Faktor yang mempengaruhi munculnya pendidikan multikultural

Multikultur: sebuah Masalah?

Akhir-akhir ini, terjadi banyak kejadian sosial yang mengusik hati  dan pikiran. Di satu sisi, ada kasus dugaan penistaan agama, demo besar-besaran, dan berbagai kasus sosial lain. Di sisi lain, ada apel kebangsaan yang mengingatkan NKRI sebagai bangsa yang majemuk-beragam tetapi bisa hidup rukun. Apa artinya? Banyak pihak merasa adanya ancaman kesatuan dan persatuan bagi bangsa dan negara. Semangat perpecahan seakan mengoyak semboyan kesatuan dan persatuan bangsa: Bhinneka Tunggal Ika.

Inilah anugerah keanekaragaman bagi Indonesia, yaitu bahwa Indonesia mempunyai 600-an bahasa daerah, 300-an suku bangsa yang hidup di kurang lebih 17 ribu kepulauan Nusantara. Pendiri bangsa tentunya sangat menyadari keIndonesia-an yang akan dibentuk dan bertekad untuk bersemboyan: Bhinneka Tunggal Ika. Dan, jauh sebelum kemerdekaan, kesadaran keragaman Indonesia sudah menaungi kesadaran kaum muda Indonesia. Dengan kesadaran penuh atas perbedaan dan keragaman, pada tanggal 28 Oktober 1982 di Batavia, mereka menyatakan: satu tumpah darah dan tanah air Indonesia, satu Bangsa Indonesia, satu Bahasa Indonesia. Bagi para pemuda/i bangsa ini, persatuan berada di atas perbedaan demi kemerdekaan bangsanya. Semangat ini terus menjiwai pemimpin bangsa di awal kemerdekaan, salah satunya, dalam rumusan Pancasila khususnya sila kesatu. Sangat jelas bahwa dalam era kemerdekaan, faktor eksternal menjadi pendorong terjadinya persatuan yang mampu mengatasi perbedaan kepentingan dan golongan (SARA). Berbekal kemerdekaan, Indonesia bertekad membangun masyarakat demokratis. Untuk itu, tentunya dibutuhkan sistem pendidikan yang menjunjung keragaman masyarakat.

Pembangunan demokrasi suatu negara tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan (Tilaar, 2004: 1790). Baginya, demokrasi bukanlah sekadar dinamika kepentingan kelompok-kelompok sosial. Demokrasi merupakan the way of life sebuah komunitas masyarakat. Artinya, sebagai the way of life, demokrasi merupakan hasil dari sebuah formasi pendidikan masyarakat. Sekali lagi, demokrasi diharapkan menjadi agen perubahan yang dapat mengolah dan mengarahkan demokrasi. Artinya, pendidikan perlu melakukan suatu permenungan mencari bentuk demokrasi yang ideal untuk Indonesia. Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan teradap perbedaan dan keanekaragaman dalam kehidupan pribadi dan masyrakat. Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, pendapat yang berbeda dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. (Sindhunata, 2000: 49-50). Tetapi, menjadi pertanyaan penting adalah setelah sekian puluh tahun Indonesia merdeka, mengapa “bersatu walau berbeda” itu seolah-olah sudah tidak terjadi. Adakah yang terlupakan dalam proses pendidikan selama ini? Masih teringat bagaimana tahun 1997-1998 demokrasi ala Orde Baru akhirnya tumbang berkat gerakan mahasiswa dan membuka wajah baru demokrasi: dari ekstrem satu, keterkungkungan (takut untuk berbeda dan diam) menjadi ekstrem lain, kebebasan (berani untuk berbeda dan bicara tanpa kontrol). Fenomena Sosial Media dan interaksi sosial dalam masyarakat menggambarkan ekstrem: kebebasan ‘sebebas-bebasnya’.

UNESCO mengingatkan dan memberikan beberapa kriteria tentang demokrasi: 1) Sikap hormat terhadap hukum dan tatanan. Orang boleh berbicara tetapi tetap menghargai pendapat orang lain sesuai dengan kesepakatan sosial. 2) Kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab. 3) Pengakuan terhadap hak warga lain dan hak pribadi (khususnya kelompok minoritas dan tertindas). 4) Sikap bertata krama dalam berinteraksi dan penyelesaian konflik secara damai (bukan kekerasan). 5) Aktif dan bertanggung jawab sebagai warga negara. 6) Keterbukaan akan kebenaran: baik ilmiah dan universal, dan kesediaan berdialog, konsultasi dan negosiasi. 7) Berpikir kritis dalam mencari kebenaran (atau menggunakan pikiran secara kritis dan jernih) serta memutuskan berdasarkan informasi yang cukup dan valid, dan 8) kerjasama dalam tim dan pengambilan keputusan bersama, tanpa pemaksaan kehendak.

Keragaman merupakan sebuah keniscayaan yang tak terelakan dalam masyarakat. Melupakan keragaman dalam pendidikan merupakan celah tak terperhatikan yang membawa masalah sosial. Maka, pendidikan mulkultural menjadi celah penting yang membawa pendewasaan dialogis, bukan hanya masing-masing pribadi tetapi seluruh masyarakat itu sendiri.

Multikultural di Indonesia: sebuah Tantangan Pendidikan

Indonesia merupakan bangsa dengan aneka suku, agama, golongan, ras, kelas sosial, dan sebagainya. Singkatnya, multikultural sebagaimana Amerika, Australia, Inggris, dan negara maju lainnya. Walaupun tersusun atas berbagai keragaman, masing-masing bangsa mempunyai latar belakang (alasan historis) dalam mengembangkan pendidikan multikultural (Isnarmi Moeis, 2014: 7). Latar belakang ini pun memberikan warna bagaimana pendidikan multikultural dilaksanakan.

Pendidikan multikultural Amerika Serikat bermula dari gerakan multikulturalisme yang dimulai tahun 1950-an dalam bentuk gerakan civil rights. Persoalannya adalah persamaan kaum kulit hitam dan kaum kulit putih. Jadi, tuntutan rasial (diskriminasi) menjadi faktor pemicu pendidikan multikultural. Sementara itu, Inggris mengembangkan pendidikan multikultural karena migrasi penduduk Karibia dan Asia, serta Negara-Negara Persemakmuran. Tuntutannya adalah kesetaraan hak sosial, kesetaraan perlakukan di ruang publik dan pendidikan. Selanjutnya, pendidikan multikultural di Australia berlatar belakang diskriminasi suku Aborigin. Lain halnya latar belakang pendidikan multikultural di Kanada. Pendidikan multikultural hadir bersamaan dengan perkembangan sosial dimana memang sejak awal terdiri dari budaya yang berasal dari imigran. Dari beberapa negara tersebut, terlihat bahwa pendidikan multikultural bisa mempunyai polanya sendiri-sendiri sesuai dengan kesadaran dan proses pengolahannya (Isnarmi Moeis, 2014: 8-10).

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam upaya membangun Indonesia, gagasan multikulturalisme menjadi isu strategis yang merupakan tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi. Alasannya adalah bahwa Indonesia merupakan bangsa yang lahir dengan multikultur dimana kebudayaan tidak bisa dilihat hanya sebagai kekayaan (yang diagungkan) tetapi harus ditempatkan berkenaan dengan kelangsungan hidup sebagai bangsa. Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural merupakan keharusan, bukan pilihan lagi. Di dalamnya, pengelolaan keanekaragaman dan segala potensi positif dan negatif dilakukan sehingga keberbedaan bukanlah ancaman atau masalah, melainkan menjadi sumber atau daya dorong positif bagi perkembangan dan kebaikan bersama sebagai bangsa (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 116).

Upaya pengembangan kurikulum berbasis lokal (yang memasukkan muatan-muatan lokal) menjadi contoh upaya pengembangan pendidikan multikultural. Hanya saja, pendidikan multikultural di sini hanya mempersiapkan anak didik dengan kesadaran budaya etnik mereka sendiri, padahal “tujuan pendidikan multikultur adalah untuk mempersiapkan anak didik dengan sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam lingkungan budaya etnik mereka, budaya nasional, dan antar budaya etnik lainnya”. Pendidikan sebagai pengembangan kesadaran budaya seperti ini masih berada dalam taraf soft multikulturalisme (kesadaran multikultural yang hanya di permukaan saja) (Isnarmi Moeis 2014: 10-11).

Kenyataan bahwa Indonesia mempunyai keanekaragaman, tidak bisa dipungkiri. Harapan bahwa keanekaragaman menjadi kekayaan yang memajukan dan mengembangkan bangsa, juga selalu diimpikan. Tetapi, jurang antara kenyataan dan harapan memang mimpi yang belum tahu kapan akan terwujud. Situasi tersebut bisa kita lihat dalam dua sisi. a) Dari sisi negatif, pendidikan multikultural penting tetapi terabaikan. b) Di sisi positif, masih terbentang luas pembentukan suatu model pendidikan multikultural Indonesia (bukan adopsi model Barat) yang mampu mengolah kenyataan bangsa yang multikultural ini sedemikian rupa sehingga bukan hanya potensi kekayaan melainkan menjadi kekayaan yang dirasakan seluruh anggota masyarakat. Lalu bagaimana? Sebagai kail gagasan, ada dua hal yang patut dicermati. Pertama, nilai inti pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural mengusung minimal tiga nilai penting, yaitu: a) apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya, b) pengakuan terhadap harkat dan hak asasi manusia, c) pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia, dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi. Kedua, tujuan pendidikan multikultural. Dalam prosesnya, pendidikan multikultural bisa menyasar beberapa gapaian penting, yaitu: a) mengembangkan kesadaran diri dari kelompok-kelompok masyarakat, b) menumbuhkan kesadaran budaya masyarakat, c) memperkokoh kompetensi interkultural budaya-budaya dalam masyarakat, d) menghilangkan rasisme dan berbagai prasangka buruk (prejudice), e) mengembangkan rasa memiliki terhadap bumi, dan terakhir, f) mengembangkan kesediaan dan kemampuan dalam pengembangan sosial (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 125-126).

Akhirnya, demi pengembangan pluralitas bangsa, pendidikan multikultural di Indonesia sekiranya memperhatikan beberapa hal: pertama, pendidikan multikultural menghadirkan atau menyediakan tempat yang luas bagi pengolahan keberbedaan atau keragaman bangsa. Kedua, pendidikan multikultural mendasarkan diri pada Pancasila sebagai pilihan terbaik dalam kemajemukan bangsa Indonesia. Ketiga, pendidikan multikultural mendasarkan diri pada sosio-politik, ekonomi, dan budaya Indonesia. Keempat, pendidikan multikultural membutuhkan metode pembelajaran secara tepat sehingga internalisasi nilai dapat terwujud dengan baik (Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012: 143-147).

Daftar Pustaka Utama

Wasitohadi, “Gagasan dan Desain Pendidikan Multikultural di Indonesia” dalam Scholaria, Vol. 2, No. 1, Januari 2012, hlm. 116-149.

Isnarmi Moeis, Pendidikan Multikultural Transformatif, Integritas Moral, Dialogis, dan Adil, UNP Press: Padang, 2014

Yusuf Siswantara, S.S., M.Hum., dosen Lembaga Pengembangan Humaniora, Unpar.

Sumber: Majalah Parahyangan, Edisi 2017 Kuartal II/ April-Juni Vol. IV Bagian 2