Hak asasi mana yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.

Hak asasi mana yang sering tidak diperhatikan dalam Gereja

Iman dan Hak-Hak Asasi Manusia(HAM) Dalam TerangLaudato Si: Sebuah Harapan Baru

Oleh: Marcelline Gratia Sephira Taum (Juara I Lomba Esai SALT 2015)

Paus Fransiskusmerilis ensiklik kedua[1] yang berjudul Laudato Si’: On the Care for Our Common Home (Terpujilah Engkau: Tentang Kepedulian terhadap Rumah Kita Bersama) pada tanggal 18 Juni 2015.Pertanyaan pokok ensiklik itu adalah, “Dunia macam apa yang kita ingin tinggalkan bagi orang-orang yang datang setelah kita, bagi anak-anak yang sekarang sedang tumbuh?” Karena per-tanyaan penting itulah, Laudato Si telah menarik perhatian segenap penghuni planet ini, termasuk mereka yang tidak menganut agama Katolik. Ensiklik terse-but diakhiri dengan doa antaragama untuk bumi kita dan doa Kristen untuk cipta-an. Laudato Si tiba-tiba menjadi sebuah ungkapan iman universal yang memberi sebuah harapan dan paradigma baru bagi umat manusia dalam memaknai kehadirannya di antara makhluk-makhluk lainnya di seantero alam semesta.

Umat manusia yang mendiami sebuah bumi yang satu dan sama (we share the same sky) ini memiliki satu tanggung jawab yang sama, yakni menghormati dan membangun martabat manusia di dalam lingkungan alam yang semakin baik dan terjaga. Manusia terkait erat dan tak dapat dipisahkan dari persoalan-persoalan lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya. Dalam konteks inilah, pem-bangunan iman dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) mendapatkan terang dan harapan yang baru untuk dikembangkan menjadi lebih baik. Tulisan ini membatasi diri pada dua buah issu penting, yaitu kaitan antara iman dan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam terang ensiklik Laudato Si.

Situasi HAM: Sebuah Potret Buram

Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Latin yang berbunyi “Homo homini lupus” (Man is a wolf to man). Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Plautus (195 SM) itu muncul dari fakta bahwa manusia sering menikam sesama manusia lainnya. Istilah itu sering muncul dalam diskusi-diskusi mengenai kekejaman yang dilakukan manusia bagi sesamanya. Dalam sejarah peradaban manusia, kekejam-an manusia atas sesamanya merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri.

Berdasarkan kajian atas berbagai pembantaian massal yang terjadi di ber-bagai negara di dunia, Alexander Laban Hinton dalam buku berjudul “The Dark Side of Modernity: Toward an Anthropology of Genocide” (2005) menyebut Abad ke-20 sebagai Abad Genosida (Century of Genocide) karena begitu banyak pem-bantaian manusia oleh sesamanya sendiri. Menurut Laban (2005), abad 20 adalah sebuah abad yang paling memalukan dari segi pelanggaran HAM. Kebanyakan pembantaian massal terjadi pada abad ini, abad dimana manusia tidak merasa aman tinggal di rumahnya sendiri. Kengerian dan ketakutan terhadap teror, kebe-ngisan, kekerasan, kekacauan, kekejaman senantiasa mengintai. Daftar kelompok korban genosida sangat panjang. Diperkirakan, dalam abad 20 saja telah jatuh korban sebanyak 60 juta orang. Kelompok-kelompok korban yang sudah umum diketahui masyarakat dunia adalah —Yahudi, Kamboja, Indonesia, Bosnia, dan Rwanda Tutsi. Kelompok yang mulai dilupakan antara lain Herera, Armenia, petani-petani Ukraina, Gypsi, Bengal, Hutu Burundi, suku Aché di Paraguay, Indian Guatemala, dan Ogoni di Nigeria. Pembantaian para pengikut/simpatisan PKI yang dimulai tahun 1965 disebut Laban sebagai salah satu pembantaian massal terbesar di abad ke-20.

Pada abad ke-21, muncul aksi teror terbesar dan terparah sepanjang sejarah peradaban manusia. Teror yang dimaksud adalah fenomena pelanggaran HAM berat atas nama keyakinan agama ataupun ideologi tertentu. Aksi teror terbesar sepanjang sejarah adalah sebagai berikut (Pratama, 2015). 1). Tragedi WTC (11 September 2001) di New York City dan Washington DC pada 11 Sep-tember 2001 (pelakunya kelompok militan Islam, al-Qaeda), 2). Tragedi Lockerbie (21 Desember 1988) pesawat Boeing 747-100 terdaftar N739PA meledak di udara (pelaku agen rahasia Lybia), 3). Teror Gas Sarin (20 Maret 1995), pelakunya adalah seorang anggota sekte hari kiamat Aum Shinrikyo (Kebenaran Tertinggi) melepaskan gas sarin di kereta komuter di jam sibuk, 4). Bom Oklahoma City (19 April 1995) serangan teroris domestik terbesar kedua dalam sejarah Amerika Seri-kat yang menewaskan 168 orang, 5). Pengeboman Kedubes AS di Nairobi (Kenya) & Darusalam (Tanzania) 7 Agustus 1998, 6). Bom Bali (Indonesia) yang terjadi tanggal 12 Oktober 2002 di Kuta yang menewaskan 202 orang dan mence-derakan 209 yang lain; 7). Teror Moscow (Rusia) tanggal 23-26 Oktober 2002 merupakan hari paling mencekam di gedung pertunjukan Moscow Theater, Rusia; 8). Bom Madrid (Spanyol) 11 Maret 2004; 9). Bom bunuh diri di London, tahun 2005; 10). Bom Mumbai (India) November 2008 merupakan rangkaian serangan teroris terkoordinasi yang terjadi serentak di sejumlah tempat di sekitar kota Mumbai, 11). Bom JW Marriott (Indonesia) tahun 2003.

Selain genosida dan aksi teror dengan jumlah korban yang fantastis, pelanggaran HAM lainnya berupa kejahatan kemanusiaan masih marak terjadi. Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil berupa pembunuh-an, pemusnahan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau berba-gai macam bentuk kekerasan seksual lain, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsa-an, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, penghilangan orang secara paksa, dan kejahatan apartheid.

Jika kita cermati secara lebih intensif dan ekstensif, kita akan sampai pada kesimpulan yang meyakinkan bahwa situasi HAM saat ini, baik di tanah air maupun di dunia, benar-benar merupakan sebuah potret buram.

Laudato Si: Seberkas Cahaya Peradaban

Di tengah-tengah situasi dan kondisi manusia yang memprihatinkan penegakan hak dan martabatnya ini muncullah ensiklik Laudato Si ibarat seberkas cahaya peradaban yang baru. Ensiklik ini berbicara tentang sebuah spiritualitas yang disebut “Spiritualitas Ekologis” yang berisi keprihatinan terhadap “our common house”.

Menurut Laudato Si, yang sedang terjadi di rumah kita adalah: pencema-ran atau polusi, budaya suka buang sampah, perubahan iklim global, krisis air, hilangnya biodiversitas, merosotnya kualitas hidup, terpecah belahnya masya-rakat, ketimpangan global, lemahnya jawaban politisi dan pejabat pemerintah, dan berbagai pandangan yang berbuah ketidakseriusan dengan penanganan masalah lingkungan.

Pendekatan dan cara memandang HAM di dalam ensiklik ini sangat unik, yaitu ditinjau dari sudut pandang ‘spiritualitas ekologis,’ di antara dua krisis besar, yaitu krisis lingkungan hidup dan krisis sosial dalam bentuk ketidakadilan global. Di tengah-tengah kedua krisis inilah, persoalan hak-hak dasar manusia muncul. Misalnya privatisiasi terhadap sumber daya alam (misalnya sumber air) dalam sistem ekonomi kapitalisme berakibat langsung terhadap terancamnya kehi-dupan sekelompok manusia miskin yang kehilangan akses pada sumber air bersih. Hal ini tampak dalam ensiklik Laudato Si (nomor 30).

Sementara kualitas air yang tersedia terus berkurang, di beberapa tempat ada tren makin kuat ke arah privatisasi sumber daya yang terbatas ini, mengubahnya menjadi barang dagangan yang tunduk pada hukum pasar. Namun, akses ke air minum yang aman merupakan hak asasi manusia yang dasariah dan universal, karena sangat menentukan untuk kelang-sungan hidup manusia dan, dengan demikian, merupakan syarat untuk pelaksanaan hak asasi manusia lainnya. Dunia kita mempunyai utang sosial yang serius kepada orang miskin yang tidak memiliki akses ke air minum, karena mereka tidak diberi hak untuk hidup sesuai dengan martabat yang tak dapat dicabut dari mereka (LS 30).

Karena itulah, pada LS 93, Paus menekankan bahwa “bentuk pembangun-an yang tidak menghormati dan tidak memajukan hak-hak asasi manusia, pribadi dan sosial, ekonomis dan politis, termasuk hak-hak bangsa dan masyarakat, tidak akan sungguh layak untuk manusia”.

Hak-hak dasar kaum miskin, termasuk para petani mendapat perhatian khusus dalam LG 94. Para petani secara alamiah memiliki hak atas tanah tempat ia membangun rumah dan bekerja menghidupi keluarganya dan membangun kehi-dupan dengan aman. Hak-hak asasi ini harus dijamin dan dihormati.

“Setiap petani memiliki hak alamiah untuk memiliki bagian tanah yang wajar di mana ia dapat membangun rumahnya, bekerja untuk menghidupi keluarganya dan dapat hidup dengan aman. Hak ini harus dijamin, agar tidak tinggal ilusi tetapi dapat dijalankan secara nyata. Ini berarti bahwa selain harta milik, petani harus punya akses ke pendidikan kejuruan, kredit, asuransi, dan pasar” (LS 94).

Apa yang dikemukakan di dalam Laudato Si merupakan ungkapan iman Kristiani, khususnya Katolik, yang sangat menekankan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia (dan lingkungan) karena manusia diciptakan sesuai dengan citra dan gambaran Tuhan sendiri. Apabila ada yang membantah pandang-an ini, sesungguhnya dia memiliki kepentingan tertentu di bidang politik dan ekonomi untuk memperkaya dirinya dengan merugikan orang lain. Laudato Si merumuskan fondasi yang menyeluruh dan mendalam untuk menjadi dasar bagi perkembangan peradaban manusia secara global. Kesadaran ekologis mengingat-kan manusia di atas muka bumi ini untuk berpijak pada pelestarian lingkungan hidup dan keadilan sosial. Hanya dengan jalan ini, kemiskinan global dan pengerusakan lingkungan hidup akibat tindakan manusia bisa diatasi.

Kesimpulan

Sepanjang peradaban manusia, selalu saja terjadi tindakan yang merendah-kan dan menghina martabat dan hak-hak dasar manusia. Tindakan-tindakan yang merendahkan dan menghina martabat manusia itu terlihat jelas di dalam bentuk genosida, pelanggaran kemanusiaan, teror, dan kejahatan kemanusiaan lainnya.

Sekalipun fenomena pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang usianya setua peradaban manusia, pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya mengentaskannya belum membawa hasil yang menggembirakan sepanjang sejarah. Banyak orang tidak menyadari bahwa meren-dahkan dan melanggar HAM membawa dampak yang besar, tidak hanya bagi orang-orang tertindas itu sendiri melainkan juga bagi seluruh komunitas masyara-kat, bahkan bagi kehidupan seluruh dunia.

Di tengah kegalauan kultural dan pesimisme massal masyarakat dunia, muncullah ensiklik “Laudato Si” laksana terbitnya matahari baru yang membawa seberkas cahaya ke tengah-tengah kegelapan. Ensiklik ini meletakkan langkah penting dalam dialog antara iman dengan lingkungan hidup di dalam dunia ber-teknologi modern sekarang ini. Ensiklik tersebut menjabarkan tantangan manusia sekarang ini dalam hubungan dengan lingkungan hidup. Seperti disinggung sebelumnya, tantangan tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari salah satu tantang-an terbesar global sekarang ini, yakni kemiskinan. Ada kaitan yang amat erat antara sikap melestarikan lingkungan hidup dengan perjuangan untuk menghapus-kan kemiskinan dari muka bumi ini. Kemiskinan dalam terang Laudato Si dipandang sebagai tersumbatnya akses terhadap berbagai sumber daya karena dikuasai oleh segelintir orang. Hal ini sekaligus menjadi tanda pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia.

Di banyak negara, dua hal itu tampak dalam krisis air bersih dan krisis pangan. Di dalam dua bentuk krisis ini, kemiskinan tak bisa dipisahkan dari keru-sakan lingkungan hidup, akibat penggunaan teknologi yang tidak bertanggung-jawab. Ini adalah salah satu tantangan terbesar umat manusia di awal abad 21 ini. Di bagian dunia lainnya, orang hidup dengan foya-foya, seringkali tanpa pertim-bangan. Inilah yang disebut sebagai “budaya membuang-buang”. Akibatnya, bumi dipenuhi dengan sampah yang seharusnya bisa didaur ulang.

Karena itulah, krisis lingkungan hidup dan kemiskinan global tak bisa juga dipisahkan dari gaya hidup manusia. Kritik ekologis dan kritik sosial tidak dapat dipisahkan. Agama memainkan peranan besar di dalam gerakan sosial guna menopang kritik semacam ini, yakni kritik terhadap kecenderungan konsumsi berlebihan dan tindakan tidak bertanggung jawab dalam kaitan dengan lingkungan hidup dan kemiskinan global.

Ensiklik Paus Fransiskus ini adalah sebuah seruan bahwa perubahan ke arah yang lebih baik untuk semua itu sangat mungkin terjadi. Ini juga adalah ungkapan syukur, bahwa lepas dari segala masalah dan tantangan yang ada, banyak orang mulai terlibat ambil bagian untuk menjadi jalan keluar dari beragam masalah dan tantangan yang ada.Laudato Siadalah seruan perubahan yang berpijak pada harapan. Dalam terang Laudato Si, setiap manusia apapun status sosial-ekonominya dihormati dan dihargai hak-hak dasar dan martabatnya. Sistem sosial, ekonomi, dan politik selama ini lebih berpihak pada orang kaya dan penguasa.

Sebagai penutup, perlu dicatat bahwa Paus Fransiskus menjadikan spiritualitas Santo Fransiskus Asisi sebagai dasar. Fransiskus Asisi adalah simbol bagi kesucian, kesederhanaan, dialog dan pelestarian lingkungan hidup di dalam Gereja Katolik Roma. Ia adalah orang suci yang memberikan teladan nyata bagi hidup banyak orang, tidak hanya orang Katolik. Di dalam pandangannya, seluruh alam ini adalah saudara. Binatang adalah saudara dan tumbuhan adalah saudara. Tidak ada perbedaan dan pertentangan antara manusia dan alam semesta. Marta-bat manusia pun dihargai dan dihormati sebagai citra Allah.

[1] Ensiklik pertamanya berjudul Lumen Fidei (Terang Iman) yang dirilis tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

Ensiklik Laudato Si’ Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama Paus Fransiskus.

Penerjemah P. Martin Harun, OFM. Jakarta: Penerbit Obor.

Laban, Alexander Hinton, 2005. Introduction Genocide and Anthropology.

California: The Regents of the University of California.

Laban, Alexander Hinton, 2005. The Dark Side of Modernity: Toward an

Anthropology of Genocide. California: The Regents of the University of

California. Available online at http://www.ucpress.edu/books/PANTH.ser.html

Pratama, Akbar, 2015. “Aksi Teror Terbesar Sepanjang Sejarah”. Diunduh 30

November.http://akbarpratama98.blogspot.co.id/2012/09/11-aksi-teror-

terbesar-sepanjang.html

[share title=”Share this Post” facebook=”true” twitter=”true” google_plus=”true”]

0

SHARES

ShareTweet