Bagaimana pandagan kamu tentang pendidik di indonesia

Sebelum dibahas, sebenarnya apa sih pengertian sistem hukum? Pengertian Sistem Hukum menurut pendapat Sudikno Mertukusumo adalah Suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.

Menurut Bellefroid, Pengertian Sistem Hukum ialah rangkaian kesatuan peraturan-peraturan hukum yang disusun secara tertib menurut asas-asasnya.

Scolten mengatakan, Pengertian Sistem Hukum adalah kesatuan di dalam sistem hukum tidak ada peraturan hukum yang bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum lain dari sistem itu.

Pengertian Sistem Hukum Menurut pendapat Subekti merupakan suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan dimana terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusunan menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran tersebut untuk mencapai suatu tujuan.

Dari pengertian para ahli di atas penulis menyimpulkan, sistem hokum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang saling berinteraksi yang merupakan satu kesatuan dan bekerjasama kearah tujuan tertentu.

Sistem hokum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistesm hokum agama,adat dan hokum negara eropa terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila peradaban mereka yang di wariskan termasuk sistem hukum

Setelah mengetahui pengertian sistem hukum, lalu bagaimana tanggapan masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum Indonesia?.. Kebanyakan menanggapi dengan kurang baik. Mengapa bisa begitu? Alasan yang disampaikan pun beragam.

Mereka menganggap sistemnya sendiri sudah baik, namun pelaksanaannya tidak sesuai yang diharapkan. Peraturannya sebenarnya sudah ada, namun tidak ditegakkan. Buat apa ada peraturan kalau engga ditegakkan? Buat apa ada peraturan lalu lintas kalau masyarakatnya sendiri engga ngikutin?

Masyarakat pun kehilangan kepercayaan terhadap hukum Indonesia, karena menurut mereka “ah, paling cuma wacana doang. Ga akan ditegakkin lah.” Padahal berjalannya hukum di Indonesia, tergantung pada kita-kita juga, yang diatur oleh hukum. Kalau kita sendiri enggan diatur oleh hukum, bagaimana para penegak akan menegakkan hukum? Peraturan-peraturan ini, jika berhasil ditegakkan, akan benefit juga ke kita.

Kehidupan lebih tertib lah. Kriminalitas bisa dikurangi lah. Kalau dipikir-pikir banyak keuntungannya bagi kita juga.

Jika masyarakat sudah menanggapi dengan baik, maka hal tersebut harus diikuti dengan moralitas para penegak hukum pula. Karena salah satu penyebab tidak pedulinya masyarakat terhadap hukum, adalah karena penegaknya tidak menegakkan hukum dengan baik. Banyak orang yang memiliki pengalaman “buruk” dengan penegak hukum.

Penegak hukum nampaknya masih “pandang bulu” terhadap para pelanggar hukum. Karena sifat “pandang bulu” inilah, masyarakat berpikir asalkan punya uang, atau punya koneksi-koneksi tertentu, maka bisa terhindar dari hukum. Orang-orang yang memiliki kerabat yang “penting” dapat terhidar dari hukum dengan mudahnya.

Penegak pun masih “takut” dengan hal tersebut, padahal seharusnya, di mata hukum semua orang itu sama. Hukum dibuat agar menertibkan, dan sanksi-sanksi pun bukan untuk merugikan, tetapi agar ada efek jera.

Untuk membenahi sistem hukum Indonesia, diperlukan perubahan sikap dari semua orang yang terlibat dalam hukum. Penegaknya harus lebih tegas. Masyarakatnya juga harus merubah pandangan mereka terhadap hukum. Hukum itu sebenarnya bermanfaat.

Demi berlangsungnya keteraturan di Negeri ini, maka hukum harus ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat dengan menumbuhkan kesadaran dimulai dari diri sendiri. Kalau semua lapisan masyarakat sudah sadar maka pasti akan tercipta Sistem hukum yang baik di Indonesia.

YAYAN
, FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI

Terdapat banyak tantangan bagi negara berkembang untuk menyediakan layanan pendidikan yang baik, terutama di daerah perdesaan dan terpencil. Indonesia tidak terkecuali. Walaupun akses ke pendidikan dasar di Indonesia telah mencapai partisipasi universal, kualitas layanan pendidikan dan hasil belajar peserta didik masih rendah.

Bank Dunia baru menerbitkan hasil survei di lima kabupaten yang termasuk berperingkat termiskin di Indonesia. Survei ini dilaksanakan di 270 sekolah dasar di desa terpencil antara tahun 2016-2017. Responden survei mencakup kepala sekolah, guru, peserta didik, komite sekolah, orang tua dan kepala desa.

Pertama, survei ini menemukan sekolah dan desa studi menghadapi tantangan konektivitas yang mungkin menghalang guru-guru terbaik untuk bekerja disini. Secara rata-rata lokasinya berjarak 149 km atau lima jam dari kota kabupaten; hanya 29% yang terhubung dengan jaringan listrik; dan hanya 17% yang memiliki akses internet. Hasil survei mengindikasikan keragaman alokasi sumber daya: 91% sekolah memiliki toilet dengan rasio jender yang seimbang; 54% memiliki perpustakaan; namun hanya 39% memiliki buku teks yang memadai.

Hasil pengamatan mengindikasikan bahwa kesenjangan dapat dikurangi dengan memprioritaskan alokasi pendanaan. Selain itu, renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru dapat memperbaiki kondisi kerja guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil.

Kedua, kualitas layanan pendidikan di sekolah survei terkendala oleh kualifikasi guru, komposisi guru, dan tuntutan mengajar multi kelas. Tiga puluh empat persen guru dan 18% kepala sekolah hanya memiliki pendidikan sekolah menengah atas. Guru PNS merupakan 40% dari seluruh tenaga pengajar, dengan kekurangan diisi oleh guru kontrak (42,5% guru honorer dan 15,8 dikontrak oleh kabupaten atau provinsi).

Di saat guru PNS memiliki pendapatan rata-rata Rp. 8,4 juta per bulan, guru honorer hanya menerima Rp. 550.000. Guru honorer cenderung memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki kualifikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS. Walaupun rasio kelas hampir sebanding dengan rerata nasional (20 siswa per kelas di daerah yang disurvei dibandingkan dengan 23 di tingkat nasional), guru yang disurvei sering kali menggantikan guru yang tidak hadir dan harus mengajar beberapa kelas (di 25% sekolah) meskipun mereka tidak pernah mendapatkan pelatihan terkait hal ini.

Survei menemukan tidak ada guru di 25% kelas. Di kelas ini, guru yang tidak hadir menugaskan seorang siswi untuk menyalin tugas matematika untuk dikerjakan oleh semua murid di kelas.

Ketiga, kemangkiran guru adalah masalah serius, karena secara langsung mempengaruhi apakah peserta didik belajar di sekolah atau tidak. Kunjungan mendadak ke sekolah sampel mendapati 25% ruang kelas tidak memiliki guru, dan 17% guru tidak datang ke sekolah.

Analisis kami menunjukkan bahwa kemangkiran guru berkorelasi positif dengan status pegawai negeri, guru laki-laki, dan rendahnya pengawasan oleh kepala sekolah. Dengan kata lain, guru honorer dan guru perempuan lebih sering mengajar. Analisis kami juga menunjukkan, bahwa guru yang dievaluasi oleh kepala sekolah cenderung memiliki tingkat kehadiran yang lebih tinggi di sekolah. Oleh karena itu, memastikan pemantauan dan pengawasan guru dapat mengurangi ketidakhadiran guru.

Untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di daerah terpencil, Pemerintah Indonesia perlu meningkatkan kualifikasi dan keterampilan guru dan meningkatkan manajemen kinerja guru dan sistem akuntabilitasnya. Dalam jangka pendek, pelatihan pengembangan kapasitas harus memprioritaskan lebih banyak guru di daerah terpencil atau mewajibkan agar sejumlah persentase peserta minimum berasal dari daerah terpencil.

Dalam jangka panjang, guru yang berkualifikasi - guru baru maupun yang sudah mengajar - seharusnya mendapatkan insentif yang lebih baik untuk bekerja di daerah terpencil. Sebenarnya dari sisi kebijakan, bekerja di daerah terpencil seharusnya menghasilkan lebih banyak nilai kredit bagi guru untuk menjadi pegawai negeri, faktanya penempatan di daerah terpencil cenderung memiliki jangka waktu tidak terbatas sehingga membuat banyak guru berkecil hati. Evaluasi dampak KIAT Guru menemukan ketika masyarakat terlibat dalam peningkatan akuntabilitas guru dan tunjangan khusus guru dibayarkan berdasarkan kehadiran, maka hasil belajar murid juga meningkat.

Keempat, dan yang paling memprihatinkan, sebagian besar siswa yang diuji mendapatkan nilai Bahasa Indonesia dan matematika dua tingkat di bawah kelas yang mereka ikuti saat ini. Analisis kami mengaitkan hasil belajar murid yang rendah dengan pendidikan orang tua yang rendah; lebih sedikit waktu yang didedikasikan untuk pendidikan anak mereka; dan jauh lebih sedikit keterlibatan dengan komite sekolah dan guru.

Hal yang mengejutkan, orang tua puas dengan kualitas pendidikan dan hasil belajar. Ini menunjukkan bahwa orang tua memiliki harapan yang sangat moderat terhadap kualitas pendidikan di sekolah, atau tidak sepenuhnya mengetahui standar layanan yang seharusnya diberikan oleh guru. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran orang tua kemungkinan akan meningkatkan tuntutan maupun keterlibatan mereka untuk pendidikan yang berkualitas.

Pada akhirnya, kolaborasi antara guru dan orang tua untuk mendukung pembelajaran baik di sekolan maupun di rumah kemungkinan akan membuahkan aspirasi yang lebih tinggi dan prospek karir bagi para peserta didik.

Info terkait: 

Rise working paper 20/035 - scores, camera, action? Incentivizing teachers in remote areas

|November 25, 2013

Also available in English

Sejak Panel Tingkat Tinggi PBB mengumumkan visinya untuk agenda pembangunan pasca-2015 pada bulan Mei, banyak perdebatan berpusat pada tidak adanya tujuan terkait ketidaksetaraan diantara 15 tujuan yang diusulkan dalam daftar panel. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengomentari tentang tujuan ini di Jakarta bulan Juni yang lalu, menekankan bahwa prinsip “tanpa meninggalkan siapa pun” adalah inti dari visi Panel, dan masing-masing tujuan PBB berfokus untuk mengatasi ketidaksetaraan. Pada kenyataannya, tujuan pendidikan yang diusulkan termasuk komitmen ‘memastikan setiap anak, dalam kondisi apapun, menyelesaikan pendidikan dasar sehingga dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan cukup baik untuk memenuhi standar pembelajaran minimal’.

Upaya-upaya untuk mempersempit ketidaksetaraan pendidikan sangat penting dan dapat menjadi dasar bagi pembangunan yang lebih inklusif. Perbedaan kualitas pendidikan dan durasi bersekolah yang diterima seorang anak akan mempengaruhi kehidupan di masa mendatang. Anak-anak yang gagal menguasai keterampilan dasar lebih cenderung mempunyai pekerjaan tidak tetap dan bergaji rendah, dibandingkan dengan anak-anak yang meninggalkan sekolah dibekali dengan keahlian-keahlian yang diperlukan di pasar tenaga kerja saat ini.   Namun di beberapa negara, kesenjangan yang besar dalam pencapaian pendidikan adalah hal yang biasa. Demikian pula di Indonesia. Seorang anak miskin yang lahir di Papua meninggalkan bangku sekolah setelah mengenyam pendidikan selama kurang lebih 6 tahun, dibandingkan dengan seorang anak di Jakarta yang diharapkan akan menyelesaikan sekolah selama 11 tahun pendidikan. Perbedaan dalam pencapaian belajar bisa sangat tajam; siswa sekolah menengah pertama di Bali mencapai rata-rata 80% dalam ujian nasional, dibandingkan dengan siswa di beberapa wilayah di Kalimantan yang hanya mencapai nilai kurang dari 60%.   Sebagian besar wacana global menyoroti kurangnya sumber daya dan distribusi yang tidak merata sebagai penyebab ketidaksetaraan pendidikan. Tapi ini sebagian cerita di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, investasi pemerintah dalam bidang pendidikan melonjak tiga kali lipat secara nyata – suatu tingkat kenaikan yang tidak terjadi di banyak negara lain. Beberapa daerah termiskin mengeluarkan biaya besar dalam pendidikan untuk setiap usia anak sekolah. Sebagai contoh, beberapa pemerintah daerah di Papua, salah satu propinsi termiskin di Indonesia, membelanjakan hampir sebanyak negara-negara di Eropa Timur yang peringkatnya jauh lebih tinggi pada penilaian internasional pencapaian belajar.   Lalu apa yang dapat dilakukan oleh sebuah negara berpendapatan menengah seperti Indonesia untuk mengatasi ketidaksetaraan pendidikan? Kantor Bank Dunia Jakarta baru saja merilis sebuah survei kualitas tata kelola pendidikan pada 50 pemerintah daerah di Indonesia, yang berpendapat bahwa segala upaya untuk mempersempit ketidaksetaraan harus berpusat pada penguatann kapasitas pemerintah daerah dalam menyelenggarakan layanan pendidikan berkualitas bagi seluruh anak-anak.   Sejak reformasi desentralisasi yang diperkenalkan pada tahun 1999, pemerintah daerah telah mengambil alih tanggung jawab penyelengaran dan sebagian besar pembiayaan pendidikan dasar. Laporan menunjukkan bahwa prioritas yang diberikan untuk pendidikan, kualitas masukan yang tersedia, dan distribusinya cenderung lebih baik pada pemerintah daerah dengan kualitas tata kelola yang lebih baik.  Selain itu, pemerintah daerah yang memungkinan partisipasi lokal dalam proses perencanaan menghasilkan sistem manajemen yang lebih transparan dan akuntabel; meningkatkan insentif bagi tenaga pendidikan cenderung membuat hasil yang lebih baik; dan memastikan para guru dibekali dengan lebih baik untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi semua.

Kenaikan mutu tata kelola pendidikan akan menghasilkan kinerja pendidikan yang lebih baik.

Namun, laporan ini juga menemukan bahwa tata kelola pendidikan daerah hanya meningkat sedikit dalam tiga tahun terakhir. Dalam beberapa area, tata kelola mengalami kemunduran. Sebagai contoh, jumlah pemerintah daerah yang secara sistematis mendokumentasikan dan menyebarluaskan contoh-contoh praktik yang baik menurun drastis. Pada praktik perencanaan juga muncul untuk menghindari upaya meningkatkan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh, tahun 2012, hanya 12 persen pemerintah daerah melakukan konsolidasi atas rencana pembangunan sekolah untuk digunakan dalam proses perencanaan pendidikan di daerahnya.  

Pemerintah daerah yang turut serta dalam kajian ini juga menjadi bagian dari sebuah program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dirancang untuk peningkatan kapasitas. Sementara kajian ini menyoroti beberapa keuntungan pada tingkat sekolah, peningkatan pada level manajemen pemerintah daerah lebih sederhana. Dua pelajaran penting yang muncul dari pengalaman dalam melaksanakan program peningkatan kapasitas seperti ini:

Pertama, dibutuhkan sebuah pendekatan multi-sektor bagi pengembangan kapasitas. Pejabat Kantor Dinas Pendidikan menyadari bahwa banyak tantangan utama terkait dengan sistem pada level pemerintah daerah (contoh, sistem perencanaan dan penganggaran) daripada khusus pada sistem pendidikan. Namun, kantor dinas pendidikan sering kali tidak berdaya dalam mengatasi kendala yang lebih luas ini.  

Kedua, upaya pengembangan  kapasitas perlu disesuaikan dengan situasi lokal.

Penguatan tata kelola lebih mudah di beberapa pemerintah daerah dibandignkan dengan daerah lainnya. Sebagai contoh, mempublikasikan informasi anggaran pendidikan lebih mudah dilakukan di daerah yang terkoneksi dengan baik dengan lokal media yang hidup daripada di wilayah terpencil dengan infrastruktur terbatas. Agar dapat berhasil, program-program pengembangan kapasitas yang akan datang harus memperhitungkan rintangan-rintangan khusus yang dihadapi oleh suatu daerah.  

Pesan besarnya adalah penguatan tata kelola dan manajemen dari sistem pendidikan daerah dapat membantu mempersempit ketidaksetaraan pendidikan. Hal ini juga dapat membantu Indonesia meletakkan dasar untuk memastikan bahwa tidak satu pun anak tertinggal pada saat agenda pembangunan baru sedang berlangsung.