai kandungan nutrisi yang cukup lengkap yaitu BK 17,45%, Protein 8,11%, TDN 74,73%. SK 15,20%, Lemak 1,29%, Ca 0,63% dan P 0,22% (Rukmana, 1997). Pengaruh kulit singkong terhadap peformans ternak sapi Bila ditinjau tiap komponen penyusun pakan, kulit singkong menunjukkan tingkat palatabilitas yang baik dan relatif lebih disukai dari pada bahan lain. Hal ini menunjukkan bahwa kulit singkong mempunyai peluang yang cukup besar sebagai bahan pakan alternatif, (ANDRIZAL, 2003) Kendala kulit ubi kayu sebagai bahan pakan ternak Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa kulit singkong memiliki kandungan protein yang rendah dan serat kasar yang tinggi serta memiliki kandungan HCN (asam sianida/racun sianida) di dalamnya, di mana HCN ini berfungsi sebagai zat anti nutrisi yang merugikan terhadap ternak, keadaan kulit singkong yang rendah nutrisi dan berzat anti nutrisi tersebut menjadi untuk diperbaiki fungsi nutrisinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan kadar serat kasar dan HCN kulit singkong. Racun sianida berbahaya bagi ternak, jadi sebelum dijadikan pakan ternak, diperlukan cara-cara untuk mengurangi atau menghilangkan racun tersebut dari bagian tanaman singkong yang digunakan. COURSEY(1974) menyatakan bahwa HCN mempunyai ikatan yang tidak begitu kuat, mudah menguap dan hilang atau berkurang dengan jalan pengolahan, seperti pencucian, perendaman, perebusan, pengukusan, dan pemanasan. TJOKROADIKOESOEMO(1988), menyatakan bahwa racun HCN dapat dihilangkan dengan cara sederhana antara lain melalui penggorengan, pengukusan, penjemuran, atau diolah menjadi panganan-panganan lainnya. KOMPIANG et al.(1993) menambahkan bahwa kandungan HCN dalam suatu bahan pakan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan proses fermentasi. KESIMPULAN Singkong merupakan salah satu bahan pakan alternatif yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan pakan sumber energi strategis. Kulit singkong bisa dijadikan pakan alternatif atau sebagai bahan pakan tambahan untuk memenuhu kebutuhan pakan ternak. DAFTAR PUSTAKA ANDRIZAL. 2003. Potensi, tantangan dan kendala pengembangan agro-industri ubikayu dan kebijakan industri perdagangan yang diperlukan. Pemberdayaan agribisnis ubi kayu mendukung ketahanan pangan. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Badan Pusat Statistik. 2012. Luas Produktivitas Tananaman Ubi Kayu di Seluruh Provinsi Tahun 2012. Badan Pusat Statistik. COURSEY. D.G. 1974. Cassava as Food ; Toxicity and Technology. Proc. of Interdiciplinary Workshop, London. pp. 27 – 36. DEPARTEMEN PERTANIAN, 2009,Penggunaan Limbah Kulit Singkong terhadap pengembangan dan penggemukan sapi potong. DEVENDRA, C. 1977. Cassava as a Feed Source For Ruminant. In:Cassava as Animal Feed. NESTEL, B. and M. GRAHAM(Eds.). IDRC-095e. 107 – 119. KOMPIANG, I.P., J. DARMA, T. PURWADARIAdan SUPRIYATI. 1992, 1993. Laporan Tahunan Proyek P4N-Balitnak. No: PL.420.205.6413/ P4N. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Marjuki, Soebarinoto, W. H Utomo. 2005. The Use of Cassava Roots And Leaves In Livestock Feeding In Indonesia. The Use of Cassava Roots And Leaves For On Farm Animal Feeding. Editor R.H Howeler. Proceeding of A Regional Workshop. Hue City. Vietnam. Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu. Kanisius.Yogyakarta. SUPRIYADI. 1995. Pengaruh Tingkat Penggunaan Hasil Fermentasi Kulit Ubi Kayu oleh Jamur Asfergillus nigerdalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging Periode Starter. Skripsi. Universitas Padjadjaran, Bandung. TJOKROADIKOESOEMO, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. PTGramedia, Jakarta. Wikanastri. 2012. Aplikasi Proses Fermentasi Kulit Singkong Menggunakan Starter Asal Limbah Kubis dan Sawi Pada Pembuatan Pakan Ternak Berpotensi Probiotik. Seminar Hasil-Hasil Penelitian – LPPM UNIMUS 2012. Universitas Muhammadiyah Semarang.Zain M. 1999. Pengaruh Level Bungkil Biji Kapuk dalam Ransum Kambing Perah Laktasi.
Oleh : Juli Masdeka Sari ABSTRAK Dalam rangka meningkatkan ketersediaan bahan pakan ternak yang berkualitas, mengurangi ketergantungan pada impor, serta mendukung peningkatan produksi peternakan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani, serta meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan meningkatnya populasi dan nutrisi yang lebih baik. Onggok, sebagai bahan organik mempunyai potensi sebagai bahan pakan ternak unggas. Namun, ada beberapa kendala dalam penggunaan onggok sebagai pakan unggas, diantaranya nilai gizinya (protein) rendah dan kandungan antinutrisi yang tinggi. Untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Menurut Supriyati (2003), Setelah fermentasi kadar protein onggok meningkat dari sekitar 2,2 menjadi sekitar 18,6%. Produk yang dihasilkan diujicobakan pada berbagai jenis unggas. Penggunaan campuran onggok dan ampas tahu fermentasi 30 % (RD) memberikan produksi terbaik, berat telur tertinggi dan konversi ransum terendah Hasil ujicoba ,onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela juga tidak ada perbedaan yang nyata. Namun, pemberian lebih tinggi dari 10%, perlu pengkajian lebih lanjut. Kata kunci : Onggok, fermentasi, unggas. Pendahuluan Onggok yang berasal dari ubi kayu merupakan hasil ikutan padat dari pengolahan tepung tapioka. Sebagai ampas pati singkong (ubi kayu) yang mengandung banyak karbohidrat, onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, nilai gizi yang terkandung pada onggok adalah protein 3,6%; lemak 2,3%;air 20,31 % dan abu 4,4%. Ketersediaanya terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka. Hal ini diindikasikan dengan semakin luas areal penanaman dan produksi ubikayu. Luas areal tanaman meningkat dari 1,3 juta hektar dengan produksi 13,3 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1.8 juta hektar dengan produksi 19,4 juta ton pada tahun 1995 (BPS,1996). ENIE (1989) melaporkan dari setiap ton ubi kayu akan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok. Dilaporkan pula bahwa onggok tersebut merniliki potensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Penggunaan onggok dalam penyusunan pakan ternak sangat terbatas, terutama untuk monogastrik. Hal tersebut disebabkan kandungan protein onggok cukup rendah kurang dari 5%) dan disertai dengan kandungan serat kasar yang tinggi (lebib dari 35%) (GRACE, 1997). Proses bioteknologi dengan menggunakan teknik fermentasi padat mempunyai prospek untuk meningkatkan mutu gizi dari bahan-bahan yang bermutu rendah (KOMPIANG et al., 1994). KOMPIANG et al. (1994) dan DAUBRASE et al. (1987) melaporkan bahwa cassapro (cassava berprotein tinggi), produk fermentasi dari umbi ubikayu, memiliki kandungan proteinnya 18-42%, lebih tinggi dari bahan asalnya ubikayu, yang hanya mencapai 3%. Pada penggunaan rendah (5%), disamping sebagai sumber protein, cassapro juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (kompiang et al., 1994), yang diperkirakan sebagai akibat terbentuknya berbagai enzim selama proses fermentasi berlangsung. Telah dilaporkan bahwa, Aspergillus niger, kapang yang digunakan dalam proses fernientasi cassapro menghasilkan berbagai enzim seperti antara lain amilase, selulase, dan fitase (SANI et al., 1992; PURWADARIA et al., 1997: SUSANA et al., 2000). Untnk mengatasi masalah yang disebabkan oleh onggok dan pada saat yang sama juga me~iingkatkan penyediaan bahan baku pakan yang bermutu, perlu dilakukan penelitian peningkatan mum, terutama kandungan protein onggok dengan proses bioteknologi melalui fermentasi substrat padat dan pemanfaatannya untuk ternak unggas. Komposisi Onggok Serat kasar merupakan nutrien khas penyusun dinding sel tanaman, yang sebagian besar adalah selulosa. Selulosa adalah polimer D-glukosa dengan ikatan β-1,4 glikosidik yang tidak dapat dicerna oleh unggas (Mulyono, at al., 2009). Nutrien utama onggok adalah karbohidrat yaitu 60-70% (Tisnadjaja, 1996), dengan kornponen utama berupa pati (Judoamidjojo et al., 1992). Nutrien lain yang harus diperhitungkan apabila onggok digunakan sebagai bahan pakan unggas adalah tingginya serat kasar, rendahnya protein, rendahnya kecernaan (Puslitbangnak, 1996), dan adanya senyawa anti-nutrisi (Suliantari dan Rahayu, \ I 1990), yang mana anti nutrisi tersebut adalah asam sianida (HCN). Kandungan zat makanan yang dimiliki onggok adalah protein kasar 1,88%, serat kasar 15,62%, lemak kasar 0,25%, abu 1,15%, Ca 0,31%, P 0,05% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 81,10% (Wizna et al., 2008b). Onggok mempunyai kandungan protein kasar yang rendah dan serat kasar yang tinggi sehingga terbatas penggunaannya sebagai pakan ternak unggas. Fermentasi onggok Penggunaan onggok sebagai pakan ternak dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain rendahnya nilai gizi (protein) dan masih tingginya kandungan sianida, untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Melalui teknologi fermentasi dengan Aspergillus niger diharapkan akan meningkatkan nilai gizi (yang dicarikan antara lain dengan meningkatnya kandungan protein kasar) dan menurunkan kandungan zat antinutrisi HCN pada onggok terolah. Menurut Supriyati (2003), sebelum difermentasi onggok tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu, sampai kadar airnya maksimal 20% dan selanjutnya digiling. Untuk setiap 10 kg bahan baku pakan dibutuhkan 80 gram kapang A. niger dan 584,4 gram campuran mineral anorganik. Sedang untuk preparasinya adalah sebagai berikut: 10 kg onggok kering giling dimasukkan ke dalam baskom besar (ukuran 50 kg). Selanjutnya ditambah 584,4 gram campuran mineral dan diaduk sampai rata. Kemudian ditambah air hangat sebanyak delapan liter, diaduk rata dan dibiarkan selama beberapa menit. Setelah agak dingin ditambahkan 80 gram A. niger dan diaduk kembali. Setelah rata dipindahkan ke dalam baki plastik dan ditutup. Fermentasi berlangsung selama empat hari. Setelah terbentuk miselium yang terlihat seperti fermentasi tempe, maka onggok terfermentasi dipotong-potong, diremas-remas dan dikeringkan dalam oven pada suhu 600C dan selanjutnya digiling. Komposisi Gizi Onggok Onggok yang telah difermentasi dianalisa kandungan nutriennya, antara onggok dan onggok terfermentasi berbeda. Yaitu, kandungan protein kasar dan protein sejati, masing-masing meningkat dari 2,2 menjadi 18,4%. Sedang karbohidratnya menurun dari 51,8 menjadi 36,2% Sementara kandungan serat kasar onggok terfermentasi cenderung menurun. (Tabel1). Hal ini terjadi karena selama fermentasi, kapang A. niger menggunakan zat gizi (terutama karbohidrat) untuk pertumbuhannya. Dan kandungan protein meningkat dari 2,2 menjadi 18,4%, dengan menggunakan urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen. Tabel 1. Komposisi gizi onggok
Hasil penelitian Tabrany S, dkk menunjukkan bahwa fermentasi onggok dengan Aspergillus niger sampai 4 minggu secara statistik sangat nyata (p<0> Performa Unggas Sabrina et al (2008) telah mencoba memberikan campuran onggok dan ampas tahu fermentasi 30 % (RD) memberikan produksi terbaik, berat telur tertinggi dan konversi ransum terendah dibanding dengan perlakuan perlakuan lainya (Tabel 2). Tabel 2. Performa Ayam Dan Kualitas Telur yang Menggunakan Ransum Mengandung Onggok Fermentasi Dengan N.Crassa
Dari penelitian lainya penggunaan onggok fermentasi sampai dengan 10% dalam formulasi pakan ayam pedaging masih aman dan tidak menimbulkan dampak negatif. Artinya aman untuk dikonsumsi oleh ayam. Dan dapat meningkat produksinya masing-masing 9,7% dan 30,9%. Bobot telur juga meningkat pada ayam yang memperoleh ransum onggok terfermentasi (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh Penggunaan Onggok Terfermentasi dalam Ransum terhadap Kualitas Telur.
Pada percobaan di Balai Penelitian Ternak Balitnak, digunakan 144 ekor ayam pedaging umur tiga hari, dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Masing-masing perlakuan (P1, P2 dan P3) diberi formula pakan dengan tiga tingkatan onggok terfermentasi yang berbeda. Yaitu, P1: 0% (kontrol), P2: 5,0% dan P3: 10,0% (onggok terfermentasi) dalam pakan. Namun kandungan protein kasar dari ransum tersebut telah diperhitungkan dan untuk tiap-tiap formula adalah sebagai berikut: P1: 20,7%, P2: 21,04% dan P3: 21,05%. Percobaan dilakukan selama empat minggu. Sedang pertambahan bobot badan dari kelompok ayam yang memperoleh pakan onggok terfermentasi 10% (P3) sebesar 960 gram. Dan ini tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam P2 (5% onggok terfermentasi). Pada kedua pertakuan (P2 dan P3), juga tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (0% onggok terfermentasi), yang mempunyai bobot hidup sebesar 988 gram. Konsumsi pakan juga tidak berbeda antar perlakuan dan selama perlakuan konsumsi pada kel. P1, P2 dan P3, masing-masing adalah 1882, 1912 dan 1869 gram. Sedang untuk nilai konversi pakan adalah 1,90 untuk semua perlakuan. Dengan demikian, maka onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela juga tidak ada perbedaan yang nyata. Namun, pemberian lebih tinggi dari 10%, perlu pengkajian lebih lanjut. Sebab pada penelitian sebelumnya pernah dilaporkan bahwa, penggunaan cassapro ubikayu, lebih dari 10% dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pertambahan bobot badan maupun konversi pakan. Kesimpulan Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, mutu onggok dapat ditingkatkan sebagai bahan baku pakan sumber protein, yang pemanfaatannya dapat dikembangkan pada tingkat peternak. Bila ditinjau dari aspek kandungan proteinnya, maka kemungkinan ke depan, penggunaan onggok terfermentasi untuk pakan unggas memiliki prospek yang baik dan diharapkan dapat menggantikan jagung/dedak atau polard. Pengguna onggok terfermentasi dalam ransum memberikan efesiensi produksi yang lebih baik dan biaya produksi lebih rendah. DAFTAR PUSTAKA ENIE, A.B. 1989. Teknologi pengolahan singkong. Pros.Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Fakultas Pertnian UNPAD. http://acadstaff.ugm.ac.id/profile_dosen_4.php?rand=MTMxNDcxNDg1 http://markusti.multiply.com http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr246027.pdf http://onlinebuku.com/2009/01/02/pemanfaatan-onggok-fermentasi-sebagai-pakan-ternak/ http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=1454&idc=36 html+pemanfaatan+onggok+sebagai+energi&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id http://peternakan.litbang.deptan.go.id/?q=node/43 Nuraini, Sabrina dan S. A. Latif. 2008. Performa Ayam dan Kualitas Telur yang Menggunakan Ransum Mengandung Onggok Fermentasi dengan Neurospora crassa. Media Peternakan, Vol. 31 No. 3 ISSN 0126-0472. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang Nurhayati. 2006. Pengaruh Tingkat Penggunaan Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok Terfermentasi oleh Aspergillus niger dalam Pakan terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Jurnal Indonesia Tropic Animal Agriculture 32 [1]. Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung. Bandar Lampung. Sinurat, a.p., p. Setiadi, a. Lasmini, a.r.Setioko, t. Purwadaria, i.p. Kompiang dan J. Darma. 1995. Penggunaan Cassapro (Singkong Terfermentasi) untuk Itik Petelur. Ilmu dan Peternakan 8(2): 28-31 Supriyati. 2003. Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol 8, No 3. Departemen Pertanian Pusat Penelitian daan Pengembangan Peternakan. Jakarta. Abstrak Supriati, DKK 2004, Onggok Terfermentasi Sebagai Bahan Baku Pakan ayam Kampung Petelur. Balai Penelitian Ternak. Malangbong Garut: 82-85 Tarmudji MS. 2004. Pemanfaatan Onggok untuk Pakan Unggas. Tabloid Sinar Tani. Bogor. Page 2
|