Hadis berfungsi sebagai penguat atau memperkokoh kandungan alquran fungsi tersebut disebut dengan

Fungsi Hadits Terhadap Al-Quran

Pada dasarnya hadist Nabi SAW adalaha sejalan dengan Al-Qu’ran, karena keduanya bersumber dari wahyu. Menurut Al-Syathibi, tidak ada satu pun permasalahan yang dibicarakan oleh hadist kecuali maknanya telah ditunjukkan oleh Al-Qu’ran, baik secara umum (ijmali) atau secara trperinci (tafshili), dalam firman Allah surat AL-Qalam ayat 4 telah menjelaskan tentang kepribadian Rasul SAW sebagain berikut:

Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung. Dalam menafsirkan ayat diatas, ‘A’isyah r. a. Mengatakan Sesungguhnya ahklaknya (Nabi SAW) adalah Al-Qur’an.

Atas dasar itu, menurut Al-Syathibi, dapat disimpulkan bahwa seluruh perkataan, dan taqrir Rasul SAW adalah merujuk dan bersumber dari Al-Qur’an .

Meskipun demikian , sebahagian besar hadist adalah lebih bersifat operasional , karena fungsi utama Hadist Nabi SAW adalah sebagai penjelas (Al-bayan) terhadap Al-Qur’an .[1]

Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam, diantaranya:

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu sebagai bayan Ta’kid dan bayan Tafsir.

Imam malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist terhadapm Al-qur’an, yaitu: Bayan Al-Taqrir, Bayan Al-Tafsir, Bayan Al-Tafshil, Bayan Al-Ba’ts, Bayan Al-Tasyri’. Sedangkan imam Syafi’i menyebutkan ada lima fungsi yaitu: Bayan Al-Tafshil, Bayan At-Takhshish, Bayan Al-Ta’yin, Bayan Al-Tasyri’, Bayan Al-Nasakh.[2]

a. Bayan Al-Taqrir. Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh : “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim) Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185 Artinya: “………………… Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,……………….” (QS. Al-Baqarah:185) b. Bayan Al-Tafsir.

Yang dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.

1) Menjelaskan secara terperinci terhadap ayat Al-qur’an: “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (HR. Bukhari) Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan secara rinci tentang pendirikan shalat. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”(Al-Baqarah:43) 2) Memberi batasan terhadap ayat Al-qur’an: “Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan.” Hadist ini menberi batasan terhadap ayat: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah:38) 3) Mengkhususkan keumuman ayat Al-qur’an: “Kami kelompok para nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami tinggalkan adalah sebagai sedekah.” Hadis ini mengkhususkan Ayat: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ………………” (QS. An-Nisa’: 11) c. Bayan At-Tasyri’

Dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan sesuatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an. Bayan ini jugaa disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.

Hadits bayan at-tasyri’ ini merupakan hadits yang diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayyim pernah berkata bahwa hadits-hadits Rasulullah Saw itu yang berupa tambahan setelah al-Qur’an merupakan ketentuan hukum yang patut ditaati dan tidak boleh kitaa tolak sebagai umat Islam.

Suatu contoh dari hadits dalam kelompok ini adalah tentang hadits zakat fitrah yang berbunyi: Artinya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulam Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.”

Hadits yang termasuk bayan Tasyri’ ini wajib diamalkan sebagaimana dengan hadits-hadits yang lainnya.

d. Bayan An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.

Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits; Artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”. Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)

This entry was posted in Hadith and tagged penjelasan al-quran. Bookmark the permalink.

HADIS mempunyai kedudukan sebagai sumber hukum islam kedua setelah Alquran. Setiap muslim wajib berpedoman kepada keduanya, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13)

Alquran dan hadis, keduanya terkait erat dan tidak terpisahkan. Fungsi hadis terhadap Alquran sangat penting. Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada dalam Alquran.

Fungsi Hadist sebagai bayan taqrir berarti memperkuat isi dari Alquran. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim terkait perintah berwudhu, yakni:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)

Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:

يَااَيُّهَاالَّذِ يْنَ اَمَنُوْااِذَاقُمْتُمْ اِلَى الصّلَوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِ يَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6)

Fungsi hadist sebagai bayan tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi al Alquran yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid).

Contoh hadist sebagai bayan tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.

أَتَى بِسَا رِقِ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِفْصَلِ الْكَفِّ

“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan.”

Hadist diatas menafsirkan surat Al-maidah ayat 38:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْااَيْدِ يَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللهِ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS. Al-Maidah: 38)

Dalam Alquran, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.

Hadist sebagai bayan tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran-ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Biasanya Al Quran hanya menerangkan pokok-pokoknya saja.

Contohnya hadist mengenai zakat fitrah:

اِنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَا ةَ الفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَا عًا مِنْ تَمَرٍاَوْ صَا عًامِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ اَوْعَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ

“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, beik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan.” (HR. Muslim)

BACA JUGA: Diriwayatkan dalam Hadis, Seperti Inilah Kemurahan Hati Rasulullah SAW

Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya at-taqyir (mengubah), al-itbal (membatalkan), at-tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-nasakh sebagai ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas. Salah satu contohnya yakni:

لاَوَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

“Tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَاحَضَرَ اَحَدَ كُمْ المَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرَالوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَ يْنِ وَاْلأَ قْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ حَقًّا عَلَى المُتَّقِيْنَ

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 180)

Fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir. Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist. []

SUMBER: DALAM ISLAM