You're Reading a Free Preview
You're Reading a Free Preview
Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin (depan, nomor dua dari kiri, mengenakan jas dan bercelana pendek), bersama Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan menteri-menteri kabinet pertama, 4 Oktober 1945. KOMPAS.com - Dalam perjalanan negara Indonesia setelah kembali menggunakan UUD 1945, ternyata masih cukup banyak penyimpangan atau penyelewengan yang terjadi. Dalam buku Hari-Hari yang Panjang Transisi Orde Lama ke Orde Baru (2008) karya Sulastomo, pemerintahan era Orde Lama dinilai tidak kondusif sebagai pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Banyak ketentuan-ketentuan yang tidak terkendali selama pemerintahan Presiden Sukarno. Setelah kembali ke UUD 1945, Presiden Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin. Menurut buku Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Rerpimpin, 1959-1965 (1996) karangan Ahmad Syafii Maarif, Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan sesuai dengan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaan demokrasi terpimpin banyak kepntingan dan ambisi politik yang membuat konstitusi menjadi melenceng. Baca juga: Konstitusi yang Pernah Ada di Indonesia Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Sukarno kemudian membuat beberapa gebrakan. Salah satunya produk hukum yang diberi nama penetapan presiden (penpres). Penpres ini merupakan keputusan presiden yang oleh presiden sendiri secara sepihak memiliki kedudukan yang sama dengan Undang-Undang. Penpres tersebut dibuat presiden tanpa persetujuan DPR. Berikut contoh penpres yang dikeluarkan Presiden Sukarno, yaitu:
Dengan kondisi itu presiden sudah melakukan penyimpangan terlalu jauh terhadap UUD 1945 dan dianggap sudah bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan. Baca juga: Hubungan Dasar Negara dan Konstitusi
Sidang MPRS tahun 1966 Kinerja MPRS dan DPR-GRLembaga tertinggi saat itu adalah MPRS dan DPR-GR, yang ternyata juga melakukan beberapa penyimpangan. Hal ini terlihat dari beberapa keputusan yang diambil hanya untuk memperkuat kedudukan presiden.
Seorang pemikir Romawi kuno yang bernama Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat di situ ada hukum”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa di manapun dalam kehidupan kelompok manusia senantiasa terdapat aturan yang mengikat warganya. Lebih-lebih dalam kehidupan bernegara. Dalam negara terdapat kumpulan manusia yang sedemikian banyak dan sedemikian luas permasalahannya. A. KONSTITUSI-KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA Sebelum membahas tentang konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, perlu kita ketahui terlebih dahulu pengertian, fungsi, dan kedudukan konstitusi. Pemahaman terhadap hal ini sangat perlu mengingat pentingnya konstitusi dalam mengatur kehidupan bernegara. Apakah konstitusi itu? Cobalah kita lihat dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Konstitusi (constitution) diartikan dengan undang-undang dasar. Benarkah pengertian konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar (UUD)? Memang, tidak sedikit para ahli yang mengidentikkan konstitusi dengan UUD. Namun beberapa ahli yang lain mengatakan bahwa arti konstitusi yang lebih tepat adalah hukum dasar.
Konstitusi yang memuat seperangkat ketentuan atau aturan dasar suatu negara tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Mengapa? Sebab, konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara itu. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang-wenang. Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang-Undang Dasar mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannya di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Konstitusi atau UUD yang pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun 2008), di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950. Dilihat dari periodesasi berlakunya ketiga UUD tersebut, dapat diuraikan menjadi lima periode yaitu:
1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 Mengenai bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Sebagai negara kesatuan, maka di negara Republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasar keturunan. Mengenai kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusywaratan Rakyat”. Atas dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara yang lain berada di bawah MPR. Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa sistem pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam sistem ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Perlu kita ketahui, lembaga tertinggi dan lembaga – lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah : a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) b. Presiden c. Dewan Pertimbanagan Agung (DPA) d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) f. Mahkamah Agung (MA) 2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar. Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “ Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat (federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya. Negara-negara bagian itu adalah : negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem parlementer. Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan tugas-tugas pemerintahan adalah menteri-menteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Perlu kita ketahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut Konstitusi RIS adalah : a. Presiden b. Menteri-Menteri c. Senat d. Dewan Perwakilan Rakyat e. Mahkamah Agung f. Dewan Pengawas Keuangan 3. Periode Berlakunya UUDS 1950 Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang- Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang- Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”. Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Perlu kita keahui bahwa lembaga-lembaga negara menurut UUDS 1950 adalah : a. Presiden dan Wakil Presiden b. Menteri-Menteri c. Dewan Perwakilan Rakyat d. Mahkamah Agung e. Dewan Pengawas Keuangan Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung. Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan. Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda. Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir. Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah: 1. Menetapkan pembubaran Konsituante 2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950 3. Pembentukan MPRS dan DPAS Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia. 4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden. Selain itu muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan, dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara. Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru. Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah tekad tersebut menjadi suatu kenyataan? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya kontrol DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/pemerintah. Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat dan luwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekat untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945. 5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999 – Sekarang Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu : Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia. Pertanyaan kita sekarang, apakah UUD 1945 yang telah diubah tersebut telah dijalankan sebagaimana mestinya? Tentu saja masih harus ditunggu perkembangannya, karena masa berlakunya belum lama dan masih masa transisi. Setidaknya, setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita. Perlu kita ketahui bahwa setelah melalui serangkaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk. Sebaliknya terdapat lembaga negara yang dihapus, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah : a. Presiden b. Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Dewan Perwakilan Rakyat d. Dewan Perwakilan Daerah e. Badan Pemeriksa Keuangan f. Mahkamah Agung g. Mahkamah Konstitusi h. Komisi Yudisial B. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP KONSTITUSI Dalam praktik ketatanegaraan kita sejak 1945 tidak jarang terjadi penyimpangan terhadap konstitusi (UUD). Marilah kita bahas berbagai peyimpangan terhadap konstitusi, yang kita fokuskan pada konstitusi yang kini berlaku, yakni UUD 1945. Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa awal kemerdekaan, antara lain:
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama, antara lain:
Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru
Penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD Tahun 1945 dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini.
Masa Orde Lama
Masa Orde Baru
Masa Setelah Perubahan
C. HASIL-HASIL PERUBAHAN UUD 1945 Perubahan Undang-Undang Dasar atau sering pula digunakan istilah amandemen Undang-Undang Dasar merupakan salah satu agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan, dan perbaikan. Sebelum menguraikan hasil-hasil perubahan UUD 1945, kita akan diajak untuk memahami dasar pemikiran perubahan, tujuan perubahan, dasar yuridis perubahan, dan beberapa kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, perhatikan uraian di bawah ini dengan seksama. 1. Apa dasar pemikiran untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945?
2. Apa Tujuan Perubahan UUD 1945?
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang penting kita pahami. Kesepakatan tersebut adalah :
3. Bagaimana Hasil Perubahan UUD 1945?
Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut.
Hasil perubahan UUD 1945 yang berupa pengubahan atau penambahan pasal-pasal ini, Yakni : – pasal 2 ayat 1, – pasal 6A ayat 4, – pasal 8 ayat 3, – pasal 11 ayat 1, – pasal 16, – pasal 23B, – pasal 23D, – pasal 24 ayat 3: – bab XIII, – pasal 31 ayat1-5, – pasal 32 ayat 1-2 : Bab XIV, – pasal 33 ayat 4-5, – pasal 34 ayat1-4, – pasal 37 ayat 1-5, – aturan Peralihan Pasal I,II dan III. – aturan Tambahan Pasal I dan II UUD 1945. Dilihat dari jumlah bab, pasal, dan ayat, hasil perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut.
Adapun rangkaian dan hal-hal pokok perubahan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dapat digambarkan seperti di bawah ini (Sumber: Sekretariat Jenderal MPR 2005). Tuntutan Reformasi : 1. Amandemen UUD 1945. 2. Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI. 3. Penegakan hukum, HAM, dan pemberan- tasan KKN. 4. Otonomi daerah. 5. Kekebasan pers. 6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. Kesepakatan Dasar : • Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. • Tetap mempertahankan NKRI. • Mempertegas sistem pre-sidensiil • Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukan ke dalam pasal-pasal. • Perubahan dilakukan dengan cara addendum. Waktu Perubahan : • SU MPR 1999 (14-21 Okt 1999) • SU MPR 2000 (7-18 Ags 2000) • SU MPR 2001 (1-9 Nov 2001) • SU MPR 2002 (1-11 Ags 2002 Dasar Pemikiran Perubahan : • Kekuasaan tertinggi ditangan MPR. • Kekuasaan yang sangat besar pada presiden. • Pasal-pasal multitafsir. • Pengaturan lembaga negara oleh presiden melalui pengajuan UU. • Praktik ketatanegaraan tidak sesuai de-ngan jiwa Pembukaan UUD 1945. D. SIKAP POSITIF TERHADAP PELAKSANAAN UUD 1945 HASIL PERUBAHAN Pada dasarnya mengubah atau mengamandemen suatu peraturan dimaksudkan untuk menyempurnakan, melengkapi, atau mengganti peraturan yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil perubahan itu diharapkan lebih baik dan berguna bagi rakyat. Demikian pula halnya terhadap perubahan terhadap UUD 1945. Hasil-hasil perubahan tersebut menunjukkan adanya penyempurnaan kelembagaan negara, jaminan dan perlindungan HAM, dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis. Hasil- hasil perubahan tersebut telah melahirkan peningkatan pelaksanaan kedaulatan rakyat, utamanya dalam pemilihan Presiden dan pemilihan Kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Perubahan itu secara lebih rinci antara lain sebagai berikut.
Sebagai warga negara, kita hendaknya mampu menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan (amandeman). Sikap positif tersebut antara lain:
Tanpa sikap positif warga negara terhadap pelaksanaan UUD 1945 hasil perubahan, maka hasil perubahan UUD 1945 itu tidak akan banyak berarti bagi kebaikan hidup bernegara. Tanpa kesadaran untuk mematuhi UUD 1945 hasil perubahan, maka penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya. Itulah beberapa sikap dan perilaku yang hendaknya ditujukkan oleh warga negara yang baik, tidak terkeculi kita semua. Konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah seperangkat aturan dasar suatu negara yang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam suatu negara. Penyelenggaraan pemerintahan negara harus didasarkan pada konstitusi. Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang-Undang Dasar mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang, di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950.UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden Presiden tgl. 5 Juli 1959. Penyimpangan terhadap UUD 1945 telah terjadi, baik pada periode 1945-1949, 1959-1965 (Orde Lama), maupun 1966-1998 (Orde Baru). Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu agenda reformasi, untuk menciptakan kehidupan bernegara yang lebih baik. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui Sidang Umum MPR yaitu 1999, 2000, 2001, dan 2002. Setiap warga negara seharusnya menunjukkan sikap positif terhadap perubahan UUD 1945 tersebut. Sikap positif tersebut terutama dengan sikap mematuhi dan melaksanakan UUD 1945 hasil perubahan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang, di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950. UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden Presiden tgl. 5 Juli 1959. Penyimpangan terhadap UUD 1945 telah terjadi, baik pada periode 1945-1949, 1959-1965 (Orde Lama), maupun1966-1998 (Orde Baru). Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu agenda reformasi, untuk menciptakan kehidupan bernegara yang lebih baik. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui Sidang Umum MPR yaitu 1999, 2000, 2001, dan 2002. Setiap warga negara seharusnya menunjukkan sikap positif terhadap perubahan UUD 1945 tersebut. Sikap positif tersebut terutama dengan sikap mematuhi dan melaksanakan UUD 1945 hasil perubahan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sumber (Diambil Seluruhnya) |