Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Temuan IPCC membuktikan bahwa perubahan iklim telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia. Perubahan iklim dapat menimbulkan risiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Tindakan untuk mengurangi emisi sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna menghindari bahaya perubahan iklim. Adaptasi sangat penting untuk dilakukan guna menghadapi risiko perubahan iklim. Tingkatan adaptasi yang diperlukan bergantung pada keberhasilan kegiatan mitigasi. Masyarakat dapat beradaptasi dengan mempersiapkan menghadapi beberapa risiko perubahan iklim, tetapi hal ini saja tidak cukup. Oleh karena itu kita perlu untuk secara signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca untuk membatasi dampak yang ditimbulkannya.

Risiko dampak perubahan iklim akan berkaitan dengan adaptasi yang harus dilakukan. Terjadinya peningkatan permukaan air laut akan berdampak pada masyarakat pesisir dan daerah dataran rendah di seluruh dunia dengan timbulnya fenomena banjir, erosi pantai dan perendaman, serta hilangnya pulau-pulau kecil. Hal ini terutama akan sangat berpengaruh terhadap negara kepulauan. Perubahan iklim juga menyebabkan pergeseran rentang geografis serta pola migrasi spesies daratan dan laut. Beberapa spesies akan menghadapi kepunahan. Pemanasan dan pengasaman laut menimbulkan risiko besar terhadap ekosistem laut, terutama ekosistem di wilayah kutub dan ekosistem terumbu karang. Indonesia yang dikenal sebagai megabiodiversity country memiliki tipe ekosistem daratan dan lautan yang sangat lengkap. Adaptasi berbasis ekosistem juga menjadi salah satu agenda pengendalian perubahan iklim prioritas.

Perubahan iklim berdampak pada keamanan pangan global, dalam hal ini menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan secara global. Tanpa adanya upaya adaptasi, produksi tanaman utama (seperti gandum, beras, dan jagung) diproyeksikan turun. Perubahan iklim juga diproyeksikan meningkatkan kejadian perpindahan manusia (migrasi) dan memicu konflik, memicu guncangan ekonomi dan kemiskinan. Perubahan iklim juga akan memperburuk masalah kesehatan manusia dan menyebabkan gangguan kesehatan di berbagai wilayah, misalnya melalui peningkatan gelombang panas dan kebakaran. Dampak perubahan iklim diproyeksikan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menjadikan usaha pengurangan angka kemiskinan akan lebih sulit.

Perubahan iklim akan menimbulkan risiko yang signifikan, namun melalui manajemen risiko yang baik dapat dihindari dampak terburuk. Kombinasi antara adaptasi dan mitigasi akan mengurangi skala risiko. Namun, beberapa risiko yang tidak dapat dihindari, seperti badai ekstrim, banjir, gelombang panas dan kekeringan. Hal ini menunjukkan bahwa kita rentan terhadap kejadian iklim dan cuaca. Tindakan dan pilihan yang diambil di awal abad ini akan menentukan risiko apa yang akan kita hadapi di akhir abad nanti. Tindakan dini akan memungkinkan lebih banyak waktu untuk beradaptasi dengan dampak yang kemungkinan terjadi, tetapi ada batasan bagi kita untuk dapat beradaptasi. Beberapa risiko akan tetap terjadi sehingga kita tidak bisa mengandalkan hanya adaptasi saja. Semua penduduk perdesaan dan perkotaan di Indonesia akan terkena dampak, sehingga diperlukan perencanaan dan adaptasi untuk membatasi risiko yang terjadi di masa mendatang.

Untuk lingkup wilayah Indonesia, fenomena dampak perubahan iklim telah dikonfirmasi melalui berbagai kajian. Secara umum kenaikan temperatur rata-rata di wilayah Indonesia sebesar 0.5 – 3.92 ̊C pada tahun 2100 dari kondisi baseline tahun 1981-2010, sedangkan suhu udara minimum akan mengalami peningkatan sebesar 0.04 – 0.07 ̊C. Sedangkan untuk curah hujan, berdasarkan data pengamatan telah terjadi pergeseran bulan basah dan kering. Intensitas curah hujan yang lebih tinggi dan durasi hujan yang lebih pendek terjadi di Sumatera bagian utara dan Kalimantan, sedangkan curah hujan rendah dan durasi hujan lebih panjang terjadi di bagian selatan Jawa dan Bali.

Salah satu kajian perubahan iklim yang pernah dilakukan adalah Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Tarakan, Sumatera Selatan, dan Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) 7 yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2012. Berdasarkan kajian tersebut, untuk Kota Tarakan diperoleh informasi adanya tren kenaikan suhu sebesar 0,63°C sepanjang 25 tahun terakhir; untuk Provinsi Sumatera Selatan ditengarai adanya tren kenaikan suhu sebesar 0,31°C di sekitar Palembang dan 0,67°C secara rata-rata seluruh provinsi; sedangkan untuk wilayah Malang Raya tren kenaikan sebesar 0,69°C. Namun demikian, angka tersebut ada kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti perubahan lokal seperti efek pulau panas perkotaan ( urban heat island ) dan pergeseran iklim regional.

Untuk curah hujan, tren perubahan dilihat dari variabilitas antar-dasawarsa ( inter-decadal ), antar-tahunan ( inter-annual ), dan curah hujan ekstrem. Berdasarkan hasil pengolahan data observasi, ancaman untuk Malang Raya, Sumatera Selatan dan Kota Tarakan lebih disebabkan oleh variabilitas iklim antar-tahunan ( inter-annual ) dan curah hujan ekstrem. Untuk Kota Tarakan, isu yang berkaitan dengan kejadian ekstrem terutama mengenai kekeringan dan curah hujan yang tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Kekeringan di Kota Tarakan merupakan potensi bahaya iklim yang banyak dipengaruhi oleh fenomena El-Nino. Kota Tarakan pernah mengalami kekeringan yang panjang pada sekitar tahun 1961-1970an, bahkan di bulan April – Agustus terjadi defisit curah hujan sekitar 100 mm dari nilai-rata- ratanya.

Kenaikan muka air laut atau sea level rise (SLR) terkait perubahan iklim berlangsung karena dua mekanisme utama, yakni ekspansi termal karena menghangat dan mengembangnya volume air laut, dan mencairnya gletser serta es yang menutupi daratan di Antartika dan Greenland. Selain itu siklus hidrologi di daratan akibat keragaman iklim serta faktor antropogenik berdampak pula pada naik dan turunnya limpasan ( run-off ), sehingga berpengaruh terhadap perubahan muka air laut. BAPPENAS pada tahun 2010 melakukan kajian tren kenaikan muka air laut untuk wilayah Indonesia berdasarkan data pasang surut maupun data altimeter. Berdasarkan data Simple Ocean Data Assimilation (SODA) antara tahun 1960-2008, kenaikan muka laut di Indonesia sebesar 0.8 mm/tahun, kemudian meningkat menjadi 1.6 mm/tahun sejak tahun 1960 dan melonjak menjadi 7 mm/ tahun dari tahun 1993.

Pada tahun 2050, kenaikan muka air laut akibat pemanasan global diproyeksikan mencapai 35-40 cm relatif terhadap nilai tahun 2000. Tren ini kemungkinan tidak linier tetapi dapat bersifat eksponensial apabila faktor pencairan es ( dynamic ice melting ) diperhitungkan. Apabila memasukkan pengaruh faktor pencarian es, kenaikan muka air laut di Indonesia dapat mencapai 175 cm pada tahun 2100.

Hasil kajian KLH pada tahun 2012 untuk Kota Tarakan menunjukkan informasi kenaikan muka air laut menjadi sekitar 14,7 cm (dengan 8 ketidakpastian sekitar 6,25 cm) pada tahun 2030 relatif terhadap kondisi saat ini. Variabilitas juga terjadi pada muka air laut yaitu akibat fenomena La-Nina dan gelombang badai ( storm surges ). Diprediksi kedua fenomena tersebut akan menaikkan muka air laut maksimal masing-masing sebesar 15 cm dan 30 cm. Sedangkan untuk wilayah Sumatera Selatan kenaikan muka air laut berkisar antara 0,5-0,7 cm/tahun. Proyeksi kenaikan muka air laut pada tahun 2030 sebesar 13.5 ± 6.15 cm relatif terhadap level muka air laut pada tahun 2000.

Berkaitan dengan dampak perubahan iklim di Indonesia, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, dan sebagian besar ibu kota provinsi serta hampir 65 % penduduk tinggal di wilayah pesisir, wilayah Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut serta penggenangan akibat banjir di wilayah pesisir atau rob. Kenaikan muka air laut, selain menyebabkan dampak langsung berupa berkurangnya wilayah akibat tenggelam oleh air laut, rusaknya kawasan ekosistem pesisir akibat gelombang pasang, juga menimbulkan dampak tidak langsung berupa hilangnya atau berubahnya mata pencaharian masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di tepi pantai, berkurangnya areal persawahan dataran rendah di dekat pantai yang akan berpengaruh terhadap ketahanan pangan, gangguan transportasi antar pulau, serta rusak atau hilangnya obyek wisata pulau dan pesisir.

Selain itu kenaikan muka air laut, dampak perubahan iklim di Indonesia salah satunya adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim, yakni meningkatnya kejadian ENSO ( El Nino Southern Oscilation ) baik berupa La Nina maupun El Nino. Perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi kejadian La Nina dan El Nino. Frekuensi kejadian El Nino dan La Nina yang normalnya 5 – 7 tahun dengan adanya perubahan iklim menjadi lebih sering 3 -5 tahun. La Nina menimbulkan dampak berupa banjir akibat curah hujan yang tinggi sementara El Nino menimbulkan dampak berupa kekeringan ekstrim akibat rendahnya curah hujan. Fenomena ENSO khususnya El Nino memberikan dampak lanjutan berupa kejadian kebakaran lahan dan hutan yang menjadi permasalahan di berbagai wilayah di Indonesia.

Perubahan iklim akan mengakibatkan penurunan ketersediaan air, perubahan produktivitas tanaman, hilangnya keanekaragaman hayati yang merupakan asset tidak ternilai yang dimiliki Indonesia. Perubahan iklim akan memberikan dampak pada kesehatan, kematian, ketahanan pangan, pola migrasi, ekosistem alami dan kesejahteraan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.


Page 2

Pembangunan merupakan upaya setiap Negara untuk mewujudkan negara yang berdaulat, kuat dan rakyat yang sejahtera. Undang -Undang Republik Indonesia Dasar Tahun 1945 mengamanatkan bahwa negara harus menyediakan penghidupan yang layak bagi warga negara, untuk bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan akses pendidikan. Hal ini sejalan dengan peran aktif Indonesia dalam setiap agenda pengendalian perubahan iklim sebagai amanat konstitusi.

Diskusi internasional juga menegaskan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim dilakukan dengan mempertimbangkan national circumstances (termasuk kondisi dan kapasitas Negara) dan keadaulatan (sovereignty) Negara. Negara memberikan arah dan berkewajiban memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial. Komitmen dan kontribusi Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan adalah atas dasar sukarela (voluntary), penuh rasa tanggung jawab, dan sesuai dengan kemampuan masing-masing Negara (sesuai dengan prinsip “common but differentiated responsibilities – respected capabilities/CBDR-RC").

Indonesia telah terlibat aktif di tingkat internasional sebagai salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan termasuk dalam negara Non-Annex I. Dengan demikian Indonesia secara resmi terikat dengan kewajiban dan memiliki hak untuk memanfaatkan berbagai peluang dukungan yang ditawarkan UNFCCC atau Kerangka Kerja PBB dalam upaya mencapai tujuan konvensi tersebut.

Indonesia juga menunjukkan peran pentingnya di tingkat dunia sebagai tuan rumah COP-13 tahun 2007 di Bali yang diantaranya menghasilkan Bali Action Plan yang menempatkan peran penting hutan Indonesia melalui pelaksanaan skema REDD+ serta dengan dihasilkannya studi IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance). Bali Action Plan diantaranya menyepakati adanya Policy Approaches and Positive Incentives for REDD+ in Developing Countries yang memungkinkan untuk memberikan solusi terhadap deforestasi di negara berkembang agar dapat dikurangi, namun tetap dapat melanjutkan pembangunan nasionalnya.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Heads of delegations at the 2015 United Nations Climate Change Conference which established the Paris Agreement.

Komitmen dan Kontribusi Indonesia kembali ditunjukkan dengan meratifikasi Perjanjian Pari di New York pada tanggal 22 April 2016, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris di New York. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergera aktif mencegah terjadinya perubahan iklim. Perjanjian Paris juga memposisikan hutan sebagai kunci dari upaya penurunan gas rumah kaca. Hal ini mengingat kemampuan hutan menyerap gas rumah kaca. Posisi ini tersirat dari ketentuan pasal 5 Paris Agreement yang mendorong negara-negara pihak untuk menerapkan dan mendukung kerangka kerja berdasarkan perjanjian untuk kegiatan-kegiatan terkait reducing emission from deforestation and forest degradation dan konservasi serta pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip keberlanjutan.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada acara Paris Agreement

Pemerintah Indonesia juga telah menerbitkan Undang-Undang No 16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Pemerintah Indonesia dengan 9 (sembilan) aksi prioritas pembangunan nasional yang dituangkan melalui Nawa Cita merupakan komitmen nasional menuju arah pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim, dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sebagai satu prioritas yang terintegrasi dan lintas-sektoral dalam agenda Pembangunan Nasional. Komitmen yang tertuang dalam Nawa Cita menjadi dasar bagi penyusunan dokumen the First Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang telah disampaikan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada bulan November 2016. First NDC Indonesia menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim.

NDC dipergunakan sebagai salah satu acuan pelaksanaan komitmen mitigasi perubahan iklim dengan rencana penurunan emisi hingga tahun 2030 sebesar 29% sampai dengan 41% bila dengan dukungan internasional, dengan proporsi emisi masing-masing sektor yang meliputi: kehutanan (17.2%), energi (11%), pertanian (0.32%), industri (0.10%), dan limbah (0.38%). Sedangkan untuk adaptasi, komitmen Indonesia meliputi peningkatan ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lansekap.Dalam upaya tersebut, sesuai dengan kewajiban/komitmen negara, telah direncanakan NDC upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sebagai aksi yang terintegrasi untuk membangun ketahanan dalam menjaga sumber daya pangan, air, dan energi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Peraturan Presiden No 16 tahun 2015 membawa konsekuensi penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Badan Pengelola REDD+ ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dioperasionalkan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 18 tahun 2015. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim bertugas untuk menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian perubahan iklim dalam mewujudkan komitmen Indonesia dalam penurunan emisi baik di tingkat nasional maupun internasional. Pengendalian perubahan iklim di Indonesia memerlukan proses nasional dan internasional yang bersifat iterative dan sinergis. Implementasi dari kesepakatandi tingkat internasional tersebut memerlukan penterjemahan ke dalam konteks pembangunan nasional, termasuk penerjemahan ratifikasi Perjanjian Paris dan NDC melalui aksi Mitigasi dan Adaptasi. Penerjemahan ke dalam konteks nasional dimaksudkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan mengarusutamakan prinsip rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim. Efektifitas pengendalian perubahan iklim juga sangat bergantung pada kebijakan dan implementasinya di semua tingkat (internasional, regional, nasional, dan sub nasional).

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Video Mars Pengendalian Perubahan Iklim

Sebagai National Focal Point Pengendalian Perubahan Iklim di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim membuat suatu wadah pengetahuan untuk masyarakat luas di Indonesia. Wadah ini dikemas dalam bentuk Knowledge Centre yang berisi pengetahuan tentang penyebab, dampak dan potensi perubahan iklim di Indonesia.

Kerangka Konvensi UNFCCC membentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Pertemuan Para Pihak (Conference of the Parties, COP) untuk mencapai tujuannya. Pertemuan Para Pihak berperan dalam mengkaji, memantau pelaksanaan Konvensi dan kewajiban para Negara Pihak. Pertemuan Para Pihak juga mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi, membuat rekomendasi kepada Para Pihak, dan mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu.

Otoritas pengambilan keputusan tertinggi di bawah UNFCCC dilaksanakan melalui COP/CMP yang merupakan pertemuan tahunan Para Pihak United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC dan Conferences of the Parties serving as meeting of parties to the Protokol Kyoto (CMP). Pertemuan COP/CMP didukung oleh 2 (dua) badan yaitu Badan Pendukung terkait dengan aspek ilmiah dan teknologi atau Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Badan Pendukung Untuk Pelaksanaan Konvensi atau Subsidiary Body for Implementation (SBI). SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP, sedangkan SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

Protokol Kyoto

Sidang ketiga Konferensi Para Pihak (Third Session of the Conference of Parties, COP-3) yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, tahun 1997, menghasilkan keputusan (Decision 1/CP.3) untuk mengadopsi Protokol Kyoto untuk Konvensi kerangka PBB tentang Perubahan Iklim. Protokol Kyoto merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini, menempatkan beban pada negara-negara maju, dengan berdasarkan pada prinsip common but differentiated responsibilities.

Protokol Kyoto mengatur mekanisme penurunan emisi GRK yang dilaksanakan negara-negara maju, yakni: (1) Implementasi Bersama (Joint Implementation), (2) Perdagangan Emisi (Emission Trading); dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM). Joint Implementation (JI) merupakan mekanisme penurunan emisi dimana negara-negara Annex I dapat mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan mengurangi emisi GRK. Emission Trading (ET) merupakan mekanisme perdagangan emisi yang dilakukan antar negara industri, dimana negara industri yang emisi GRK-nya di bawah batas yang diizinkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya ke negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang. Mekanisme ini bertujuan agar negara Annex I dapat mencapai target pengurangan emisi melalui program pengurangan emisi GRK di negara berkembang.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Negara Annex 1 berdasarkan ProtocolKyoto

Perjanjian Paris

Pertemuan COP-13 tahun 2007 di Bali, Indonesia, menghasilkan Bali Action Plan, yang diantaranya menyepakati pembentukan The Ad Hoc Working Group on Long-term Cooperative Action under the Convention (AWG- LCA). AWG-LCA bertujuan mengefektifkan kerangka kerjasama jangka panjang sampai dengan tahun 2012 dan setelah tahun 2012. Keputusan COP-17 tahun 2011 di Durban, Afrika Selatan, dibentuk The Ad Hoc Working Group on the Durban Platform for Enhanced Action (ADP), yang bertujuan untuk mengembangkan protokol, instrument legal lainnya dibawah Konvensi yang berlaku untuk seluruh negara pihak (applicable to all Parties), yang harus diselesaikan paling lambat tahun 2015 pada pertemuan COP-21.

Pertemuan COP21/CMP11 UNFCCC di Paris pada tanggal 30 November – 12 Desember 2015, telah disepakati untuk mengadopsi serangkaian keputusan (decisions) di antaranya Decision 1/ CP.21 on Adoption of the Paris Agreement sebagai hasil utama. Perjanjian Paris bertujuan untuk menahan peningkatan temperatur rata- rata global jauh di bawah 2°C di atas tingkat di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk menekan kenaikan temperatur ke 1,5°C di atas tingkat pra–industrialisasi. Perjanjian Paris mencerminkan kesetaraan dan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan sesuai kapabilitas Negara Pihak, dengan mempertimbangkan kondisi nasional yang berbeda-beda.

Perjanjian Paris juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, menuju ketahanan iklim dan pembangunan rendah emisi, tanpa mengancam produksi pangan, dan menyiapkan skema pendanaan untuk menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim. Sesuai Perjanjian Paris, negara pihak (Parties) diharapkan menyampaikan Nationally Determined Contribution (NDC) yang pertama paling lambat bersamaan dengan penyampaian dokumen ratifikasi, yang nantinya akan dimuat dalam Public Registry yang dikelola oleh Sekretariat UNFCCC.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Laporan Kajian Ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8°C selama abad terakhir. Pada akhir tahun 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1.8-4°C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Kenaikan suhu ini setara dengan 2.5-4.7°C jika dibandingkan periode pra-industri (1750). Laporan IPCC juga menegaskan bahwa terjadinya perubahan iklim yang berupa meningkatnya emisi gas rumah kaca (karbon dioksida, metana, nitrogen oksida dan sejumlah gas industri) diakibatkan oleh aktivitas manusia Peningkatan emisi gas rumah kaca dalam 50 tahun terkahir menunjukkan yang tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi sebelumnya sejak 800.000 tahun yang lalu. Perubahan iklim juga telah berdampak pada ekosistem dan manusia di seluruh bagian benua dan samudera di dunia serta beresiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi. Permasalahan perubahan iklim dan dampaknya mendorong Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC). Konvensi ini bertujuan untuk menstabilisasi konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim sehingga ekosistem dapat memberikan jaminan pada produksi pangan dan keberlanjutan pada pembangunan ekonomiKonvensi Perubahan Iklim memiliki kekuatan hukum sejak 21 Maret 1994 dengan membagi negara-negara peratifikasi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu Negara Annex I dan Negara Non-Annex I. Negara Annex I adalah negara-negara penyumbang emisi GRK sejak revolusi industri. Sedangkan Negara Non-Annex I adalah negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I yang kontribusinya terhadap emisi GRK jauh lebih sedikit dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih rendah.

Komitmen Indonesia untuk aksi nyata, Pidato Bapak Presiden RI Joko Widodo pada acara Paris Agreement 2015

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Reaksi internasional terhadap perubahan iklim dimulai pada tahun 1979. Negara-negara berkumpul pada Konferensi Iklim di Jenewa untuk membahas upaya penanggulangan pemanasan global. Konferensi tersebut diikuti dengan pembentukan Badan Internasional Penilaian Perubahan Iklim atau yang dikenal sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Badan ini kemudian melaporkan penelitian-penelitian terhadap perubahan iklim yang telah mereka lakukan. Untuk membahas hasil laporan ini, pada tahun 1990, negara-negara kembali berkumpul di Jenewa.

Kedua konferensi tersebut menghasilkan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC). Tujuan dari konvensi ini adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi. Konvensi ini mengkategorikan negara-negara ke dalam 2 kelompok, yaitu kelompok Annex I dan Annex II. Kelompok Annex I adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai penghasil gas rumah kaca dalam jumlah besar dan negara kelompok Annex II adalah negara-negara anggota Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi. Negara peserta Annex I terlihat pada gambar di bawah ini.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah
Negara Annex 1 berdasar Kyoto Protocol

Komitmen Indonesia dalam Menangani Perubahan Iklim

Indonesia adalah salah satu negara peratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Prrubahan Iklim (UNFCCC) dan Protocol Kyoto. Indonesia adalah salah satu negara phak yang diwakili dalam Conference of Parties (COP), yaitu badan tertinggi pengambil keputusan pada Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim yang bertanggung jawab untuk menjaga upaya-upaya internasional sesuai dengan prinsip-prinsip UNFCCC dan meninjau prinsip-prinsip konvensi yang sudah dilakukan oleh negara-negara angota.

Pada COP 1205 di Paris, Indonesia menyampaikan pernyataan bahwa sebagai salah satu hutan hujan tropis terbesar, Indonesia menyadari peran hutan sebagai penyerap karbon. Indonesia juga memaparkan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi kebakaran dan mencegah munculnya permasalah tersebut dengan cara penegakan hukum, penguatan tata kelola hutan,serta restorasi ekosistem.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah
Heads of delegations at the 2015 United Nations Climate Change Conference which established the Paris Agreement. Sumber: presidenri.go.id

Tidak hanya itu, pada tanggal 22 April 2016, Indonesia menandatangani Perjanjian Paris di New York. Sebagai negara peratifikasi, Indonesia berkomitmen untuk melakukan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca dan bergera aktif mencegah terjadinya perubahan iklim.

Perjanjian Paris memposisikan hutan sebagai kunci dari upaya penurunan gas rumah kaca. Hal ini mengingat kemampuan hutan menyerap gas rumah kaca. Posisi ini tersirat dari ketentuan pasal 5 Paris Agreement yang mendorong negara-negara pihak untuk menerapkan dan mendukung kerangka kerja berdasarkan perjanjian untuk kegiatan-kegiatan terkait reducing emission from deforestation and forest degradation dan konservasi serta pengelolaan hutan yang didasarkan pada prinsip keberlanjutan.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia pada acara Paris Agreement

REDD+ adalah mekanisme yang dibangun untuk memberi insentif positif bagi negara berkembang yang bersedia dan mampu mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan deforestasi dan degradasi human.

REDD+ di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak tahun 2010 yang berpuncak pada pembentukan Badan Pengelola (BP) REDD+ pada 2013 yang juga menandanai berakhirnya masa Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+.

Pembentukan BP REDD+ kemudian diikuti dengan penunjukan kelengkapan kelembagaannya pada awal 2014. Sejak awal pembentukannya BP REDD+ bergerak cepat mengintegrasikan kebijakan dan program REDD+ dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten hingga tingkat desa.

REDD+ di Indonesia dikembangkan dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan ekonomi hijau untuk memastikan bahwa upaya penanganan perubahan iklim dari sektor penggunaan lahan dilakukan sejalan dengan kebijakan dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Program REDD+ di Indonesia memfokuskan kegiatan sesuai dengan urgensi daerah dan permasalahan demi mencapai substansi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pelaksanaan kegiatan ini difokuskan pada aksi strategi pencegahan kebakaran lahan dan hutan; reformasi dan penegakan hukum; penanganan konflik; pengakuan dan perlindungan masyarakat adat; perhutanan sosial; dan also komunikasi, kampanye dan pelibatan para pihak.

Peralihan Pemerintah dan keputusan penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta lembaga-lembaga negara yang terkait demi penyederhanaan yurisdiksi membuat REDD+ memperlambat lajunya dan harus memikirkan ulang stretegi pelaksanaan program REDD+.

Nur Masripatin, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Sebagai national focal point, Direktorat Jenderal Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup bekerja untuk mewujudkan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan melakukan aks mitigasi dan adaptasi untuk menanggulangi akibat perubahan iklim di Indonesia. Salah satu tindakan sederhana yang langsung untuk masyarkaat adalah Direktorat jenderal membagun suatu website yan berisi pemaparan pengetahuan dan informasi terkait perubahan iklim dan aksi serta kegiatan yang telah dan sudah dilakukan oleh Pemerintah terkait perubahan iklim. Salah satu tujuannya adalah agar masyarakat sadar dan paham tentang perubahan iklim dan apa akibat buruk perubahan iklim sehingga masyarakat terdorong untuk ikut serta bekerjasama dengan pemerintah mengurangi tindakan-tindakan yang memproduksi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan peningkatan suhu bumi yang berdampak pada perubahan iklim global. Hal ini mengakibatkan sejumlah permasalahan lingkungan dan cuaca ekstrim yang berakibat pada terjadinya bencana alam seperti longsor, kebakaran hutan, kekeringan, dan gagal panen di berbagai daerah di Indonesia. Perubahan iklim juga mengancam kehidupan masyarakat pantai karena pemanasan global menyebabkan abrasi dan intrusi air laut. Dampak perubahan iklim mempengaruhi kehidupan perekonomian, mengancam kestabilan ekosistem dan memperpendek usia infrastruktur yang mendukung kehidupan masyarakat.

Penelitian menyimpulkan bahwa manusia adalah subjek penyebab peningkatan gas rumah kaca sekaligus penderita akibat dari perubahan iklim. Akan tetapi, mayoritas manusia tidak menyadari hal ini. Sehingga terus-menerus melakukan tindakan yang memproduksi gas rumah kaca dan menyebabkan kenaikan suhu bumi. Untuk itu dibutuhkan suatu media informasi untuk menyadarkan masayarakat tentang posisinya dalam pemanasan dan perubahan iklim.

Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah
Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah

Sebagai National Focal Point Pengendalian Perubahan Iklim di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim membuat suatu wadah pengetahuan untuk masyarakat luas di Indonesia. Wadah ini dikemas dalam bentuk Knowledge Centre yang berisi pengetahuan tentang penyebab, dampak dan potensi perubahan iklim di Indonesia.

Kelompok sasaran pembangunan website KCPI - IC ICan ditujukan untuk masyarakat umum sehingga format penyajian data dan informasi dibuat dalam narasi sederhana yang disertai dengan tampilan infografis, video, animasi dan peta. Di antaranya adalah pengertian perubahan iklim, dampak-dampak perubahan iklim, respons dunia terhadap perubahan iklim beserta reaksi dan tindakannya, peran Indonesia dalam isu perubahan iklim dan informasi terkait hal-hal apa saja yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk berpartisipasi menurunkan suhu bumi dan mengendalikan perubahan iklim.

Tujuan pembangunan Knowledge Centre adalah memberikan edukasi masyarakat tentang perubahan iklim dan meningkatkan peran aktif dalam aksi nyata pengendalian perubahan iklim.

Sebagai National Focal Point dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) membuka wadah pengetahuan untuk masayarakat luas di Indonesia dan juga masyarakat dunia. Wadah ini dikemas dalam bentuk Knowledge Center atau Pusat Pengetahuan Perubahan Iklim (PPPI), untuk bertukar pengetahuan mengenai penyebab, dampak dan potensi pengendalian perubahan iklim di Indonesia dan dunia.


Berikut ini yang bukan penyebab meningkatnya permukaan air laut adalah
Ilustrasi Peningkatan Suhu Bumi. Sumber: NASA via Mogabay.co.id


Secara garis besar, PPPI membagi data dan informasi tentang perubahan iklim serta kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia, termasuk peran serta Indonesia dalam Negosiasi UNFCCC, upaya pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan lain, dalam mengendalikan perubahan iklim, kerjasama dan kemitraan dalam upaya pengendalian perubahan iklim, serta laporan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim.

Melalui PPPI ini, KLHK berharap agar masyarakat luas dapat memperoleh pemahaman secara kompherensif tentang perubahan iklim dan mengajak partisipasi aktif dalam pengendalian iklim di tempat kerja, tempat tinggal dan di lingkungan secara lebih luas. Diharapkan, PPPI dapat memberikan sumbangsih positif dalam upaya pengendalian perubahan iklim nasional dan global.

Selayang Pandang Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim

Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) adalah salah satu unit kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menangani perubahan iklim khususnya dalam penyelenggaraan mitigasi, adaptasi, penurunan emisi gas rumah kaca, penurunan dan penghapusan bahan perusak ozon, mobilisasi sumber daya, inventarisasi gas rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi aksi mitigasi perubahan iklim serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dengan dibentuknya DJPPI, menjadi harapan baru bagi implementasi kegiatan pengendalian perubahan iklim yang terkelola dengan baik dalam mendukung tujuan pembangunan bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

Dampak dari pemanasan global merubah iklim global dan berakibat pada banyaknya kejadian cuaca ektrim di berbagai negara. Di Indonesia, masyarakat kota dan di desa mengalami kejadian banjir, longsor, kekeringan, angin ribut dan kebakaran hutan lebih sering terjadi dari waktu-waktu sebelumnya. Masyarakat pantai mengalami abrasai dan instrusi air laut yang semakin mengkhawatirkan. Perubahan cuaca tersebut mempengaruh kehidupan perekonomian, mengancam kestabilan ekosistem dan memotong umur waktu dari berbagai infrastruktur penting. Gara-gara pemanasan global menjadi jawaban bagi para pemerhatinya, namun masyarakat laus belum mengetahui apa sebenernya pemanasan global yang mengakibatkan perubahn iklim tersebut.

Sebagai National Focal Point dalam pengendalian perubahan iklim di Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim membuka wadah pengetahuan untuk masayarakat luas di Indonesia dan juga masyarakat dunia. Wadah ini dikemas dalam bentuk Knowledge Center yang berisi tentang pengetahuan penyebab, dampak dan potensi pengendalian peruabahn iklim di Indonesia dan dunia.

Secara garis besar Knowledge Center ini memeberikan data dan infromasi tentang pengertian/defenisi, sejarah UNFCCC, Peran Serta Indonesia dalam Negosiasi UNFCCC, kebijakan pengendalian perubahan iklim di Indonesia, upaya pemerintah dalam mengendalikan perubahan iklim, upaya pemangku kepentingan, laporan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim, serta kerjasama dan kemitraan.

Melalui Knowledge Center ini, KLHK berharap masayrakat luas dapat memperoleh pemenaham secara kompherensif tentang perubahan iklim dan mengajak partisipasi aktif dalam mengendalikan di tempat kerja, tempat tinggal dan di masayarakat luas. Semoga Knowledge Center ini memberikan sumbangsih positif dalam upaya pengendalian perubahan iklim nasional dan global.

Komitmen Indonesia mengenai energi terbarukan berpusat pada promosi tenaga geothermal, dan pengembangan serta penggunaan bahan bakar hayati (biofuel). Indonesia saat ini merupakan penghasil energi geothermal terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Filipina. Menjelang periode 2007 – 2008, kapasitas pembangkit tenaga listrik geothermal Indonesia meningkat hingga 317 MW. Indonesia berencana untuk menambah lagi kapasitas tersebut, mengambil keuntungan letaknya pada apa yang disebut sebagai “Cincin Api”. Dalam hal mendorong suplai, Permen 15 Tahun 2010 (di bawah tahap kedua “Program Akselerasi” 10.000 MW) ditujukan untuk mempercepat pengembangan sumber tersebut agar mampu menghasilkan 3.967 MW hingga 2014. Serangkaian peraturan lainnya mengatur struktur penghitungan harga energi geothermal (Permen Energi dan Sumber Daya Minteral No. 02 Tahun 2011) dan insentif-insentif fiscal untuk pengembangan geothermal (PP No. 62 Tahun 2008; No. 1 Tahun 2007; Permen Keuangan No. 177/PMK.011/2007; dan Permen Keuangan No. 22/PMK.011/2011).

Kepmen No. 2 Tahun 2004 ditujukan untuk mempromosikan kebijakan pengembangan energi terbarukan dan penghematan energi. Keputusan ini kebijakan pendanaan dan investasi; insentif; penghitungan harga energi; pengembangan sumber daya manusia; informasi; standardisasi dan sertifikasi; R&D; dan institusionalisme. Yang lebih signifikan secara hukum karena posisinya dalam hirarki, Hukum Geothermal (No. 27 Tahun 2003) yang komprehensif, disahkan pada tahun 2003. Hukum ini kemudian didukung oleh Peraturan Geothermal No. 59 Tahun 2007 dan Permen No. 14 Tahun 2008.

Secara menyeluruh, aksi pada energi terbarukan dilakukan lebih dari segi peraturan daripada pendekatan legislatif. Memang, di samping Peraturan Geothermal yang telah disebut, Indonesia telah mengesahkan serangkaian peraturan dalam tahun-tahun terakhir ini termasuk Inpres tentang Pengembangan Biofuel pada tahun 2006 (No. 1 Tahun 2006), dan Permen No. 32 Tahun 2008, yang menetapkan rencana-rencana demi peran yang lebih besar bagi biodiesel dan bahan bakar campuran etanol dalam transportasi.

Permen No. 32 Tahun 2008, atau Peraturan tentang Bahan Bakar Nabati oleh Kementerian Tenaga dan Sumber Daya Mineral, menetapkan kerangka kerja penggunaan biodiesel, bio-etanol, dan minyak nabati murni (bio-oil) dalam sektor transportasi, industri, komersil, dan pembangun tenaga listrik yang wajib diikuti dari tahun 2009 hingga 2025. Tingkat kewajiban penggunaan biodiesel minimal dalam ke-empat sektor tersebut ditentukan sekitar 20%, masing-masing pada tahun 2025, dari sekitar 1–2% di 2008. Kementerian Tenaga dan Sumber Daya Mineral juga telah mengeluarkan Peta Jalan Biofuel Nasional 2006-2025 yang menentukan tindakan-tindakan untuk mengakselerasi penggunaan biofuel sebagai pengganti bahan bakar berbasis-fosil, dan menargetkan 5% dari penggunaan bio-etanol dalam konsumsi gas hingga 2025. Selain dari itu, juga terdapat Blue Print Energi Nasional (2005), suatu rencana pembangunan yang komprehensif untuk 15% dari permintaan listrik negara Indonesia, yang hingga tahun 2025 seharusnya sudah dapat dipenuhi dari sumber-sumber energi terbarukan.

Pertentangan utama terhadap inisiatif energi terbarukan datang baik dari kelompok masyarakat sipil internasional maupun nasional, yang menekankan adanya potensi konflik antara pengembangan biofuel dan tujuan-tujuan pelestarian hutan Indonesia secara umum, dan lebih spesifik, tujuan-tujuan di bawah REDD+. Di samping itu, program perluasan tenaga panas Indonesia juga dapat berkonflik dengan tujuan-tujuan REDD+.

Kementerian Keuangan melaporkan sekitar 80% dari sumber-sumber geothermal berada pada hutan-hutan konservasi.

Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat deforestasi dan degradasi yang paling tinggi di dunia. Kurang lebih 80% dari emisi gas rumah kaca merupakan hasil dari deforestasi dan degradasi, dan sekitar setengah dari angka tersebut adalah dari lahan gambut kaya karbon. Dari tahun 1990 hingga 2005, tingkat deforestasi hampir mencapai 28 juta ha; tingkat penyumbang emisi GRK tertinggi ketiga di dunia yang disebabkan karena kehilangan hutan. Terdapat beberapa insentif finansial yang besar: industri kehutanan berkontribusi sebanyak kurang-lebih US$21 miliar untuk perekonomian Indonesia, yaitu sekitar 3.5% dari GDP. Karena itu, meskipun pendekatan multi-sektoral sangatlah penting, upaya apapun untuk mengurangi pelepasan karbon Indonesia harus berpusat pada Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan Lahan dan Kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/ LULUCF).

Surat Niat antara pemerintah Norwegia dan Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 26 Mei 2010 telah menciptakan momentum bagi respons yang terinternasionalisasi untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Surat ini menetapkan kemitraan antara kedua negara tersebut terkait dengan perubahan iklim, yang dimaksud untuk mendukung pengembangan dan pelaksanaan strategi REDD+ Indonesia. Surat tersebut menjanjikan US$1 miliar, tergantung pada kemajuan yang dimonitor pada berbagai proyek yang dilaksanakan.

Selain itu, inisiatif tersebut akan menetapkan sebuah institusi untuk mengawasi rencana-rencana REDD+ Indonesia, dan juga system Pemantauan, Pelaporan, dan Verifikasi (Monitoring, Reporting, and Verification atau MRV) untuk hutan-hutan antropogenik dan lahan gambut terkait dengan pelepasan GRK.

Di dalam Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sendiri – yang jelas merupakan salah satu yang paling aktif dalam isu perubahan iklim di Indonesia – suatu peraturan telah menetapkan pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kemenhut (WG-FCC; SK.13/Menhut-II/2009). Akan tetapi, pusat utama perjanjian antara Indonesia dan Norwegia adalah moratorium terhadap izin perhutanan dan pengembangan lahan gambut baru di Indonesia untuk dua tahun, berlaku sejak Mei 2011: Instruksi Presiden (Inpres) No. 10/2011 tentang “Penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam dan lahan gambut”. Moratorium ini bertujuan memberi ruang bernafas, yang memfasilitasi transisi ke sektor kehutanan yang lebih berkelanjutan.

Di antara peraturan-peraturan pendukung (enabling regulations) untuk REDD+ adalah peraturan pelaksanaan kegiatan demonstrasi REDD+ (Permen P.68/Menhut-II/2008), dan peraturan mengenai REDD+ (Permen P.30/Menhut-II/2009). Dua peraturan tersebut dibuat untuk menanggapi tingginya permintaan dari partner-partner internasional dan pemangku kepentingan nasional untuk berpartisipasi dalam kegiatan REDD+, dan juga untuk menggunakan hasil dari proses-proses COP/ SBSTA pada REDD. Suatu peraturan pendukung tambahan yang berupaya mengklarifikasi hak properti atas karbon hutan adalah Permen P.36/Menhut-II/2009. Peraturan ini menetapkan prosedur-prosedur perizinan bagi perusahaan yang ingin mengeksploitasi simpanan karbon dan potensi penyerapan dari hutan lindung dan hutan produksi.

Meskipun terkesan bahwa undang-undang berikutnya dikembangkan pada awalnya untuk kegiatan-kegiatan Mekanisme Pembangunan Bersih, reforestasi adalah suatu aktivitas yang memiliki berpotensi masuk dalam kategori ‘+’ pada REDD+. Karena itu, penting untuk mencatat bahwa Permen 4/Menhut/II/2004 memberi uraian prosedur-prosedur reforestasi untuk lahan yang untuk 50 tahun sebelumnya atau lebih bukan merupakan suatu hutan, dan juga reforestasi untuk lahan yang bukan merupakan hutan sejak 31 Desember 1989.

2nd GLOBE Climate Legislation Study menyorot ketidakpastian tertentu seputar moratorium di atas, yang kini dapat diklarifikasi. Moratorium tersebut hanya memengaruhi apa yang dipetakan sebagai Hutan Alam Primer. Izin penguasaan hutan (concession) yang sudah ada tidak dipengaruhi oleh moratorium. Izin-izin baru untuk hak penguasaan hutan tidak dapat diberikan selama moratorium, termasuk izin atas lahan yang kaya akan karbon. Akan tetapi, pengalaman yang terjadi selama lebih dari setahun setelah dilaksanakannya moratorium tersebut telah menunjukan beberapa ketimpangan antara hukum dan implementasinya.

Berkenaan dengan pengecualian, di samping daerah-daerah yang didefinisikan sebagai Hutan Sekunder dan hak penguasaan hutan yang sudah ada, proyek-proyek dengan kepentingan nasional seperti proyek geothermal / panas bumi, minyak, dan gas alam juga bebas dari moratorium.

Inisiatif terakhir untuk meningkatkan tutupan hutan Indonesia adalah peraturan Kementrian Kehutanan, Gerakan Penanaman 1 Milyar Pohon, yang diluncurkan pada Januari adalah untuk menanam 1 milyar pohon, selaras dengan standar-standar internasional bahwa semua pohon harus diverifikasi pada lapangan.