Menyampaikan berita kematian kepada keluarga pasien adalah salah satu tugas dokter yang sangat penting, tetapi dirasa cukup membebani. Dibutuhkan keahlian khusus untuk menyampaikan berita buruk tersebut kepada keluarga pasien. Ketika dokter tidak memiliki keahlian yang tepat, maka menyampaikan berita kematian dapat menyebabkan konsekuensi negatif bagi pasien, keluarga, dan dokter.[1,2] Sebuah studi tahun 2016 memberikan kuesioner kepada 54 dokter di bagian Bedah di rumah sakit Universitas Baylor Dallas, terdiri dari 17 wanita dan 37 pria, serta 34 residen dan 20 spesialis. Tujuan kuesioner adalah untuk menentukan apakah diperlukan program pendidikan dalam menyampaikan berita buruk. Hasilnya mengungkapkan bahwa 91% responden menganggap menyampaikan berita buruk sebagai keterampilan yang sangat penting, tetapi hanya 40% merasa memiliki pelatihan untuk menyampaikan berita tersebut secara efektif. Sedangkan studi pada tahun 2002 tentang persepsi pasien terhadap dokter dalam penyampaian berita buruk, memberikan hasil bahwa dokter bedah mendapat predikat kurang membantu (less helpful) jika dibandingkan dengan dokter umum yang mendapat predikat paling membantu (most helpful).[1,2] Kebanyakan dokter mengandalkan pengalaman pribadi mereka dalam menyampaikan berita kematian karena kurangnya pelatihan selama masa pendidikan mengenai hal ini. Ketakutan yang dimiliki dokter saat menyampaikan kabar buruk di antaranya adalah takut disalahkan, membangkitkan reaksi, tidak dapat mengekspresikan emosi, tidak mengetahui semua jawaban, dan ketakutan pribadi terhadap penyakit dan kematian. Selain itu, berita kematian yang disampaikan secara tidak memadai atau tidak sensitif dapat berdampak buruk pada keluarga pasien.[1]
Kematian Pasien yang Sudah Diduga dan yang Tidak Terduga Secara umum, kematian seorang pasien dapat dikategorikan menjadi dua, yakni kematian yang sudah diduga dan kematian yang tidak terduga. Pada kasus yang pertama, keluarga pasien sudah mengetahui riwayat penyakit terminal pasien. Kematian merupakan suatu hal yang sudah dapat diperkirakan, sehingga keluarga pasien biasanya lebih bisa menerima. Namun, pada kasus kematian yang tidak terduga, keluarga pasien cenderung akan memberikan reaksi yang lebih emosional. [3,4] Banyak dokter, perawat, maupun praktisi kesehatan darurat lainnya mengalami kesulitan untuk mendukung keluarga pasien saat kerabat yang dicintainya sedang diresusitasi, atau untuk menyaksikan kesusahan keluarga pasien setelah kerabatnya mereka meninggal. Ketika peristiwa itu terjadi, praktisi darurat hanya memiliki waktu yang singkat untuk segera dapat terlibat secara benar dan efektif dengan keluarga. Konsekuensinya, mereka harus dapat memberikan informasi secara sensitif, belas kasih, dan empati kepada keluarga yang berduka.[3,4] Kontak Pertama Dengan Keluarga Kontak pertama dengan keluarga sebaiknya dilakukan secara langsung. Namun, jika anggota keluarga tidak berada di rumah sakit maka kontak dapat dilakukan melalui telepon dengan meminta keluarga datang ke rumah sakit segera. Hindari menyampaikan berita kematian melalui telepon, kecuali keluarga pasien tinggal di tempat yang sangat jauh. Jika menyampaikan berita kematian harus melalui telepon, pastikan ada yang mendampingi penerima kabar ketika kabar buruk disampaikan.[5,6] Menyampaikan kabar buruk dapat dibedakan sesuai dengan keadaan pasien saat itu, yaitu masih hidup dan dalam tahap resusitasi atau sudah meninggal. Saat menerima keluarga di rumah sakit, baik di unit gawat darurat maupun di unit intensif, dokter yang menangani pasien dapat didampingi oleh seorang perawat. Dokter dan perawat harus memperkenalkan diri dan kenali keluarga pasien yang datang. Ajak keluarga pasien ke ruangan yang lebih tenang, hindari menyampaikan berita kematian di koridor rumah sakit. Kabar buruk, jika memungkinkan, lebih baik disampaikan kepada anggota keluarga pasien yang sudah mengetahui riwayat penyakit pasien.[5-7] Menginformasikan Pasien Masih Hidup dan Dalam Tahap Resusitasi Tujuan menyampaikan kabar buruk pada tahap ini adalah mempersiapkan keluarga untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yakni kematian. Beberapa poin yang harus disampaikan oleh dokter adalah:
Salah satu anggota keluarga yang sudah mengetahui riwayat penyakit pasien dapat diajak masuk untuk melihat tindakan resusitasi. Berikan penjelasan mengenai tindakan resusitasi yang dilakukan, dan tanda-tanda kehidupan yang dinilai pada pasien, seperti nafas spontan, detak jantung yang terlihat pada monitor, atau pergerakan anggota tubuh. Hal ini bertujuan agar anggota keluarga yang melihat langsung dapat meyakinkan keluarganya bahwa segala tindakan sudah diupayakan.[8] Menginformasikan Berita Kematian Pasien Jika tindakan resusitasi tidak berhasil maka berita kematian pasien sebaiknya disampaikan kepada anggota keluarga yang sudah mengetahui riwayat penyakit pasien. Beberapa poin yang harus diperhatikan oleh dokter adalah:
Memberikan Kesempatan Kepada Keluarga Pasien untuk Berduka Setelah menyampaikan berita kematian, berikan kesempatan kepada keluarga pasien untuk menyalurkan reaksi terhadap kabar buruk tersebut. Dokter sebaiknya berdiam sejenak bersama keluarga pasien dengan gestur yang menunjukkan empati. Jika keluarga sudah dapat terbuka untuk berbicara, maka dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
Jika keluarga pasien belum bisa menerima dan menyalahkan pihak rumah sakit, sebaiknya dokter tetap tenang dan tidak langsung merespon. Pada umumnya keluarga pasien akan meminta maaf ketika mereka sudah dapat mengendalikan emosinya.[5,6,8] Mempersiapkan Keluarga untuk Melihat Tubuh Pasien yang Sudah Meninggal Tahap berikutnya adalah memberikan kesempatan pihak keluarga untuk melihat tubuh pasien yang sudah meninggal. Sebelumnya dibutuhkan persiapan sebagai berikut:
Membantu Pihak Keluarga untuk Mengurus Prosedur Formal Staff dari rumah sakit dapat membantu pihak keluarga mengurus prosedur untuk mengurus prosedur formal, seperti mendapatkan sertifikat kematian. Jika harus dilakukan otopsi atau pembuatan visum et repertum, maka dokter bertanggung jawab untuk menjelaskan prosedur tersebut kepada pihak keluarga. Pastikan ketika menyerahkan tubuh pasien yang sudah meninggal dan barang pribadi pasien kepada pihak keluarga dilakukan tanpa hambatan.[5,6] Menjaga Kerahasia Pasien Salah satu kewajiban dokter terhadap pasien, berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal 12 adalah setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Karena itu, semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, termasuk diagnosis, prognosis, tindakan medis, serta semua informasi lain yang bersifat pribadi, harus dijaga kerahasiaannya. Kecuali untuk keluarga pasien, mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi terutama jika terkait dengan risiko kesehatan mereka.[9,10] Dokter harus sensitif terhadap budaya dan faktor-faktor personal saat memberitahukan kabar buruk, terlebih lagi berita kematian. Dokter berkewajiban memberikan informasi kepada keluarga pasien yang sudah meninggal tentang penyebab kematian. Pembeberan beberapa rahasia dapat dibenarkan tetapi harus tetap dijaga seminimal mungkin. Selain itu, kepada siapa disampaikan informasi rahasia tersebut harus dipastikan sadar untuk tidak menyebarkan lebih jauh untuk kebaikan pasien.[10] Kesimpulan Menyampaikan berita kematian kepada keluarga pasien harus dilakukan secara baik dan disertai dengan sikap empati. Menunjukkan sikap empati kepada keluarga pasien disaat mereka membutuhkan, dapat mempererat hubungan dokter-pasien dan juga melindungi pihak dokter dan rumah sakit dari konflik yang mungkin tercipta karena kematian pasien tersebut. Terkadang dokter merasa terbebani untuk menyampaikan berita kematian kepada keluarga pasien. Dokter harus menyadari bahwa dirinya bukanlah penyebab duka yang dialami keluarga pasien. Sebaliknya, dokter berperan besar untuk membuat kondisi duka tersebut menjadi sedikit lebih baik. Kutipan bijak dari Hippocrates tentang peran dokter adalah “to cure sometimes, to relieve often, to comfort always”. Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini
1. Monden KR, Gentry L, Cox TR. Delivering bad news to patients. Proc (Bayl Univ Med Cent). 2016;29(1):101-102. doi:10.1080/08998280.2016.11929380 2. Barnett MM. Effect of breaking bad news on patients' perceptions of doctors. J R Soc Med. 2002;95(7):343-347. doi:10.1258/jrsm.95.7.343 3. Scott T. Sudden death in emergency care: responding to bereaved relatives. Emerg Nurse. 2013;21(8):36-39. doi:10.7748/en2013.12.21.8.36.e1237 4. Kent H, McDowell J. Sudden bereavement in acute care settings. Nurs Stand. 2004;19(6):38-42. doi:10.7748/ns2004.10.19.6.38.c3732 5. Bogle AM, Go S. Breaking bad (news) death-telling in the emergency department. Mo Med. 2015;112(1):12-16. 6. Naik SB. Death in the hospital: Breaking the bad news to the bereaved family. Indian J Crit Care Med. 2013;17(3):178-181. doi:10.4103/0972-5229.117067 7. Ombres R, Montemorano L, Becker D. Death Notification: Someone Needs To Call the Family. J Palliat Med. 2017;20(6):672-675. doi:10.1089/jpm.2016.0481 8. Egging D, Crowley M, Arruda T, et al. Emergency nursing resource: family presence during invasive procedures and resuscitation in the emergency department. Journal of Emergency Nursing. 2011 Sep;37(5):469-473. DOI: 10.1016/j.jen.2011.04.012. 9. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK). Ikatan Dokter Indonesia.2002 10. Panduan Etika Medis. 2006. Pusat Studi Kedokteran Islam fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Indonesia |