Berikan contoh sikap mengamalkan surah ad-dhuha ayat 9 dan 11

Berikan contoh sikap mengamalkan surah ad-dhuha ayat 9 dan 11

Ilustrasi : Al Quran /Abdulmeilk Aldawsari/Pexels

MANTRA SUKABUMI - Asbabun Nuzul surat Ad Dhuha yaitu, Diriwayatkan oleh Hakim, Baihaqi dalam Dala’il, Thabrani, dan perawi lainnya dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah menjadi bahagia setelah Allah memperlihatkan kepadanya sesuatu yang akan dialami oleh umatnya sebentar lagi.

Kemudian Allah berfirman, “Sungguh, kelak Rabbmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau menjadi puas.

Surat Ad Dhuha adalah surah yang ke 93, yaitu setelah surah al-Lail dan sebelum surah asy-Syarh (al-Insyirah). Termasuk golongan surah Makkiyyah. Terdiri dari 11 ayat.

Baca Juga: Shopee Gandeng Bintang Internasional Jackie Chan dan Joe Taslim di Iklan Shopee 9.9 Terbaru

Nama Ad-Duha diambil dari ayat pertama yang artinya ketika matahari naik sepenggalah.

Berikut ini Surat Ad-Dhuha ayat 9-11 lengkap dengan lafadz arab, latin dan terjemahnya :

فَأَمَّا ٱلْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
fa ammal-yatīma fa lā taq-har

Artinya : Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.

وَأَمَّا ٱلسَّآئِلَ فَلَا تَنْهَرْ

Ilustrasi tafsir surat Ad Dhuha. Sumber: Unsplash

Surat Ad Dhuha merupakan surat ke-93 di Juz 30 dalam alquran yang termasuk surat Makkiyah atau diturunkan di kota Mekkah. Sebagai bagian dari Juz Amma, surat Ad Dhuha termasuk bacan surat pendek yang hanya terdiri dari 11 ayat. Sama seperti isi firman Allah lainnya, tafsir surat Ad Dhuha sendiri mengandung beberapa larangan serta perintah tertentu bagi umat muslim.

Alquran merupakan pedoman hidup yang berisi banyak petunjuk bagi umat muslim untuk melakukan berbagai hal sesuai dengan perintah yang harus dipatuhi ataupun larangan Allah yang harus kita hindari. Sama halnya dengan tafsir surat Ad Dhuha khusunya dalam ayat 9 hingga ayat 11 yang terkandung beberapa larangan Allah dan perintah-Nya terhadap umat muslim yang beriman.

Tafsir Surat Ad Dhuha Ayat 9 Sampai 11 Mengadung Larangan Sampai Perintah Allah

Melansir dari Muqaddimah Al-Quran dan Terjemahnya (1971) oleh Soenarjo, tafsir surat Ad Dhuha ayat 9 dan 10 mengandung larangan Allah SWT terhadap umat muslim agar tidak menghardik anak yatim ataupun berlaku semena-mena terhadap orang lain. Pada dasarnya larang ini sendiri telah disebutkan dengan jelas oleh Allah dalam bunyi ayat tersebut. Adapun bunyi terjemahan ayat 9-10 yang berisi larangan tadi ialah sebagai berikut:

Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta janganlah engkau menghardik(nya).” (QS. Ad Dhuha: 9-10)

Oleh sebab itu, kedua ayat tadi merupakan salah satu peringatan dan pengingat Allah agar kita bisa senantiasa bersikap baik dan tidak semenan-mena terhadap anak yatim ataupun kepada seseorang yang meminta-minta.

Sedangkan dalam ayat terakhir yakni ayat ke-11 surat Ad Dhuha, Allah SWT kembali mengingatkan hambaNya agar senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita selama ini. Berikut bunyi dari ayat terakhir surat Ad Dhuha tersebut:

Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (QS. Ad Dhuha: 11)

Jika kita ringkas dengan sederhana, maka tafsir surat Ad Dhuha ayat 9-10 mengandung larangan untuk berbuat semena-mena terhadap orang lain apalagi bagi fakir miskin (yang meminta-minta) dan anak yatim, sebaliknya kita harus selalu berbuat baik dan peduli dengan sesama tanpa membeda-bedakan statusnya. Sedangkan pada ayat 11, kita diajurkan untuk selalu menjadi hamba yang bersyukur atas segala nikmat dari Allah SWT.

Demikianlah ulasan singkat tentang tafsir surat Ad Dhuha pada ayat 9 hingga 11. Semoga ulasan tadi dapat bermanfaat. (HAI/RA)

Berikan contoh sikap mengamalkan surah ad-dhuha ayat 9 dan 11

BincangSyariah.Com—Pada ayat sebelumnya, Allah meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw. kembali dengan mengingatkannya atas karunia yang telah Allah berikan. Kemudian, ayat selanjutnya dari surat Adh-Dhuha berisikan tentang perintah dalam menegakkan kepedulian sosial.

Selaras dengan apa yang telah disebutkan, bahwa Allah yang melindungi Nabi Muhammad pada waktu menjadi anak yatim. Maka Allah pun menyuruh kita, agar senantiasa untuk melindungi hak-hak anak yatim dan berperilaku baik kepadanya.

Allah berfirman dalam Q.S Adh-Dhuha ayat 9-11,

فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلا تَقْهَرْ (۹) وَأَمَّا السَّائِلَ فَلا تَنْهَرْ (۱۰) وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ –

(9) Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang! (10) Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya! (11) Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Pada tulisan sebelumnya, yatim adalah anak yang tidak mempunyai ayah, ataupun orang yang seringkali tertindas. Karenanya, dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita dilarang untuk berlaku sewenang-wenang terhadapnya.

Kata taqhar diambil dari kata qahara yang berari menjinakkan, menundukkan untuk mencapai suatu tujuan, atau mencegah lawan mencapai tujuannya. Dalam tafsir Jalalayn disebutkan contoh perilaku sewenang-wenang terhadap anak yatim adalah mengambil hartanya, atau mencuri apapun yang dimilik olehnya.

Quraish Shihab dalam tafsirnya mencoba untuk me-munasabah-kan ayat ke-9 dengan ayat yang lain yang membahas tentang bentuk kesewenangan terhadap anak yatim. Misal, dalam surat al-Ma’un ayat 1-2 disebutkan kesewenangan disini ialah menghardik anak yatim. Atau dalam surat al-Fajr ayat 17 yang menggambarkan kondisi masyarakat Mekkah yang tidak memberi pelayanan yang baik terhadap anak yatim.

Setelah larangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, ayat selanjutnya berbicara larangan menghardik terhadap orang yang minta-minta. Ath-Thabari mengartikan orang yang minta-minta sebagai orang membutuhkan sesuatu, entah apapun sesuatu itu, baik berupa tenaga, informasi, maupun materi.

Walaupun konteks orang yang minta-minta tersebut sangatlah umum. Namun poin penting yang harus ditekankan adalah kita dilarang untuk tidak mengahardiknya dengan kata-kata yang kasar. Karena hal tersebut akan sangat menyakiti dirinya.

Dalam hadits disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah pernah memerintahkan agar kita harus senantiasa memberi terhadap orang yang minta-minta, walau dengan sedikitnya pemberian kita. Namun dalam satu kesempatan lain Rasulullah Saw., menasihati bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.

Quraish Shihab memberikan kesimpulan, bahwa terhadap orang yang masih sanggup bekerja atau yang mengemis karena malas dan menjadikannya sebuah pekerjaan, maka tidaklah wajib untuk memberinya. Tindakan yang lebih baik adalah pengarahan, bimbingan agar dia mampu bekerja, dan apabila enggan, maka menghardik dengan tujuan menginsafkan pun tak masalah.

Ayat terakhir dari surat Adh-Dhuha, kita diperintahkan untuk senantiasa bersyukur dalam kenikmatan yang Allah berikan. Nikmat disini diartikan secara luas oleh al-Qurthubi. Menurutnya, nikmat tidak hanya berbicara tentang materi, akan tetapi termasuk juga nikmat non-materi. Contoh dari non-materi adalah kedudukan, keturunan, nama baik, bahkan termasuk kenikmatan dalam beribadah.

Setiap nikmat tersebut haruslah senantiasa kita syukuri. Sayyid Qutb dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa bentuk syukur yang digambarkan dalam ayat ini adalah dengan berbuat kebajikan terhadap sesama. Karenanya, yang dimaksud menyebutkan nikmat adalah dengan berbagi terhadap yang membutuhkan.

Dalam mengakhiri tulisan penafsiran surat Adh-Dhuha ini, penulis mengutip pendapat dari Bint asy-Syathi. Menurutnya, surat ini berisikan tentang risalah Nabi Muhammad, serta perintah untuk memenuhi keperluan orang yang minta-minta, meniadakan penindasan terhadap anak-anak yatim dan orang yang lemah lainnya.

Wallahu a’lam bi ash-showab.

Tabik.