Hasil ikutan pengolahan singkong menjadi tapioka yang bisa digunakan untuk pakan ruminansia adalah

Oleh: YANA DESKAPENA

ABSTRAK

Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan pakan ternak adalah dengan menggunakan bahan pakan lokal. Di Indonesia kulit singkong sudah banyak dijadikan pakan untuk ternak ruminansia baik untuk pengemukan ataupun pembibitan. Tujuan dari penelitaian ini adalah melihat pengaruh pemberian kulit singkong sebagai pakan tambahan untuk sapi potong. Penelitian ini direncanakan selama 3 bulan, yaitu dari bulan Agustus 2016 sampai bulan November 2016. Lokasi penelitian adalah di kandang Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap ( RAL ). Penelitian ini menggunakan 3 perlakuan dan 5 ulangan, dimana pada P1 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 30 %, P2 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 40 %, dan P3 = pemberian pakan tambahan kulit singkong sebanyak 50 %. Setiap ulangan menggunakan 1 ekor sapi, jadi untuk keseluruhanya digunakan 15 ekor sapi. Bila  ditinjau  tiap  komponen  penyusun pakan,  kulit  singkong  menunjukkan  tingkat palatabilitas yang baik dan relatif lebih disukai dari  pada  bahan  lain.  Hal  ini  menunjukkan bahwa  kulit  singkong  mempunyai  peluang yang  cukup  besar  sebagai  bahan  pakan alternatif. Kesimpulan, singkong  merupakan  salah  satu  bahan pakan  alternatif  yang  potensial  untuk dikembangkan  sebagai  bahan  pakan  sumber energi.

Kata kunci : kulit singkong, sapi potong,

PENDAHULUAN

Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan di dalam usaha budidaya ternak, disamping mutu bibit dan tata laksana,dan Pakan juga adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan merupakan biaya produksi yang terbesar dalam usaha peternakan baik penggemukan maupun pembibitan sapi potong. Ketersediaan hijauan di Indonesia kerap kali menjadi masalah untuk peternak,untuk itu para peternak harus membuat pakan alternatif yang dapat memenuhi kebutuhan pakan selain dari hijauan.Kulit singkong merupakan limbah dari singkong yang telah diolah menjadi produk lain. Ketersediaan kulit singkong di Indonesia sangat melimpah sehingga dapat dimanfaatkan. Kulit singkong memang mengandung protein yang rendah namun memiliki kandungan karbohidrat yang lumayan tinggi (DEPARTEMEN PERTANIAN, 2009).

Di Indonesia kulit singkong sudah banyak dijadikan pakan untuk ternak ruminansia baik untuk pengemukan ataupun pembibitan. Peternak di Indonesia bisa memanfaatkan kulit singkong untuk memenuhi kebutuhan pakan ternaknya sebagai pakan alternatif ataupun sebagai pakan tambahan untuk memenuhi kekurangan dari hijauan pakan. Kulit singkong bisa diberikan kepada ternak secara langsung ataupun bisa di fermentasi terlebih dahulu (Wikanastri (2012).

Feed Suplemen

Kulit singkong bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan tambahan untuk ruminansia karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi.Kulit  singkong  merupakan  hasil  samping  industri  pengolahan  ketela  pohon  seperti  kripik singkong dan tepung tapioka. Kulit singkong cukup banyak jumlahnya, setiap kilogram umbi ketela pohon  biasanya  dapat  menghasilkan  15-20%  kulit  umbi,  maka  semakin  tinggi  jumlah  produksi singkong,  semakin  tinggi  pula  kulit  yang  dihasilkan.  Kulit  singkong  saat  ini  mulai  banyak dimanfaatkan  sebagai  pakan  ternak.  Nilai  nutrisi  kulit  singkong  relatif  baik  untuk  dimanfaatkan sebagai  pakan  ternak  ruminansia,  karena  mengandung  protein  kasar  8,11%;  serat  kasar  15,20% dan TDN 74.73% (Rukmana, R. 1997).

Marjuki dkk, (2005) menambahkan bahwa kulit ketela pohon mengandung  BETN  68,5%,  ini  menunjukkan  bahwa  kandungan  karbohidrat  terlarutnya  cukup tinggi.

Kandungan gizi kulit singkong

Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong yang ada di Indonesia. Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16% dari berat umbi singkong tersebut (SUPRIYADI, 1995). Protein kasar 4,8 %, Serat kasar 21.2 %, Ekstrak eter 1,22 %, Abu 4,2 % , Ekstrak tanpa N 68 %, Ca 0,36 %, P 0,112 %, Mg 0,227 %, Energi metabolis 2960.(DEVENDRA, 1977).Limbah kulit ubi  kayu termasuk salah satu bahan pakan yang mempunyai energi  (Total  Digestible  Nutrients  =  TDN)  tinggi,  disamping  mempunyai kandungan  nutrisi  yang  cukup  lengkap  yaitu  BK  17,45%,  Protein  8,11%,  TDN 74,73%. SK 15,20%, Lemak 1,29%, Ca 0,63% dan P 0,22% (Rukmana, 1997).

Pengaruh kulit singkong terhadap peformans ternak sapi

Bila  ditinjau  tiap  komponen  penyusun pakan,  kulit  singkong  menunjukkan  tingkat palatabilitas yang baik dan relatif lebih disukai dari  pada  bahan  lain.  Hal  ini  menunjukkan bahwa  kulit  singkong  mempunyai  peluang yang  cukup  besar  sebagai  bahan  pakan alternatif,  (ANDRIZAL, 2003)

Kendala kulit ubi kayu sebagai bahan pakan ternak

Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa kulit singkong memiliki kandungan protein yang rendah dan serat kasar yang tinggi serta memiliki kandungan HCN (asam sianida/racun sianida) di dalamnya, di mana HCN ini berfungsi sebagai zat anti nutrisi yang merugikan terhadap ternak, keadaan kulit singkong yang rendah nutrisi dan berzat anti nutrisi tersebut menjadi untuk diperbaiki fungsi nutrisinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan kadar serat kasar dan HCN kulit singkong.

Racun sianida berbahaya bagi ternak, jadi sebelum dijadikan pakan ternak, diperlukan cara-cara untuk mengurangi atau menghilangkan racun tersebut dari bagian tanaman singkong yang digunakan. COURSEY(1974) menyatakan bahwa HCN mempunyai ikatan yang tidak begitu kuat, mudah menguap dan hilang atau berkurang dengan jalan pengolahan, seperti pencucian, perendaman, perebusan, pengukusan, dan pemanasan. TJOKROADIKOESOEMO(1988), menyatakan bahwa racun HCN dapat dihilangkan dengan cara sederhana antara lain melalui penggorengan, pengukusan, penjemuran, atau diolah menjadi panganan-panganan lainnya. KOMPIANG et al.(1993) menambahkan bahwa kandungan HCN dalam suatu bahan pakan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan proses fermentasi.

KESIMPULAN

Singkong  merupakan  salah  satu  bahan pakan  alternatif  yang  potensial  untuk dikembangkan  sebagai  bahan  pakan  sumber energi  strategis. Kulit singkong bisa dijadikan pakan alternatif atau sebagai bahan pakan tambahan untuk memenuhu kebutuhan pakan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

ANDRIZAL. 2003.  Potensi,  tantangan  dan  kendala pengembangan  agro-industri  ubikayu  dan kebijakan  industri perdagangan  yang diperlukan. Pemberdayaan agribisnis ubi kayu mendukung  ketahanan  pangan.  Balai Penelitian  Tanaman  Kacang-kacangan  dan Umbi-umbian.

Badan  Pusat  Statistik.  2012.   Luas  Produktivitas  Tananaman  Ubi  Kayu  di  Seluruh  Provinsi  Tahun 2012. Badan Pusat Statistik.

COURSEY.  D.G. 1974. Cassava as Food ; Toxicity and Technology.  Proc. of Interdiciplinary Workshop, London. pp. 27 – 36.

DEPARTEMEN PERTANIAN, 2009,Penggunaan Limbah Kulit Singkong terhadap pengembangan dan penggemukan sapi potong.

DEVENDRA, C. 1977. Cassava as a Feed Source For Ruminant. In:Cassava as Animal Feed. NESTEL,  B. and M.  GRAHAM(Eds.). IDRC-095e. 107 – 119.

KOMPIANG,  I.P.,  J.  DARMA,  T.  PURWADARIAdan SUPRIYATI. 1992, 1993. Laporan Tahunan Proyek P4N-Balitnak. No: PL.420.205.6413/ P4N. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Marjuki,  Soebarinoto,  W.  H  Utomo.  2005.  The  Use  of  Cassava  Roots  And  Leaves  In  Livestock Feeding In Indonesia. The Use of  Cassava Roots And  Leaves For On Farm Animal Feeding. Editor R.H Howeler. Proceeding of A Regional Workshop. Hue City. Vietnam.

Rukmana, R. 1997. Ubi Kayu. Kanisius.Yogyakarta.

SUPRIYADI. 1995. Pengaruh Tingkat Penggunaan Hasil Fermentasi Kulit Ubi Kayu oleh Jamur Asfergillus nigerdalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging Periode Starter. Skripsi. Universitas Padjadjaran, Bandung.

TJOKROADIKOESOEMO, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. PTGramedia, Jakarta.

Wikanastri.  2012.  Aplikasi  Proses  Fermentasi  Kulit  Singkong  Menggunakan  Starter  Asal  Limbah Kubis dan Sawi Pada Pembuatan Pakan Ternak Berpotensi Probiotik.  Seminar Hasil-Hasil Penelitian – LPPM UNIMUS 2012. Universitas Muhammadiyah Semarang.Zain M. 1999. Pengaruh Level Bungkil Biji Kapuk dalam Ransum Kambing Perah Laktasi.

Oleh : Juli Masdeka Sari

ABSTRAK

Dalam rangka meningkatkan ketersediaan bahan pakan ternak yang berkualitas, mengurangi ketergantungan pada impor, serta mendukung peningkatan produksi peternakan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani, serta meningkatkan ketahanan pangan nasional dengan meningkatnya populasi dan nutrisi yang lebih baik. Onggok, sebagai bahan organik mempunyai potensi sebagai bahan pakan ternak unggas. Namun, ada beberapa kendala dalam penggunaan onggok sebagai pakan unggas, diantaranya nilai gizinya (protein) rendah dan kandungan antinutrisi yang tinggi. Untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Menurut Supriyati (2003), Setelah fermentasi kadar protein onggok meningkat dari sekitar 2,2 menjadi sekitar 18,6%. Produk yang dihasilkan diujicobakan pada berbagai jenis unggas. Penggunaan campuran  onggok dan ampas tahu fermentasi 30 % (RD) memberikan produksi terbaik, berat telur tertinggi dan konversi ransum terendah Hasil ujicoba ,onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela juga tidak ada perbedaan yang nyata. Namun, pemberian lebih tinggi dari 10%, perlu pengkajian lebih lanjut.

Kata kunci : Onggok, fermentasi, unggas.


Pendahuluan

Onggok yang berasal dari ubi kayu merupakan hasil ikutan padat dari pengolahan tepung tapioka. Sebagai ampas pati singkong (ubi kayu) yang mengandung banyak karbohidrat, onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi, nilai gizi yang terkandung pada onggok adalah protein 3,6%; lemak 2,3%;air 20,31 % dan abu 4,4%. Ketersediaanya terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi tapioka. Hal ini diindikasikan dengan semakin luas areal penanaman dan produksi ubikayu. Luas areal tanaman meningkat dari 1,3 juta hektar dengan produksi 13,3 juta ton pada tahun 1990 menjadi 1.8 juta hektar dengan produksi 19,4 juta ton pada tahun 1995 (BPS,1996). ENIE (1989) melaporkan dari setiap ton ubi kayu akan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 kg onggok. Dilaporkan pula bahwa onggok tersebut merniliki potensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik. Penggunaan onggok dalam penyusunan pakan  ternak sangat terbatas, terutama untuk monogastrik. Hal tersebut disebabkan kandungan protein onggok cukup rendah kurang dari 5%) dan disertai dengan kandungan serat kasar yang tinggi (lebib dari 35%) (GRACE, 1997).

Proses bioteknologi dengan menggunakan teknik fermentasi padat mempunyai prospek untuk meningkatkan mutu gizi dari bahan-bahan yang bermutu rendah (KOMPIANG et al., 1994). KOMPIANG et al. (1994) dan DAUBRASE et al. (1987) melaporkan bahwa cassapro (cassava berprotein tinggi), produk fermentasi dari umbi ubikayu, memiliki kandungan proteinnya 18-42%, lebih tinggi dari bahan asalnya ubikayu, yang hanya mencapai 3%. Pada penggunaan rendah (5%), disamping sebagai sumber protein, cassapro juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (kompiang et al., 1994), yang diperkirakan sebagai akibat terbentuknya berbagai enzim selama proses fermentasi berlangsung. Telah dilaporkan bahwa, Aspergillus niger, kapang yang digunakan dalam proses fernientasi cassapro menghasilkan berbagai enzim seperti antara lain amilase, selulase, dan fitase (SANI et al., 1992; PURWADARIA et al., 1997: SUSANA et al., 2000).

Untnk mengatasi masalah yang disebabkan oleh onggok dan pada saat yang sama juga me~iingkatkan penyediaan bahan baku pakan yang bermutu, perlu dilakukan penelitian peningkatan mum, terutama kandungan protein onggok dengan proses bioteknologi melalui fermentasi substrat padat dan pemanfaatannya untuk ternak unggas.

Komposisi Onggok

Serat kasar merupakan nutrien khas penyusun dinding sel tanaman, yang sebagian besar adalah selulosa. Selulosa adalah polimer D-glukosa dengan ikatan β-1,4 glikosidik yang tidak dapat dicerna oleh unggas (Mulyono, at al., 2009).

Nutrien utama onggok adalah karbohidrat yaitu 60-70% (Tisnadjaja, 1996), dengan kornponen utama berupa pati  (Judoamidjojo et al., 1992). Nutrien lain yang harus diperhitungkan  apabila onggok digunakan sebagai bahan pakan unggas adalah tingginya serat kasar, rendahnya protein, rendahnya kecernaan (Puslitbangnak, 1996), dan adanya senyawa anti-nutrisi (Suliantari dan Rahayu, \ I 1990), yang mana anti nutrisi tersebut adalah asam sianida (HCN). Kandungan zat makanan yang dimiliki onggok adalah protein kasar 1,88%, serat kasar 15,62%, lemak kasar 0,25%, abu 1,15%, Ca 0,31%, P 0,05% dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) 81,10% (Wizna et al., 2008b). Onggok mempunyai kandungan protein kasar yang rendah dan serat kasar yang tinggi sehingga terbatas penggunaannya sebagai pakan ternak unggas.

Fermentasi onggok

Penggunaan onggok sebagai pakan ternak dihadapkan pada beberapa kendala, antara lain rendahnya nilai gizi (protein) dan masih tingginya kandungan sianida, untuk itu dicari teknik pengolahan yang dapat meningkatkan kandungan nutrisi dan menurunkan kandungan zat antinutrisi pada onggok. Melalui teknologi fermentasi dengan Aspergillus niger diharapkan akan meningkatkan nilai gizi (yang dicarikan antara lain dengan meningkatnya kandungan protein kasar) dan menurunkan kandungan zat antinutrisi HCN pada onggok terolah. Menurut Supriyati  (2003), sebelum difermentasi onggok tersebut harus dikeringkan terlebih dahulu, sampai kadar airnya maksimal 20% dan selanjutnya digiling. Untuk setiap 10 kg bahan baku pakan dibutuhkan 80 gram kapang A. niger dan 584,4 gram campuran mineral anorganik. Sedang  untuk  preparasinya  adalah  sebagai  berikut:   10  kg  onggok  kering  giling dimasukkan ke dalam baskom besar (ukuran 50 kg). Selanjutnya ditambah 584,4 gram campuran mineral dan diaduk sampai rata. Kemudian ditambah air hangat sebanyak delapan liter, diaduk rata dan dibiarkan selama beberapa menit. Setelah agak dingin ditambahkan 80 gram A. niger dan diaduk kembali. Setelah rata dipindahkan ke dalam baki plastik dan ditutup. Fermentasi berlangsung selama empat hari. Setelah terbentuk miselium yang terlihat seperti fermentasi tempe, maka onggok terfermentasi dipotong-potong,  diremas-remas  dan  dikeringkan  dalam  oven  pada  suhu 600C  dan selanjutnya digiling.

Komposisi Gizi Onggok

Onggok yang telah difermentasi  dianalisa  kandungan  nutriennya,  antara  onggok  dan  onggok  terfermentasi berbeda. Yaitu, kandungan protein kasar dan protein sejati, masing-masing meningkat dari 2,2 menjadi 18,4%. Sedang karbohidratnya menurun dari 51,8 menjadi 36,2% Sementara kandungan serat kasar onggok terfermentasi cenderung menurun. (Tabel1). Hal  ini  terjadi  karena  selama  fermentasi,  kapang  A.  niger  menggunakan  zat  gizi (terutama karbohidrat) untuk pertumbuhannya. Dan kandungan protein meningkat dari 2,2 menjadi 18,4%, dengan menggunakan urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen.

Tabel 1. Komposisi gizi onggok

Gizi

Tanpa ferementasi (%BK)

Fermentasi (% BK)

Protein kasar

2,2

18,6

Karbohidrat

51,8

36,2

Abu

2,4

2,6

Serat Kasar

10,8

10,46

Hasil penelitian Tabrany S, dkk menunjukkan bahwa fermentasi onggok dengan Aspergillus niger sampai 4 minggu secara statistik sangat nyata (p<0>

Performa Unggas

Sabrina et al (2008) telah mencoba memberikan campuran  onggok dan ampas tahu fermentasi 30 % (RD) memberikan produksi terbaik, berat telur tertinggi dan konversi ransum terendah  dibanding dengan perlakuan  perlakuan lainya  (Tabel 2).

Tabel 2. Performa Ayam Dan Kualitas Telur yang Menggunakan Ransum Mengandung Onggok Fermentasi Dengan N.Crassa

Performa

Ransum Perlakuan

SE

RA

RB

RC

RD

Konsumsi ransum (g/ekor/hari)

112.01B

112.50B

114.02A

114.79A

1.01

Produksi Hen Day  (%)

65.51D

67.94C

69.12B

71.40A

1.04

Bobot Telur (g/butir)

61.21B

63.07B

67.22A

67.78A

1.07

Massa Telur (g/ekor/hari)

39.61D

40.86C

43.73B

48.40A

1.23

Konversi Ransum (g/hari)

2.85D

2.76C

2.62B

2.55A

1.14

Warna kuning Telur

8.40D

9.00C

10.00B

10.60A

0.23

Kolesterol (mg/100g)

207.20A

175.40B

143.40C

117.80

3.73

Dari penelitian lainya penggunaan  onggok  fermentasi  sampai  dengan  10%  dalam formulasi  pakan  ayam pedaging masih aman dan tidak menimbulkan dampak negatif. Artinya aman untuk dikonsumsi oleh ayam. Dan dapat meningkat produksinya masing-masing 9,7% dan 30,9%. Bobot telur juga meningkat pada ayam yang memperoleh ransum onggok terfermentasi (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh Penggunaan Onggok Terfermentasi dalam Ransum terhadap Kualitas  Telur.

Parameter

Tanpa Onggok Terfermrntasi

Dengan Onggok Terfermentasi

Jumlah Telur (butir)

10.00

10-.00

Bobot Telur (g)

39.60

42.78

Nilai Warna Kuning

6.50

6.00

Haught Unit

97.20

88.55

Tebal Kerabang

0.36

0.38

Pada  percobaan  di  Balai  Penelitian  Ternak  Balitnak,  digunakan 144  ekor  ayam pedaging umur tiga hari, dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Masing-masing perlakuan (P1,  P2  dan  P3)  diberi  formula  pakan  dengan  tiga  tingkatan  onggok terfermentasi yang berbeda. Yaitu, P1: 0% (kontrol), P2: 5,0% dan P3: 10,0% (onggok terfermentasi) dalam pakan. Namun kandungan protein kasar dari ransum tersebut telah diperhitungkan dan untuk tiap-tiap formula adalah sebagai berikut: P1:  20,7%, P2: 21,04% dan P3: 21,05%. Percobaan dilakukan selama empat minggu.

Sedang pertambahan  bobot  badan  dari  kelompok  ayam  yang  memperoleh  pakan  onggok terfermentasi 10% (P3) sebesar 960 gram. Dan ini tidak berbeda nyata dengan kelompok ayam P2 (5% onggok terfermentasi). Pada kedua pertakuan (P2 dan P3), juga tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol (0% onggok terfermentasi), yang mempunyai bobot hidup sebesar 988 gram. Konsumsi pakan juga tidak berbeda antar perlakuan dan selama perlakuan konsumsi pada kel. P1, P2 dan P3, masing-masing adalah 1882, 1912 dan 1869 gram. Sedang untuk nilai konversi pakan adalah 1,90 untuk semua perlakuan.

Dengan demikian, maka onggok terfermentasi sampai dengan 10% dapat digunakan dalam formulasi pakan ayam pedaging. Dan terhadap persentase bobot karkas, bobot hati dan rempela juga tidak ada perbedaan yang nyata.

Namun, pemberian lebih tinggi dari 10%, perlu pengkajian lebih lanjut. Sebab pada penelitian sebelumnya pernah dilaporkan bahwa, penggunaan cassapro ubikayu, lebih dari 10% dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap pertambahan bobot badan maupun konversi pakan.

Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, mutu onggok dapat ditingkatkan sebagai bahan baku pakan sumber protein, yang pemanfaatannya dapat dikembangkan pada  tingkat  peternak.  Bila  ditinjau  dari  aspek  kandungan  proteinnya,  maka kemungkinan ke depan, penggunaan onggok terfermentasi untuk pakan unggas memiliki prospek yang baik dan diharapkan dapat menggantikan jagung/dedak atau polard. Pengguna onggok terfermentasi   dalam   ransum   memberikan  efesiensi produksi yang lebih baik dan biaya produksi  lebih  rendah.


DAFTAR PUSTAKA

ENIE, A.B. 1989. Teknologi pengolahan singkong. Pros.Seminar Nasional Peningkatan Nilai Tambah Singkong. Fakultas Pertnian UNPAD.

http://acadstaff.ugm.ac.id/profile_dosen_4.php?rand=MTMxNDcxNDg1

http://markusti.multiply.com

http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr246027.pdf

http://onlinebuku.com/2009/01/02/pemanfaatan-onggok-fermentasi-sebagai-pakan-ternak/

http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=1454&idc=36

html+pemanfaatan+onggok+sebagai+energi&hl=id&ct=clnk&cd=3&gl=id

http://peternakan.litbang.deptan.go.id/?q=node/43

Nuraini, Sabrina dan S. A. Latif. 2008. Performa Ayam dan Kualitas Telur yang Menggunakan Ransum Mengandung Onggok Fermentasi dengan Neurospora crassa. Media Peternakan, Vol. 31 No. 3  ISSN 0126-0472. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Andalas. Padang

Nurhayati. 2006. Pengaruh Tingkat Penggunaan Campuran Bungkil Inti Sawit dan Onggok Terfermentasi oleh Aspergillus niger dalam Pakan terhadap Penampilan Ayam Pedaging. Jurnal Indonesia Tropic Animal Agriculture 32 [1]. Jurusan Peternakan Politeknik Negeri Lampung. Bandar Lampung.    

Sinurat,   a.p.,   p.   Setiadi,   a.   Lasmini,   a.r.Setioko, t. Purwadaria, i.p. Kompiang dan J.    Darma.  1995.   Penggunaan   Cassapro (Singkong Terfermentasi) untuk Itik Petelur. Ilmu dan Peternakan 8(2): 28-31

Supriyati. 2003. Onggok Terfermentasi dan Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras Pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol 8, No 3. Departemen Pertanian Pusat Penelitian daan Pengembangan Peternakan. Jakarta. Abstrak

Supriati, DKK 2004, Onggok Terfermentasi Sebagai Bahan Baku Pakan ayam Kampung Petelur. Balai Penelitian Ternak. Malangbong Garut: 82-85

Tarmudji MS. 2004. Pemanfaatan Onggok untuk Pakan Unggas. Tabloid Sinar Tani. Bogor.


Page 2

Home Breeding E-books Nutrition Production Technology Magazine Journal Grant Regulation Humor